NovelToon NovelToon

Nabia Sky

Nabsa 1

Tap tap tap.

Suara langkah kaki setengah berlari langsung terdengar di area parkir yang sudah mulai sepi tersebut. Hujan gerimis juga membuat suasana di lokasi parkir yang terletak di sebelah kiri gedung tampak semakin sepi dari pengunjung.

Seorang perempuan tampak tergesa-gesa hingga setengah berlari menuju lobi utama gedung tersebut. Napasnya juga sudah mulai tersengal-sengal akibat cepatnya dia berjalan.

Huh huh huh.

Napas memburu langsung terdengar begitu perempuan tersebut menghentikan langkah kakinya setelah tiba di pintu masuk lobi. Sambil mengatur napas dan penampilannya, perempuan tersebut bergegas melangkahkan kaki menuju resepsionis. Tak lupa sebuah senyum terulas dari bibirnya.

"Selamat malam, Mbak Bia. Tumben terlambat," sapa seorang resepsionis dengan name tag Andara. Kebetulan, Andara cukup mengenal Bia karena sudah sering sekali perusahaan Bia mengadakan acara di tempat tersebut.

"Tadi masih ada urusan sebentar, Mbak. Jadi diberesin dulu sebelum kesini," jawab perempuan tersebut berkilah.

Sang resepsionis hanya bisa mengulas senyuman manis sambil menyodorkan buku tamu untuk ditandatangani oleh Bia. Ya, perempuan yang baru saja datang tersebut adalah Nabia Ayyara Putri. Seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang bekerja sebagai salah satu staff pemasaran di sebuah perusahaan properti, D'Vins Property, atau lebih sering disebut DVP.

Malam ini, dia mendapatkan tugas untuk menggantikan Bu Sonia, atasannya sebagai manager pemasaran, untuk menghadiri sebuah acara perkenalan produk dari salah satu perusahaan rekan bisnis DVP. 

Nabia yang awalnya sedang santai-santai rebahan menikmati weekend nya, tiba-tiba mendapat telepon dari Bu Sonia untuk menghadiri acara tersebut. Mau tidak mau, Nabia langsung bergegas bersiap-siap dan berangkat menuju tempat acara. Meskipun terlambat, Bu Sonia tetap meminta Bia untuk hadir.

Dan, disinilah akhirnya Bia berada. Setelah mengisi daftar hadir, Bia langsung berjalan memasuki tempat acara dengan diantar oleh seorang petugas resepsionis. Dia hanya bisa menghela napas berat saat mulai memasuki tempat acara.

Bia masih mengikuti petugas yang mengantarkannya menuju meja yang sudah disiapkan untuk Bu Sonia. Meskipun bukan pejabat penting di sana, namun Bia mewakili atasannya tersebut. Alhasil, dia juga harus menempati kursi yang disiapkan untuk Bu Sonia.

Sebenarnya, Bia tidak terlalu terlambat datang malam itu. Acara masih sampai pada tahap sambutan belum mulai ke acara inti. 

Setelah mendapatkan tempat duduk, Bia menyapa beberapa orang yang berada satu meja dengannya saat itu. Ada sepasang suami istri paruh baya, seorang bapak-bapak dengan perut buncit, seorang perempuan muda berhijab dan suaminya, serta yang terakhir adalah Bia.

Setelah beramah tamah, Bia yang saat itu duduk di antara perempuan paruh baya dan bapak-bapak dengan perut buncit, mulai merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, saat ini bapak-bapak dengan perut buncit yang duduk di samping kanannya, terlihat mulai bertingkah. Tangan kirinya sudah mulai beraksi.

Bia yang mulai menyadari ada yang tidak beres, langsung menggeser tempat duduknya hingga mepet ke arah perempuan di sebelah kirinya. Saking cepatnya Bia menggeser kursi, hingga dia tidak sengaja menyenggol lengan si ibu-ibu paruh baya tersebut. Alhasil, tangan si ibu menyenggol piring dan gelas yang masih berisi air minum.

Praanggg.

Suara piring dan gelas yang tersenggol langsung jatuh hingga membuatnya pecah. Jangan lupakan baju Bia dan si ibu langsung basah dan kotor karena terkena noda makanan yang tumpah.

"Astaga!" Bia langsung memekik kaget. Dia langsung panik saat mendapati baju si ibu di sampingnya juga basah dan penuh dengan kotoran karena terkena tumpahan makanan.

"Aduh, Nyonya, maafkan saya. Saya tidak sengaja," ucap Bia heboh sambil berusaha membersihkan baju si ibu. Bia tidak sadar jika tingkahnya tersebut sudah menarik perhatian banyak orang. Bahkan, saat itu orang yang sedang memberikan sambutan pun berhenti sejenak dan menoleh ke arah Bia.

"Tidak apa-apa, Nak. Namanya tidak sengaja. Kamu juga basah begini jadinya," ucap si ibu.

"Tidak apa-apa, Bu." Bia masih tampak cemas. Apalagi, dia sudah mulai menyadari jika menjadi pusat perhatian. Tatapannya mulai memindai sekitar dan mendapati beberapa pasang mata menatap ke arahnya. Jangan lupakan tatapan si bapak berperut buncit disamping tersebut. Senyumnya tampak mengejek seolah berkata "rasain, lo".

Bia masih menatap sekitar. Dia merasa semakin tidak enak karena beberapa orang masih menatapnya. Alhasil dengan sangat terpaksa, Bia meminta ijin untuk pergi ke toilet untuk membersihkan noda di pakaiannya.

"Uughhhh, kok bisa sial begini, sih. Mana warna baju gue peach lagi. Makin kelihatan nih warna kuah makanannya," ucap Bia sambil mencoba membersihkan noda di pakaiannya pakai tisu yang sudah dibasahi air.

Belum selesai Bia dengan aktivitasnya, tiba-tiba terdengar sebuah sapaan dari samping kirinya. 

"Masih juga lo ceroboh. Dari jaman sekolah sampai sekarang sudah kerja kantoran, masih nggak ilang-ilang tuh sifat ceroboh lo," ucap sebuah suara.

Bia yang mendengar ucapan tersebut, sontak langsung menolehkan wajah dan mendengus kesal. Entah sesempit apa dunianya hingga sering sekali Bia bertemu dengan 'si kutil' biang kerok.

"Urusannya sama lo apa sih, Feb? Nggak ngerugiin lo juga kan apa yang menimpa gue? Perasaan, dari jaman sekolah lo suka banget iri sama gue, deh. Bahkan, lo selalu ambisius banget untuk dapetin apa yang gue miliki," jawab Bia sambil menatap jengah le arah Feby, teman semasa putih abu-abu Bia.

Bukannya kesal dengan ucapan Bia, Feby justru menyunggingkan senyum mengejek ke arah Bia. Jangan lupakan tatapan meremehkan yang dilayangkan Feby kepada Bia.

"Nggak salah emang lo bilang gue iri sama lo?" tanya Feby dengan tatapan menilai nan mengejek ke arah Bia. Dengan senyum meremehkan, Feby berjalan mengikis jarak mendekat ke arah Bia. 

"Apa yang bisa gue iriin dari lo, hah? Gue lebih segala-galanya dari lo, kali. Bahkan, pacar jaman SMA lo aja lebih memilih gue ketimbang lo. Dan, sekarang gue juga sudah punya segala-galanya. Jauh banget dibandingin lo yang cuma jadi karyawan. Lo ngerti dong sekarang? Masa nggak ngerti, sih?" cibir Feby.

Bukannya merasa marah dan tersinggung, Bia justru menyunggingkan senyumannya.

"Gue tau lo sekarang punya segala-galanya. Lo istri dari seorang direktur di perusahaan besar. Anseno Gunawan. Siapa sih yang nggak kenal suami lo itu? Hampir semua orang yang ada di gedung ini pasti tau siapa suami lo itu," ucap Bia sambil masih menyunggingkan senyumnya. Bia mendekat ke arah samping Feby dan langsung membisikkan sesuatu.

"Tapi, jangan lupa jika semua orang juga tau bagaimana cara lo dapetin suami potensial lo itu," bisik Bia sambil menepuk singkat bahu Febi. Dan, setelahnya Bia langsung keluar dari toilet tersebut. Dia bahkan melupakan untuk membersihkan noda di bajunya kembali.

🌹

Hai, othor balik lagi, nih. Kali ini dengan cerita baru. Ini sudah lama tersimpan di draft, jadi sambil nungguin yang lainnya up, bisa mampir disini ya. Terima kasih.

Nabsa 2

Bia memutuskan untuk pulang sesaat setelah acara inti selesai. Bia tidak mengikuti rangkaian acara hingga benar-benar berakhir. Hal itu disebabkan karena dia sudah merasa tidak nyaman dengan bajunya yang sudah kotor. 

Hal lain yang membuat Bia tidak nyaman berlama-lama berada di gedung tersebut adalah karena adanya beberapa orang mantan teman SMA nya yang dulu sering sekali membully nya. Mereka tidak lain adalah teman satu geng Feby. Ada Rena dan Mia yang saat itu duduk satu meja dengan Feby.

Bia bisa cukup yakin jika ketiga geng gong itu tengah menghibahkan dirinya. Entah apa yang membuat ketiganya begitu bahagia jika membicarakan Bia. Bahkan, saat kuliah pun, Rena yang kebetulan berada satu kampus dengan Bia, tak ada habis-habisnya selalu mencari masalah dengannya. Beruntung Bia bisa lulus lebih cepat dari Rena yang baru bisa lulus dua tahun setelah Bia.

"Sialaann! Kok bisa sih gue ketemu sama geng gong disini. Dunia bener-bener sempit ini," gerutu Bia sambil berjalan menuju mobilnya. 

Area parkir yang cukup basah tersebut, membuat Bia harus berhati-hati dengan heel yang dipakainya. Bia juga tidak ingin tergelincir akibat langkah kakinya yang tidak seimbang dan membuatnya tambah malu menjadi tontonan orang. Apalagi, saat itu tempat parkir sudah cukup ramai.

Beruntung Bia bisa mencapai mobilnya dengan selamat. Dia buru-buru memasuki mobil dan langsung menjalankan mobilnya menuju kontrakan yang sudah disewanya sejak bekerja di DVP.

Tak sampai tiga puluh menit kemudian, mobil Bia sudah mulai memasuki area kontrakan yang memang berbentuk seperti perumahan tersebut. Ada sekitar dua puluh delapan kontrakan dengan ukuran tiga kali delapan meter. Kontrakan dengan model tiga petak tersebut, cukup nyaman ditempatinya selama beberapa tahun terakhir ini.

Kontrakan Bia terletak di bagian paling barat dekat dengan parkir kendaraan bagian barat juga. Alhasil, Bia bisa lebih dekat memarkirkan mobilnya yang hanya berjarak kurang lebih lima meter dari kontrakannya.

Setelah memarkirkan kendaraan, Bia langsung bergegas menuju unit kontrakannya yang bernomor enam yang berada di bagian ujung dari deretan kontrakan yang berada di bagian paling barat lokasi tersebut.

Bia segera membuka pintu dan langsung menyalakan lampu ruang tamu mini yang ada di sana. Setelah itu, dia bergegas menuju kamar dan langsung meletakkan tas dan melepaskan sepatunya. Belum sempat Bia melangkahkan kaki menuju kamar mandi, terdengar suara ponsel berbunyi. Bia buru-buru mengambil ponsel yang masih ada di dalam tas tersebut dan memeriksa panggilan telepon tersebut.

Setelah memastikan siapa penelepon malam itu, Bia langsung menyambungkan panggilan suara tersebut.

"Halo, Bu Sonia," sapa Bia setelah panggilan suara tersebut tersambung.

"Halo, Bi. Kamu sudah pulang?" tanya Bu Sonia.

"Sudah, Bu. Ini baru sampai rumah. Ada apa, Bu?"

"Baguslah kalau kamu sudah pulang. Aku khawatir jika kamu sampai belum pulang hingga hampir jam sepuluh ini. Aku minta maaf ya Bi, harus meminta kamu menggantikanku menghadiri acara kantor. Aku benar-benar ada acara dadakan," ucap Bu Sonia dengan tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya juga sedang tidak ada acara apa-apa, kok. Jadi, Bu Sonia tidak usah merasa tidak enak hati," jawab Bia menenangkan sang atasan.

"Aku hanya takut mengganggu acara kencan kamu, Bi. Ini kan malam minggu."

Bia mencebikkan bibir sebelum menjawab ucapan atasannya tersebut.

"Bu Sonia sengaja mengejekku, ya? Sudah tahu saya belum punya pacar malah diledekin. Syebel, ih." Bia langsung manyun. Sangat jelas sekali suara Bia terdengar sedang merajuk.

Di seberang sana, wanita berusia menjelang empat puluh lima tahun tersebut langsung tergelak. Dia bisa membayangkan ekspresi wajah manyun Bia ketika sedang kesal.

"Hehehe, maaf lupa Bi. Kamu kan 'jombi' ya, alias jomblo happy," ucap bu Sonia sambil terkekeh.

Setelahnya, dilanjutkan dengan obrolan ringan tentang beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan hari senin dan selasa depan. Bia harus fokus mendengarkan instruksi dari sang atasan. 

Minggu-minggu ini memang minggu sibuk di DVP. Beberapa proyek memang sudah mulai rampung pengerjaannya. Tugas dari divisi Bia, harus semakin gencar untuk memasarkan produk dari perusahaan mereka.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, panggilan suara tersebut selesai. Setelahnya, Bia segera beranjak menuju kamar mandi untuk mengganti baju dan membersihkannya sekalian. Malam itu, Bia ingin rebahan dan beristirahat.

***

Keesokan pagi, Bia sudah bersiap-siap dengan outfit andalannya yaitu, celana jean hitam dan kaos putih berlengan pendek. Tak lupa juga sepatu sneaker sudah terpasang sempurna di kedua kakinya. 

Dengan rambut yang dicepol asal, Bia langsung menyambar tas dan kunci mobilnya. Dia langsung meluncur menuju tempat dimana sang sahabat sudah menunggunya sejak dua puluh menit yang lalu. Beruntung saat Jihan, sang sahabat menelepon, Bia sudah setengah bangun dari tidurnya.

Tak sampai lima belas menit kemudian, Bia sudah tiba di tempat yang sudah dijanjikan. Dia langsung berjalan menuju tangga samping yang akan membawanya menuju lantai dua bangunan cafe tersebut.

Tok tok tok.

Bia mengetuk pintu ruang pribadi tersebut dengan irama. Namun, tak ada sahutan dari dalam ruangan tersebut. Hingga sebuah suara mengagetkan Bia dari arah belakang.

"Sudah nyampek, lo?" sapa sebuah suara.

Sontak saja Bia langsung menoleh karena terkejut.

"Lhoh, Ji? Lo kok di luar? Dari mana?" tanya Bia yang menggeser tubuhnya dari depan pintu untuk membiarkan sang sahabat membuka kunci pintu tersebut.

"Dari bawah. Gie belum naik dari tadi. Ada yang harus gue bahas sama Deka." Jihan membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Bia untuk masuk.

"Deka disini?" tanya Bia sambil masih mengekori Jihan ke arah balkon.

"Tadi nganterin gue kesini." Jihan menjawab dengan santainya.

"Eh, serius?" Bia tampak terkejut mendengar jawaban sang sahabat. 

"Hhmmm."

"Kok bisa sih Deka jemput lo sampai ke Bandung? Lagian, lo juga mau-maunya dijemput tu laki kutukupret," gerutu Bia kesal.

Jihan menoleh sekilas ke arah Bia sambil menghembuskan napas beratnya.

"Gue juga nggak bisa nolak dia dateng ke rumah, Bi. Lo kan tau dia statusnya masih suami gue. Ya kali istri menolak diantar suaminya sendiri. Lagi pula, gue juga rasa-rasanya belum siap untuk jujur sama keluarga gue. Gue nggak mau buat mereka kecewa, Bi." Lagi-lagi Jihan mendesahkan napas beratnya.

Bia jadi ikut-ikutan menghela napas berat. Entah mengapa dia juga jadi ikut memikirkan nasib hubungan sahabatnya itu. Hingga beberapa saat kemudian, Bia akhirnya bersuara.

"Tapi, Ji, apa nggak sebaiknya lo bilang ke keluarga tentang kondisi rumah tangga lo? Mereka juga ikut andil dalam masalah ini, kan?"

Jihan hanya menghela napas berat setelah mendengar ucapan Bia.

"Sebenarnya, mereka nggak salah juga sih, Bi. Mana tahu mereka jika laki-laki yang dijodohkan dengan anaknya ternyata nggak tertarik sama perempuan."

🌹

Tbc

Nabsa 3

Bia mengerucutkan bibir dengan kesal. Jika dia mengingat cerita sang sahabat tentang sang suami beberapa minggu yang lalu, Bia langsung kesal sendiri.

Jihan Farhana, sahabat Bia sejak jaman putih biru hingga sekarang. Bahkan, mereka juga berada di sekolah menengah atas dan kampus yang sama saat menempuh pendidikan.

Berbeda dengan Bia yang berasal dari keluarga sederhana, Jihan sedikit lebih beruntung karena memiliki orang tua yang bekerja di pemerintahan. Ayah Jihan adalah seorang PNS di kantor kecamatan, sedangkan sang ibu adalah perawat di puskesmas di daerahnya. 

Jihan dua bersaudara dengan sang kakak laki-laki yang juga sudah menikah dan tinggal di Surabaya karena tuntutan pekerjaan. Orang tua Jihan merasa jika usia Jihan saat ini sudah layak untuk menikah, segera menjodohkannya dengan putra seorang camat yang lumayan kenal dengan sang ayah.

Berhubung Jihan saat itu juga belum mempunyai pacar, akhirnya dia menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Deka Danendra, sang suami yang juga sudah dipaksa untuk segera menikah.

Ya, si Deka bagaimana mau menikah, orang dia idamannya sama 'si batang' bukan sama si lapis lempit. 🤧

Dan, pernikahan Jihan dengan Deka akhirnya terlaksana sekitar tujuh bulan yang lalu. Sejak menikah hingga usia pernikahan lima bulan, Jihan masih belum memiliki pemikiran buruk terhadap sang suami. Dia bisa menerima alasan Deka mengapa hingga bulan kelima pernikahan, dia tak kunjung disentuh.

Alasan capek karena bolak balik kerja Jakarta-Bogor menjadi alasan utama Deka saat itu. Hingga dia menemukan alasan yang tepat untuk menyewa sebuah rumah kontrakan. 

Awalnya, Jihan menyetujui usul sang suami karena merasa tidak tega jika suaminya itu harus bolak balik setiap hari. Jika Deka menyewa rumah kontrakan, setidaknya dia bisa dua kali pulang dalam satu minggu.

Keadaan mulai berubah dirasakan oleh Jihan saat memasuki bulan ketiga pernikahannya. Deka meminta ijin untuk memberikan tumpangan tempat tinggal kepada seorang mahasiswa yang baru berada di tingkat kedua kuliah.

Jihan yang juga sudah berkenalan dengan Devon, si mahasiswa, tidak merasakan hal-hal aneh. Jihan juga merasa tenang-tenang saja suaminya tinggal berdua dengan laki-laki. Setidaknya, pikiran aneh-aneh tidak akan muncul di benak Jihan.

Bahkan, sesekali Jihan dan Devon saling menghubungi. Sebenarnya, Jihan lebih sering menghubungi Devon terlebih dahulu jika tidak mendapati balasan pesan dari sang suami. Devon sering memberikan kabar jika Deka sedang lembur atau belum pulang. Hal seperti itu cukup membuat Jihan tenang.

Namun, saat memasuki bulan kelima, petaka rumah tangga tersebut datang. Entah apa yang membuat Jihan mendadak pergi ke Bogor untuk menyusul suaminya sore itu. Dia memiliki firasat jelek sejak semalam. Alhasil, siang hari setelah ada acara di kafenya, Jihan langsung bergegas menuju rumah kontrakan Deka yang sudah beberapa kali dikunjunginya.

Begitu tiba di rumah kontrakan sang suami, bukannya tenang Jihan justru semakin kalut. Bagaimana tidak, saat itu Jihan melihat sendiri jika sang suami sedang pangku-pangkuan dengan Devon dan dalam keadaan tanpa busana selembarpun. 

Jihan yang memang mempunyai kunci cadangan rumah kontrakan tersebut, langsung nyelonong masuk begitu sampai disana. Dan, naasnya dia melihat adegan 'horor' antara sang suami dan sugar babynya. 

Ternyata, selama ini sang suami mempunyai kelainan dalam orientasi syeksyualnya. Dia tidak tertarik dengan lapis lempit, tapi justru tertarik dengan "tunas batang pisang".

Jihan yang melihat adegan pull gar sang suami dengan sugar baby nya tersebut, langsung merasa pening sekaligus mual. Ditambah lagi suara-suara desa han yang dikeluarkan oleh keduanya, membuat perut Jihan seperti diaduk-aduk. Alhasil, saat itu juga Jihan langsung muntah dengan hebat di depan pintu kamar di rumah kontrakan tersebut.

Kedua orang sesama jenis yang sedang memadu kasih tersebut, sontak langsung berbalik. Awalnya, mereka tidak mengetahui kedatangan Jihan karena posisi mereka membelakangi pintu kamar yang tidak tertutup tersebut. Saat mendengar suara muntahan hebat tersebut, keduanya langsung menoleh dan panik begitu menyadari Jihan berada di sana.

Dan, sejak saat itu, hubungan rumah tangga Jihan dan Deka sudah tidak baik-baik saja. Baik Jihan dan Deka sama-sama menjaga jarak jika tidak sedang bersama dengan keluarga mereka. Jihan yang dengan perasaan jijik dan marah, sedangkan Deka dengan perasaan bersalah dan cemas karena khawatir Jihan akan menyebarkan apa yang diketahuinya.

Keduanya sepakat untuk pisah rumah. Jihan sudah keluar dari rumah Deka yang ada di Jakarta. Dia tinggal di rumah sewanya yang dulu sejak masih jaman kuliah. Dia memilih untuk tidak tinggal di kafenya meskipun ada ruangan yang bisa dijadikan tempat tinggal. Jihan tidak mau jika orang tuanya curiga.

Sudah hampir dua bulan Jihan dan Deka menjalani rumah tangga yang sudah tidak normal. Mereka pisah rumah, Jihan di Jakarta, sementara Deka di Bogor. Bahkan, keduanya juga tidak saling menghubungi jika tidak ada hal penting yang mengharuskan mereka bertegur sapa.

Seperti hari ini, Deka yang kebetulan pulang ke rumah orang tuanya, terkejut saat melihat status mertuanya yang memberitahukan jika Jihan saat ini juga sedang berada di Bandung. Deka dan Jihan memang sudah tidak bisa saling lihat status we a masing-masing.q

Dan, sialnya orang tua Deka juga melihat status besannya tersebut. Alhasil, mama Deka meminta putranya untuk segera pergi ke rumah mertuanya karena tahu jika Jihan akan kembali ke Jakarta hari itu. Itulah awal kejadian Deka menjemput dan mengantarkan Jihan kembali ke Jakarta.

Bia yang masih kesal dengan suami sahabatnya tersebut, selalu bersungut-sungut jika sudah membicarakan laki-laki itu. Entah mengapa Bia selalu terlihat emosi jika melihat atau membicarakannya.

"Terus, apa yang mau lo lakuin sekarang, Ji?" Tanya Bia setelah beberapa saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jihan menghela napas berat dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum menjawab pertanyaan Bia.

"Entahlah. Gue juga masih belum nemu solusi yang tepat."

"Deka kasih pilihan apa ke lo?"

"Dia sih maunya nggak pisah. Dia nggak mau buat keluarganya kecewa dengan adanya perceraian," jawab Jihan dengan ekspresi kesal.

"Cckkk. Gila aja dia nggak mau cerain lo. Enak di dia nggak enak di dikau, Ji." Bia langsung kembali emosi.

"Makanya itu, gue juga nggak mau. Enak aja gue nikah sama dia hanya sebagai tutup kedok dia yang belok gitu. Disuguhi body mulus gini dan masih rapet, eh maunya nyasar keluar jalur. Ogah, gue." Jihan nyerocos tidak mau kalah dengan Bia.

"Benar. Gue dukung lo, Ji. Bukannya gue dukung perceraian lho, ya. Tapi untuk kasus lo, mending lo pisah aja sama tuh laki belok. Ya kali lo nganggur seumur hidup. Dia sih enak bisa main tusuk-tusukan berkali-kali sama si Dempon, lha elo apa kabar? Masa iya lo mau tetap perawan sampai koit," ucap Bia tanpa filter.

Jihan hanya mencebikkan bibir untuk merespon ucapan sahabatnya itu. Setelahnya, obrolan kembali dilanjutkan dengan topik seputar 'kebelokan' suami Jihan tersebut. 

🌹

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!