NovelToon NovelToon

Jerat Cinta Gangster Tampan

Matti Atau Hidup?!

Malam ini langit berselimut awan tebal. Kelam, gelap dan tak berbintang. Sang Dewi malam pun tak tampak sama sekali, bersembunyi di balik megah yang kelam. Udara malam berhembus, membawa hawa dingin yang membekukan.

Ditengah malam yang dingin dan kelam. Terlihat seorang pemuda sedang menatap datar beberapa pemuda lainnya yang sedang terkapar kesakitan diatas aspal yang dingin dan berair. Hujan baru saja meninggalkan kota.

"Kali ini kalian aku biarkan tetap hidup. Tapi tidak ada lain kali lagi jika kalian masih berani mencari masalah dengan, Black Phoenix. Camkan itu," ucap pemuda tersebut pada pemuda-pemuda lain yang terkulai kesakitan.

Pemuda itu kembali ke motornya diikuti teman-temannya lalu meninggalkan arena balap liar yang seketika berubah menjadi arena perkelahian. Dan perkelahian terjadi setelah kubu lawan tak terima timnya di kalahkan.

Salah satu dari tujuh orang yang terkapar itu mengepalkan tangannya. "Kali ini kau hanya beruntung saja, Zian Lu. Tunggu saja, aku akan membalasmu," laki-laki itu mengepalkan tangannya.

.

.

Zian menghentikan motor besarnya diikuti oleh teman-temannya. Mereka mendekati motor pemuda itu dan menatapnya dengan cemas.

"Zian, kau terlihat pucat. Kau tidak apa-apa apalagi terluka parah bukan?" salah satu teman pemuda itu 'Zian' bertanya memastikan. Dia menatapnya dengan cemas.

Pemuda itu menganggukkan kepala. "Aku tidak apa-apa dan aku baik-baik saja." Ucapnya berdusta.

Jelas sekali dia tidak baik-baik saja. Selain luka pada pelipis dan tulang pipinya. Sebenarnya Zian juga mengalami luka tusuk diperutnya, yang tersamarkan oleh pakaian hitamnya.

"Kalian duluan saja, aku masih ada urusan." Ucap Zian.

"Tapi, Zian~" salah satu teman Zian berseru pelan. Namun ucapannya di potong oleh pemuda itu.

"Aku duluan." Dan motor besar milik Zian pun melesat jauh meninggalkan teman-temannya.

Zian tak ingin mendapatkan semakin banyak pertanyaan dari teman-temannya. Mereka tidak boleh ada yang tau jika dirinya sedang terluka parah. Zian tak ingin mereka semakin mencemaskannya, terlebih-lebih jika dia sampai merepotkan mereka bertiga. Selama dia masih bisa menahan rasa sakitnya. Semua akan baik-baik saja.

.

.

"Iya, Ma. Aku tau. Besok siang aku usahakan untuk pulang dan mengunjungi kalian. Sudah dulu, ya. Aku tutup dulu telfonnya. Aku masih dijalan." Gadis itu 'Luna' memutuskan sambungan telfonnya begitu saja.

Dan Luna berani bersumpah jika saat ini ibunya sedang marah-marah tidak jelas diseberang sana sambil menghujani dirinya dengan berbagai sumpah serapah. Tetapi Luna tak peduli dan tak mau ambil pusing.

"Motor siapa itu?" Luna menghentikan langkahnya saat melihat sebuah motor sport terparkir di depan pagar rumahnya. Motor itu terlihat tak bertuan karena batang hidung si pemilik tak ia temukan.

Merasa penasaran. Luna pun memutuskan untuk menghampiri motor tersebut sambil mencari siapa pemiliknya. Tapi lagi-lagi Luna tak menemukan siapa pun disekitar motor itu. Tak mau ambil pusing, Luna meninggalkan motor tersebut namun tiba-tiba....

"KYYYAA, MAYATT!!"

Dia berteriak sekencang-kencangnya saat tanpa sengaja melihat seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri tidak jauh dari motor itu. Pantas saja Luna tak menemukan keberadaannya, karena orang itu terkapar di tanah.

Ragu-ragu Luna mendekati pemuda itu untuk memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup. "Dia bernafas. Jadi dia bukan mayatt?" ucapnya setengah bergumam. Luna mensejajarkan posisinya dengan pria itu lalu memanggilnya sambil menepuk-nepuk pipinya. "Hei, bangun. Kau bisa mendengarvku?" seru Luna memastikan.

Namun tak ada jawaban. Pemuda itu juga tak bereaksi sama sekali. Luna tak melihat seperti apa rupanya, karena suasana yang gelap di tambah lagi darah yang menutupi sebagian wajahnya.

"Bisa-bisa aku terkena masalah jika dia mati disini." Ucap Luna lalu membawanya masuk ke dalam rumahnya.

Luna tidak bisa membawanya pergi ke rumah sakit karena jaraknya yang terlalu jauh. Ditambah lagi dengan langit mendung yang menandakan jika hujan akan segara turun. Dia bisa memanggil dokter pribadinya untuk menangani pemuda ini.

.

.

"Dokter Kim, bagaimana keadaannya? Dia masih hidup dan belum mati, kan?" Luna menghampiri seorang dokter muda yang baru saja keluar dari kamar tamu.

Bukannya sebuah jawaban. Malah jitakan yang dia dapatkan. "Dasar kau ini, kenapa lidahmu licin sekali saat bicara?! Dan berhenti memanggilku, Dokter Kim. Aku ini Pamanmu!! Dan bisa-bisanya kau memanggilku dengan sebutan gelar bukan, Paman!!" dokter itu melayangkan protesnya pada Luna.

Luna mendengus berat. "Jelas saja karena Paman itu seorang Dokter, bukan dosen!!" jawab Luna menimpali. "Sekarang beritahu aku bagaimana kondisinya, dia masih hidup atau sudah mati?" Luna bertanya sekali lagi.

"Apa pemuda itu kekasihmu? Dia sangat tampan meskipun penampilannya mengerikan." Bukannya sebuah jawaban, dia malah balik bertanya dan ngoceh semaunya.

"Dia bukan kekasihku, dan aku tidak mengenalnya! Aku menemukannya dalam keadaan terkapar dan nyaris mati di depan pagar." Jelas Luna.

"Jadi kau tidak mengenal pemuda itu?" Luna menganggukkan kepalanya. "Lalu kenapa kau menolongnya dan membawanya masuk ke rumah ini? Sedangkan kau tidak mengenal siapa dia dan dari mana asalnya. Bagaimana jika dia bukan pemuda baik-baik, kenapa kau mau ambil resiko sebesar ini?" dokter itu bertanya.

Luna mengangkat bahunya. "Daripada dia mati kehabisan darah di depan pagar rumahku. Itu lebih beresiko lagi. Gampang. Jika dia berani macam-macam, tinggal memukulnya menggunakan palu lalu melemparnya keluar dari rumah ini. Beres kan." ujar Luna panjang lebar.

"Aku sudah tidak tau lagi dengan jalan pikiranmu. Tapi semoga saja dia tau terimakasih dan tidak macam-macam padamu. Ya sudah, Paman pulang dulu. Hati-hati di rumah. Kalau dia sudah sadar dan berani macam-macam segara hubungi pihak yang berwajib." tutur dokter muda itu menasehati. Luna menganggukkan kepalanya.

Setelah mengantarkan dokter itu sampai depan pintu. Luna pun kembali ke dalam, dia pergi ke kamar tamu untuk melihat bagaimana kondisi pemuda itu.

"Kau sudah sadar." Dan teguran itu mengalihkan perhatian si pemuda yang tak lain dan tak bukan adalah Zian. "Aku, Luna. Saat ini kau berada di rumahku. Tadi aku menemukanmu terkapar di depan pagar dalam keadaan tak sadarkan diri. Bagaimana keadaanmu sekarang?" Luna menghampiri Zian yang sedang menatapnya datar.

Zian mengangkat bahunya. "Seperti yang kau lihat, aku sudah lebih baik." Jawabnya. "Aahh," Zian meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya saat ini.

"Jangan banyak bergerak dulu. Kau mengalami luka tusuk. Dan jika kau terlalu banyak gerak, jahitannya bisa terbuka kembali dan itu akan sangat beresiko." Seru Luna sambil menahan Zian yang hendak bangkit dari posisinya.

Zian menyentak pelan tangan Luna dari lengannya. "Aku harus pergi sekarang. Jadi lepaskan aku dan jangan menghalangiku!!"

Luna menggelengkan kepalanya. "Tidak!! Kau tidak boleh pergi dan harus tetap disini sampai kondisimu benar-benar sudah membaik. Karena jika kau memaksakan diri, bisa-bisa luka jahitnya malah terbuka lagi dan itu akan sangat berbahaya untuk dirimu sendiri. Jadi sebaiknya kau menurut daripada kau aku suntik mati!" ancam Luna bersungguh-sungguh.

Zian menatap gadis itu dan menghela napas. Sepertinya dia sangat keras kepala. Tapi memang benar apa yang Luna katakan, mungkin dirinya memang harus tetap tinggal daripada mengambil resiko besar.

"Baiklah, aku akan tetap disini untuk sementara waktu. Maaf, karena harus merepotkan mu!!" sesal Zian

Luna menggeleng. "Bukan masalah, kau istirahatlah. Aku keluar dulu." Ucapnya dan pergi berlalu.

.

.

Bersambung.

Pesta Perayaan

Matahari bersinar dengan terik. Seakan-akan sang raja siang ingin membakar semua yang ada di bumi yang sedang ia naungi.

Disebuah rumah mewah yang memiliki dua lantai. Terlihat seorang gadis tengah sibuk berkutat di dapur rumahnya. Mencoba menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga seseorang yang saat ini tinggal satu atap dengannya.

Sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan sebagai sarapan. Karena jam dinding sudah menunjuk angka 08.00. Yang artinya waktu sarapan telah lewat lebih dari satu jam.

Dan jangan salahkan gadis itu yang terlambat menyiapkan sarapan. Tetapi salahkan kebiasaan buruknya yang tidak bisa bangun pagi. Mungkin karena dia seorang pengangguran, makanya Luna bisa bangun seenak jidatnya.

"Yakk!! Kenapa gosong lagi, gosong lagi!!" pekik Luna dengan nada meninggi.

Luna menatap nanar beberapa telur mata sapi yang tampak tidak layak itu. Semua telur mata sapi yang dia masak gagal total, buruk dan tidak bisa dimakan. Karena semua telur yang dimasak oleh Luna gosong dan menghitam.

Sebenarnya niat Luna sangatlah baik, dia ingin menyiapkan sarapan untuk tamunya meskipun waktu sarapan sudah lewat lebih dari satu jam. Tapi setidaknya dia sudah berbaik hati mau menyiapkan sarapan meskipun endingnya harus gagal total. Dan jika sudah seperti ini, maka telur-telur itu tidak bisa dimakan lagi.

Derap langkah kaki seseorang yang datang menyita perhatiannya. Lantas Gadis itu menoleh dan mendapati Zian berjalan menuju meja makan. Luna memperhatikan pemuda itu yang sedang menuang air putih ke dalam gelas kosong diatas meja lalu meminumnya.

Kemudian Luna beranjak dari dapur dan menghampiri pemuda itu. "Apa kau sudah lapar? Maaf, aku bangun kesiangan jadi tidak sempat menyiapkan sarapan." ucap Luna penuh Sesal.

Dia tidak memberitahu Zian tentang kegagalannya dalam membuat telur mata sapi. Luna tidak ingin jika harga dirinya sebagai wanita akan tercoreng karena tidak bisa memasak.

"Kebetulan aku masih belum lapar. Dan aku tidak biasa sarapan pagi, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiapkan sarapan untukku." Ucap Zian dengan nada datar.

Luna memperhatikan pemuda di depannya ini dengan seksama. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tak bisa Luna pungkiri jika Zian memiliki paras yang tampan namun juga terlihat cantik diwaktu bersamaan. Meskipun penampilannya sedikit mengerikan, namun hal itu tak mampu mengurangi sedikit pun ketampanan yang dia miliki.

"Tapi tetap saja kau harus mengisi perutmu. Aku akan memesan dari luar saja, setelah ini kita sarapan sama-sama." Ucap Luna lalu beranjak dari hadapan Zian.

"Tunggu!!" seru Zian. Dan langkah Luna terhenti oleh seruan itu. Luna menoleh dan menatap Zian yang menghampirinya dengan bingung. "Aku membutuhkan pakaian untuk ganti. Bisakah kau keluar dan belikan aku beberapa helai pakaian? Gunakan kartu ini," pinta Zian.

Kemudian Zian menyerahkan sebuah Black Platinum Card pada Luna. Sebuah kartu tanpa limit. Kartu yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berasal dari keluarga terpandang dengan kasta tinggi. Hingga dalam hatinya Luna bertanya-tanya siapa Zian sebenarnya.

Luna menerima card itu lalu menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Kalau begitu berikan nomor ponselmu, aku akan menghubungimu saat tiba di boutique nanti. Kau bisa memilihnya sendiri untuk pakaian yang kau inginkan, karena aku tidak mengerti seleramu sama sekali." Zian menyerahkan ponselnya pada Luna. Mereka saling bertukar nomor ponsel.

Dan selepas kepergian Luna. Di rumah itu hanya menyisakan Zian seorang diri. Bisa saja dia pergi sendiri untuk membelinya atau meninggalkan kediaman gadis itu dan kembali ke rumahnya. Tetapi Zian masih memiliki rasa terimakasih. Dan sebejat-bejatnya dia, setidaknya Zian masih memiliki hati nurani.

Zian terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia berusaha menghubungi teman-temannya. Zian tidak ingin membuat mereka cemas dan kalang kabut mencari keberadaannya. Karena mereka semua tau jika dirinya tidak mungkin pulang ke rumah rumahnya.

"Lalu kau dimana sekarang?" tanya seseorang yang Zian hubungi.

"Saat ini aku sedang berada di rumah kenalanku. Dan aku akan kembali beberapa hari lagi. Sebaiknya tolak saja jika ada orang yang datang memberi kita misi, tunggu sampai aku kembali." Ucap Zian.

"Baiklah, aku mengerti." jawab orang itu.

Kemudian Zian memutusakan sambungan telfonnya begitu saja. Pemuda itu bangkit dari sofa ruang keluarga dan melenggang menuju kamar tamu yang dia tempati dari semalam hingga beberapa hari ke depan. Sampai kondisinya pulih kembali.

.

.

Luna memasuki sebuah boutique yang hanya menyediakan pakaian khusus pria. Semua model ada di boutique ini. Mulai dari yang formal sampai serampangan pun ada. Luna terlihat mondar-mandir ke sana-sini, dia benar-benar bingung menentukan pakaian untuk Zian.

"Untuk pakaian Informal disebelah mana, ya?" Luna bertanya pada penjaga toko. Dan wanita itu pun segera mengarahkan Luna menuju deretan pakaian Informal. "Terimakasih." gadis itu membungkuk ramah.

Ponsel Luna tiba-tiba berdering menandakan ada panggilan masuk. Nomor asing, tapi dia tau siapa yang menghubunginya. Dan Luna pun segera menerima panggilan tersebut.

"Aku sudah ada di boutique. Kau pilihlah sendiri pakaian mana yang kau inginkan." Ucapnya.

Dan setelah tiga puluh menit. Akhirnya Luna pun mendapatkan pakaian untuk Zian, dan dia sendiri yang memilihnya. Setelah membayar dan menerima semua barang miliknya. Luna melenggang pergi meninggalkan boutique tersebut.

.

.

Kabar tentang menghilangnya Zian telah sampai ke telinga pria ini. Dia sangat gembira saat mendengar kabar tersebut. Bagaimana tidak, itu artinya dia tidak memiliki saingan berat lagi. Apalagi dari informasi yang dia dapatkan.

Dan sebelum menghilang, Zian sedang dalam keadaan terluka parah. Dan take menutup kemungkinan jika dia sudah mati pada saat ini.

"Bos, tidakkah kau merayakannya? Ini adalah kabar yang sangat menggembirakan dan layak untuk dirayakan. Jadi kenapa kau tidak membuat pesta perayaan untuk mengenang rival abadi mu itu?" ucap seorang laki-laki bertubuh gempal pada bosnya.

"Benar sekali, Bos. Disini kita semua memang perlu membuat perayaan besar-besaran supaya di alam sana dia menangis darah karena rival abadinya membuat perayaan kematiannya!!" sahut si kurus.

Dua anak buah pria itu 'Andrew' memberikan saran yang menurutnya sangat luar biasa. Dan Andrew pun menyetujui usul dari anak buahnya tersebut.

"Ide kalian sangat luar biasa. Kalau begitu kenapa kalian hanya diam saja. Ayo kita berpesta dan membuat perayaan besar-besaran untuk rival abadi kita tercinta!!" serunya dan disambut gembira oleh anak buahnya.

"PESTA!!!" seru kedua anak buah Andrew dengan gembira.

Tanpa mereka sadari jika orang yang meraka rayakan kematiannya ternyata masih hidup dan bernapas hingga detik ini. Ya, Zian memang masih hidup dan belum mati.

.

.

Bersambung.

Bosan

"Kau sudah datang."

Kepulangan Luna disambut oleh Zian yang sedang berkutat dengan ponselnya di ruang keluarga. Lalu pandangan Luna bergulir pada laptopnya yang ada diatas meja.

"Maaf, aku memakai laptop mu tanpa ijin. Aku melihatnya tergeletak diatas meja jadi aku meminjamnya sebentar." Zian mencoba memberi penjelasan setelah melihat tatapan Luna.

Luna menggeleng sembari tersenyum. "Tidak apa-apa. Kebetulan aku juga tidak sedang membutuhkannya. Jadi kau bisa memakainya. Oya, ini barang-barang mu dan card ini aku kembalikan padamu." Luna mengembalikan Card milik Zian lalu beranjak dari hadapannya.

"Luna," langkah Luna kembali terhenti. Lantas dia menoleh dan menatap Zian yang juga menatap padanya. "Terimakasih, maaf harus merepotkan mu." ucap Zian penuh sesal.

Gadis itu tersenyum tipis. "Bukan masalah. Sebagai sesama saling tolong-menolong adalah hal yang lumrah." Ujar Luna dengan senyum yang sama.

Zian seketika terdiam saat melihat senyum dibibir gadis itu, senyum yang sangat indah. Dan untuk sesaat dia terpanah melihatnya. Dia tetap menatap Luna yang sedang menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dalam hatinya, Zian tak berhentinya berterimakasih pada Luna. Jika bukan karenanya, mungkin saat ini dia hanya tinggal nama.

Ponsel milik Zian tiba-tiba berdering. Bukannya menerima panggilan itu, Zian justru menolaknya lalu memblokir nomor tersebut saat ini juga.

.

.

Bosan...

Itulah yang Luna rasakan hampir setiap harinya karena tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Mau kuliah, dia sudah lulus sejak beberapa bulan yang lalu. Mau bekerja, tapi orang tuanya tak menginginkannya. Mereka lebih memilih memberinya uang setiap bulan daripada harus melihatnya bekerja dengan susah payah.

Bukannya merasa senang karena dimanjakan oleh orang tuanya. Luna justru merasa bosan dengan hidup yang dia jalani saat ini. Karena menurut dia, hidupnya datar-datar saja. Alasan Luna hidup terpisah dari kedua orang tuanya agar ia bisa hidup dengan mandiri, tapi tetap saja dia tidak bisa hidup sebebas yang dia inginkan.

Ponsel miliknya tiba-tiba berdering menandakan ada panggilan masuk. Tanpa membuang-buang waktu Luna pun segera menerima panggilan tersebut.

"Luna, aku sedang tidak enak badan. Bisakah kau menggantikan ku bekerja? Aku sudah meminta bantuan sana-sini tapi tak ada satu orang pun yang bisa aku mintai tolong. Aku tidak tega jika harus membiarkan nenek bekerja sendirian, apalagi saat ini toko bunga Kami sedang ramai. Luna, hanya kau harapanku satu-satunya. Aku tidak tahu harus meminta bantuan ke mana lagi selain padamu," seru seseorang yang menghubungi Luna.

"Bisa-bisa. Tentu saja aku bisa. Kebetulan aku juga sedang tidak sibuk dan kebosanan karena tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Okelah kalau begitu, Aku akan pergi sekarang juga."

"Huaa.. Kau memang sahabat terbaikku, Luna maaf harus merepotkan mu." ucap orang itu dengan girang.

"Santai saja. Dan sesama teman memang harus saling tolong-menolong. Kalau begitu aku siap-siap dulu." Luna sangat senang karena pada akhirnya dia memiliki kesibukan juga meskipun hanya satu hari saja. "Star Florist, i'm coming!!"

.

.

Suara denting pada ponselnya menyita perhatian Zian. Pemuda itu membuka kembali matanya yang sebelumnya tertutup rapat. Pesan dari teman-temannya. Penasaran kenapa mereka mengirimnya pesan, Zian pun segera membuka dan membacanya.

"Anak-anak 'Black Jack' mengirim surat tantangan untukmu. Akhir pekan ini mereka menantang mu untuk balap liar." kurang lebih begitulah isi pesan singkat tersebut.

Kemudian Zian mengirim pesan balasan. Dan dia meminta supaya mereka menerima tantangan itu. Kebetulan sekali, Zian juga ingin memberi pelajaran pada manusia-manusia sombong itu.

Derap langkah kaki seseorang yang datang menyita perhatiannya. Zian menoleh dan mendapati Luna tengah menuruni tangga. Gadis itu datang dengan pakaian berbeda. Terlihat lebih rapi, cantik dan anggun. Zian bangkit dari kursinya lalu mendekati Luna.

"Kau mau pergi?" tanya pemuda itu yang segera dibalas anggukan oleh Luna. "Perlu aku antar?" tawar Zian.

Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku pergi sendiri saja. Sebaiknya kau istirahat saja di rumah. Kondisimu juga belum terlalu baik," ujar Luna.

"Memangnya kau mau pergi kemana?" Zian menatap Luna penasaran.

"Bekerja. Temanku menghubungiku dan memintaku supaya mengantikan dia bekerja. Kebetulan aku juga free dan tidak ada kerjaan, di tambah lagi aku sangat bosan. Jadi aku ambil saja tawarannya." Jelas Luna menuturkan.

Sebenarnya Luna adalah putri seorang konglomerat, masih ada darah biru di dalam tubuhnya. Karena Kakek buyut Luna masih keturunan bangsawan Inggris.

Meskipun dia terlahir sebagai Putri konglomerat yang kaya raya, namun hal itu tak membuat Luna menjadi sombong. Karena Luna sadar, semua harta itu bukan miliknya melainkan milik orang tuanya.

"Ya, sudah aku pergi dulu. Kalau kau lapar ada makanan di kulkas. Kau bisa memanaskannya di microwave. Aku pergi dulu," ucap Luna dan pergi begitu saja.

Seketika Zian merasa kosong setelah Gadis itu pergi. Tak ada orang lain lagi di rumah ini selain dirinya. Mungkin keluar sebentar tidak masalah. Lagipula keadaan Zian juga sudah baik-baik saja meskipun perban belum mau beranjak dari luka-lukanya.

Zian menghentikan motor besarnya di halaman sebuah rumah yang memiliki dua lantai. Dan rumah itu adalah markas Black Phoenix.

"Zian!!" dan kedatangannya disambut oleh salah satu teman Zian yang diketahui bernama Alex. "Lega melihatmu baik-baik saja." lanjut Alex.

"Dimana yang lain?" tanya Zian.

"Max dan Cris, sedang keluar. Sedangkan Theo dan Rio ada di atap. Kau tau sendiri kan hobi gila mereka berdua. Oya, apa Max sudah memberitahumu tentang tantangan balap liar itu?" Alex menatap Zian dengan penasaran.

Zian menganggukkan kepala. "Ya, dia sudah memberitahuku. Dan aku menerima tantangan itu."

"Tapi bagaimana dengan kondisimu? Aku dengar malam itu kau tertusuk. Apakah itu benar?" tanya Alex memastikan. Ia dan yang lain memang tidak tahu jika Zian tertusuk malam itu.

Zian mengangguk membenarkan apa yang Alex tanyakan. "Ya, tapi sekarang aku sudah baik-baik saja. Kondisiku juga sudah membaik. Salah satu kenalanku yang merawatku selama beberapa hari ini dan aku juga tinggal di sana." Ujarnya.

"Seorang gadis?" Alex menatap Zian dengan pandangan menggoda. Dan kediaman Zian dia anggap sebagai jawaban. "Sudah kuduga. Semoga saja kau dan dia berjodoh, apalagi kau sudah berhutang Budi padanya. Lalu malam ini kau pulang atau~"

"Aku akan kembali ke rumah itu!!" Zian menyela ucapan Alex. "Aku tidak enak jika harus pergi begitu saja sementara dia sudah menolong dan merawatku dengan tulus. Setidaknya aku masih tau cara berterimakasih." Jelasnya.

Alex mengangguk setuju. "Ya, itu benar. Tapi mengenai luka tusuk mu itu, benar tidak apa-apa? Aku ragu, apalagi kau adalah orang yang sangat pandai menyembunyikan sesuatu." Lagi-lagi Alex menatap Zian dengan cemas.

"Sungguh, aku tidak apa-apa."

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!