NovelToon NovelToon

Legiun

Prolog

09 Juli 2018

Pukul 23.14

GEMULAI lenggok Rani mengayun bak peragawati. Gaun merah yang dikenakannya merekah, menampakkan lekuk tubuhnya yang semampai. Hak tinggi sepatunya mengetuk-ngetuk permukaan lantai kamar 1503. Ketukan demi ketukan mengalun dengan jeda yang lambat, mengiringi langkah mundur Erwin Hartanto, bos produsen rokok terkemuka, PT. Djanggo. Mata perempuan itu menatap tajam Erwin, tak gentar dengan nama besar si cukong tembakau. Kaki-kakinya yang berjenjang terus mengayun langkah, mendesak sang pengusaha dan menuntun pria paruh baya itu menuju pembaringan kamar hotel.

Betis Erwin yang dipadati lemak bergetar-getar setiap telapak kakinya menjejak lantai. Pengusaha berbadan tambun itu terus melangkah mundur, sementara sorot matanya terbelenggu kemolekan makhluk jelita yang bergerak menghampirinya. Paras yang menawan, serta gesturnya yang nakal, rupanya telah digdaya menjerat pandangannya. Erwin terlampau ceroboh membiarkan kaki-kakinya yang gemuk melenggang tanpa pengawasan.

Langkah mundur Erwin kian melantur. Akibatnya, gundukan betisnya melanggar tepian ranjang, dan membuatnya hilang keseimbangan. Dalam sekejap, tubuhnya pun terjengkang dan BUMM! Terjadilah gempa berskala rendah di medan pembaringan. Gelambir lemak di perut Erwin seketika berguncang. Seiring reaksi daya pegas ranjang. Seiring gairahnya yang datang bergelombang. Seiring degup jantungnya yang terpacu kencang.

Gelombang yang melanda pembaringan semakin bergejolak saat lutut Rani mulai mencicipi pegasnya. Tubuh perempuan itu merayap bak seekor komodo yang sedang mengincar mangsa. Lidahnya menjulur keluar, menyapu bibirnya yang sensual. Sementara Erwin, si mangsa yang bertubuh gempal, tergolek di posisi terlentang. Pria itu semakin tak berdaya ketika Rani melompat menyergapnya. Perempuan itu mendaratkan tulang panggulnya ke paha Erwin, mengunci tubuh sang konglomerat di posisi dominatrix.

Seolah merasa telah menaklukkan mangsanya, Rani bertingkah semakin ganas. Dengan penuh gairah, perempuan itu menyerang Erwin dengan sejumlah kecupan liar yang mengarah pada bibir, wajah, dan daun telinga sang konglomerat. Seketika, aroma wewangian menggelitik bulu hidung Erwin. Semerbak buah persik berpadu dengan eksotika bunga amber, Signorina Misteriosa Eau de Parfum, mahakarya produsen Perancis, Salvatore Ferragamo.

"Om sudah siap?" bisik Rani, tepat di daun telinga Erwin. Si gempal mengangguk kikuk, seolah telah menyerah takluk.

Perempuan itu menurunkan ritsleting gaun di punggungnya. Erwin yang tak sabar menanti pun mulai bertingkah tak karuan. Pria yang dikenal liat dan taktis oleh para rival bisnisnya itu seolah kehilangan aura. Gairahnya yang memuncak tak lagi terbendung. Pertahanan dirinya benar-benar rapuh, tak terjaga dengan sebagaimana mestinya. Di saat-saat seperti itulah, bahaya mulai mengancam tanpa disadarinya.

Erwin mendadak terkesiap ketika sepasang trisula tiba-tiba muncul dari punggung gaun Rani. Seketika itu pula, gairah Erwin menguap, terusir oleh kepanikan yang datang merentap. Pengusaha rokok itu semakin panik ketika ujung-ujung trisula meluncur ke arahnya. Mengandalkan reaksi kejut yang ala kadarnya, tangan kanan Erwin mencoba menangkis, namun laju trisula tetap tak terelakkan meski hanya sanggup melubangi tangan kanannya. Logam bermata tiga itu melesap mulus pada lengan kanan sang konglomerat.

Kontan, Erwin memekik dan mencoba memberontak. Lututnya bereaksi dengan menghantam pinggul Rani hingga membuat wanita itu terpental entah ke mana. Dirongrong kepanikan, Erwin berusaha menepi dari pergumulan. Tubuhnya berguling-guling untuk menjatuhkan diri. Tak lama setelahnya, lantai kamar 1503 berdebum ditimpa tubuh gempal sang konglomerat yang berusaha menyelamatkan diri.

Di permukaan lantai, Erwin berusaha mendayung tubuhnya menuju pintu kamar. Susah payah pria tambun itu bergerak melata, meniru gerakan seekor ular. Malangnya, upaya itu tak terlalu membuahkan hasil. Jarak yang terbentang menuju pintu kamar mustahil bisa ditempuh dalam waktu singkat. Mustahil ia bisa keluar dari ruangan ini dengan selamat. Namun, saat ia mulai dibayangi keputusasaan, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu kamar.

"Selamat malam, Bapak. Bisa saya antarkan masuk pesanannya?" Suara ramah seorang laki-laki tiba-tiba terdengar dari luar pintu kamar. Seolah merasakan sedikit terpaan angin segar, Erwin pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Malaikat penolong telah tiba, pikirnya. "TOLOONG! TOLOOOONGGG!! SAYA MAU DIBUNUH!!"

Sementara ketukan pintu semakin kencang berbunyi, Erwin tetap berikhtiar untuk menggapai pintu kamar. "TOLOOONGGG!"

Ajaib, lolongan Erwin yang terakhir rupanya berhasil membuat pintu kamar terbuka, tanpa kartu akses atau kunci darurat. Sementara itu, tepat di ambang pintu, sang malaikat penolong menampakkan diri. Dari seragam concierge yang dikenakannya, siapapun akan langsung menduga bahwa sosok pria itu adalah petugas hotel. Tangan pria itu tampak mendorong sebuah kereta troli. Sebotol anggur dan dua buah gelas tirus kosong berjajar di atas piranti yang lazim digunakan untuk mengangkut makanan pesanan.

"Tolong, Mas! Ada yang mau bunuh saya!" Petugas hotel yang penasaran segera memarkir trolinya di ujung kamar, menutup pintu, dan langsung menyisir seisi ruangan, namun hasil pencariannya nihil.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, Pak," lapor petugas hotel, yang kemudian menghampiri Erwin. Napasnya tertahan saat lengan gempal sang konglomerat membebani tengkuknya. Tak bisa dimungkiri, pria kurus itu kerepotan juga memapah tubuh Erwin.

"Antarkan saya keluar kamar saja, Mas." Erwin meminta pada pria itu.

Sejurus kemudian, ekor mata Erwin melirik sebotol anggur yang teronggok di atas troli pesanan. Di saat itulah, sebelah alisnya melejit. Ia baru menyadari sebuah kejanggalan. Siapa yang memesan anggur, tanyanya dalam hati. Namun, belum sempat kecurigaannya berkembang, ia kembali mendapati pemandangan yang aneh dari wajah sang petugas hotel. Wajah pria itu tak lagi ramah, melainkan justru berubah dingin. "Bapak Erwin Hartanto, ada kiriman untuk Anda."

Erwin kembali terperanjat saat pria petugas hotel menyibak seragamnya dan menghunus sebilah parang entah dari mana. Logam bertepian tajam itu melesat dengan kecepatan tinggi dan mengenai lehernya. Sang konglomerat tak mampu bereaksi cepat untuk menghindarinya.

Darah segar memancar dari sisi kiri leher Erwin. Si cukong rokok pun terhuyung. Namun, sebelum ambruk, sebuah ayunan lutut menghantam tulang belakangnya hingga menimbulkan bunyi 'krak'. Napas Erwin tercekat. Tubuh gempalnya terpelanting dalam dua kali putaran sebelum jatuh terlentang di atas karpet lantai kamar 1503.

Jantung Erwin berdesir saat mengenali sosok yang baru saja mematahkan tulang punggungnya. Rani, sang perempuan panggilan, kembali mewujud. Perempuan itu berjongkok di sebelah kanannya dengan tatapan sedingin salju.

Melihat tubuh sang konglomerat tak lagi berdaya, Rani, si gaun merah, perlahan bangkit dan menghampiri petugas hotel. Dua sosok biang keributan di kamar 1503 kali ini berdiri saling bersisian. Perlahan, logam-logam bermata tajam yang berada dalam genggaman mereka kembali terangkat. Dalam hitungan detik, logam-logam itu meluncur serentak. Buntalan lemak di perut Erwin menjadi sasaran utama. Bersamaan dengan suara mengerang Erwin yang menyentak keheningan, cairan berwarna merah pekat berhamburan. Tak cukup hanya dengan satu serangan, logam-logam pun kembali terangkat dan dengan serta-merta tubuh Erwin yang tak lagi berkutik dipaksa menerima serangan bertubi-tubi. Maka, terciptalah pemandangan menyerupai air mancur berwarna merah di lantai kamar 1503

"Setelah ini, aku mau pulang." Di sela-sela gerakan menusuk dan mencincang tubuh korbannya, Rani berucap. Meskipun agak lirih, suaranya terdengar agak berat seperti sedang terjangkit flu.

"Tolong jangan lakukan itu sekarang. Kita baru berbaikan kemarin. Lagipula, masak aku harus mengurus mayat ini sendiri?" Pria petugas hotel membalas sambil terus menebaskan parangnya ke arah tubuh sang konglomerat yang mulai kehilangan bentuk aslinya.

"Kamu yang terima job ini.” Si Merah berkilah. “Kamu yang tanggung jawab."

Wanita itu akhirnya menghentikan aktivitas tangannya. Parasnya yang jelita tetap dingin, meski kali ini bercampur dengan raut masam menahan amarah. Sementara itu, sang pria petugas hotel--yang juga ikut menghentikan tebasan parangnya--lantas menghela napas. "Baiklah. Nggak masalah. Lagipula, aku sudah terbiasa sama yang beginian." Sambil mengumbar senyum, pria itu menggamit tangan Rani dan bermaksud mencium punggung telapak tangannya. Namun, dengan cergas Rani menarik tangannya dan membuat si pria hanya mencium angan-angan belaka.

Pria petugas hotel hanya bisa menelan senyum dan pasrah ketika melihat Rani--atau siapapun nama asli wanita itu--beranjak pergi melalui pintu balkon. Dalam hitungan detik, si Merah pun lenyap ditelan kegelapan. Menyaksikan hal itu, muka si pria mendadak kecut. Napas panjang kembali melenggang melalui lubang hidungnya yang pipih. Tak lama berselang, ia pun mulai menyingsingkan lengan seragamnya yang berlumur darah dan serpihan organ dalam. Sembari memunguti beberapa bagian tubuh korban yang terpotong-potong, ia berdeham ringan seolah hendak bersiap mengambil nada.

"I won't forget... the way… you're kissing..."

Dari kegelapan yang menguar di luar balkon, sayup-sayup terdengar suara Jascha Richter, vokalis Michael Learns To Rock, dengan kearifan lokal.

*****

Rama Lazuardi

18 September 2018

Pukul 04.27

DARI buku-buku mata pelajaran Kewarganegaraan yang pernah kupelajari di bangku sekolah, seorang filsuf legendaris asal Yunani, Aristoteles, pernah menyebut manusia dengan istilah Zoon Politikon. Kata zoon artinya 'hewan', sementara politikon berarti 'masyarakat'. Gabungan kata itu ditafsirkan oleh banyak pakar filsafat dengan makna bahwa umat manusia sejatinya adalah makhluk sosial.

(Lalu, apakah kau percaya pada omong kosong itu, Rama?)

Di pagi-pagi buta seperti ini, pikiranku berpetualang mengingat masa lalu. Kalau kata orang, menembus lorong waktu. Suatu kali, aku mendapatkan kisah dari salah seorang senior di panti asuhan tentang asal-usulkuya, dulu aku memang tinggal di panti asuhan. Konon katanya, dua puluh tahun silam, aku ditemukan di emperan sebuah halte, saat aku masih berwujud bayi merah, oleh pria yang mengelola panti asuhan. Ya, begitulah yang kudengar. Jadi, kalau bukan karena pria pengelola panti asuhan itu, aku tidak akan tahu nasibku akan menjadi bagaimana.

Kalau bukan karena pria pengelola panti asuhan itu, aku juga tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Tak tanggung-tanggung, hingga ke jenjang sarjana pula. Dan, konon kabarnya, kalau bukan karena rekomendasi dari pria pengelola panti asuhan itu, aku juga tidak akan dengan mudah menembus seleksi rekrutmen wartawan di Metropolis, kantor surat kabar yang—walaupun bukan merupakan salah satu yang paling elit di ibukota—paling tidak bisa menjadi tempat untuk batu loncatan bagi wartawan muda seperti aku.

Nama pria pengelola panti asuhan itu adalah Pak Pri. Lucunya, aku harus jujur bahwa seumur hidup aku sama sekali belum pernah melihat wujudnya. Ada seorang senior di panti asuhan yang mengatakan bahwa Pak Pri adalah seorang pengusaha yang sukses melebarkan sayap hingga ke Eropa. Ada pula senior yang bercerita bahwa dia adalah seorang juragan obat yang berupaya menuntut ilmu pengobatan hingga ke negeri Tiongkok—kisah yang satu ini diperjelas dengan deskripsi wajah Pak Pri yang menyerupai orang Tionghoa. Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan kebenarannya. Aku tidak mau menelan mentah-mentah cerita orang-orang. Soal siapa beliau dan di mana beliau berada sekarang, itu tidak lagi penting. Bagiku, Pak Pri tetap menjadi satu-satunya makhluk sosial yang pernah kutemui di dunia ini. Lagipula, itu masa lalu. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi mengubah masa depan, siapa yang tahu?

(Sudahlah, Rama. Jangan sok tahu.)

Perkara keinginan untuk mengubah masa depan inilah yang menuntunku hingga berada pada situasi sekarang. Empat tahun yang lalu, tepatnya setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mengakhiri masa baktiku di panti asuhan. Meskipun pahit, aku harus mengambil risiko itu demi membuka jalan kesuksesan. Lewat rekomendasi dari seorang teman satu panti asuhan, aku berhasil mendapatkan sebuah kamar di lantai tiga bangunan rumah susun ini untuk sekadar menjadi tempat bernaung. Namun, sejujurnya kamar ini hanyalah tempat transit karena sejatinya waktuku memang banyak dihabiskan untuk mencari bahan berita di lapangan.

Sementara jam tangan sudah hampir menunjukkan pukul lima pagi, aku tersadar untuk segera bergegas. Aku tidak boleh lupa akan satu hal. Seperti yang telah bertahun-tahun lamanya menjadi rutinitas setiap pagi di tanggal 18 sebelum berangkat, aku meraih selembar amplop cokelat berisi sejumlah uang yang tergeletak di atas meja kerjaku. Dengan sedikit melejitkan telapak kaki, lembaran amplop gemuk itu kuselipkan di sela-sela lubang ventilasi. Cara semacam itulah yang biasa diterapkan para penghuni rumah susun ini untuk melakukan pembayaran uang sewa. Di saat-saat tertentu, lubang ventilasi yang berada di atas kusen pintu kamar itu memang bisa berubah fungsi menjadi semacam kotak pos darurat.

Kemudian, aku segera bertolak untuk berangkat ke kantor Metropolis, kantor tempat surat kabar murah dicetak untuk ditawarkan di warung-warung kopi, kios tukang cukur, atau bengkel pinggiran jalan untuk sekadar dibaca sambil lalu.

Seperti biasa, setiap langkahku saat melintasi koridor lantai tiga terasa ringan. Ya, harus dipaksakan untuk terasa ringan agar mood tetap terjaga.

Sayangnya, belum genap semenit aku melangkah dari pintu kamar, tiba-tiba saja aku sudah merasa berat untuk melanjutkan. Bukan lantaran rasa malas atau jenuh, melainkan karena sebuah pemandangan pilu yang kebetulan mampir di depan mata dan mengusik nuraniku. Rasa iba mendadak muncul saat mataku menangkap penampakan sosok tubuh ringkih yang terduduk di atas bale bambu di depan salah satu kamar di rumah susun ini. Tentu saja, aku mengenalinya karena beliau adalah tetanggaku sesama penghuni lantai tiga.

(Abaikan, Rama. Tinggalkan dia sendiri.)

Pagi-pagi sekali, Pak Sairan, pria 40 tahun pengidap kelainan autisme, sudah menampakkan diri dalam wujud yang mengundang empati. Pria itu tampak asyik memotongi kuku jari kakinya sendiri dengan gunting kecil di tangannya.

Didesak oleh dorongan nurani yang cukup kuat, hatiku tergugah untuk melakukan sesuatu. Maka, segera kuloloskan lengan kananku dari jeratan kolong ransel. Bola mataku masih belum lepas memandang Pak Sairan sembari tanganku merogoh kocek ransel dalam-dalam. Kukeluarkan seporsi roti isi pisang bekal sarapanku.

"Pak Sairan," sapaku sembari merunduk dan mengangsurkan roti isi itu menuju tangannya yang kurus.

Namun, sialnya, belum sempat roti isi itu berpindah tangan, aku merasakan sebuah dorongan dari arah belakang. Seketika, aku pun terhempas. Malangnya lagi, roti yang kugenggam terlempar menjauh. Belum usai juga, terdengar derap kaki terburu-buru dan plok! Habis sudah! Seolah tidak perduli, si empunya derap kaki menginjak potongan roti yang terjatuh.

"Hey, Mas!” Aku berseru kesal, mencoba memperingatkan orang yang melangkah tergesa-gesa itu. “Hati-hati dong kalau jalan!" Namun, alih-alih menghampiri dan meminta maaf, orang itu justru mengabaikan dan terus berlalu meninggalkan koridor lantai tiga.

Sembari bangkit, aku mengamati reaksi Pak Sairan yang—seperti halnya penderita autis kebanyakan—tampak tidak perduli sama sekali. Cuma sebatas melirik, ia lantas kembali tenggelam dalam rutinitas memotong kukunya.

Di sisi lain, aku berusaha keras menahan murka. Dalam hati, aku mengutuk meski pada akhirnya aku harus maklum. Sikap acuh tak acuh orang yang baru saja melintas itu sesungguhnya mewakili perangai sebagian besar penghuni rumah susun ini.

Insiden kecil yang baru saja terjadi itu sekilas mengingatkanku pada peristiwa yang beberapa bulan silam menimpa Teja, seorang penghuni rumah susun lantai satu yang menderita lumpuh. Kala itu ia terjatuh saat hendak menuruni tangga dan peristiwa itu terjadi tepat di hadapan sejumlah penghuni yang kebetulan sedang memadati koridor lantai satu. Teja yang kesulitan untuk bangkit berteriak meminta bantuan. Ironisnya, kendati teriakan Teja sudah menggema hingga ke kamarku di lantai tiga, tidak ada seorang pun penghuni yang tergerak untuk menolong. Akhirnya aku pun harus tergopoh-gopoh turun ke lantai satu. Saat itu, aku menyaksikan sendiri tangannya berusaha keras mencari tumpuan untuk bangkit, tetapi hanya rambut gimbalnya saja yang bergerak melambai-lambai. Sungguh malang.

(Tahu dari mana kamu soal kemalangan seseorang? Sudah kubilang jangan sok tahu.)

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sudah tidak nyaman bersinergi dengan lingkungan sosial semacam ini. Berkali-kali terlintas niat untuk hijrah ke tempat lain, tetapi langkahku selalu tertahan oleh pertimbangan finansial. Biaya sewa di rumah susun ini memang sangat nyaman untuk isi kocekku.

Lagipula, lingkungan sosial sebaik apa yang bisa ditemukan di ibukota? Setelah kupikir-pikir, orang-orang ibukota juga tak kalah cueknya. Itu juga alasanku mengapa memutuskan untuk menyematkan gelar makhluk sosial satu-satunya di dunia kepada Pak Pri, sang pengelola panti asuhan.

Merasa tak ada lagi yang bisa kuperbuat untuk Pak Sairan, aku pun memutuskan untuk kembali meringankan langkah demi langkah hingga memasuki tangga utama rumah susun. Ketika melintasi tangga utama ini, aku baru teringat salah satu pertimbangan yang selalu membuatku mengurungkan niat untuk meninggalkan rumah susun ini. Entah mengapa, aku selalu merasa takjub dengan nuansa klasik nan eksotis yang terpancar dari tata ruang gedung rumah susun yang baru bisa kunikmati saat melintasi tangga utama.

Bagian yang kerap menyita perhatianku adalah desain anak tangganya yang melingkar bak ular raksasa. Anak tangga itu menghubungkan koridor tiap-tiap lantai dari mulai lantai dasar hingga ke bagian lantai paling atas. Atap bangunan di areal sekitar anak tangga sengaja dibiarkan terbuka sehingga para penghuni yang hendak naik turun tangga dapat menikmati paparan sinar matahari secara langsung. Sementara di lantai dasar, sebuah taman bunga mini berbentuk lingkaran didapuk menjadi pemanis tata ruang. Singkatnya, setiap pemandangan yang tersaji saat melintasi tangga utama rumah susun ini benar-benar nyaris sempurna, kecuali ...

"EHEMM!"

Mendadak kesunyian terpecah. Aku terkesiap mendengar suara deham yang muncul tiba-tiba tepat saat aku hendak menuruni anak tangga. Tentu saja aku mengenali suara itu. Pasalnya, suara misterius itu senantiasa membuat bola mataku bergerilya, memindai segala sudut eksotis tangga utama. Dan, pada akhirnya pemindaianku selalu berakhir di sudut yang mendekati atap bangunan. Ya, suara itu berasal dari lantai paling atas, lantai enam.

Bulu kudukku sontak meremang. Jauh di atas sana, aku melihat sosok itu, sosok yang paling kuhindari di rumah susun ini. Dialah pemilik tatapan mata menyeramkan itu. Sepasang bola mata pria itu laksana mata pisau yang siap menghujam jantung. Dan, bola mata itu kini tengah menyorot gerak-gerikku! Apa yang harus kuperbuat?

Budiman Rudiantoro

02 Oktober 2018

Pukul 20.12

KLEK! Bunyi tuas pemantik api ini memang berkarakter. Klasik, tetapi elegan. Tak percuma aku mengimpornya jauh-jauh dari Swiss. Api yang dihasilkannya pun juga sangat berkualitas. Ada dominasi warna biru yang menguncup di bagian ujungnya. Nyala api seindah itu hanya mampu dihasilkan lewat perpaduan antara sistem perapian yang steril dengan bahan bakar spiritus kelas satu. Kualitas api semacam ini juga turut andil menjaga aroma dan cita rasa asli tembakau di dalam pipa cangklong.

Puas menghisap ujung pipa cangklong itu, sebuncah asap kenikmatan kukepulkan dengan bangga ke udara. Asap berwarna putih itu pun bergulung riang. Aku tak perlu mencemaskan bau sangit yang dapat ditimbulkannya beberapa jam kemudian. Ruangan kerja ini dirancang dengan sirkulasi udara yang sangat baik. Lubang-lubang ventilasi yang didesain khusus sengaja ditempatkan di beberapa titik dengan menyesuaikan arah angin. Itu sebabnya ruangan ini sama sekali tak membutuhkan jasa mesin pendingin. Meski fungsinya bukan sebagai penyejuk ruangan semata, kipas-kipas kecil yang terpasang di beberapa sudut ruangan sudah cukup mampu menjalankan tugasnya. Yakni mengatur rute pergantian udara melalui lubang-lubang ventilasi yang tersedia.

Bicara mengenai tembakau, rasanya aku sudah cukup layak untuk disebut khatam dengan barang candu itu. Telah kuhabiskan separuh masa hidupku dengan berkelana hingga ke mancanegara untuk mencicipi berbagai macam jenis tembakau di seluruh dunia. Masing-masing jenis dan varian menawarkan cita rasa tersendiri yang menjadi identitas sekaligus nilai jual yang sangat prestisius masing-masing negara penghasil tembakau.

Oleh sebab itu, acap kali aku merasa gemas melihat tingkah para cukong rokok di negeri ini. Bagiku pribadi, mereka tak lebih dari sekumpulan pecundang yang tidak punya kapasitas memainkan bisnis tembakau. Padahal, dunia mengenal negara ini sebagai salah satu negeri penghasil tembakau kelas satu. Dengan reputasi setinggi itu, negara besar ini seharusnya mampu berbicara lebih banyak di bidang ekspor rokok dan cerutu. Sebagai penggemar berat asap tembakau, aku merasa perlu turun tangan. Diam-diam aku memelihara mimpi untuk mengambil alih pengelolaan bisnis tembakau di negara ini.

Dan mimpi besarku itu tampaknya bakal terwujud dalam beberapa bulan ke depan. Petang ini aku menerima faximile dari staf legal. Kabarnya proses akuisisi saham perusahaan rokok PT. Djanggo milik Hartanto Group hanya tinggal menunggu waktu. Publik telah banyak mengetahui bahwa perusahaan milik keluarga Hartanto itu nyaris bangkrut pasca ditinggal wafat si sulung, Erwin Hartanto. Hal itu tak terlepas dari krisis internal di kubu Hartanto Group selama ini yang dikenal bermasalah dengan proses regenerasi di jajaran direksi.

Di antara ketujuh adiknya, Erwin adalah orang satu-satunya yang dianggap mewarisi talenta pebisnis mendiang ayahnya, Lius Hartanto. Pasca kematiannya yang mendadak, keluarga Hartanto belum menemukan sosok pengganti yang sepadan. Akibatnya, beberapa bulan belakangan Hartanto Group limbung. Harga saham perusahaan melorot drastis dan tak mampu berbuat banyak untuk mengangkat nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pertarungan bursa efek internasional. Bahkan, nilai saham konglomerasi produsen rokok filter Djanggo Super itu diprediksi akan semakin melemah menjelang akhir tahun ini.

Secara pribadi, aku telah menyusun sebuah rencana besar untuk menyiasati situasi. Di saat-saat kritis nanti, ketika situasi internal di tubuh Hartanto Group sudah semakin mengkhawatirkan, namaku akan muncul ke permukaan sebagai sosok penyelamat. Ini murni bisnis. Tak jauh berbeda dengan dunia politik, dunia bisnis memang culas. Untuk menjadi pemenang, seorang pebisnis sejati harus merancang trik-trik khusus agar mampu bersaing di garda depan. Kejujuran hanya ada di surga, sementara dunia ini tak menawarkan apa-apa, selain kepalsuan.

Sementara itu, televisi di ruangan kantor pribadiku ini kubiarkan menyala tanpa penonton sejak tadi. Tega-teganya aku mengabaikan perempuan cantik itu berbicara sendirian di layar kaca.

“Bersama saya Tina Saraswati, inilah Kilas Malam."

Suaranya yang semerdu biola menjadi salah satu daya tarik. Aku sungguh beruntung pernah mendengar suaranya langsung dalam beberapa kesempatan. Sudah lama aku tak lagi menjalin kontak dengannya, untuk sekadar mengobrol atau berduaan di apartemen pribadi miliknya. Kalau bukan karena istriku yang pencemburu, mungkin perempuan itu sudah sah menjadi istri keduaku.

PENYIDIKAN KASUS MUTILASI ERWIN HARTANTO BUNTU

Mendadak tawaku tergelak usai menyaksikan tajuk berita tentang kasus pembunuhan Erwin Hartanto. Hampir genap tiga purnama sejak kasus itu terjadi, proses investigasi kepolisian sejauh ini tak kunjung menemui titik terang. Aku tak bisa menyalahkan institusi kepolisian yang kerap dituding bekerja terlalu lamban. Para polisi berpangkat rendah itu cuma berusaha tunduk pada perintah atasan. Pada dasarnya para polisi yang digembleng bertahun-tahun di akademi itu tak sebodoh penilaian publik. Selama ini mereka cuma dituntut untuk mawas diri. Mereka paham dengan siapa mereka akan berhadapan apabila bertindak terlalu jauh melangkahi wewenang.

POLISI PERIKSA PETUGAS SECURITY HARTANTO GROUP

Tajuk berita yang lain menyusul di kolom headline. Suara kekehku semakin tergelak mencermati skenario yang coba dibangun pihak kepolisian melalui media. Selama ini mereka memang piawai dalam menyusun cerita rekaan. Meski kadang kala aku merasa geli dengan cerita karangan mereka, kinerja institusi bersemboyan 'Pelindung dan Pengayom Masyarakat' itu sejauh ini terbilang memuaskan. Loyalitas mereka terhadap jajaran konglomerat sungguh patut mendapatkan pujian.

Sementara kegelapan malam semakin mendekap langit, udara dingin yang menyelinap lewat lubang-lubang ventilasi di ruangan ini mulai menebar serbuk kantuk ke seluruh penjuru ruangan. Kantung mataku mulai menggumpal akibat berminggu-minggu dicekam sejumlah aktivitas yang melelahkan. Sejenak aku melirik cermin di meja kerjaku. Wajah di cermin itu tampak tirus kelelahan. Sepertinya aku mutlak membutuhkan waktu istirahat.

Dengan sisa-sisa konsentrasi, aku meraih gagang telepon dan menekan tombol redial.

"Suruh Heri panaskan mesin mobil. Saya mau pulang," perintahku pada salah seorang sekretaris di lobi lantai satu.

Usai menandaskan asap terakhir, kumatikan nyala api di dalam pipa cangklongku. Melihat layar televisi yang masih menyala, tanganku langsung menggamit remot kendali televisi itu dan mengarahkan ujung telunjukku ke tombol Off, namun niatku itu mendadak terurungkan. Perhatianku tiba-tiba tersita oleh sebuah tayangan berita. Sementara genggamanku pada remot televisi mulai turun perlahan, mataku terkesima memelototi siaran berita itu. Sebaris tajuk hangat telah membuat tenggorokanku tercekat hebat.

KASUS SUAP SPORT CENTRE SERET NAMA BANYAK PENGUSAHA

Bunyi tulisan yang tertera di kolom tajuk berita itu tiba-tiba membekap indera pernapasanku. Belum pulih keterkejutanku, sebuah tulisan lain melintas di kolom running text.

PENGUSAHA BERINISIAL B.R. DIDUGA TERLIBAT

Seketika genggaman tanganku pada remot televisi mengencang. Gigiku gemertak. Mulutku mendesis gemas. Dadaku memanas. Darah yang mengalir di sekujur tubuhku mendidih. PRANG! Amarahku kulampiaskan dengan melempar remot ke arah layar televisi. Lemparanku tepat mengenai permukaan kaca yang melapisinya dan menimbulkan retak kecil. Di tengah emosiku yang meninggi, aku mencoba mengatur ritme napasku yang terburu-buru.

Sebenarnya sudah lumayan lama aku mengawasi orang-orang ini. Orang-orang Komite Anti Korupsi itu memang gemar memancing emosi. Mereka tak sadar dengan siapa sesungguhnya mereka sedang berurusan. Aku yakin sekerumunan muda-mudi polos yang sok pahlawan itu tak tahu apa-apa soal politik. Ironisnya, mereka nekat mengumbar kepolosan mereka di depan kamera pers.

Dengan tergesa-gesa, aku merogoh saku jas Armani-ku. Ponsel androidku pun keluar sarang. Di saat-saat seperti ini, aku harus mempersiapkan langkah-langkah preventif. Salah satunya dengan menghubungi kaki tanganku di kantor kejaksaan. Selama ini mereka selalu dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang hendak menjegal langkahku.

“Aku butuh bantuan. Usahakan jangan sampai kasusku naik ke meja hijau. Hubungi semua hakim Tipikor. Aku butuh jaminan dari mereka agar statusku tetap sebagai saksi."

“Memangnya ada apa, Bos?"

“TV di rumahmu sudah kamu jual semua? Kamu nggak lihat berita barusan? Namaku lagi disorot media gara-gara proyek Kementerian Olahraga! Cepat atau lambat aku bakal diperiksa K.A.K!"

“Oh soal itu? Kalem, Bosku. Kita sudah tahu mesti gimana."

“Upayakan secepatnya! Jangan sampai aku gagal nyaleg gara-gara kasus itu!"

“Siap, Bosku. Tahu beres aja."

“Nggak usah banyak omong! Lakukan saja yang kusuruh!"

Buru-buru kumatikan sambungan telepon sebelum begundal itu merespons. Kendati sudah ada jaminan dari orang kejaksaan, batinku masih saja terkungkum gelisah. Merasa belum puas, aku kembali meraih telepon pintarku. Ibu jariku lincah menggeser layar sentuhnya. Mataku memindai beberapa nomor kontak yang tersimpan pada drive telepon. Aku menyadari posisiku saat ini tidak menguntungkan. Menyuap orang-orang kejaksaan saja tidak akan cukup untuk meloloskanku dari jeratan hukum. Awak media jelas-jelas telah mengendus keterlibatanku. Perhatian publik akan tercurah pada perkembangan kasus ini.

Setelah memijit tombol hijau di ponsel, kulekatkan speaker ponselku itu di telinga kanan.

“Halo, Bang. Aku lagi ada masalah. Kapan ada waktu?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!