🌹 Rissa 🌹
Apa masalahnya kalau di umur yang ke 27 tahun belum juga menikah?
Beginilah hidup. Tuhan yang menentukan, kita yang menjalani, tapi orang lain yang berkomentar. Tidak masalah kalau hidup mereka sudah lebih baik dari kita. Pastikan sudah bersih dari dosa, pastikan setiap apa yang dilakukan sudah benar. Silahkan berkomentar tentang hidup orang lain.
Tak jarang orang yang selalu melontarkan pertanyaan 'kapan kamu menikah?'. Atau 'umur kamu berapa? Kok belum menikah juga?'. Ada lagi yang sangat jleb dihati, 'kamu enggak laku, ya? Makanya nggak nikah-nikah'.
Sadis, kan?
Ada juga yang sudah menikah, lalu memamerkan kemesraan didepan kita. Kita hanya melihat dibilang iri. 'Makanya nikah, biar bisa mesra-mesraan seperti ini.'
Hoek!!
Aku tidak iri. Aku hanya menyayangkan sikap mereka yang suka bermesraan di tempat umum. Oke lah itu pasangan mereka sendiri. Tapi setidaknya tahu tempat.
Bisa jadi yang melihat suaminya atau istrinya baru saja meninggal. Bisa jadi ada yang baru bercerai. Tak ada yang tahu. Tugas kita hanya menjaga perasaan orang lain dengan cara menjaga sikap kita didepan umum.
Bersyukur kalau yang melihat hatinya baik. Dia bisa mendoakan kebaikan untuk kita. Kalau yang melihat hatinya kurang baik? Bukan tidak mungkin kalau dia juga mendoakan yang tidak baik untuk kita.
Maka dari itu, apa yang kita lakukan, pasti akan kembali pada diri kita sendiri. Jadi lakukan yang baik, maka diri kita juga akan mendapatkan yang baik pula.
Sudah! Aku mau muntah dulu karena aku mendadak mulas mendengar ucapanku sendiri yang sok dewasa ini.
Boleh, kok. Kalian boleh bilang aku sedang curhat. Iya, curhat.
Sampai usia 27 tahun aku belum juga menikah. Jangankan untuk menikah, pacar saja aku tidak punya. Kalah ya sama anak SD yang gayanya sudah ayah-bunda? Aku sebenarnya geli sendiri kalau baca status anak-anak bau kencur itu yang sudah di screenshoot oleh akun Mak lambe-lambe lalu diviralkan di FB atau Ig.
Jangan-jangan mereka dibesarkan dengan cara di karbit. Do you know karbit? Karbit is obat untuk membuat buah matang lebih cepat.
Bahasa mudahnya, "dewasa sebelum waktunya".
Ahh, uwiis Rissa, uwiss.. (sudah Rissa, sudah)
Cerewet banget kamu!
Dari sekian banyaknya orang yang berkomentar tentang aku yang tak kunjung menikah, salah satunya adalah Bunda Ratu.
Yaps! Bunda Ratu! Mama alias nyonya Rahardi atau Ibu Kurnia.
Ratuku satu itu begitu sensitif melihat anak gadisnya ini belum juga menikah.
"Kamu itu sudah 27 tahun. Nunggu apa lagi? Nunggu Mama mati apa bagaimana?"
Astaghfirullah.. Aku langsung mengelus dadaku yang tidak rata saat mendengar ucapan Mama.
"Jangan sepeti itu bicaranya, Bunda Ratu."
"Makanya kamu itu cepetan nikah. Itu tetangga kompleks sebelah, anak gadisnya masih umur 20 tahun sudah dinikahkan. Si Melati anaknya Bu RT bulan depan juga mau menikah, padahal umurnya baru 22 tahun. Sedangkan kamu, sudah 27 tahun belum juga ada tanda-tanda mau menikah."
Oke, kamu diam saja Rissa! Jangan berbicara! Kamu diam disalahkan, kamu buka suara tambah salah!
Sudah. Lebih baik diam dan nikmati sarapan sehat ala wong Londo pagi ini. Roti tawar selai kacang, nanas, atau coklat, silahkan pilih sendiri!
Padahal aku tidak bisa kalau tidak makan nasi untuk sarapan. Tapi Bunda Ratu sedang merajuk, jadilah aku, Papa dan juga adikku si Nurina makan dengan roti oles selai.
Mohon bersabar, ini ujian! Semoga lulus.
***
Aku adalah seorang dokter muda, dokter spesialis kandungan, yang bekerja disalah satu rumah sakit di kota Karanganyar Tentram. Semoga nasib rakyatnya sama kayak slogan kabupeten nya. Tentram.
"Pagi dokter. Hari ini ada empat jadwal operasi caesar. Ini data-data pasien untuk dipelajari," Nita, perawat manis itu menyerahkan beberapa map berisi data pasien kepadaku. Nita ini baru 23 tahun loh, tapi sudah menikah sebulan yang lalu.
'Eh, eh.. Kamu kalah lagi, Ris? Kasian banget kamu.' Mungkin seperti itu komentar orang-orang yang kurang kerjaan di luaran sana.
"Bu dokter suntuk banget kayaknya?" Celetuk Gendis, teman seperjuangan sejak masa SMA. Bahkan kami bekerja di rumah sakit yang sama. Tapi, dia juga sudah menikah dengan salah satu dokter dirumah sakit yang sama setahun yang lalu. Huh hah!
"Biasa, Bunda Ratu sedang merajuk," jawabku lesu.
"Soal menikah?" Gendis sedikit menahan tawanya. "Aku kan sudah bilang. Sekali-kali itu lihat laki-laki yang mencoba mendekati kamu. Jangan terlalu pilih-pilih, nanti jadinya malah nggak sesuai pilihan."
Soal laki-laki yang mendekati aku, jangan tanya berapa sudah orang. Dari rumah sakit ini saja sudah tak terhitung ada berapa yang sudah terang-terangan menyatakan perasaannya kepadaku. Dari mulai perawat, dokter, bahkan staf rumah sakit.
"Aku ke ruang operasi dulu," aku mencoba menghindar dari pembicaraan ini.
"Selalu, deh, cari-cari alasan buat menghindar," keluh Gendis. Ini anak tidak tahu waktu apa bagaimana, sih?
"Nyonya Danu, ini sudah waktunya untuk bekerja. Saya masih butuh pekerjaan ini, dan sebaiknya anda juga kembali bekerja."
Gendis tertawa, lalu pergi meninggalkan ruangan ku. Aku pun sudah bersiap-siap untuk menuju ruang operasi.
***
Saat aku berjalan menuju ruang operasi, mataku tak sengaja melihat seseorang yang sedang duduk dengan gelisah di ruang tunggu depan ruangan operasi. Aku begitu mengenalinya. Di samping kanannya, orangtuanya sedang duduk. Bedanya wajahnya terlihat lebih tenang.
"Om, Tante," dengan senyum yang semanis mungkin aku menghampiri mereka, lalu menyalami keduanya. Tak lupa ku sapa juga laki-laki seumuranku yang sudah hampir lima tahun terakhir ini tak ku temui karena dia memang kuliah dan bekerja di Semarang.
"Raka? Apa kabar kamu?" Matanya tak berkedip melihat aku.
"Eh? Nak Rissa," Om Dwi dan Tante Widi balik menyapaku. Justru si Raka masih diam saja menatapku. Matanya tak berkedip. "Mau operasi?" Lanjut bertanya.
"Iya, Om. Ini Om, Tante dan Raka lagi nunggu siapa?" Tanyaku penasaran. Kamu kepo, deh, Ris.
"Nunggu calon istrinya Raka, kemarin perjalanan kesini dia kecelakaan. Tangannya patah dan harus di operasi. Dia berasal dari Semarang, orangtuanya berada di Kalimantan dan belum datang. Jadi kami yang menunggu dia," penjelasan Om Dwi membuatku terkejut. Calon istri Raka? Ada ya cewek yang mau sama cowok kaku kayak kenebo kering itu. Mana orangnya tak mau kalah kalau berdebat.
"Wah, Raka selamat, ya?"
"Kok selamat? Kamu seneng calon istriku kecelakaan?" Potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan ucapanku. Ini, nih, kebiasaan yang ternyata belum hilang sama sekali.
"Aku belum selesai bicara, Raka. Selamat sudah mau menikah, aku ikut sedih juga dengan kecelakaan yang menimpa calon istri kamu. Semoga operasinya lancar, dan pacar kamu lekas sehat kembali," ucapku tulus. Memang tulus, kok.
Raka mengangguk malu. Haha, itu anak masih juga punya malu.
"Saya masuk dulu ya, Om, Tante. Mari Raka," aku meninggalkan mereka dan masuk ke ruang operasi.
Oke, mari kita bekerja.
***
"Tadi aku lihat Raka."
Mata Gendis berkedip-kedip dan bola matanya berputar seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Raka?" Aku mengangguk. "Raka Putra Wibawa?" Sekali lagi aku mengangguk.
"Ya ampun.. Itu anak gimana kabarnya sekarang?" Tanyanya antusias.
"Udah mau nikah. Calon istrinya kemarin kecelakaan dan tadi baru dioperasi."
Mendadak wajah Gendis menjadi lesu. Ada apa ini?
"Padahal aku berharap Raka nikahnya sama kamu, loh," celetuknya yang membuatku menatapnya tak mengerti.
"Dia udah mau nikah. Ngomongnya yang bener," aku memukul kepalanya dengan bolpoin yang aku pegang.
"Sakit, ih." Gendis mengusap-usap bekas pukulan ku. "Ya aku berdoanya dia sama kamu. Janur kuning belum melengkung, kan? Masih bisa lah ditikung lewat doa."
Jawaban Gendis membuatku melongo. Ini anak setelah menikah, somplaknya bukannya sembuh malah bertambah parah.
***
Saat aku berjalan menuju parkiran, aku melihat Raka tengah berbicara dengan seseorang. Tunggu, sepertinya mereka sedang berdebat. Terlihat dari ekspresi Raka yang menahan amarahnya kepada seseorang itu.
Aku tak ingin peduli dengan hal itu karena memang bukan urusanku. Tapi langkahku terhenti saat mendengar beberapa orang berteriak histeris.
"Ya ampun, Rakaa!"
Ternyata mereka berteriak karena melihat Raka dan seseorang tadi saling pukul. Bukannya melerai malah berteriak heboh.
"Raka! Udah, Ka. Tahan emosi kamu," aku mencoba memegang lengan Raka, namun Raka menepisnya.
"Jangan ikut campur!" Jawabnya galak sambil mencoba memukul kembali lawannya.
"Mas, sudah, Mas. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," menasehati Raka tak berhasil, aku mencoba menasehati lawan Raka.
Sok pahlawan kamu, Ris!
"Raka! Udah, aww!!"
Nah! Rasain kamu Rissa! Sok jadi pahlawan, sih! Kena sendiri, kan?
Ya Tuhan! Ini pipi cenut-cenut begini karena terkena pukulan Raka. Ini karena aku mencoba menahan Raka, Raka justru melayangkan pukulannya ke pipiku.
"Rissa? Rissa kamu enggak apa-apa? Aku minta maaf, aku enggak sengaja," ucap Raka khawatir sambil mencoba memegang pipiku. Namun aku menepisnya. Lawan Raka pun wajahnya terlihat merasa bersalah padaku.
"Kalian tahu ini tempat umum? Kalian sudah dewasa, kalau ada masalah selesaikan baik-baik, bukan dengan cara seperti ini. Aku melerai kalian hanya karena tidak ingin ada keributan disini. Permisi!"
"Rissa!!"
🧒 Raka 🧒
Pertama kalinya aku bertemu lagi dengan Rissa setelah lima tahun lamanya, aku malah memberinya pukulan. Aku tak sengaja untuk memukul Rissa. Niatku ingin memukul Krisna, yang ternyata adalah selingkuhan dari calon istriku sendiri, Windy.
Ralat! Mantan calon istri. Aku akan mengakhiri hubungan kami secepatnya.
Sebelumnya aku sempat tak percaya saat Windy berkata akan datang ke Karanganyar sendiri. Tapi Windy mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Pantas dia bisa seyakin itu, ternyata dia bersama selingkuhannya.
Saat kecelakaan terjadi, Windy sedang bersama Krisna. Tapi Krisna sedang menjalani perawatan. Aku juga tak bertanya banyak kronologi kecelakaan yang dialami Windy karena aku terlalu panik.
Saat aku memasuki ruang rawat Windy, aku memicingkan mata melihat Krisna yang sedang memegang erat tangan Windy, sambil sesekali mencium kening Windy. Hatiku terasa panas melihatnya.
"Krisba? Windy? Kalian?" Windy dan Krisna gelagapan mendengar suaraku. Pegangan tangan Krisna pada Windy dilepaskan begitu saja. "Katakan ada apa diantara kalian!" Perintahku.
"Dia.. Ehm, dia.. Itu, Ka. Dia..."
"Dia apa?" Bentakku membuat Windy tersentak.
"Dia.."
"Kita pacaran," Krisna menyela. Dengan percaya diri Krisna mengakui bahwa dia adalah pacar Windy.
Aku menatap tajam Windy yang mulai menangis dan menatapku dengan mata memelas. Tapi aku tak peduli, aku sudah dikhianati. Aku sakit hati.
"Kita putus. Hubungan kita sudah berakhir. Silahkan kamu pacaran dengan siapapun, kamu bebas."
"Raka, aku bisa jelasin semuanya, Raka. Tapi jangan tinggalin aku. Aku mohon!"
"Kita putus. Semoga kamu cepat sembuh. Permisi."
Aku pergi meninggalkan ruangan tempat Windy dirawat. Sampai diparkiran, Krisna memanggilku.
"Aku berhasil, kan, merebut Windy dari kamu?" Ucap Krisna dengan menyombongkan dirinya. Sombong untuk hal seperti itu? Apanya yang dibanggakan?
"Silahkan kamu ambil Windy. Aku enggak masalah," jawabku cuek.
"Kamu tahu apa yang bisa aku berikan pada Windy sampai dia kepincut sama aku?" Krisna berucap serius. Aku memicingkan mata menunggunya berbicara lagi.
Krisna tersenyum miring, sedikit mendekat kemudian berbisik, "aku memberinya kenikmatan yang tak pernah kamu berikan padanya. Pengecut!"
Pukulan ku melayang begitu saja setelah mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia merusak Windy. Selama aku berpacaran dengan Windy, sekalipun aku tak pernah menyentuhnya lebih selain mencium pipi atau kening. Sejauh itu mereka bermain dibelakang ku. Aku terus memukulinya sampai akhirnya Rissa datang mencoba melerai ku. Tapi aku malah tak sengaja memukulnya.
Aku mencoba meminta maaf dengan mengejarnya. Tapi geraknya begitu cepat dan dengan cepat mengendarai mobilnya meningkatkan area parkir.
"Raka!!" Aku menoleh saat ku dengar seseorang memanggil namaku.
"Gendis?" Aku baru bisa mengenalinya saat dia sudah berdiri pas di depanku.
"Ya ampun. Kemana aja kamu? Lima tahun hilang seperti ditelan bumi. Padahal juga masih sama-sama di Jawa tengah tapi enggak ada kabar sama sekali. Aku tuh kemarin pas nikahan pengen ngundang kamu, tapi ibu kamu bilang kamu jarang pulang," cerocosnya tanpa henti. Aku yang mendengarnya saja berulang kali menarik napas ini yang berbicara sama sekali nggak napas. Aku mengusap-usap telingaku seolah aku merasa terganggu. Gendis merengut tak suka dan membuatku tertawa.
"Maaf, ya, aku enggak datang. Ibu kemarin juga bilang, sih, tapi aku belum dapat jatah cuti, jadi enggak bisa datang. Tapi selamat, ya? Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah," ucapku tulus dan Gendis mengaminkannya.
"Ngomong-ngomong kamu kapan pulangnya? Terus tadi kata Rissa calon istri kamu baru aja operasi, ya?" Ini Gendis kenapa semakin cerewet begini, ya? Aku jadi bayangin gimana suaminya mengahadapi Gendis? Haha.
"Aku pulang dua Minggu yang lalu. Aku sudah pindah kantor, itu artinya aku menetap disini. O iya, ralat! Mantan calon istri, bukan calon istri lagi."
"Kenapa bisa?"
Aku mengajaknya duduk di depan kedai jus yang berada di depan rumah sakit. Lalu aku menceritakan semuanya dari awal. Dari yang memergoki Windy dan Krisna berselingkuh. Aku yang baku hantam dengan Krisna, sampai pukulanku yang tak sengaja mengenai Rissa.
"Dia lagi sensitif juga, Ka. Enggak sepenuhnya marah sama kamu kayaknya."
"Kenapa begitu?" Tanyaku heran.
"Iya, mamanya itu maksa banget supaya Rissa cepat menikah. Tapi Rissa, kan, enggak punya pacar. Pusing sendiri dia," jawabnya sambil terkekeh pelan. Rissa diminta buat cepat menikah? Sedangkan Rissa tak punya pacar? Secantik Rissa tak punya pacar?
"Kenapa? Tertarik buat deketin Rissa?" Tebak Gendis.
"Enggaklah. Kamu tahu kita bagaikan minyak dan air kalau bertemu." Elakku cepat. Memang aku tak menginginkan untuk menikah dengan Rissa. Sama sekali tidak berharap.
"Ya udah, aku pamit, ya, Ka. Suami aku udah nunggu dirumah," ucapnya sumringah.
"Iya, deh, yang udah nikah. Bawaannya ke kasur mulu," celitukku yang justru disambut tawa oleh Gendis.
"Habis enak, sih," serunya tanpa ditutup-tutupi. Aku tertawa mendengarnya.
***
"Kok malah pulang, Le? Windy gimana?" Tanya ibu saat baru saja aku mendudukkan tubuhku diatas sofa. Aku menghela napas panjang. Apa iya aku harus jujur pada ibu?
Kemarin ibu sudah begitu senang mendengar aku akan segera mengenalkan calon istri kepadanya. Bagaimana jadinya kalau sekarang aku mengatakan kalau hubunganku dengan Windy sudah berakhir.
"Tadi kerabatnya datang, Bu. Minta Windy agar bisa dirawat di Semarang. Kita konsultasi ke dokter, dan dokter membolehkan. Dan sekarang Windy sudah pulang ke Semarang, Bu," aku terpaksa berbohong. Tak tega merusak kebahagiaan ibu. Meskipun aku yakin setelah ini akan ada kebohongan-kebohongan yang muncul satu persatu.
"Kok kamu ndak ngabarin ibu, Le? Ibu kan belum sempat bertemu Windy," ucap ibu sedikit kecewa.
"Maaf, Bu. Kerabat Windy terlihat buru-buru. Raka nggak sempat mengabari ibu. Lain kali kita bisa rencanakan lagi biar bisa ketemu, Bu."
Meskipun sedikit terpaksa, ibu mengangguk juga akhirnya. Ibu memakluminya.
***
"Pokonya ibu mau cepet ketemu Windy, Ka. Kamu harus cepat menikah. Bapak dan ibu itu semakin tua, kami ingin melihat cucu dari kamu," ucap ibu saat kami baru saja selesai makan malam.
"Kan dari Mbak Tya juga sudah ada cucu, Bu," aku mencoba mencari alasan.
"Ibu juga mau cucu dari kamu. Ibu nggak mau tau, bulan depan bawa calon istri kamu kesini!" Tegas ibu lalu ibu beranjak dari tempat duduknya mulai membereskan meja makan.
Bapak hanya melihatku dengan senyuman mengejek. Dalam hal berdebat, ibu memang juara diantara kami. Tapi ibu juga paham saat dia harus mendebat atau menuruti ucapan bapak.
Bulan depan? Bagaimana mungkin? Aku baru saja putus dengan Windy. Tidak mudah menemukan pengganti yang merasa pas di hati dalam waktu sebulan saja.
Aku beranjak ke kamar. Barangkali aku bisa lebih leluasa berpikir saat didalam kamar.
Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang. Memikirkan ucapan ibu. Sebulan? Aku harus bagaimana?
🌹 Rissa 🌹
Alangkah terkejutnya Kurnia saat mendapati anak sulungnya pulang dalam keadaan pipi yang sedikit membiru.
"Ya Allah Gusti.. Ini pipi kamu kenapa?" Teriak Kurnia sambil memegangi pipi Rissa yang lebam. Rissa hanya meringis pelan saat tak sengaja bagian lebam itu tersentuh oleh Kurnia.
"Kamu berantem? Sama siapa kok bisa sampai kayak gini? Anak perempuan kok begini amat, ya Allah. Pantas kamu ndak nikah-nikah. Wong kelakuannya kayak begini," Kurnia mengomel tiada henti.
Entah kenapa, setiap Rissa melakukan sesuatu yang salah, Kurnia selalu menyangkut pautkan dengan pernikahan.
Dibilang terlalu urakan, terlalu bar-bar. Menurut Kurnia, itu salah satu penyebab anak sulungnya itu tidak punya pacar atau bahkan calon suami.
Benar-benar suatu pemikiran yang tidak masuk akal!
"Bunda ratu, biar Rissa jelaskan dulu, ya? Ini bukan karena Rissa berantem. Tapi kena pukul saat Rissa sedang mencoba melerai orang yang lagi berantem," Rissa mencoba menjelaskan.
"Makanya jangan sok pahlawan. Ngurus diri sendiri saja belum bisa kok pakai ngurusin urusan orang lain."
Okey! Bunda ratu memang selalu benar. Apa yang Rissa ucapkan didepan Kurnia selalu salah.
Rissa merasa heran, Mamanya itu menjadi lebih sensitif karena Rissa yang tak kunjung menikah.
"Mama mau kamu kenalan sama anaknya teman Mama," ucap Kurnia sambil mengoleskan salep ke pipi Rissa.
"No, Mama! Rissa nggak mau!" Rissa menggeleng kuat.
Rissa trauma. Dulu sempat beberapa kali Kurnia mencoba mengenalkan Rissa pada anak temannya. Tapi semua tidak ada yang benar. Ada yang orangnya masih seperti anak kecil, yang disenggol sedikit saja menangis. Ada yang terlalu galak, dan terlalu kuat. Bahkan gelas saja bisa pecah hanya dengan digenggam olehnya. Rissa bergidik ngeri melihatnya.
Yang lebih parah lagi, ada juga yang orangnya sedikit melambai. You know what?
"Kenapa nggak mau?" Kurnia menatap tajam Rissa.
"Mama ingat enggak yang pernah Mama kenalin ke Rissa kayak gimana bentukannya? Rissa nggak mau, Ma. Rissa punya pacar, kok. Nanti, deh, Rissa bawa pacar Rissa kesini."
Setelah berucap, Rissa merasa bingung sendiri. Kali ini baru dia sadar kalau mulutnya memang minta di lakban.
Kurnia yang mendengar ucapan Rissa pun membelalakkan matanya tak percaya.
"Bener yang kamu bilang?" Rissa mengangguk kaku. "Oke.. Hari Kamis sore bawa kesini!"
"Ma, tapi.." Rissa mencoba berkilah.
"Enggak ada tapi-tapian. Hari Kamis kamu nggak bawa pacar kamu kerumah, Mama jodohin kamu sama anak teman Mama."
Kurnia berlalu, Rissa menepuk keningnya. Frustasi.
'Siapa yang mau aku bawa, ya Allah??'
***
Hari libur, Rissa menggunakan waktunya untuk refreshing sejenak. Rissa mengajak Gendis untuk bertemu di salah satu cafe. Ia pikir butuh saran dari Gendis untuk masalahnya. Atau mungkin Gendis punya teman yang bisa dijadikan "pacar bohongan".
Rissa mematut dirinya didepan cermin. Ia pandangi lekat-lekat wajahnya. Rissa cantik, diusianya yang ke 27 Rissa masih terlihat seperti usia 17 tahun. Rissa sering melakukan perawatan untuk menunjang penampilannya.
Tapi entah kenapa Rissa tak pernah berniat untuk pacaran. Seumur hidupnya, Rissa pernah berpacaran satu kali saat dia kelas 10. Itupun hanya bertahan seminggu karena Rissa yang mengeluh malas punya pacar yang menurutnya ribet.
Rissa malas karena setiap malam diajak telponan. Belum lagi SMS yang meminta Rissa terus mengabari dimana dan sedang apa dirinya. Rissa tak tahan dengan semuanya.
Entah kenapa, sampai sekarang Rissa masih merasa malas untuk menjalin hubungan dengan serius. Kalau bukan karena mamanya yang begitu mendesaknya untuk segera menikah, Rissa tak ingin repot-repot mencari pacar bohongan untuk dibawa ke hadapan mamanya.
Sesampainya di cafe, Gendis sudah duduk manis menunggu Rissa. Rissa menjadi tak enak hati. Rissa uang mengajak Gendis bertemu, tapi Gendis yang harus menunggu dirinya.
"Maaf, ya, lama," ucap Rissa merasa tak enak hati.
"Udah biasa, sih," canda Gendis. "Jadi gimana?"
"Ya kayak yang aku bilang di telpon kemarin, Dis. Kira-kira kamu ada nggak temen yang bisa aku pinjem buat jadi pacar bohongan aku?"
"Kenapa harus bohongan, sih? Kenapa enggak beneran aja? Kalau bohongan nanti kamu sendiri yang repot kalau Tante Kurnia minta kalian buat segera menikah," Rissa merasa apa yang diucapkan Gendis benar adanya. Sejujurnya, Rissa juga takut akan hal itu. Bagaimana kalau Kurnia langsung memintanya menikah setelah mengenalkan pacar bohongannya?
"Yang penting Mama nggak jodohin aku sama anak temannya dulu, Dis. Kamu tahu, kan, pengalaman aku soal hal itu. Aku nggak mau terulang lagi," keluh Rissa putus asa.
Gendis tertawa keras mengingat penderitaan Rissa saat Kurnia mengenalkannya dengan anak dari teman-temannya.
"Puas banget, ya, Bu, ketawanya?" Rissa menyindir. "Jadi ada apa enggak?" Tanya Rissa tak sabaran.
Gendis nampak berpikir. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja pertanda ia sedang berpikir keras. Gendis mencoba menerawang, matanya melihat kesana kemari.
"Raka!!"
Rissa yang mendengarnya terlihat terkejut. "Kenapa Raka, sih?" Tanya Rissa tak suka.
"Ih, itu ada Raka disana. Aku panggil dia. Raka!!" Gendis kembali memanggil Raka.
"Enggak usah dipanggil kenapa, sih?" Rissa merengut tak suka.
Terlambat. Raka sudah menghampiri mereka. Duduk disebelah Rissa tanpa permisi. Rissa melengos tak mau melihat Raka.
"Apa kabar, Ris? Pipinya masih sakit?" Tanya Raka dengan rasa bersalah.
"Baik. Sudah baikan, kok," jawab Rissa pelan.
"Jadi kalian sedang apa disini?" Tanya Raka pada Gendis dan Rissa.
"Begini lho, Raka.."
Rissa menyenggol kaki Gendis dengan kakinya. Matanya melotot pertanda dia melarang Gendis untuk tidak menceritakan semuanya pada Raka. Tapi senyuman Gendis mengisyaratkan sesuatu.
"Begini, Raka. Rissa itu sudah terlanjur bilang sama mamanya kalau dia punya pacar, padahal aslinya enggak."
Ucapan Gendis benar-benar membuat Rissa malu. Rissa memilih menunduk sambil mengaduk-aduk jus alpukatnya. Rissa juga tak ingin melihat Raka. Malu.
"Dia bilang begitu karena merasa risih dengan mamanya yang terus memaksa Rissa buat nikah atau dikenalin sama teman mamanya," Gendis melanjutkan ceritanya. Sedangkan Raka mendengarkan Gendis dengan seksama.
"Gendis udah, ya? Aku nggak jadi minta solusi dari kamu."
"Eh, tunggu!" Gendis menahan langkah Rissa saat Rissa mulai beranjak untuk pergi. Mau tak mau, Rissa kembali duduk.
"Kamu mau, kan, Raka, jadi pacar bohongannya si Rissa?"
Rissa membelalakkan matanya mendengar ucapan Gendis. Dari sekian banyak teman yang Gendis miliki, kenapa harus Raka?
"Dis, jangan ngacau kamu!" Protes Rissa. Rissa sama sekali tak setuju kalau Raka yang menjadi pacar bohongannya.
"Aku, sih, nggak masalah." Jawab Raka enteng.
"Aku yang masalah. Aku nggak mau! Raka kan punya calon istri, aku nggak mau disebut perebut pacar orang," Rissa masih saja keras kepala.
"Aku sudah putus," celetuk Raka membuat Rissa terkejut.
Kemarin baru saja orangtua Raka bilang kalau Raka sudah punya calon istri. Ini kenapa Raka bilang sudah putus?
"Tuh, dengar sendiri, kan? Udah, deh. Lagian juga waktu tinggal empat hari. Besok juga kerja, mana sempat kamu cari lagi!" Ucap Gendis.
Rissa membenarkan ucapan Gendis. Dia sudah tak punya banyak waktu lagi.
"Oke! Tapi ingat, Raka, ini cuma pura-pura. Jangan baper!" Rissa memberi ultimatum pada Raka.
Raka tersenyum tipis. " Hati-hati kalau bicara. Kebalik baru tahu rasa kamu!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!