. "Maaf! Rama adalah pacarku sekarang." Arisa mengucap dengan lantang seraya meraih lengan Rama didepan seluruh teman sekelasnya. Keadaan yang semula bising kini berubah hening ketika pengakuan tersebut di lontarkan dari mulut Arisa langsung. Melihat situasi sudah membaik, Rama membawa Arisa ke halaman yang berada di samping sekolah. Ditatapnya dengan dalam manik cokelat milik Arisa yang sayu dan teduh namun menyimpan sebuah keceriaan di baliknya.
"Maaf Rama. Tapi aku tidak mau tersenyum lagi. Semakin aku tersenyum menuruti keinginanmu, semakin banyak siswa laki-laki yang menggangguku. Aku tak suka dan aku juga tak menyukai mereka."
"Tidak Aris. Bukan itu maksudku? Apa maksudmu mengatakan bahwa aku adalah pacarmu"
"Aku tak tahu." Dengan wajah datar dan sulit di tebak Arisa menjawab seraya memalingkan wajahnya. Tatapannya semakin sayu namun tetap saja Rama tak tahu apa isi hati Arisa.
"Jangan memberi harapan jika hanya untuk menenangkan keadaan. Aku tak ingin berharap lebih padamu Aris. Mendengar pengakuanmu ini bagaimana aku tak jatuh terlalu dalam? Aihhhh bisa-bisanya orang sepertiku menyukai seorang putri sepertimu." Rama menjauh dengan perasaan yang tak karuan. Meski Rama terlihat frustasi, Arisa masih terdiam membeku menatap Rama dengan dalam.
"Katakan!" Lirih Arisa yang tidak terdengar sedikitpun. "Katakan Rama!" Sekali lagi Arisa sedikit berteriak sehingga Rama menoleh ke arahnya. Perlahan Rama kembali mendekat, lalu meraih bahu Arisa dan menatapnya kian mendalam.
"Aris. Aku....." Rama menggantungkan kalimatnya, ia terlihat ragu mengutarakan apa yang sedang ada di dalam hatinya.
"Aku mencintaimu. Tapi aku tak ingin meninggalkanmu karena penyakitku Aris. Aku ingin terus bersamamu. Ahhh sangat ingin. Tapi kanker hatiku sudah stadium 4."
"Rama..." lirih Arisa menatap Rama dengan penuh harap.
"Aris. Aku memang mencintaimu, dan aku sangat berharap kau menjadi pendampingku. Bukan hanya sekarang, tapi sampai nanti." Akhirnya Rama mengutarakan perasaannya meski sebenarnya di balik kalimat itu ada arti lain. Rama tak bisa menemani Arisa lebih lama. Dokter yang menanganinya sudah berkata bahwa umurnya tidak sampai satu tahun lagi. Bisa saja dalam waktu dekat Rama juga akan mati.
"Kalau begitu, berjanjilah padaku Rama. Berjanji untuk selalu ada untukku. Kau sudah tahu keadaanku dan keluargaku. Aku ingin kau bersamaku sampai nanti salah satu diantara kita ada yang mati."
"Aku ada satu permintaan untukmu." Ucap Rama seraya menghela nafas dalam sesaat sebelum ia melanjutkan ungkapannya. "Temani aku di sisa hidupku." Lanjutnya menyimpulkan senyum di bibir Arisa.
"Ya Tuhan... berikan aku waktu setidaknya sampai 7 purnama. Itu lebih dari cukup untukku dan aku akan sangat senang menghabiskan waktuku bersamanya." Batin Rama mulai tak bisa mengontrol detak jantungnya.
"Ah aku berjanji." Mendengar jawaban Arisa tersebut Rama meraih dadanya yang berdenyut. Arisa meraih Rama yang mendadak terbatuk dan terus menutupi bagian mulutnya.
"Sial." Batin Rama yang berlari meninggalkan Arisa menuju toilet. Arisa yang sudah terlanjur khawatir pun menyusul Rama dan menunggunya diluar.
. Arisa Fandhiya Putri adalah seorang anak dari keluarga berada dan memiliki paras cantik yang mungkin bisa memikat hati setiap laki-laki. Pada awalnya, Arisa sangatlah tertutup dan bahkan nyaris tak punya teman. Hal itu disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dari keluarga. Sampai ia dipertemukan dengan Rama yang bisa merubah sikap dinginnya menjadi lebih hangat. Meski satu sekolah, Arisa dan Rama tak pernah berinteraksi sedikitpun.
Keduanya saling mengenal dan mulai dekat ketika mereka masih berada di kelas 11. Karena berbeda kelas dan Arisa yang jarang keluar kelas membuat keduanya nyaris tak pernah bertemu sama sekali.
. Rama keluar dari toilet dengan mengusap wajahnya yang sudah ia basuh dengan air. Rama terlihat terkejut mendapati Arisa masih menunggunya meski ia lama di dalam toilet.
"Rama. Ada darah." Lirih Arisa dengan mata sedikit membulat meraih pipi Rama yang terhenyak dan secepatnya mengusap bercak darah tersebut dengan tangannya.
"Ah... emm tadi.... tadi aku mimisan. Mungkin darahnya ke pipi. Hehe." Tatapan Arisa semakin tajam, ia merasa tak percaya dengan jawaban Rama tersebut.
"Kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku kan?" Tanya Arisa dengan wajah semakin dekat pada Rama yang memalingkan wajahnya karena gugup.
"Ehehe Aris. Wajahmu terlalu dekat. Nanti orang lain bisa salah faham." Mendengar teguran Rama ini, Arisa berbalik dan melangkah lebih dulu sehingga Rama bisa menghela nafas lega.
"Hei Rama." Panggil Arisa dengan tiba-tiba dan terhenti sedikit jauh dari Rama. Rama sendiri hanya mendongak menunggu apa yang ingin Arisa katakan selanjutnya.
"Kau menganggap ku sebagai pacar atau tidak?"
"Eh?" Rama hanya menanggapi demikian, ia memiringkan wajahnya dan terheran sendiri mengapa Arisa harus bertanya. Bukankah mereka sudah saling mengutarakan perasaan satu sama lain?
"Tentu saja." Rama menjawab seraya menyusul Arisa di depannya.
"Nanti malam mau lihat purnama tidak?" Tanya Rama kembali memulai obrolan mereka seraya berjalan berdampingan.
"Boleh. Di rumahku ya!"
"Yaahhh aku malu pada ayahmu."
"Ya siapa suruh kau menumpahkan teh di depan ayahku?"
"Aku gugup Aris. Tubuhku gemetaran." Sontak Arisa tertawa kecil mengingat kejadian tempo hari saat Rama berkunjung ke rumahnya dan di sambut langsung oleh Yugito. Rama gemetar hebat mendapati berbagai pertanyaan yang di lontarkan Yugito padanya. Bagaimana tidak menginterogasi, Yugito merasa penasaran siapa Rama dan mengapa ia selalu datang ke rumahnya untuk menemui putrinya.
. Malamnya, sesuai rencana Rama datang menemui Arisa kembali ke rumahnya untuk melihat purnama bersama. Arisa turun dan menghampiri Rama yang menunggu di gazebo taman. Keduanya beralasan untuk belajar bersama agar orang tua mereka tidak berpikir yang aneh-aneh. Rama memandangi purnama dengan begitu dalam sampai Arisa sendiri merasa terheran mengapa Rama terlihat seperti tengah bersedih.
"Purnama pertama ya?" Arisa menyipit mencoba menebak maksud dari ucapan Rama. Rama yang menyadari suaranya tadi terdengar oleh Arisa pun tersadar dan menoleh pada gadis pujaannya.
"Maksudku purnama pertama kita sebagai sepasang kekasih. Alias pacaran. Hehe." Arisa mengangguk dengan wajah sedikit memerah. Benar! Iya kini punya seorang yang bisa menjadi alasan untuknya bertahan hidup di lingkungan keluarga yang tak pernah ia dapatkan kasih sayangnya.
"Rama. Janji ya. Jangan meninggalkanku apapun alasannya." Sontak Rama menoleh pada Arisa dengan perasaan yang berkecamuk. Bagaimana ia bisa berjanji, sedangkan waktunya untuk hidup saja tak tahu sampai kapan. Ia berharap bisa lebih lama dengan pacar yang sebetulnya sangat ia sayangi jauh sebelum mereka berpacaran.
"Benar! Tuhan. terima kasih atas 7 purnama kemarin sebelum dia benar-benar menjadi bagian dari kebahagiaanku. Kebetulan yang sangat berkesan." Batinnya menyimpan rasa bahagia.
-bersambung
. Pagi yang cerah, Arisa menyalakan mobilnya yang di belikan Tio di hari ulang tahunnya di tahun yang lalu. Sebagai janji ayahnya yang akan mengizinkan Arisa mengemudi setelah ia berusia 17 tahun.
Sudah tak heran jika ada siswa membawa mobilnya ke sekolah. Pasalnya sekolah yang Arisa pilih ini sebagian siswanya memang dari keluarga berada. Salah satunya Reski yang merupakan teman Rama, Rafael dan Gibran yang sempat mengatakan perasaannya pada Arisa namun Arisa tolak. Arisa kini duduk di bangku kelas 12 semester 2. Persiapannya untuk ujian akhir bisa ia gunakan sebagai alasan agar bisa bersama Rama setiap waktu. Seperti biasa, Rama menunggunya di depan koridor perpustakaan yang kebetulan terletak di bagian depan sekolah.
"Hei. Kau Rama kan? Orang sepertimu tak mungkin benar-benar menjadi pacar Arisa. Aku yakin pasti ada rencana tersembunyi." Seorang siswa laki-laki dari kelas sebelah sedikit mendorong bahu Rama dengan tatapan merendahkan.
"Hei Rafael. Kau jangan bicara begitu. Nanti dia sakit hati." Timpal yang lainnya lalu tertawa mengejek pada Rama yang tak sedikitpun membalas makian mereka.
"Kau masuk kesini jalur prestasi kan? Harusnya kau sadar diri. Gibran saja yang jelas-jelas menjadi pewaris sah keluarganya di tolak mentah-mentah oleh Arisa. Lalu kau? Punya apa kau?" Rafael kembali menyudutkan Rama di antara teman-temannya yang menghalangi agar Rama tidak kabur.
"Aih.... kalian akrab dengan pacarku?" Seketika semua mata tertuju pada pemilik suara yang terdengar dari belakang Rafael.
"Hei sayang. Yang pantas menjadi pacarmu itu aku. Kita sama-sama anak pengusaha. Dan dia? Apa yang kau lihat dari dia?" Rafael menunjuk Rama dengan tatapan mengarah pada Arisa yang mengedikan bahu dengan santai. Arisa berjalan menghampiri mereka lalu meraih lengan Rama seakan menegaskan bahwa dirinya hanyalah milik Rama.
"Kau tak tahu? Rama ini sangat kaya. Kau belum pernah ke rumahnya kan? Pasti kau iri." Arisa balas mengejek Rafael yang terheran di buatnya.
"Semua angkatan kita sudah tahu siapa Rama. Dia anak orang miskin yang masuk ke sekolah ini dengan beasiswa dan rumah mereka tidak layak huni." Terdengar nada kesal mulai di lontarkan Rafael pada Arisa yang berbalik memojokkan dirinya.
"Lantas bagaimana rumah layak huni menurutmu tuan muda Permana?"
"Ohh jelas seperti rumah kita. Yang mewah, besar, dan serba ada."
"Lalu apa kau menemukan kebahagiaan disana?" Pertanyaan Arisa ini berhasil membuat Rafael terdiam dan mendadak gugup. Ia masih tak paham dengan maksud Arisa yang terasa begitu memojokkannya.
"Biar aku perjelas. Rafael! Aku Arisa Putri tidak bangga menjadi anak orang kaya yang kau sebut-sebut itu. Aku lebih suka jika hidup seperti Rama dengan keluarga yang kaya akan kasih sayang. Aku yakin! Bukan hanya aku yang merasa kesepian meski di rumah serba ada dan hanya tinggal meminta. Tapi kau juga kan? Sebenarnya kau kesepian karena ayahmu sibuk bekerja dan ibumu sibuk menumpahkan kasih sayangnya pada adikmu." Melihat Rafael yang tak lagi bersuara, Arisa menarik lengan Rama menjauh dari hadapan para berandalan sekolah yang mengaku sebagai anak orang kaya.
Rama melirik Arisa yang terus berjalan dengan wajah datar dan dingin seperti awal mereka kenal. Rama tahu Arisa tengah marah yang entah pada siapa. Terlihat dari kelopak matanya yang mulai berembun lalu perlahan terjatuh diantara pipi chubby nya.
"Aris." Lirih Rama membuat Arisa terhenti lalu mengusap air matanya.
"Maaf. Aku menangis lagi di depanmu."
"Tak apa. Kalau ada masalah, cerita saja. Aku akan mendengarkan semua masalahmu."
"Terima kasih. Tapi nanti pulang sekolah aku ingin ke taman kota."
"Baiklah... kita pergi kemanapun tuan putri mau." Rama terkekeh seraya merangkul pundak Arisa dan kembali berjalan menuju kelas.
Naufal dan Reski menghampiri Rama dan mengungkit awal mula Rama dan Arisa dekat. Rama yang terlupa hanya mengelak sehingga Reski mengingatkan kembali pada mantan pacarnya yang tiba-tiba Rama putuskan dulu.
*flashback*
"Kita putus ya!" Meski sempat ragu, namun kata itu akhirnya terucap dengan sedikit rasa sesal. Namun, ia tak begitu menyesali keputusannya untuk memutuskan pacar yang hanya bertahan selama 7 bulan dengan tanpa ada perasaan apapun. Terkesan jahat, namun itulah yang Rama rasakan. 'Plak' tak lama setelah ia mengatakan itu, suara tamparan di samping kelas terdengar begitu nyaring.
"Uuuhhhh sakit itu." Ucap Reski dengan santai bersandar di tembok menonton pertunjukan yang begitu menarik baginya.
"Pasti." Timpal Naufal yang sama-sama bersikap santai. Setelah Dira pergi, Reski dan Naufal menghampiri Rama yang masih terdiam di tempatnya.
"Seperti sakit tapi tak berdarah, seperti di tikam tapi tak mati. Apa begini rasanya putus cinta?" Reski dan Naufal saling pandang mendapati pertanyaan Rama yang bahkan mereka saja tak bisa menjawab. Disini pelakunya jelas adalah Rama. Ia dengan wajah tanpa berdosanya mengungkapkan kata yang sangat menghancurkan hati wanita yang mencintainya.
"Sudah mau habis waktu istirahatnya. Ayo ke kelas!" Ajak Naufal yang mendahului kedua temannya. "Oh iya. Sekarang pelajaran pak Harun kan?" Lanjutnya dengan memutar tubuhnya dan memilih jalan mundur.
"Yahhh kau mau bolos kan?" Ejek Reski yang sudah mengetahui rencana licik Naufal jika jadwal pelajaran pak Harun.
"Eh... kali ini tidak ya..." Naufal mengelak dan masih berjalan mundur dengan santai, sehingga ketika di ujung lorong, 'bugh' ia terjatuh bersama siswa lain yang ia tabrak dengan punggungnya. Melihat temannya kecelakaan, Reski dan Rama bergegas menghampiri dan membantunya untuk sekedar berdiri.
Saat ketiganya tahu siapa yang mereka hadapi, pandangan mereka menunduk seketika lalu ketiganya serentak meminta maaf.
Tanpa bicara, Arisa tak menanggapi ketiga siswa di depannya ini. Saat Arisa hendak berlalu, dengan cepat Rama meraih lengan Arisa dan keduanya sempat berpandangan beberapa saat. Reski dan Naufal merasa tertegun akan keberanian Rama menyentuh putri seorang pengusaha kaya yang di kenal tak punya teman karena sikap dinginnya.
"Sikutmu terluka. Aku antar ke UKS." Ujar Rama kemudian menarik Arisa menuju UKS.
*flashback end*
Setelah mengingat cerita awal mula ia dekat dengan Arisa, Rama tertawa lalu melirik pada pacarnya di bangku lain.
"Benar. Dulu dia tak pernah tersenyum sama sekali. Huhhh jangankan tersenyum, melirik orang saja dia tak pernah. Tatapannya terus menunduk. Dia seperti tak ingin ada yang mengganggunya." Tutur Rama dengan sedikit mengeluh.
"Tapi kau berhasil membuatnya berubah kan? Lihat dia. Sekarang sudah bisa mengobrol dengan teman-teman yang lain." Reski ikut menatap ke arah Aris ayang kini tengah tertawa kecil di sela obrolannya dengan siswi lain.
-bersambung
. Ketika pelajaran tengah berlangsung, Arisa memegangi perutnya. Ia mencari-cari obat di dalam tasnya namun tak satupun ia temukan. Teman sebangkunya meraih pundaknya dan ia menyipit tak mendengar apa yang di katakan oleh Dania. Arisa terlelap di atas meja sehingga guru yang tengah mengajar pun menghampiri dan menyuruh beberapa siswa untuk membawa Arisa. Rama segera memburu Arisa dan ia sendiri yang membawa Arisa menuju UKS. Naufal dan Reski saling melempar pertanyaan ada apa dengan Arisa. Sampai di UKS, petugas kesehatan langsung menangani Arisa dan mencari penyebab Arisa pingsan.
"Boleh kau tunggu disini? Ibu ingin ke ruang guru sebentar. Jika dia sudah sadar, tolong berikan obat ini ya." Meski ragu dan penasaran mengapa petugas UKS terburu-buru ke ruang guru, namun Rama menurut dan menunggu Arisa sadar. Ia melirik nama obat di tangannya dan sempat mengingat jenis obat ini untuk sakit apa.
"Kau punya penyakit lambung?" Lirih Rama menatap dalam pada wajah pucat Arisa yang masih terlelap. Tak lama, terlihat Arisa membuka mata lalu meraih perutnya yang masih terasa perih.
"Aris. Jangan bergerak. Ini minum obatnya." Rama memberikan sebutir obat beserta air minum yang tersedia di ruangan tersebut. Setelah meminum obat, Arisa hendak turun dari tempat tidurnya berniat ingin ke toilet. Namun tubuhnya tidak seimbang sehingga ia terjatuh menimpa Rama di bawahnya.
"Kalian sedang apa?" Sontak Arisa dan Rama terhenyak mendengar teriakan petugas UKS yang memergoki mereka yang dianggap tengah melakukan hal tidak senonoh.
"Apa ini hanya alasan kamu agar bisa berpacaran di ruang UKS?"
"Tidak bu. Saya tidak--"
"Ahh sudahlah. Kamu mau mengelak apapun saya tidak akan percaya. Kalian akan saja jatuhi hukuman sesuai sanksi yang berlaku. Kalian di skors selama 3 hari dan akan saya beri surat peringatan untuk orang tua kalian." Mendengar apa yang di ucapkan petugas, Arisa mendadak lemas seketika. Ia tak bisa membayangkan kemarahan ayahnya jika tahu ia berbuat hal yang mungkin membuatnya akan di hukum berat oleh ayahnya. Rama yang santai hanya bisa menenangkan Arisa agar tidak panik. Namun Arisa tak terima, ia menepis tangan Rama kemudian berlari keluar ruang UKS dan Rama pun bergegas menyusulnya.
"Kau tak mengerti Rama. Kau tak tahu kemarahan ayah bagaimana."
"Iya. Tapi kita hadapi sama-sama."
"Hadapi apanya? Justru jika kau bicara di depan ayah, ayah malah akan menyalahkanku." Arisa kembali berlalu dari hadapan Rama yang masih mematung di tempatnya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa.
. Sepulang sekolah, Arisa ragu-ragu memasuki rumah karena di hari yang masih siang, mobil ayahnya sudah terparkir di depan rumahnya. Setelah mang Ujang meminta Arisa menemui Yugito, Arisa bergegas memasuki ruang kerja ayahnya dengan perasaan cemas seraya membawa surat yang di berikan guru untuk orang tuanya.
"Sebenarnya apa maumu Aris?" Tanya Yugito tepat setelah Arisa duduk di kursi yang berada di depan ayahnya.
"Ayah... dengarkan penjelasan Aris dulu."
"Dengarkan apa lagi?" Teriak Yugito penuh amarah melempar cangkir berisi kopi panas ke tembok di samping meja kerja. Arisa menciut dan meringis pelan saat sikutnya terasa perih terkena pecahan kaca yang mungkin terpental saat di lempar.
"Aris tidak melakukan apa-apa ayah." Jawab Arisa mencoba memberitahu yang sebenarnya.
"Kau masih SMA. mau jadi apa kau dewasa nanti? Kau berbuat.... argh Aris! Ayah tak pernah mengajarimu hal seperti itu. Kau memang tidak malu, tapi ayah. Ayah malu Aris!" Arisa tersentak mendengar suara ayahnya yang meninggi dan membentaknya. Arisa hanya bisa menunduk dengan mencengkram ujung baju seragamnya, ia benar-benar tak bisa menjelaskan apapun.
"Kau akan ayah beri hukuman. Dan seminggu ke depan, uang jajanmu ayah potong." Lanjut Yugito dengan tegas lalu meninggalkan ruang kerja menyisakan Arisa yang termenung sendiri.
"Kenapa aku tidak mati saja? Gumamnya menunduk di atas meja.
Setelah Arisa kembali ke kamarnya, ia berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, ia terlelap perlahan dengan rasa perih menusuk di perutnya. Sampai malam, Arisa masih enggan beranjak dengan bunyi perut yang sudah berisik sejak tadi. Sudah lama Arisa tak lagi menyantap makan malam dan sarapan di rumah. Meski bi Ina dan Tio setiap malam menjemputnya ke kamar, namun Arisa selalu berpura-pura tidur dan tak menanggapi mereka. Begitu pun dengan malam ini, Yugito langsung yang meminta Arisa untuk makan malam. Sudah beberapa kali Yugito memanggil Arisa dari sisi ranjang lainnya, namun tak mendapati jawaban. Justru ia malah mendengar gumaman Arisa tanda putrinya tengah mengigau. Ketika ia berbalik dan hendak meninggalkan Arisa, Yugito terhenti saat mendengar Arisa terisak, dan dengan cepat ia memastikan sendiri dengan membuka selimut di bagian kepala Arisa. Dan ia terkejut melihat Arisa menangis di mimpinya yang terbawa ke dunia nyata, alisnya berkerut dan yang membuatnya heran, mengapa air matanya ikut keluar.
Yugito hendak meraih dahi Arisa agar Arisa tidak terus mengerutkan alisnya saat tidur, namun belum sempat tersentuh, terdengar Rahma memanggil dirinya dan menyuruhnya kembali ke ruang makan meninggalkan Arisa.
"Biarkan saja mas. Kita ikuti saja maunya. Dia sangat susah di atur." Rahma terus bicara sampai ke ruang makan dan melanjutkan makan malam mereka.
. Esoknya, Yugito menoleh ke arah kamar Arisa yang tertutup. Meski begitu, Yugito menyuruh Tio untuk mengecek kamar Arisa dan memastikan bahwa Arisa baik-baik saja. Ia tahu bahwa putrinya hari ini tidak sekolah karena di skors. Dengan sigap, Tio bergegas menaiki tangga dan membuka pintu kamar adik kesayangannya. Ia masuk dan menghampiri Arisa yang masih berada di bawah selimut.
"Aris.. kau tidak sekolah?" Namun Arisa tak menanggapi, ia terus meringis memegangi perutnya yang sudah keram sejak subuh tadi. Tio yang berniat hanya menepuk pipi Arisa saja, malah menjadi terkejut karena ia merasakan hawa panas di tubuh Arisa.
"Aris. Kau sakit?" Pekik Tio yang mendadak panik mencari alat penurun panas yang sempat ia beli minggu lalu. Karena Tio tak kunjung keluar dari kamar Arisa, Yugito segera menyusulnya dan ia termangu mendapati Tio tengah merawat Arisa yang sudah memakai pakaian sekolah, lalu Tio memberikan obat pada adiknya dengan hati-hati.
"Aris. Apa kau sakit?" Tanya Yugito membuat Tio mengepalkan tangannya karena ia tak habis pikir pada ayahnya. Sudah jelas Arisa sangat lemas dan terpasang alat penurun panas di dahi adiknya, dan ayahnya masih saja bertanya seperti tak peduli.
"Panas tinggi suhunya 39 derajat dan lambung." Jawab Tio terlanjur kesal.
-bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!