Daftar bolos ada di depan mata Ratih dari kepala sekolah. Matanya membulat tidak percaya, tapi itulah kenyataannya. Seketika Ratih menoleh, memandangi cucunya yang terus diam menunduk takut.
"Kenapa kamu tidak pernah masuk, apakah kamu memiliki masalah?" tanya perempuan tua itu dengan suara beratnya namun dia usahakan untuk lembut.
Edo yang di tanya hanya diam, menunduk takut di hadapan neneknya juga kepala sekolah di ruangannya.
Tubuhnya gemetar, bibirnya seolah terkunci dan tak mampu mengatakan apapun meski sang nenek Ratih sudah bertanya berkali-kali.
Ada apa dengan cucuku?
Hanya itulah yang ada di benak Ratih saat ini. Cucunya tidak masuk sekolah, bolos beberapa hari hingga membuat dia di panggil oleh pihak sekolah.
Jika di tanya, Ratih juga tidak tau apa alasannya karena Edo juga tidak pernah mengatakan apapun, dia selalu diam dan tidak bercerita. Ratih juga awalnya tidak percaya, Edo selalu berangkat dari rumah, tapi dia tidak sampai ke sekolah, lalu dia pergi ke mana?
Semenjak kecelakaan mobil yang membuat kedua orang tuanya meninggal Edo hanya tinggal bersama dengan Ratih. Dia selalu melimpahi kasih sayang, tak mau sampai Edo kekurangan.
"Edo, katakan sama nenek," Ratih kian kesal namun dia masih berusaha untuk bersabar. Tapi Edo tetaplah diam.
Kedua tangannya terus menyatu dan memijat satu sama lain, mempertandakan bahwa dia sangat takut. Tapi Edo juga lebih takut lagi jika bercerita.
"Edo, jawab pertanyaan nenekmu. Kenapa kamu selalu diam seperti ini? Kalau ada masalah cerita, siapa tau bapak bisa bantu," ujar kepala sekolah. Pak Sasongko.
Edo hanya menggeleng, itupun tetap tak mau mengangkat wajahnya. Dia terlalu takut untuk bercerita.
Pembullyan dari teman-temannya di sekolah, bagaimana perlakuan mereka yang buruk, itulah yang Edo ingat saat ini. Hanya karena tubuhnya yang gemuk dan lemah.
Edo selalu saja di intimidasi oleh mereka, tak jarang juga di pukul hingga dia semakin lemah dan takut tapi dia tidak pernah berani melawan. Dia tidak memiliki keberanian itu.
Karena terlalu sering mendapatkan perlakuan buruk itulah yang membuat Edo menjadi takut dan malas datang ke sekolah. Dia takut akan mendapatkan perlakuan yang sama atau mungkin malah lebih parah dari sebelumnya.
"Mengingat Edo anak yang pintar, dan juga berbagai prestasi yang dia punya, saya akan beri satu kesempatan untuknya. Saya harap Edo mau berubah dan akan selalu datang ke sekolah," ujar Pak Sasongko setelah keputusan yang sudah dia pikirkan matang-matang.
Ratih menoleh, tentu dia merasa sangat bersyukur karena ketakutan akan cucunya yang di keluarkan tidak terjadi.
"Terima kasih, Pak. Saya selaku wali dari Edo meminta maaf karena Edo. Saya akan berusaha untuk terus membuat dia berangkat dan lebih rajin lagi." ucap Ratih. Lega rasanya.
"Sama-sama, Bu. Tolong kerja samanya untuk membuat Edo mengerti."
"Pasti, Pak."
Apapun yang mereka katakan tetap tak membuat Edo berbicara, dia tetap diam tanpa mengatakan apapun.
~~~\`\`
"Hey gendut, sini loh!"
Tubuh Edo kembali gemetar takut, berjalan penuh keraguan padahal dia baru saja mau memasuki gedung sekolah tapi sudah di hadang oleh anak-anak nakal yang selalu menindasnya.
"Lelet amat sih, dasar lemah! Sini cepat!" ucapnya lagi. Ketua anak nakal yang di belakangnya ada beberapa anak buahnya.
Tatapan mereka begitu tajam, terlihat begitu garang dengan menatap Edo yang terus berjalan meski dengan sangat pelan.
"Hey sobat, kenapa kamu tidak pernah masuk. Kamu menghindari kami?!" tanyanya. Tangannya langsung merangkul Edo tapi dengan aura wajah dingin menakutkan. Sementara yang lain hanya tertawa sinis ketika Alex ketua mereka merangkul sok akrab, padahal itu adalah sebuah penekanan yang luar biasa.
"Sa-saya," Edo begitu takut. Dia menunduk. Bayangan akan perlakuan buruk mereka terus saja berputar bagai kaset di ingatannya.
"Mana uang yang aku minta!" Tangannya terangkat, menengadah di depan wajah Edo yang masih ada di rangkulannya.
"Sa-saya tidak ada uang," Jawaban Edo terdengar gagap, dia juga tak berani memperlihatkan wajahnya pada Alex. Pasti sekarang wajahnya begitu garang karena Edo yang tak memiliki uang yang dia minta.
Bukan hanya di bully, di sakiti, dan juga di hina, tapi Edo juga selalu di mintai uang jajannya oleh mereka.
Seperti kemarin saat Alex kalah judi, dia meminta uang pada Edo. Dia mengancam, memaki bahkan juga memukulinya saat Edo tak bisa memberikan. Itu sebabnya Edo tak berangkat sekolah, dia terus bersembunyi di suatu tempat karena takut.
'Kalau tidak punya uang, cari uang nenekmu!' kata Alex saat itu.
Bagaimana mungkin Edo berani untuk mencari uang nenek, dia juga tau kalau neneknya tak ada uang. Itu sebabnya Edo terus menghindar.
"Kemarin tidak ada, sekarang tidak ada lagi! Kamu tuh becus nggak sih cari uang nenek mu!" Ucapan Alex sudah mulai meninggi, kian tumbuh amarahnya karena keinginannya tak di berikan.
"Sa-saya benar-benar tidak ada uang." Edo semakin ketakutan. Wajah Alex kian garang dan kini sudah melepaskan tangannya dari Edo dengan kasar juga dengan dorongan.
Tatapan tajam dari Alex dan teman-temannya membuat Edo kian gelisah, dia terus menunduk takut di hadapan mereka semua.
Bugh bugh bugh!
Dan ternyata benar, kegelisahan Edo menjadi kenyataan saat anak buah Alex memukulinya atas perintah Alex dengan bahasa isyarat matanya.
"Jangan, jangan pukul saya, jangan!"
"Dasar lemah! Badan saja yang besar tapi tidak berguna sama sekali!" umpat salah satunya dan kembali memukuli Edo. Dika.
"Ampun, jangan pukul saya. Aw! Aw!" Merintih juga sesekali mendesis karena sakit. Edo juga sudah menangis karena dia benar-benar merasakan sakit saat mereka terus memukulinya.
Terus Edo memohon untuk tidak di pukul, memohon ampun meski dia tidak bersalah tapi tetap saja mereka melakukannya.
"Jangan, akk akk!" Teriak Edo. Semakin mereka senang dan tertawa bahagia saat melihat Edo yang kesakitan akibat ulah mereka.
Tawa mereka terus menggelegar bersamaan dengan aksi yang menyakiti Edo.
"Hey! Apa yang kalian lakukan!" Seru seseorang dengan suara lantang dan juga terdengar menggelegar.
Mereka semua berbalik badan dengan cepat, melihat Ratih yang berjalan kian dekat.
Alex sedikit takut, wajah neneknya itu ternyata begitu mengerikan dari apa yang dia pikirkan sebelumnya.
"Ki-kita hanya bermain game kok, Nek," ucap Alex gagap. Berdiri dengan tubuh yang sedikit gemetar tegang.
"Bohong! Katakan dengan jujur, apa yang kalian lakukan padanya!" Suara Ratih kian melengking tajam membuat Alex dan teman-temannya takut. Jelas saja.
"Be-benar, Nek. Kami tidak melakukan apapun, kita hanya bermain saja, iya kan?" Tanya Alex pada Edo. Pura-pura merangkul hangat hanya untuk menyembunyikan kelakuannya.
"Bohong! Kalian harus ikut saya ke kepala sekolah sekarang juga."
"Tidak tidak! Jangan nek. Kami sungguh hanya bermain saja. Iya kan?" Alex kian mendekat pada Edo.
"Katakan iya, atau kamu akan menyesal," Bisik Alex pada Edo.
"Cepat, ikut saya ke kepala sekolah. Kalian harus mendapatkan hukuman!" Tegas Ratih.
"Be-beneran, Nek. Kami hanya bermain saja." Jawab Edo gugup.
"Nenek lebih baik minta maaf pada mereka. Jangan buat Edo malu, Nek." Edo tetap gugup. Bagaimana bisa dia malah meminta Ratih untuk meminta maaf.
"Edo!" Ratih begitu geram, tentu dia juga sangat kecewa dengan Edo yang lebih menutupi kesalahan mereka bahkan meminta dia juga minta maaf.
"Nek, Edo mohon." Ucapnya dengan wajah memelas. Edo hanya takut kalau sampai Alex dan teman-temannya akan berbuat sesuatu padanya juga pada neneknya. Sungguh, orang lemah seperti dirinya hanya selalu ada rasa takut.
Semakin kesal Ratih saat ini pada Edo.
"Nenek, minta maaf pada mereka!" suara Edo sedikit berteriak. Dia kesal karena Ratih masih tak percaya.
Ucapan Edo jelas membuat Ratih terkejut, cucunya berani bicara dengan nada tinggi padanya. "Nenek minta maaf," Dengan terpaksa Ratih minta maaf, juga dengan wajah penuh kekecewaan.
Mereka semua terlihat bahagia karena Edo patuh. Dengan hati yang berseru Alex merangkul Edo untuk semakin meyakinkan Ratih kalau mereka tidak ada apa-apa. Dengan kecewa Ratih pergi dari sana.
Hembusan nafas lega keluar dari mereka semua, tangan Alex juga cepat dilepaskan dari Edo.
"Jangan pikir urusan kita beres, loh harus mengerjakan tugas kami. Ingat! Setelah istirahat harus sudah selesai, awas kalau belum." Ancam Alex.
Tak lagi mereka memukul Edo, tapi ya itu, tugas mereka harus beres oleh Edo. Nasib nasib.
~~~\`\`
Bersambung...
Makan malam yang sangat sederhana yang Ratih masak untuk dirinya juga Edo. Tak ada makanan yang bisa dia beli selain hanya mie instan yang di dalamnya di tambah beberapa helai sayur juga telur saja.
Meski hanya makanan yang dibilang sangat sederhana tapi tetap membuat Ratih merasa sangat bersyukur setidaknya dia bisa makan, juga memberi cucunya itu makan. Dan senangnya lagi karena Edo tidak pernah mengeluh dengan apa yang dia dapat, dia selalu menerimanya.
Hidup mereka sangat susah jangankan untuk membeli daging atau lauk pauk sejenisnya, untuk membeli beras untuk makan sehari-hari saja Ratih tak mampu.
Tak memikirkan protein untuk memenuhi kebutuhan tubuh mereka, tak memikirkan nilai gizi dalam makanan yang mereka makan, yang terpenting bisa makan dan mengenyangkan itu sudah membuat Ratih senang. Sebenarnya dia ingin memberikan makanan yang bergizi dan juga tentunya berprotein untuk Edo, tapi bagaimana lagi kalau dia tidak sanggup untuk membelinya.
Tak ada harta yang dia punya, hanya ada beberapa ayam saja yang Ratih rawat di balik pintu belakang. Bukan hanya sebagai pengisi kegiatan tapi juga untuk tabungan jika sewaktu-waktu Ratih butuh uang dan itu bisa dia jual.
Ratih terus melihat Edo yang ada di hadapannya, yang tengah memakan mie buatannya.
Edo hanya terus makan, tapi itu dengan malas juga tak melihat Ratih sama sekali, dia terus menunduk. Ada rasa bersalah karena sempat berbicara dengan nada tinggi pada Neneknya. Menyesal, jelas saja Edo sangat menyesal.
"Beberapa kali kamu menyebutkan ingin pindah sekolah padaku. Jika kamu ingin, mari kita pindah," ucap Ratih tiba-tiba.
Meskipun Ratih sadar dia tidak memiliki banyak uang tapi demi kenyamanan Edo dalam belajar dia akan mengusahakannya, Dia sangat menginginkan Edo bisa belajar dengan baik dan bisa menjadi orang yang pintar.
Edo langsung menghentikan makannya, namun terus diam tak menjawab tapi dia menggeleng karena merasa tidak setuju dengan perkataan Ratih.
Edo tidak mau membuat neneknya semakin terbebani karena dirinya.
Edo beranjak, berbalik lalu berjalan menuju kamar dan meninggalkan Ratih juga makan malamnya.
Ratih hanya diam, menghela nafas panjang yang terasa berat melihat kepergian Edo dengan perasaan tak tega. Meski Edo tidak mengatakan tapi dia tau kalau dia menyimpan sesuatu, dan hal itu sangat menekan dirinya.
"Nenek tau kamu, Do." gumamnya dengan sangat lirih.
~~~\`\`\`
Terduduk lemas Edo di kamar.
"Aku harus bagaimana, apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.
Edo menangis di depan meja belajar saat dia niatnya untuk mengerjakan tugas. Fokusnya hilang terganti dengan masalah yang dia alami sekarang.
Ingin dia pindah, tapi dia juga tau pindah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, neneknya tak punya uang dan jelas tak akan mampu untuk membayarnya.
Bukan itu saja, tetapi jika dia pindah belum tentu dia akan mendapatkan teman yang baik, bisa jadi dia masih tetap mendapat pembullyan dari teman barunya. Bisa jadi itu lebih parah. Di manapun dia berada, orang lemah seperti dirinya tidak akan pernah luput dari pembullyan.
Tapi, jika mengingat perlakuan Alex dan semua temannya, juga mengingat perlakuan preman kecil yang lebih mengerikan yang selalu menindas di luar sekolah membuat Edo ingin menyerah.
'Apa lebih baik aku mengakhiri hidupku saja?' batin Edo. Seolah habis tak ada harapan.
Begitu suram hidup Edo, begitu menyedihkan dengan nasib yang sangat buruk.
Hatinya begitu tertekan karena apa yang selalu dia dapatkan setiap harinya. Begitu sedih, putus asa hingga berpikir lebih baik untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin itu lebih baik.
Orang yang sedang putus asa dan merasa tak ada jalan lain pasti hanya kematian yang di pikirkan, dan itulah yang terjadi pada Edo sekarang. Hanya kematian yang terasa menjadi jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya.
"Seandainya aku adalah seorang pelatih kebugaran? Tinggi, kuat bahkan pelatih taekwondo pasti aku bisa menghentikan pembullyan yang selalu mereka lakukan. Aku bisa melumpuhkan mereka, bisa menjatuhkan mereka dalam sekali gerakan." gumamnya lagi yang mulai berbelok dari angan sebelumnya.
Angan-angan yang tau pasti tidak akan pernah terjadi. Tapi, hanya dengan berangan saja bisa membuat Edo lebih baik. Setidaknya dia bisa menyampingkan pikirkan tentang penindasan di sekolah meski hanya sebentar saja.
Hatinya terasa senang, mampu menghadirkan senyum meski tak seberapa. Edo bisa merasakan kesempurnaan itu meski itu hanya berada dalam angan saja.
~•~
Edo menggeliat, matanya mulai terbuka dan ternyata itu masih tengah malam. Perlahan Edo turun, berjalan dengan malas menuju ke kamar mandi.
Rasa lelahnya akan hidup membuat dia juga lemas sekarang saat kembali membuka mata, tak ada semangat untuk hidup.
"Astaga!" Edo begitu terkejut saat menatap pantulan dirinya di depan cermin di kamar mandi. Ada yang berbeda, bahkan sangat berbeda dari biasanya.
Wajahnya berubah menjadi tampan, tubuhnya juga menjadi tinggi juga tentunya dengan berotot.
"Apa yang terjadi?" gumamnya menatap dirinya dengan sangat bingung. Bagaimana bisa, tadi saat dia tidur dia masih seperti biasa, tapi kenapa sekarang berubah menjadi sangat berbeda?
Edo sangat percaya dan sadar itu dirinya, tapi tubuh yang sekarang ada di hadapannya bukanlah tubuhnya sendiri. Lalu tubuh siapa?
Edo sangat bingung, terus dia menatap dirinya dalam cermin juga terus mengenali siapa yang ada di hadapannya yang jelas itu bukan dirinya. Dia terlalu sempurna untuk dirinya yang gemuk dan juga sangatlah jelek.
"Apa aku pergi ke kamar nenek untuk memberitahunya?" tanyanya pada diri sendiri. Langsung dia membalik.
Ingin Edo melangkah tapi baru satu langkah dia kembali memutar ke arah cermin Dia sangat ragu untuk mengatakan kepada neneknya. Dia takut saja jika neneknya akan bertingkah yang tidak tidak.
"Bagaimana kalau sampai nenek di sangka gila?" gumamnya lagi. Terus Edo menimang-nimang keputusan apa yang akan diambil saat ini. Yang jelas dia sangat bingung dengan perubahan dirinya yang menjadi sangat sempurna.
"Apakah aku hanya mimpi?" gumamnya lagi. Kembali Edo bercermin, memperlihatkan kedua pipi dengan bergantian begitu juga dengan semua yang ada pada wajahnya yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Dengan sangat ragu dan juga terus berpikir Edo kembali ke kamarnya sendiri. Tapi begitu dia ingin kembali tidur dia menyentuh ada orang yang juga tidur di atas ranjangnya, jelas Edo langsung terperanjat dia sangat takut.
"Dia siapa?" Kembali Edo bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang tidur di atas ranjangnya. Dan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, keduanya membuat dia begitu bingung.
Edo putuskan untuk menyalakan lampu untuk melihat siapa yang ada di atas tempat tidurnya saat ini, yang sama sekali tidak bergerak. Apakah dia tidur atau mati?
Klek!
Betapa terkejutnya Edo saat melihat siapa yang ada di atas ranjang, ternyata itu adalah tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang gemuk dan menjijikan itu tertidur di atas ranjang dengan begitu lelapnya.
"Apa yang terjadi?" Edo semakin bingung dengan apa yang terjadi kepada dirinya. Kenapa bisa dia berada dalam dua tubuh yang berbeda.
"Ini siapa?" ucapnya dengan menunjuk dirinya sendiri yang tersadar sekarang.
~••~
Bersambung...
"Bagaimana bisa aku tidur di depan mataku sendiri? Ini sangat aneh, tapi ini nyata!" Suaranya tertahan, matanya tetap menatap tubuhnya yang lain.
Gemuk, bulat, jelek dan jelas sangat rapuh dan lemah saat dia tersadar. Pemandangan yang tak biasa, bahkan sangat aneh bagaimana mungkin dia tidak akan kebingungan sekarang ini. Tapi merasakan apa yang terjadi, bisa dipastikan apa yang terjadi adalah hal yang nyata bukan mimpi atau sekedar berhalusinasi.
"Apakah aku lapor ke polisi, atau mungkin mengatakan pada nenek?" gumamnya.
"Tidak tidak! Bagaimana kalau aku malah diotopsi, dan di jadikan bahan penelitian? Tidak tidak!"
Jelas Edo sangat takut, dia pernah mendengar dari teman-teman di sekolahnya, orang yang memiliki kemampuan aneh dapat di tangkap oleh salah satu organisasi untuk diotopsi. Sungguh mengerikan. Membayangkan saja membuat Edo bergidik ngeri.
Tok tok tok!
"Do, kok lampunya nyala, kamu belum tidur?" Pertanyaan dari neneknya di luar mengejutkan kebingungannya. Edo sontak terkesiap, takut jika neneknya akan masuk.
"Ini, Nek! Edo barusan dari kamar mandi!" Teriak Edo, suaranya terdengar gagap. Dia tidak berbohong kan, dia dari kamar mandi.
"Edo akan matikan dan kembali tidur!" Teriaknya lagi. Cepat dia mematikan lampu dan tak lagi dia dengar suara neneknya lagi. Lega rasanya.
Setelah lampu dimatikan Edo kembali melihat tubuhnya. Masih tetap pada posisinya dan tak berubah.
"Hey, bangun bangun!" pintanya. Edo mulai menggoyangkan tubuhnya itu, bahkan bukan hanya mengguncangkan saja tapi juga memukul dengan keras supaya cepat terbangun.
Dan benar saja, Edo terbangun setelah tidurnya terganggu. Edo terdiam, membayangkan semua kejadian barusan yang terasa seperti sebuah mimpi.
"Ternyata hanya mimpi," ucapnya. Edo menggeleng setelah menyadari semua itu hanya mimpi belaka, mungkin itu terjadi karena dia sempat berangan-angan tadi sebelum dia tidur.
Edo berniat untuk pergi ke kamar mandi tapi baru saja dia mulai melangkah dia menyandung sesuatu, seketika Edo melompat naik ke atas ranjang. Edo sempat berdiam diri sejenak untuk menetralkan nafasnya yang sedikit tersengal karena dia begitu terkejut barusan.
Rasa penasaran kembali menyerang, perlahan Edo mengintip dan dapat terlihat tubuhnya yang tampan tersebut tergeletak di lantai dengan cahaya minim dari luar kamar.
"Ini sangat aneh," gumamnya. Menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. Memang aneh yang terjadi tapi itulah adanya.
Edo mulai menyadari bahwa memang ada sesuatu yang terjadi pada dirinya, Edo berniat untuk membangunkan pria tampan tersebut dan ternyata dia pun kembali sadar bahwa dia kini berada di dalam tubuhnya yang tampan.
Keesokan harinya\_\_\_
Seperti biasa Edo sarapan dengan ditemani oleh neneknya. Dia juga begitu bergegas untuk pergi ke sekolah, dia terlihat begitu semangat pagi ini.
"Nek, selama Edo pergi sekolah nenek jangan pernah masuk ke kamar Edo."
"Kenapa?" Jelas saja neneknya akan penasaran. Tidak seperti biasanya Edo akan melarangnya.
"Tidak apa-apa, Nek. Pokoknya jangan masuk." ucap Edo lagi kembali memperingatkan, melarang keras neneknya untuk masuk ke kamarnya.
"Baiklah, nenek tidak akan masuk." jawab Ratih. Dia terlihat bahagia pagi ini, akhirnya cucunya kembali bicara lagi dan juga semangat untuk pergi ke sekolah, semoga saja dia benar pergi ke sekolah kali ini.
'Semoga nenek tidak akan masuk dan tidak akan melihat tubuh tampanku di kolong tempat tidur.' batin Edo. Dan itulah alasannya kenapa Ratih tidak boleh masuk ke kamarnya.
~~~~\`\`
Takkan ada hentinya nasib Edo menjadi bahan bullyan di sekolah, siapa lagi pelakunya kalau bukan Alex dan bawahannya.
"Gendut, kerjakan tugas gue!" Pintanya dengan begitu angkuh.
Edo terdiam, dia malah mengingat dia yang tampan sempurna dengan ototnya, dia pasti sangat kuat.
"Maaf, saya tidak bisa." Edo menolak. Tidak ada salahnya dia menolak untuk berusaha menghentikan perilaku mereka yang semena-mena padanya.
"Apa kamu bilang!" Alex murka, jelas saja dia marah karena tak terima. Tak ada kamus penolakan dalam hidupnya.
Bugh bugh bugh!
Penolakan itu tidak di terima oleh Alex, dia langsung memukul Edo lagi dengan begitu sadis. Edo kesakitan, jelas saja. Dia di pukul oleh Alex dan teman-temannya, lebih tepatnya di keroyok.
"Ikut!" Bentak Alex. Dia dan teman-temannya langsung menyeret Edo yang lemah ke toilet sekolah. Edo tak dapat menolak, tubuhnya terlalu lemah untuk berontak. Tak ada kekuatan untuk itu.
Bruk!
Edo di jatuhkan begitu saja oleh mereka di hadapan Alex.
"Cium sepatu gue!" Bentak Alex.
Semakin sadis permintaan Alex, dan teman-temannya hanya tertawa begitu juga dengan pacar Alex. Sungguh! Nelangsa hidup Edo, dia harus menuruti Alex, mencium sepatunya yang bau urin yang begitu sangat menyengat.
"Berdiri kamu sekarang!" Titah Alex lagi. Meminta Edo untuk berdiri di pintu untuk menjaga mereka semua yang akan merokok. Jelas saja itu dia lakukan karena tidak mau sampai ketahuan kepala sekolah.
~~~~\`\`
Hari berikutnya Edo tetap mendapatkan perilaku yang sama, di bully habis-habisan oleh Alex dan para anak buahnya. Nasibnya benar-benar ancur.
Kembali Edo di minta untuk mengerjakan tugas Alex dan teman-temannya, saat dia menolak kembali lagi dia dipukul. Meski Edo terus minta untuk dilepaskan tapi kenyataannya mereka memang tak punya rasa kemanusiaan.
Sedih, jelas saja Edo merasakan sedih akibat nasib hidupnya yang tak kunjung berubah.
Waktu pulang sekolah Edo begitu bergegas. Dia harus segera pulang juga sekaligus untuk menghindari Alex dan teman-temannya, tapi nyatanya! Nasib memang tak berpihak padanya untuk bisa tenang dalam sejenak saja.
"Hey gendut!" Edo menoleh dengan wajah yang langsung takut. Dia mengenal suara itu, berandalan yang juga selalu menindasnya.
Tubuh Edo gemetar, dia berusaha untuk melarikan diri tapi itu tak terjadi karena pergerakan mereka lebih cepat dan kembali menarik Edo untuk berhenti.
"Mau kemana, jangan buru-buru dong, " ucapnya begitu dingin, tapi mampu membuat bulu kuduk Edo berdiri. Dia ketakutan.
"Ampun, Bang." ucap Edo.
"Bagi duit!" ucapnya. Ternyata itulah tujuannya, meminta uang dari Edo.
"Ti-tidak ada, Bang." Jawab Edo semakin takut. Tak berani melihat berandalan tersebut yang wajahnya terlihat begitu menyeramkan.
"Tidak ada uang ya, bagaimana kalau kamu curi saja ayam nenekmu itu lalu dijual, dengan itu kamu bisa mendapatkan uang kan?"
"Tidak, Bang." Edo menggeleng, dia tidak mau dan tidak akan melakukan itu. Itu adalah ayam neneknya, tidak mungkin dia mencurinya.
Berandalan itu tak menerima penolakan, dia menyeret paksa Edo. Terus menariknya hingga sampai di belakang rumah Edo dan neneknya.
Terdapat pagar dari rotan yang dilihat oleh mereka. Para berandalan tertawa senang lalu menyuruh Edo menangkap ayam yang hanya ada tiga.
"Tangkap ayam itu!" titahnya dengan kasar, mendorong Edo hingga masuk ke kandang tersebut.
"Tidak, Bang. Saya tidak mau." Jawabnya.
"Kurang ajar!"
Bugh bugh bugh!
Dengan sadis mereka terus memukuli Edo hingga tak berdaya, Edo terjatuh dan mereka masih terus menendang Edo hingga tak sadarkan diri.
"Dasar lemah!" umpatnya. Mereka bahkan juga mengencingi tubuh Edo yang gemuk itu.
"Tangkap ayamnya." Titah ketua berandalan tersebut.
Dengan tak sadarkan diri tubuh Edo yang gemuk maka akan terbangun tubuh Edo yang lain yang lebih sempurna.
Edo keluar rumah dengan tubuh tampannya, dan terlihat jelas bagaimana perlakuan para berandalan dan juga keadaan tubuhnya yang tak sadarkan diri.
Melihat Edo keluar para berandalan mengambil tongkat untuk memukul tubuh Edo yang satunya. Dia berlari, menggerakkan tongkat yang sudah di rasa sangat kuat dan cepat, namun nyatanya tidak dari pandangan Edo.
Dia menangkap tongkat itu dan mendaratkan pada perut berandalan tersebut. Terbanglah berandalan itu begitu jauh saat terkena pukulan dari Edo.
Brakk!
~~~••~~~
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!