NovelToon NovelToon

Biarkan Aku Bahagia

Sayang

Dalam sorot lampu yang tidak begitu terang, diatas ranjang besar yang begitu nyaman, dalam balutan selimut tebal itu ada dua tubuh yang menyatu.

Rintihan, *******, tangisan, terdengar seolah menyempurnakan malam ditengah guyuran hujan deras.

"Hentikan," ucap Nabilla lemah.

"Sabarlah, sebentar lagi ini akan berakhir."

Hentakan itu dirasa semakin menyakitinya, ini sudah terlalu lama, Nabilla tidak tahan lagi dengan keadaan ini.

Nafas keduanya tertahan, saat Nabilla mendengar erangan dari mulut Axel, hingga pergerakan itu terhenti dan tubuh Axel yang menimpa tubuhnya.

"Ini menyenangkan, kamu begitu hebat."

Nabilla memejamkan matanya, suara Axel terdengar menakutkan oleh telinganya.

Berulang kali Axel menciumi wajahnya, apa yang telah dilakukannya, bisa sekali Nabilla memberikan tubuhnya seperti itu.

 -----

"Nabilla, bangun Sayang."

Nabilla terusik dari tidurnya, ia melihat sekitar, ruangan itu dikenalinya.

"Billa."

Nabilla duduk, ia melihat jam di meja sampingnya, jam 7 pagi.

"Nabilla, kamu belum bangun?"

"Aku sudah bangun, aku akan keluar 10 menit lagi."

Tak ada jawaban, Nabilla menggacak rambutnya, gerah sekali pagi ini.

Ia lantas turun dan berjalan ke kamar mandi, kegiatan rutin pagi hari membersihkan tubuh, adalah hal yang senang dilakukan Nabilla.

Wanita berusia 22 tahun itu sangat menyukai air, ia selalu berlama-lama jika sedang berurusan dengan air.

"Mana Nabilla?"

"Dia baru saja bangun, katanya 10 menit akan turun."

"Bohong sekali dia."

Di ruang makan, Wika dan Hendra tampak berbincang, mereka adalah orang tua Nabilla.

Selang beberapa saat, Nabilla akhirnya turun, ia tersenyum menyapa kedua orang tuanya.

"Benar ya 10 menit," ucap Hendra.

Nabilla mengangguk pasti, setelah memeluk keduanya bergantian, Nabilla lantas duduk dan langsung mengisi piring makannnya.

"Apakah kamu lapar sekali?" tanya Wika.

"Aku tidak makan sejak kemarin, pastilah aku lapar sekali."

Ketiganya tersenyum bersamaan, baguslah Nabilla masih suka makan, wanita itu sangat takut dengan berat badan berlebihan sehingga selalu saja menunda makan.

"Nabilla, Mama sama Papa mau pergi ke luar Kota, kamu mau ikut?" tanya Hendra.

"Tidak, mana bisa seperti itu, bagaimana dengan pekerjaan ku nanti."

"Seharusnya Papa tidak perlu pertanyakan itu, jawabannya sudah bisa ditebak."

Hendra tersenyum dan mengangguk, mungkin saja Hendra mengharap jawaban lain kali ini.

Tapi ya sudahlah, Nabilla memang selalu saja memikirkan pekerjaannya, bahkan meski ia adalah pemimpin perusahaan yang bisa saja memberikan perintah pada yang lain.

"Berapa lama kalian pergi?"

"Kali ini kita akan lama pergi, makanya kami ajak kamu juga."

"Baiklah, bersenang-senanglah Papa sama Mama, jangan fikirkan aku disini, aku sudah biasa ditinggalkan sendirian."

"Apa kami harus siapkan pembantu?"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

"Baiklah, tentu saja Mama percaya kalau kamu anak yang mandiri."

Nabilla tersenyum, ia menarik turunkan alisnya penuh kebanggaan.

Nabilla bukan orang yang manja, dia selalu bisa melakukan semuanya sendiri, bertanggung jawab atas langkahnya sendiri.

"Bagaimana kabar Axel, kenapa beberapa hari ini dia tidak terlihat datang?" tanya Hendra.

Pertanyaan Hendra seketika menghentikan kegiatan makan Nabilla, ekspresinya berubah muram.

Wika yang menyadari itu cukup heran, karena biasanya Nabilla selalu antusias jika membahas tentang Axel.

"Kalian sedang bertengkar?" tanya Wika.

Nabilla menoleh, ia hanya menjawab dengan senyuman saja.

"Tidak masalah, itu hal biasa, kalian akan semakin saling mengenal satu sama lain setelah kalian berhasil melewati permasalahannya."

Nabilla mengangguk, ia meneguk minumannya, selera makannya seketika hilang karena ucapan Wika.

"Hari ini kalian akan bertemu?" tanya Hendra.

"Tidak, aku sedang tidak ingin keluar rumah."

"Baiklah, manfaatkan waktu libur mu untuk istirahat."

Nabilla tersenyum, dan kembali menikmati makanannya, bisakah mereka berhenti berbicara saja saat ini.

Bukankah mereka juga sedang makan, jadi lebih baik fokus saja pada makanannya sendiri.

"Oh iya, lupa mau tanya, bagaimana keadaan Kantor?"

"Baik-baik saja, aku sedang mencari orang untuk ganti Dira."

"Kenapa Dira?" tanya Wika.

"Dia disuruh berhenti kerja sama Suaminya, katanya sedang hamil gitu."

"Oh pantas saja."

Nabilla mengangguk, sebenarnya itu tidak bisa untuk diterimanya, tapi mau bagaimana lagi sekarang Dira sudah memiliki kehidupan sendiri.

Semoga saja Nabilla bisa dapat pengganti yang sama seperti Dira, jujur dan memang bertanggung jawab.

"Kamu harus hati-hati, jangan asal terima, tanggung jawabnya besar kalau bagian keuangan," ucap Hendra.

"Itulah, dari kemarin aku tidak dapatkan yang pas."

"Masih dibuka lowongannya."

"Sampai lusa."

Hendra mengangguk, perusahaan yang diberikan pada Nabilla memang sudah dilepaskan sepenuhnya oleh Hendra.

Semua hal tentang perusahaan itu, sudah sepenuhnya tanggung jawab Nabilla, dan selama ini Hendra tidak pernah merasa kecewa dengan hasil kerja Nabilla.

"Nabilla, kamu sudah bicarakan soal pernikahan dengan Axel?" tanya Wika.

"Apa sih Mama, malas ah bahas kayak gitu."

"Tapi kamu harus mulai memikirkannya sekarang, mau sampai kapan kamu sendirian seperti ini, tidak selamanya kami akan ada bersama mu."

"Sudah, diam saja lebih baik Mama makan jangan banyak bicara, itu bukan bahasan penting untuk saat ini."

Wika melirik Hendra, lelaki itu hanya bisa menggeleng melihat dan mendengar respon Nabilla tentang pernikahan.

Mereka sudah menginginkan Nabilla agar segera menikah, lagi pula bukankah sudah pas untuk Nabilla menikah diusianya yang sekarang.

"Oh iya, Mama bukannya mau bawa anaknya Bu Fani kesini, kapan?"

Wika justru mengernyit, kenapa tiba-tiba Nabilla bertanya tentang itu, padahal sudah lama Wika tidak pernah membahasnya lagi.

Merasa tidak ada jawaban, Nabilla menoleh dan diam menatap Wika, apa pertanyaannya salah, tapi itu yang terlintas difikirannya.

"Kenapa, Mama pernah bilang itu kan?"

"Tapi itu dulu, tidak ada lagi bahasan tentang itu, mungkin sudah batal rencanya."

"Kenapa?"

"Gak tahu, katanya anaknya gak mau, dia mau bekerja disana saja."

Nabilla mengangguk, baiklah itu cukup bisa untuk dimengerti, lagi pula itu hanya agar ada topik pembicaraan saja.

Sekedar mengalihkan perhatian mereka dari Axel dan segala gosip pernikahan, Nabilla teramat malas jika harus membahas itu.

"Habis ini kamu mau kemana?" tanya Hendra.

"Mau tidur lagi," jawab Nabilla seraya nyengir tak bersalah.

"Keluarlah dulu, cari dulu angin segar."

"Iya, nanti aku akan ke halaman belakang."

Hendra mengangkat kedua alisnya, bukan itu jawaban yang diinginkannya, jika hanya ke halaman belakang saja tidak ada yang aneh.

Hendra meneguk minumannya, makanannya telah habis saat ini, dan perutnya pun sudah kenyang.

"Papa ke atas dulu."

"Iya," sahut Wika.

Nabilla mengangguk saja, ia masih harus menghabiskan makanannya sekarang.

Wika tampak senang melihat makan Nabilla yang memang lahap, jika saja selalu seperti ini, mungkin Nabilla akan sedikit lebih gemuk.

Tapi Nabilla terlalu mencintai bodynya yang sekarang, dan Wika juga mendukungnya, karena itu memang pas untuk putrinya.

Kembali

Dibandara, satu orang terlihat gelisah menantikan kedatangan seseorang, sudah satu jam ia menunggu dan belum mendapatkan hasil.

"Mami."

Wanita yang sejak tadi mematung itu menoleh, ia begitu terpesona dengan lelaki tampan yang berjalan kearahnya.

Jaket hitam yang tak ditutup menunjukan baju cokelat di baliknya, celana jeans cokelat dan kacamata cokelatnya.

Rambut yang sedikit panjang, sehingga tampak sedikit berponi, ia membawa begitu banyak barang di tangannya.

"Mami," teriaknya setelah sampai di hadapan.

Tanpa berkata apa pun, wanita itu segera memeluknya erat, semua bawaan itu dilepaskan begitu saja demi bisa membalas pelukan tersebut.

"Mami, aku merindukan mu."

"Apa lagi Mami."

Keduanya tersenyum, pelukan itu dilepas, wanita itu kembali menatap lelaki di depan matanya.

Dua tahu lalu sosoknya tidak sesempurna saat ini, lelakinya sangat berubah, perubahan baik yang sangat disukainya.

"Raffa, kamu baik-baik saja sekarang?"

"Tentu saja, aku sangat baik sekarang, aku sudah berhasil bangkit dari keadaan yang menghancurkan, aku kembali dengan hidup baru dan Mami harus tetap menyayangi aku meski sekarang aku berbeda, karena aku tetap menyayangi Mami Renata ku sampai detik ini."

Renata tersenyum, ia kembali memeluk putranya itu, mereka berpisah selama dua tahun lamanya.

Raffa memilih pergi setelah ia ditinggalkan oleh kekasihnya Gladis, wanita yang teramat dicintainya harus meninggal dunia karena depresi.

"Mami, kemana yang lain?"

"Tidak, Mami tidak ajak siapa pun, kita akan berdua saja."

Raffa tersenyum, itu akan sangat menyenangkan, keduanya bergegas pergi dengan membawa barang bawaan Raffa tadi.

Keluar dari Bandara, mereka akan makan di salah satu tempat, menghabiskan waktu berdua saja sebelum nanti pulang ke rumah.

"Aku merindukan masakan Mami."

"Besok akan Mami siapkan yang spesial."

Raffa tersenyum dan mengangguk, ia melihat sekitar, rindu sekali Raffa dengan kehidupan di kota kelahirannya itu.

Dua tahun minggat, sudah membuatnya jauh lebih baik, Raffa akan hidup dengan arah yang terbaik dari pada sebelumnya.

"Pak, Restauran depan berhenti, Pak," ucap Raffa.

"Kenapa harus disana?"

"Aku tidak melupakan Gladis sampai saat ini, aku masih mengenangnya dengan sempurna, dan aku ingin mengingat semua hal manis tentangnya disana."

Renata mengangguk, ia mengusap pundak Raffa, kehancuran yang dirasakan Raffa mungkin tidak bisa Renata rasakan dengan sempurna.

Tapi sedikit banyak, Renata ikut hancur saat calon menantunya itu meninggal dalam keadaan yang menyedihkan.

"Silahkan, Pak."

"Mami, Mami mau temani aku meski disini?"

"Tentu saja, ayo kita makan disana."

Keduanya keluar, mereka berjalan dengan tangan kosong, semua barang bawaan Raffa ditinggal di mobil.

Raffa langsung memilih tempat favoritnya bersama Gladis, Renata pun tak banyak bicara karena ia tahu persis seperti apa kebiasaan pasangan kekasih itu dulu.

"Mami, pesanlah yang banyak, aku yang akan teraktir Mami."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

"Baiklah, mana ini waitersnya."

"Permisi, silahkan mau pesan apa?"

Renata langsung memesan apa yang diinginkannya, ia tidak ragu memesan banyak meski sadar tidak akan habis.

Raffa juga tidak keberatan dengan itu, mereka akan banyak makan saat ini, dan saat sampai rumah mereka tinggal tidur saja.

"Ada yang lain?"

"Sudah itu saja."

"Masnya?"

"Tidak, itu sudah cukup, bawakan double jus strawberry."

"Baik, mohon menunggu."

Raffa mengangguk, ia membuka kacamatanya, merapikan rambutnya yang mungkin saja berantakan.

Raffa melihat sekitar, hingga matanya berhasil menemukan dua sosok yang sepertinya salah satunya dikenali Raffa.

"Mami."

"Apa?"

"Lihatlah itu?"

Renata melihat arah pandang Raffa, ia seketika menatap Raffa memastikan ekspresinya tetap tenang.

Dan benar, sorot matanya tampak biasa saja, tidak ada lagi sorot mata yang penuh kebencian dan dendam seperti dua tahun lalu.

"Dia sudah punya pengganti?"

"Iya, mereka sudah bersama selama 7 bulan belakangan."

"Dia memperlakukannya dengan baik?"

"Kita semua mengenalnya seperti apa, itu tidak perlu ditanyakan lagi."

Raffa tersenyum seraya menunduk, hal yang sama tidak akan Raffa biarkan terjadi untuk kedua kalinya.

Raffa akan melindunginya, siapa pun dan seperti apa pun, Raffa akan melindunginya, sekali pun mungkin mereka sama-sama saling menginginkan.

"Raffa, are you oke?"

"I'am fine."

Renata mengangguk, ia menggenggam tangan Raffa, seperti apa pun keadaannya sekarang Renata yakin jika putranya telah menjadi lebih kuat lagi.

"Silahkan pesanannya."

Keduanya menoleh, sampai tiga orang yang mengantarkan pesanan Renata tadi, hebat sekali wanita itu menyusahkan orang lain.

Raffa hanya bisa tersenyum melihat kelakuan sang mama, ini pertemuan pertama yang menggemaskan.

"Selamat menikmati."

"Terimakasih banyak," ucap Renata.

Mereka mengangguk lantas pergi meninggalkan keduanya, Renata melirik Raffa, lelaki itu mengangguk santai.

Tanpa buang waktu mereka menikmati hidangannya, membuat momen berdua dengan amat manis.

Raffa memperlakukan Renata sudah seperti kekasihnya sendiri, menyuapinya dengan hati-hati, membersihkan noda di bibirnya, membantunya minum dan banyak hal manis lainnya.

"Rasanya masih tetap sama, konsisten sekali tempat ini," ucap Raffa.

"Bagus dong, jadi tidak menghilangkan ciri khasnya."

"Aku akan sering kesini lagi."

"Lakukan yang membuat mu bahagia."

Raffa tersenyum, mereka kembali menikmati makanannya, tentu saja mereka harus bisa menghabiskan semuanya.

Tapi jika memang tidak bisa, paling tidak mereka sudah sempat mencicipinya, jadi tidak sia-sia karena telah memesannya.

"Raffa, kamu mau tinggal di rumah mana?"

"Aku tinggal sama kalian saja."

"Tidak perlu memaksakan."

"Aku tidak apa-apa, tenang saja, aku akan baik-baik saja tidak akan merusak suasana."

Renata mengangguk, tentu saja ia percaya dengan itu, Raffa adalah anak kesayangannya sejak dulu.

Semua yang dikatakan Raffa tidak pernah mengecewakannya, bahkan saat Raffa hancur terpuruk pun, Raffa tidak pernah mengecewakan Renata.

"Kamu akan bekerja bareng Papi?"

"Tidak, aku akan mencari pekerjaan ku sendiri, aku mau jadi karyawan biasa."

"Raffa."

"Itu bukan masalah Mami, aku selama di LA juga bekerja jadi karyawan Cafe."

"Tapi ini berbeda."

Raffa menggeleng, ia merasa lebih leluasa menjadi karyawan biasa dibandingkan jadi seorang pemimpin.

Biarkan saja bukankah ada yang lain yang lebih menginginkan jabatan itu, Raffa tidak mau memikirkan itu sekarang.

"Mami hanya harus dukung dan doakan aku saja, aku sudah katakan kalau sekarang aku sudah berubah dari yang dulu."

"Mami hanya khawatir saja."

"Tidak perlu, aku akan baik-baik saja karena sekarang aku sudah tahu harus seperti apa menjalani hidup."

"Semangat, Sayang."

Keduanya tersenyum, Raffa menikmati jus strawberry kesukaannya, tentu saja itu sangat membuatnya lebih segar lagi.

Perlahan tapi pasti semua pesana itu habis, maklumlah hidangan restauran meski harganya mahal, tapi porsinya hanya sedikit.

Raffa dan Renata merasa puas dengan kebersamaannya kali ini, pertemuan pertama setelah dua tahun mereka berdua berpisah jarak dan waktu.

Mental Ku Oke

"Mami mau langsung tidur?" tanya Raffa.

"Iya, Mami lelah sekali, besok saja kamu rapikan ini dan sekarang kamu juga istirahat."

"Siap."

Renata mengusap pundak Raffa, mencium kepalanya sayang, hingga mereka berpisah menuju kamar masing-masing.

Langkah Raffa terhenti di depan kamar Axel, ia mendengar keributan kecil di sana, ada suara wanita menangis juga.

Raffa melihat jam di pergelangan tangannya, sudah larut malam dan masih ada perempuan di kamar Axel.

"Gak, jangan selalu seperti ini."

"Kenapa kamu jadi pembangkang sekarang, diamlah."

"Gak, aku gak mau."

Brakk ....

Keduanya menoleh saat pintu itu terbuka sedikit kasar, Axel segera menjauhi Nabilla, ia mengernyit melihat sosok Raffa di sana.

Kedatangan Raffa berhasil membuat Nabilla bebas dari ancaman Axel, Nabilla segera berlalu ke kamar mandi.

"Hey, kau sudah kembali," ucap Axel menghampiri.

Raffa hanya mengangguk singkat dan kembali melirik pintu kamar mandi itu, benar, wanita itu memang yang sempat dilihatnya di tempat makan tadi.

"Apa kabar Adik ku?"

Axel memeluk sekilas Raffa, tidak ada respon untuk itu sedikit pun juga.

"Bagaimana keadaan mu, kau sudah membaik sekarang, Dokter mu sudah mengizinkan kau pulang rupanya."

Raffa hanya diam saja menatap Axel, dua lelaki itu memanglah saudara kandung, kakak beradik yang berhubungan buruk sejak mereka dewasa.

Terlebih saat kepergian Gladis, sosok Axel adalah musuh terbesar di hidup Raffa yang begitu sulit untuk dihilangkannya.

"Semoga kau tetap bahagia setelah ini," ucap Raffa tenang seraya menepuk pundak Axel.

"Kau bukan apa-apa," sahut Axel menepis tangan Raffa.

"Semoga saja."

Keduanya menoleh saat pintu kamar mandi terbuka, wanita itu tampak rapi kembali setelah tadi cukup berantakan.

Axel segera mendorong pintu kamarnya, tapi Raffa menahannya dengan kuat, keduanya kembali bertahan dalam tatapan satu sama lain.

"Jangan menganggu ku," ucap Axel dingin.

"Itu akan selalu ku lakukan," sahut Raffa tak kalah dingin.

"Baiklah, kita keluar saja sekarang."

Raffa menarik Axel hingga keluar kamar, ia menutup pintunya kasar dan kembali menarik Axel keluar rumah.

"Kurang ajar sekali kau ini."

Raffa sedikit mendorongnya, ia menepukan tangannya berulang kali seperti membersihkan debu.

"Mau apa membawa ku kesini?"

"Untuk memperingatkan mu jika aku telah kembali, aku telah menjadi versi terbaru yang bahkan kau sendiri tidak akan mengenalinya."

"Jelas saja, kau adalah pasien Rumah Sakit Kejiwaan, bagaimana bisa aku mengenali mu?"

Raffa tersenyum seraya mengangguk santai, baiklah itu anggapan buruk, tapi Raffa tidak perduli sama sekali.

Raffa merasa sehat sekarang, dan waktu kemarin pun ia tidak gila, hanya saja memang mentalnya sedang down karena kepergian Gladis.

"Move on," ucap Axel.

"Tentu saja, aku akan melakukan hal yang sama seperti kau dulu."

"Kau berani melakukannya."

"Dia tidak akan selamanya jadi milik mu, kau harus siap-siap untuk terjatuh."

Axel mengangguk, ia bertepuk tangan untuk ucapan Raffa, sayangnya itu hanya lelucon baginya.

"Aku mau pulang."

Keduanya menoleh, Raffa menantap wajah cantik itu, raut wajah soft dan sorot mata yang begitu tenang.

"Nabilla," panggil Axel.

"Aku mau pulang."

"Kita belum selesai."

"Kamu memang seharusnya pulang, ini sudah larut malam," ucap Raffa.

Nabilla menoleh, kini gantian Nabilla yang menatap Raffa, entah siapa lelaki itu karena Nabilla tidak pernah melihatnya sebelum malam ini.

Raffa mengangguk perlahan, senyumanya sedikit terlihat, dan itu membuat Nabilla berpaling cepat.

"Bahkan dia menolak mu dengan cepat," ucap Axel menarik Nabilla ke sisinya.

"Tidak masalah, dia belum mengenal ku, ini baru dimulai."

Nabilla sedikit mengernyit mendengar kalimat Raffa, apa maksudnya, siapa sebenarnya lelaki itu.

Raffa menghembuskan nafasnya sekaligus, lelah sekali ia saat ini, rasanya tidak ada waktu lagi untuk bersama mereka berdua.

"Pergilah, pulang ke rumah mu segera," ucap Raffa.

"Dia akan tetap bersama ku, sebaiknya kau yang pergi."

Raffa mengangguk, ia kembali menatap Nabilla beberapa saat, tekadnya sudah bulat sejak awal.

Axel yang terbukti belum berubah sampai saat ini, tidak akan Raffa biarkan menghancurkan hidup seorang wanita lagi.

"Berhenti menatapnya, dan kamu tidak perlu hiraukan itu, dia lelaki kurang waras," ucap Axel.

"Aku tahu kamu wanita pintar, buktikan sendiri ucapan lelaki mu itu tentang ku, selamat malam dan jaga dirimu baik-baik."

Raffa berlalu begitu saja, Nabilla melirik Axel yang tampak begitu kesal karena lelaki tadi.

Kenapa lelaki itu masuk rumah Axel, apa mereka tinggal bersama, atau mungkin mereka adalah saudara.

"Kamu menyukainya?" tanya Axel.

"Siapa dia, kenapa dia malah masuk ke rumah mu?"

"Aku sudah katakan, dia adalah lelaki kurang waras."

Nabilla mengernyit, benarkah seperti itu, tapi sejak tadi lelaki itu bisa berbicara dengan benar, tanpa gangguan apa pun.

Axel menarik Nabilla memasuki mobilnya, Nabilla sempat menolak untuk itu, Nabilla ingin pulang sendiri saja.

"Masuk."

"Aku gak mau."

"Kamu masih membantah."

"Aku mau pulang sendiri, aku bisa pulang sendiri."

Axel berdecak, ia lantas mendorong Nabilla agar memasuki mobil, setelahnya ia pun masuk.

Mobil melaju meninggalkan rumah, mereka tak sadar jika di balik gordeng sana ada Raffa yang melihatnya.

"Bagus sekali tingkah lakunya, dia akan mengulangi kesalahan yang sama kali ini."

Raffa menggeleng, ia menutup gordengnya dan berbaring di tempat tidurnya.

Kembalinya Raffa adalah untuk memberbaiki keadaan, sejauh ini Raffa masih berharap hubungannya dengan Axel akan membaik.

"Itu akan terjadi jika dia mau berubah, berhenti bersikap semena-mena, apa lagi merendahkan perempuan."

Raffa diam menatap langit-langit kamarnya, ia teringat wajah Nabilla, dan harus diakuinya kalau Axel memang pandai memikat wanita cantik.

Tapi sayang, Axel tidak bisa menjaganya dengan baik, bagaimana bisa Nabilla bertahan selama tujuh bulan lamanya dengan lelaki seperti Axel.

"Apa dia menderita, atau bahkan bahagia, tapi tadi dia menangis."

Raffa tersenyum singkat, tidak perlu banyak berfikir, semua sudah jelas jawabannya.

Nabilla dan Axel adalah kesalahan, dan Raffa akan membuktikannya sesegera mungkin, mereka akan terpisah jika Axel tak mampu berubah.

"Axel, aku mau putus."

Axel seketika menginjak remnya, nyaris saja keduanya terbentur karena hal itu.

"Apa kamu gila?" tanya Nabilla.

"Kontrol bicara mu."

"Aku sudah fikirkan ini, dan aku gak mau lagi dengan hubungan ini."

Axel mengangguk, berani sekali Nabilla berkata seperti itu, apa wanita itu tidak berfikir akan seperti apa nasibnya setelah lepas dari Axel.

"Jadi kamu siap dicemooh semua lelaki, kamu lupa apa yang sudah kita lakukan, kamu sudah kehilangan masa depan mu, apa masih ada lelaki yang mau dengan mu, barang bekas."

Nabilla diam, kalimat Axel begitu melukai hatinya, lelaki itu memang tidak punya perasaan sama sekali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!