NovelToon NovelToon

JODOH DARI NERAKA

1. Prolog

Betari mengaduk indomie soto lamongan miliknya dengan perasaan dongkol. Bagaimana tidak? Dia sudah membayangkan akan makan malam mahal, steik wagyu atau fettucini di restoran Italia di daerah kemang yang terkenal itu. Ditemani cahaya lilin dan segelas anggur merah. Tapi yang ada dia malah berakhir di Warmindo alias Warung Makan Indomie jelek dan penuh asap rokok pula. Mana tadi dia baru keramas. Rambut miliknya pasti sudah bau asap rokok sekarang.

Pahit , pahit , pahit .

Ya, Tuhan. Betari rasanya ingin menangis sekarang. Dia benci rambutnya bau, asap rokok apalagi. Sia-sia sudah dia keramas sore tadi. Semua ini gara-gara—siapa lagi kalau bukan suaminya—si manusia patung batu yang sangat menyebalkan. Bahkan belum genap satu minggu mereka menikah, dan Betari sudah tidak tahan menghadapi tingkah laku suaminya yang tidak berperasaan itu. Benar-benar mirip patung batu.

Lo benar-benar ngeselin. Tunggu saja pembalasan gue. Lo harus bayar mahal buat rambut gue. Dasar patung!

Bicara tentang bagaimana dia bisa berada di Warmindo jelek dan penuh asap rokok ini, Betari benar-benar menyesal karena telah menyetujui ajakan suaminya itu makan di luar. Tentu saja ajakan itu keluar dari mulut suaminya setelah Betari marah-marah karena di rumah mewah milik suaminya itu tidak ada makanan sama sekali. Memang sih, mereka baru pindah ke rumah baru tadi siang. Tapi, apakah suaminya itu harus menunggu Betari mengamuk dulu barulah ada makanan di atas meja. Ya, ampun! Suami macam apa sih dia?

Betari melirik pria itu yang duduk di hadapannya. Wajah pria itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tapi, kalau melihat isi mangkuknya yang tinggal setengah, Betari sangat yakin kalau pria itu menikmati makanannya. Atau mungkin kelaparan. Apa pun itu yang jelas Betari tidak peduli.

“Kamu nggak jadi lapar?”

Pertanyaan macam apa itu?

Betari mengangkat pandangannya, sekarang dia terang-terangan menatap wajah pria itu. Kalau boleh jujur, Betari ingin sekali menyiramkan Indomie soto lamongan miliknya ke wajah suaminya itu.

Belum sempat Betari membalas, pria itu sudah kembali bersuara. “Kalau kamu udah selesai makannya. Kita pulang.” Lalu tanpa menunggu jawaban dari Betari, pria itu melangkah pergi meninggalkannya.

Whatttt!

Betari menatap tidak percaya pada mangkoknya yang masih penuh. Sehelai mie pun belum ada yang masuk ke mulutnya. Tapi pria itu sudah memutuskan kalau dia sudah selesai makan.

Tuh, kan. Suaminya itu memang benar-benar keterlaluan.

Betari menaruh sendok di tangannya ke atas meja. Rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun. Ya, Tuhan. Tolong tahan Betari supaya tidak langsung mencekik leher suaminya malam ini.

“Dasar manusia berdarah dingin!” umpat Betari pelan, lalu menyeret kakinya mengikuti pria itu keluar.

Tapi, Betari tidak langsung ikut naik ke dalam mobil. Dia sangat kesal dengan suaminya dan sangat lapar. Sejak tadi siang mereka pindah ke rumah baru hingga sekarang, Betari belum makan apa pun. Beruntungnya, dia tidak punya penyakit lambung.

“Kamu ngapain di situ? Cepat naik! Saya masih punya banyak kerjaan.” Sang suami terdengar tidak sabar.

Bodo amat. Pikir Betari.

Memangnya salah Betari kalau dia lapar?

Kalau boleh, Betari ingin kembali ke kehidupannya dulu sebelum terikat dengan pria itu. Atau kembali ke dua bulan lalu. Dia ingin menolak perjodohan atas dasar pemaksaan kakeknya menikahi Raden Umbara Atmojo, pria patung batu yang namanya seperti kutukan di telinganya.

Lama-lama Betari bisa terkena stroke hidup serumah dengan manusia patung itu.

Petaka. Petaka. Petaka.

(Telah direvisi pada 6 Mei 2023)

2. SATU

(Dua bulan lalu)

Sambil mengencangkan kimono tidurnya, Gendis Atmojo melangkah keluar tanpa sandal, menuju balkon yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya pelan dan berhati-hati, dia mendekati suaminya—Gading Atmojo yang berdiri di sana—memandangi langit yang pekat, rambut keperakan milik suaminya masih sedikit berantakan, tapi dia sudah mengenakan kembali pakaiannya. Angin malam terasa dingin tapi suaminya tidak terpengaruh.

Gendis Atmojo lalu memeluk tubuh suaminya dari belakang. Kepalanya dia benamkan di punggung suaminya yang lebar.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Gendis kepada suaminya. “Ini udah malam. Ayo masuk. Nanti kamu sakit, Mas.”

Gading Atmojo tidak menjawab. Tangan Gading menyentuh tangan Gendis yang melingkari perutnya dengan lembut, lalu mencium punggung tangannya lama sebelum berakhir menciumi jari jemari lentik itu.

Gendis semakin yakin kalau suaminya sedang tidak baik-baik saja. Hampir tiga puluh tahun Gendis hidup bersama Gading, bukankah waktu yang cukup lama untuk saling mengenal?

“Kamu kenapa? Cerita, dong, Mas.” suara Gendis memang lembut. Sedang marah pun Gendis tidak pernah sampai berteriak. Entah ngidam apa ibunya ketika hamil Gendis ini.

Gading Atmojo menghela napas. “Umbara.” Suaranya berat.

“Ada apa dengan Umbara?” tanya Gendis, lagi-lagi dengan suaranya yang lembut.

Ada apa dengan anak kebanggaannya itu? Setahu Gendis, Umbara, tidak pernah membuat masalah seperti adiknya, Jagad—yang lebih sering membuat Gendis sakit kepala.

Umbara sejak kecil memang pendiam, perilakunya sangat baik, cerdas dan selalu bisa membuat Gendis bangga. Umbara memang bukan anak kandungnya, tapi Gendis menyayangi Umbara sama seperti dia menyayangi Jagad.

Bagi Gendis, Umbara adalah anak kebanggaannya.

“Aku rasa, sudah saatnya Umbara menikah. Tahun ini umurnya sudah 35. Tapi, kamu lihat sendiri, kan? dia belum pernah sekalipun terlihat punya pacar.”

“Memangnya punya pacar harus dipemerin. Konyol kamu, Mas. Aku kira kamu punya masalah besar apa sampai murung gini.”

Gading memejamkan mata. “Aku takut desas-desus itu benar.”

Gendis melepaskan tangannya dari tubuh Gading. Jujur saja, Gendis sedikit kesal mendengar ucapan suaminya ini. “Anak kita normal.” tegasnya.

“Aku tahu. Tapi, aku tidak mau mereka terus membicarakannya.” Gading memang sudah muak mendengar gosip tentang anak sulungnya itu. Sebagai seorang ayah dia tidak ingin anaknya dijelek-jelekkan oleh siapa pun.

“Makanya kamu nggak usah dengerin omongan orang-orang, Mas.” sahut Gendis semakin kesal. Dia saja bisa. Kenapa suaminya tidak. Memangnya hanya Gading yang panas telinga mendengar gosip-gosip tidak jelas tentang Umbara. Kalau bisa, Gendis ingin sekali menyumpali mulut orang-orang yang tidak ada kerjaan itu.

“Sudahlah, Mas. Ini sudah malam. Ayo kita tidur lagi.” Kemudian Gendis berjalan masuk ke dalam kamar.

Gading mengikutinya sampai mereka naik ke ranjang, berbaring, dan bersiap untuk tidur.

“Gimana kalau kita jodohin saja.” kata Gading akhirnya, dia memang sudah lama memikirkan rencananya ini.

Gendis menoleh, menatap Gading yang berbaring di sampingnya.

“Dijodohin?” ulang Gendis. Keningnya berkerut. Kenapa suaminya sampai repot-repot seperti ini. Gendis yakin, Umbara hanya belum menemukan perempuan yang disukainya. Desas-desus itu tidak benar. Sekalipun memang benar, dia tidak peduli. Seperti apa pun Umbara, dia tetap anaknya. Anak kebanggaannya. Anak kesayangannya.

“Iya. Kalau nggak dijodohin, aku yakin dia nggak bakal nikah-nikah.”

“Mas, kamu kok gitu, sih sama anak sendiri.” keluh Gendis yang kembali menjadi kesal.

“Aku pengen Umbara menikah, punya anak-anak yang lucu. Biar kita punya cucu. Emang kamu nggak pengen punya cucu?”

Mendengar kata cucu, Gendis pun terpancing. Kalau boleh jujur, Gendis sudah lama ingin menimang cucu. Tapi, selama ini dia hanya berani menunggu. Umbara atau pun Jagad mereka sepertinya belum ingin menikah. Gendis bukan tipe orang tua yang akan mendesak anaknya untuk segera menikah.

“Ya, pengen.” sahut Gendis jujur.

“Makanya, Umbara harus nikah. Sekalian buktiin ke orang-orang kalau anak kita normal.”

“Tapi kalau Umbara nggak mau jangan kamu paksa, Mas.”

Gading menarik senyum. “Iya, Sayang.”

“Mau kamu jodohin sama siapa?”

Gading tidak benar-benar tahu, perempuan seperti apa yang diinginkan oleh anaknya. Tapi, dia punya beberapa kandidat perempuan yang menurutnya cocok bersanding dengan Umbara.

“Gimana kalau sama cucunya om Juan? Kezia atau Arimbi. Mereka umurnya nggak jauh-jauh dari Umbara. Cantik, Pintar, dan, kepribadiannya juga baik.”

Hadeh! Kenapa harus dua perempuan itu?

Gendis menarik napas. Gendis tidak ingin munafik. Kalau memiliki menantu seperti mereka, Gendis mana mungkin berani berhenti mengucap syukur pada Tuhan.

Kezia Choi dan Arimbi Salim. Kalau Gendis adalah seorang HR di perusahaan suaminya. Jelas, dia tidak akan menolak Sumber Daya Manusia berkualitas unggul seperti mereka.

Kezia Choi, hanya dalam waktu dua tahun saja dia sudah bisa membawa perusahaan periklanan milik ayahnya—Daniel Choi, meraih banyak penghargaan internasional. Sedangkan, Arimbi Salim, dia adalah pengacara muda yang juga memiliki segudang prestasi. Banyak kasus besar yang berhasil dia tangani. Kinerjanya di ranah advokasi jelas tidak bisa diragukan lagi.

Tapi.... Umbara. Bukan, dia tidak merasa anaknya tidak pantas untuk mereka atau sebaliknya.

“Kenapa nggak Betari saja?”

Gendis merasa perempuan seperti Betari lebih cocok untuk Umbara.

“Kamu yang bener, dong. Masa mau jodohin Umbara sama tukang buat obar. Yang ada bisa darah tinggi anak kita.”

...***

...

Betari sedang berbicara dengan kucing neneknya—Hello, ketika kakeknya yang selama ini tidak pernah mau berbicara baik-baik dengannya itu, memanggilnya.

“Tari, kamu dipanggil kakek.” kata Arimbi tanpa basa-basi begitu dia menemukan adiknya itu di taman belakang bersama Hello.

Kalau boleh jujur, Betari malas kalau harus menemui kakeknya itu. Paling juga si kakek mau marah-marah. Tapi, perasaan akhir-akhir ini Betari anteng-anteng saja.

“Buruan udah ditungguin mereka di kamar.” seru Arimbi.

Di kamar tidurnya, Juan Salim sedang duduk di sofa, membaca buku bersama istrinya—Widuri Salim yang juga sedang membaca.

Seingat Betari, terakhir dia masuk ke kamar kakek dan neneknya adalah ketika umurnya masih tujuh tahun dan kedua orang tuanya masih hidup. Makanya, Betari lebih akrab dengan ruang kerja sang kakek. Karena sering dipanggil ke sana untuk diomeli.

Widuri Salim tersenyum begitu menyadari kehadiran Betari. Lalu berkata sembari menepuk sisi kosong di sampingnya. “Tari, sini duduk sama nenek.”

Betari pun duduk di samping Widuri Salim. Neneknya itu kemudian mengelus puncak kepalanya dengan pelan, lalu merapikan anak rambutnya yang berantakan ke belakang telinga. Kebiasaan yang sering Widuri lakukan padanya.

“Kakek mau bahas apa sama aku?” tanya Betari. Entah kepada siapa sebenarnya pertanyaan itu dia berikan. Yang jelas Betari merasa aneh atau lebih tepatnya tidak nyaman kalau harus berbicara baik-baik dengan Juan Salim. Beruntung mereka tidak berdua saja.

“Kakek sama nenek mau jodohin kamu.” jawab Widuri tanpa basa-basi. Oh, ternyata Juan Salim juga merasakan hal yang sama dengannya. Baguslah kalau begitu. Betari juga malas kalau harus bicara baik-baik dengan orang seperti Juan Salim ini. Dia lebih suka membuat Juan Salim marah-marah.

“Hah! Dijodohin?” kening Betari berkerut. “Sama siapa?”

“Ada, deh. Kamu mau ya, Sayang.”

“Kalau Tari nggak mau boleh kan, Nek.” cicitnya lirih, takut kalau sang kakek akan menelannya bulat-bulat.

Kan benar. Juan Salim langsung memelototinya. Seperti singa yang siap menerkam mangsanya.

“Sekali-kali kamu nurut sama orang tua bisa.” Juan Salim, si singa kelaparan akhirnya bersuara.

Gawat. Gawat. Gawat

3. DUA

(Dua bulan lalu...)

Prayoga sedang sibuk memilih beberapa jas yang akan dia kenakan untuk acara ulang tahun ibunya nanti malam. Ketika sahabat karibnya—Betari Salim masuk ke dalam kamarnya tanpa basa basi, tanpa mengetuk pintu. Apalagi mengucap salam. Memang Betari Salim ini tidak punya tata krama. Tidak hanya itu, tabiatnya juga buruk. Pantas saja kalau Juan Salim alias kakeknya Betari sering darah tinggi. Yoga pun kalau menjadi Juan Salim pasti bawaannya mau marah-marah terus. Amit-amit. Amit-amit. Amit-amit jabang bayi, deh. Jangan sampai Yoga punya cucu seperti Betari Salim. Bisa-bisa mati cepat dari jadwal.

“Kebiasaan lo. Masuk nggak ketok pintu dulu. Untung gue nggak lagi telanjang.” tegur Prayoga.

Betari tidak menanggapi. Dia lalu duduk di single sofa yang ada di kamar Yoga—yang mana ada di depan jendela besar di kamar itu—yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi dan langit biru ibu kota.

Yoga yang merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Berbalik untuk mengamatinya sebentar dan benar saja, Betari hari ini terlihat murung seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin sama Datuk Meringih. Memang, sih, sejak putus dengan mantan pacarnya—Vino Risjad, si bejat, Betari tidak seceria dulu. Apa jangan-jangan sahabatnya ini sedang kangen sama si bejat. Dih, nggak banget deh.

“Nape lo, Bet? Kangen mantan?” tanya Yoga akhirnya tidak tahan.

“Amit-amit!” sahut Betari sewot.

“Lah, terus nape muka lo kusut kayak dasternya bi Inem yang nggak pernah disetrika gitu.”

Pandangan Betari menerawang ke luar. Hari ini, langit biru tak terlihat indah dimatanya. “Gue mau dinikahin.” kata Betari.

“Hah?” Yoga memelotot tidak percaya. “Serius?! Menikah?!”

“Hmm.” Betari mengangguk.

“Kok, mendadak banget kayak kabar duka aja.” celetuk Yoga.

Betari tidak menanggapi celetukan Yoga.

“Sama siapa?”

“Nggak tahu.”

Yoga menanggapi dengan cepat. “Hadeh. Gimana sih lo? Mau nikah tapi nggak tahu calonnya siapa. Kalau zonk gimana? Lo nggak tanya? Nggak penasan?”

“Malas gue ngomong baik-baik sama si Juan Salim.” Sahut Betari.

“Terus lo mau gimana?” tanya Yoga yang menjadi simpatik.

“Nggak tahu. Mati aja gimana.”

“Hush! Ngomong tuh jangan sembarangan.”

Betari mendesah kasar. “Gue nggak boleh nolak. Padahal sekarang bukan zaman Siti Nurbaya, tapi masih ada aja nikah paksa. Kakak gue sama Kezia yang umurnya udah tua aja si Juan Salim nggak repot-repot buat nyuruh mereka nikah. Giliran sama gue maksa-maksa.”

“Udah, Bet. Nggak apa-apa. Nggak usah lo pikirin terus. Terima aja dengan lapang dada. Biasanya pilihan orang tua nggak pernah salah.” kata Yoga mencoba menghibur Betari.

“Mending lo bantuin gue milih jas buat acara nanti malam.”

Yoga lalu berkaca melihat jas warna apa yang tepat untuk acara malam ini. Dia harus terlihat ganteng dan keren.

Yoga mencoba jas warna baby blue miliknya.

“Gimana? Ganteng nggak? Keren nggak?” Yoga berbalik memamerkan setelan yang dikenakannya itu kepada Betari.

“Bagus.”

“Bagus doang?!”

“Hmm.

...***...

Umbara baru saja pulang ke rumah orang tuanya, setelah seharian sibuk dengan pekerjaannya di galeri.

Selain membuat patung-patung, Umbara adalah pemilik sebuah galeri seni bernama Taman Jiwa. Galeri seni terbaik di Indonesia itu adalah warisan dari ibu kandungnya—Purbasari Tohjaya yang merupakan putri bungsu dari konglomerat ternama, Prabu Tohjaya.

“Umbara.” suara lembut itu menghentikan langkah Umbara yang akan naik ke kamarnya di lantai dua.

Dia menoleh.

Gendis Atmojo muncul dari arah dapur, membawa semangkuk anggur di tangannya. Sebuah senyum lembut terukir di bibirnya.

Umbara pun menyapa sang ibu.

“Ada sesuatu yang mau papa sama mama bicarakan sama kamu. Selesai mandi kamu ke ruang kerja papa, ya, Bara.” kata Gendis.

“Ya, Ma.” jawab Umbara.

Dua puluh menit kemudian Umbara keluar dari kamarnya menuju ruang kerja ayahnya di rumah. Dia sudah mandi. Wajahnya yang tadi terlihat lelah sudah segar kembali. Lalu kemeja hitam yang tadi dia kenakan sudah diganti dengan kaos putih polos.

Umbara mengetuk ruang kerja ayahnya. Sang ayah menyuruhnya masuk. Dia pun melangkah ke dalam dan menemukan ayahnya—Gading Atmojo sedang sibuk di depan laptop. Sedang ibunya—Gendis Atmojo duduk di sofa yang ada di ruangan itu, membaca majalah pernikahan.

Gading Atmojo lalu menutup laptopnya dan menunjuk kursi di depannya. “Duduk, Bara.”

Umbara duduk pada kursi di depan ayahnya. “Papa sama mama mau membahas apa?” tanya Umbara.

“Papa sama mama mau jodohkan kamu.” Jawab Gading tanpa basa-basi.

Umbara mengerutkan dahinya. “Dijodohkan?”

“Iya. Kamu mau kan, Bara.”

“Kenapa saya harus dijodohkan?”

“Kalau tidak dijodohkan kamu belum mau menikah dalam waktu dekat. Sedangkan papa sama mama kamu ini sudah kepingin nimang cucu. Umur seseorang tidak ada yang tahu.”

Umbara terdiam dan menatap serius kepada ayahnya. Jika sudah menyangkut kalimat ‘umur seseorang siapa yang tahu’ Umbara menjadi takut sendiri. Jujur dia belum siap jika harus kehilangan lagi. Maka dia tidak bisa menolak. Mungkin sudah saatnya Umbara membina keluarganya sendiri.

Semoga keputusannya benar. Lagi pula Umbara yakin pilihan orang tuanya tepat.

“Saya mau dijodohkan dengan siapa?” kata Umbara pada akhirnya.

“Ada, deh.” jawab Gendis Atmojo.

...***...

Monyet! Betari mengerang tertahan. Dia menunduk menatap bagian bawah gaun malamnya. Dia benci menjadi basah.

“Maaf, saya tidak sengaja. Permisi.” kata seseorang yang baru saja menabrak Betari dan menumpahkan minuman ke gaun malam miliknya. Monyet kurang ajar! Apa lo bilang?! Memangnya gue peduli lo sengaja atau nggak. Monyet! Monyet! Monyet!

“Heh!” tangan Betari dengan cepat menarik lengan si monyet yang baru saja akan melangkah pergi.

Si monyet menatap Betari. Sorot matanya dingin dan tidak terbaca.

“Apa.” kata si monyet. Suaranya tersengar tidak ramah.

Dasar monyet. Betari tidak terpengaruh. Dia menatap sengit si monyet.

Menantangnya. Tapi ekspresi si monyet tetap datar.

Monyet sialan! jangan harap urusan ini akan mudah. Lo sedang berhadapan dengan Betari Salim. Bukan mbok Inem, Monyet!

“Eh, Monyet, kalau jalan tuh lihat-lihat, dong. Baju gue kan jadi basah gara-gara lo. This is Gucci!” Betari sengaja menekankan kalimat terakhirnya.

“Saya nggak peduli.” sahut si monyet.

Whatttt! Wajah kesal Betari berubah menjadi semakin kesal. Dia menahan diri untuk tidak menendang monyet di hadapannya itu.

Saat Betari akan membalas kata-kata si monyet. Seseorang berseru memanggil namanya.

“Betari.”

Betari menoleh. Vanila tersenyum menatapnya.

“Lo di sini? Gue sama Milky cariin lo dari tadi.” kata Vanila. “Ayo cari tempat duduk. Udah pada penuh ini.” Lalu Vanila tanpa aba-aba menariknya pergi bersama Milky. Meninggalkan si monyet.

Tidak lama setelah mereka menemukan meja untuk mereka duduk bersama cara ulang tahun Dona Sasongko pun dimulai.

Urusan kita belum selesai, Monyet! Awas lo! Ketemu lagi habis lo!

Sepanjang acara ulang tahun ibu Prayoga, dalam hati Betari terus merapalkan kekesalannya pada si monyet.

Dasar monyetttt!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!