...****...
Di istana bagian barat.
Di istana ini tempat kediaman Raden Surya Biantara bersama keluarga kecilnya. Ini adalah hak yang dimiliki oleh keluarga istana yang merupakan anak tertua yang masuk ke dalam untuk memberikan suatu pesan kepada Raden Surya Biantara.
"Hamba menghadap raden." Ia memberi hormat.
"Ya, katakan." Balasnya.
"Tadi ada seseorang yang mengantarkan pesan ini pada Raden." Menyerahkan gulungan pesan.
"Terima kasih." Ia mengambil gulungan pesan itu.
"Sama-sama Raden." Ia kembali memberi hormat.
"Kalau begitu berjaga-jaga lah di depan gerbang istana ini." Ia pamit untuk kembali bertugas.
"Sandika Raden." Ia memberi hormat sebelum pergi meninggalkan Raden Surya Biantara.
Raden Surya Biantara membuka gulungan surat yang entah dari siapa, namun saat itu kebetulan istrinya datang menghampirinya.
"Ada apa kanda? Apakah ada pesan penting dari ayahanda prabu?." Seorang wanita cantik mendekat.
"Akan kanda bacakan isi dari surat ini." Raden Surya Biantara membuka gulungan surat itu. "Mungkin ada berita penting dari istana untuk kita semua di sini." Ia mencoba untuk memahami apa yang ada di dalam pesan itu.
"Kepada putraku Raden surya biantara, aku mengutus kau untuk menghadiri acara panen padi yang di selenggarakan di desa bendung pasa." Raden Surya Biantara terlihat mengkerut keningnya. "Aku tidak bisa datang ke sana, karena ada pertemuan yang sangat penting yang tidak bisa aku undur." Raut wajahnya terlihat semakin berubah. "Acara itu akan diadakan dua hari lagi, jagan sampai tidak datang, aku serahkan masalah desa itu padamu, dari ayahandamu Prabu kencana biantara."
Itulah surat yang telah dituliskan oleh Prabu Kencana Biantara untuk anaknya.
"Sepertinya ayahanda Prabu meminta kanda untuk datang ke sana."
"Sepertinya memang seperti itu dinda."
"Apakah kita akan ke sana kanda?."
"Sepertinya kita memang harus ke sana dinda." Ia tidak bisa menolaknya. Karena dalam surat itu ayahanda prabu memang menyuruh kita untuk datang ke sana. Selain itu ayahanda prabu tidak bisa datang karena ada pertemuan yang sangat penting."
"Kalau begitu akan dinda siapkan semuanya. Karena desa bendung pasa sangat jauh sekali kanda."
"Baiklah, kalau begitu kita sama-sama menyiapkan semuanya."
Keduanya berjalan menuju ke kamar mereka untuk segera beres-beres.
"Tapi di mana putri kita santika jayanti? Apakah masih bermain dengan anak-anak petinggi istana yang lainnya?."
"Katanya tadi seperti itu kanda."
"Kalau begitu akan kanda cari, dinda tolong persiapkan semuanya."
"Baiklah kanda."
Setelah itu Raden Surya Biantara keluar untuk mencari anaknya, sedangkan Putri Jayanti Latsmi menyiapkan pakaian yang akan mereka bawa nantinya.
...***...
Sementara itu di sebuah tempat perkumpulan orang-orang jahat yang ingin mencelakai Raden Surya Biantara.
"Apakah kau telah berhasil menyerahkan surat padanya seperti yang aku perintahkan?."
"Gusti putri tenang saja, hamba telah menyerahkannya secara langsung pada raden surya biantara."
"Bagus, kau memang bisa aku andalkan."
Seorang wanita cantik dibalik topeng Hitam tersenyum senang. Ia yang memerintahkan seorang pemuda untuk menyerahkan surat itu untuk Raden Surya Biantara.
"Lantas tugas apa lagi yang dapat hamba kerjakan gusti putri?."
"Antarkan surat ini pada Gusti Prabu kencana biantara." Ia serahkan sebuah gulungan yang berisikan surat. "Supaya gusti prabu bisa memastikan jika anaknya memang berada di sana."
"Sandika gusti putri."
Setelah itu prajurit itu langsung mengerjakan tugas itu, ia memberikan pesan yang telah dibuatkan oleh Gusti Putrinya.
"Lalu bagaimana dengan kami? Apakah kami juga akan bertindak Gusti Putri?."
"Tentu saja kalian akan membantu aku untuk saksi, atas apa yang telah dilakukan oleh raden surya biantara ketika di sana."
"Apakah kami akan ke sana untuk melihat apa yang terjadi di sana?."
"Kalian tidak perlu datang ke sana, cukup mengarang cerita indah saja di sini." Senyumannya terlihat sangat mengerikan. "Karena di sana sudah ada orang-orang yang kami sewa, untuk menyaksikan apa yang telah terjadi di sana."
"Benar apa yang dikatakan ayahanda." Wanita cantik itu menatap mereka semua yang hadir. "Kalian tidak perlu repot-repot untuk datang ke sana, kalian hanya perlu menjadi saksi di sini."
"Sandika Gusti."
Sepertinya pada saat itu mereka sedang merencanakan sesuatu yang sangat buruk terhadap Raden Surya Biantara. Apa tujuan mereka sebenarnya melakukan itu?. Apakah mereka memiliki dendam pribadi terhadap Raden Surya Biantara?. Simak dengan baik kisah ini.
...***...
Di desa Bendung Pasa.
Di desa itu memang diadakan acara panen padi yang sangat meriah. Sebenarnya mereka belum pernah mengadakan acara apapun untuk merayakan hasil panen mereka pada tahun ini. Akan tetapi pada saat itu ada dua orang prajurit yang mengatakan untuk menambah penghasilan mereka, jika mereka mau mengadakan acara yang sangat meriah untuk menyambut hasil panen mereka besok.
"Gusti Prabu telah mendengarkan kabar bahagia ini." Dari raut wajahnya terlihat sangat jelas bagaimana kebahagiaan itu ia rasakan. "Sebagai gantinya Gusti prabu telah memberi upah, kepada kalian untuk merayakan hari kebahagiaan kalian besok."
Siapa yang tidak senang dengan apa yang telah mereka dapatkan pada saat itu.
"Sungguh baik sekali Gusti Prabu terhadap kita."
"Kalau begitu manfaatkan ini dengan sebaik-baik mungkin, kami akan membantu kalian untuk membuatkan acara itu."
"Terima kasih kami ucapkan kepada prajurit istana yang telah berbaik hati menyampaikan kabar gembira ini kepada kami semua."
Pada saat itu mereka belum menyadari jika itu adalah sebuah permainan yang diciptakan oleh orang-orang yang ingin menyingkirkan Raden Surya Biantara.
...***...
Sementara itu di istana.
Prabu Kencana Biantara telah menerima surat yang katanya berasal dari Raden Surya Biantara.
"Kepada ayahanda Prabu, mungkin dalam beberapa hari ini ananda tidak akan berada di istana." Sang Prabu menjeda membaca surat itu. "Nanda akan menghadiri sebuah acara yang berada di desa bendung pasa, acara tersebut diadakan untuk mengucapkan rasa syukur karena hasil panen yang sangat berlimpah, maaf jika ananda menyampaikan ini melalui pesan daun lontar ini. Salam hormat dari ananda Raden surya biantara."
Setidaknya itulah isi pesan yang dibacakan oleh Prabu Kencana Biantara pada saat itu, bahkan sang Prabu terlihat sedang mencerna kalimat surat itu.
"Memangnya apa isi dari surat itu kanda? Apakah itu benar-benar dari putra kita?."
"Aku rasa memang seperti itu dinda."
"Memangnya anak kita menyampaikan apa padamu kanda?."
"Untuk beberapa hari kedepannya tidak berada di istana." Sang Prabu meletakkan surat itu di meja kecil yang tak jauh darinya. "Karena ia akan menghadiri sebuah acara yang diadakan di desa bendung pasa."
"Tidak biasanya desa itu mengadakan acara." Ratu Saraswati Tusirah tampak curiga. "Apakah panen tahun ini mereka mendapatkan hasil yang lebih? Sehingga mereka malah membuat acara pesta perayaan panen padi."
"Bisa jadi seperti itu dinda." Prabu Kencana Biantara tidak mau berpikiran berburuk sangka. "Sebab pemasukan beras yang terbanyak berasal dari desa itu."
Meskipun ada bentuk kecurigaan yang dirasakan oleh Ratu Saraswati Tusirah pada saat itu.
"Kalau begitu iringi mereka dengan beberapa pengawal, dinda sangat cemas jika terjadi sesuatu terhadap mereka nantinya."
"Tentu saja kanda akan mengiringi mereka dengan beberapa orang prajurit terbaik." Suasana hatinya sangat tidak nyaman. "Karena menurut kabar yang beredar desa itu kurang menerima orang asing, apalagi jika pihak istana yang datang ke sana."
"Semoga saja mereka baik-baik saja."
"Ya, Kanda juga berharap mereka baik-baik saja."
Sebagai orang tua yang sangat menyayangi anak tentu keduanya sangat khawatir dengan keselamatan anak mereka. Semoga saja kecemasan mereka hanya kecemasan biasa saja, karena mereka tidak ingin membayangkan hal yang aneh-aneh terjadi pada anak dan menantu mereka ketika pergi nanti.
...***...
Sementara itu orang-orang yang diperintahkan untuk melakukan pekerjaan berbahaya itu.
"Gusti Putri meminta kita untuk melakukanya dengan sangat hati-hati, jangan sampai kita melakukan kesalahan."
"Kau tenang saja, aku memiliki jurus serap jiwa yang dapat membuat orang lain tertidur dengan sangat pulas."
"Bagus, itu lebih baik."
"Kalau begitu kita santai-santai saja dulu, karena perjalanan mereka masih lama."
"Baiklah kalian boleh santai, tapi jangan sampai melakukan kesalahan nantinya."
Setelah itu mereka bubar, tentu saja mereka ingin melakukan kegiatan lain sebelum beraksi.
Di sisi lainnya.
Ada seorang pendekar wanita yang sedang berjalan-jalan di sekitar persawahan tempat acara akan dilaksanakan. Matanya memperhatikan bagaimana dengan sangat antusiasnya mereka ingin menyambut kedatangan orang penting dari pihak istana.
"Entah kenapa aku merasa akan terjadi hal yang tidak menyenangkan sama sekali ketika acara berlangsung nantinya." Dalam hatinya merasakan firasat yang sangat buruk. "Apa yang akan aku lakukan jika telah merasakannya? Rasanya tidak mungkin aku mengatakan pada mereka, pasti aku akan dianggap sebagai perusak acara itu." Ia menghela nafasnya dengan sangat lelahnya. "Kalau begitu aku awasi saja, lagi pula aku tidak akan bisa berbaur dengan mereka." Setelah itu ia pergi meninggalkan tempat itu tanpa ikut campur dengan apa yang telah dilakukan penduduk untuk menyambut kedatangan pihak istana, terutama Prabu Maharaja Kencana Biantara. "Aku harap itu hanyalah sebuah firasat saja." Dalam hatinya sangat berharap seperti itu, karena jika ia merasakan firasat yang tidak enak?. Maka firasat buruk itu akan terjadi.
...***...
Raden Sahardaya Biantara saat itu pamit pada gurunya, ia hendak kembali ke istana.
"Terima kasih atas ilmu yang guru berikan pada saya, rasanya saya tidak akan bisa apa-apa tanpa adanya guru."
"Sama-sama Raden, namun sebagai seorang guru yang baik? Hanya satu yang aku inginkan."
"Memangnya apa yang guru inginkan dari saya? Katakan saja guru, semoga saya bisa mengabulkannya guru."
Lelaki setengah tua itu terkekeh kecil ketika melihat raut wajah Raden Sahardaya Biantara yang sangat antusiasnya.
"Amalkan ilmu yang Raden pelajari dengan baik, bantulah siapa saja dengan hati yang lapang, jangan sampai Raden menyalahgunakan ilmu itu untuk berbuat kejahatan, apakah Raden sanggup?."
"Saya akan selalu mengingat dengan baik pesan guru, saya akan berusaha mengingatnya, melakukannya dengan baik."
"Syukurlah jika memang seperti itu Raden, apa lagi Raden adalah putra mahkota." Dengan senyuman yang sangat lembut ia berkata seperti itu, dan tangannya yang mengusap kepala Raden Sahardaya Biantara dengan kasih sayang. "Semua tindakan Raden akan menjadi sorotan untuk semua kalangan orang banyak, jadi contoh untuk yang derajatnya dibawah Raden, maka Raden tidak boleh gegabah dalam bertindak."
"Semoga saya bisa menjadi seperti guru."
"Hahaha! Tetaplah jadi diri sendiri Raden, jangan sampai jadi orang tua sakit-sakitan seperti aku ini."
Kedekatan keduanya sangat hangat, seperti keluarga yang sangat dekat.
...****...
Seorang wanita cantik sedang mengamati Raden Surya Biantara yang saat itu sedang berada di balai pertemuan.
"Sungguh berwibawa sekali lelaki idamanku ini." Dalam hatinya sangat mengagumi ketampanan yang dimiliki sang pujaan hati. "Andai saja aku bisa memilikinya? Pastilah aku adalah wanita yang sangat bahagia di dunia ini." Dalam hatinya sedang membayangkan bagaimana Raden Surya Biantara yang selalu bersamanya.
"Baiklah karena beberapa hari aku akan melakukan perjalanan, aku harap kalian masih bisa melaksanakan tugas masing-masing dengan baik." Raden Surya Biantara menjelaskan pada mereka. "Aku harap pekerjaan membantu rakyat masih berjalan dengan baik tanpa adanya pengawasan dariku."
"Sandika Raden, kami akan melakukannya dengan baik."
"Terima kasih atas pengertiannya, selamat melaksanakan tugas dengan baik."
"Laksanakan Raden."
Mereka terlihat sangat antusias untuk melanjutkan pekerjaan, tentu saja mereka akan melakukan tugas itu dengan sangat baik.
"Bagaimana dengan pekerjaan nimas? Apakah masih aman?."
Deg!.
Wanita cantik itu terkejut ketika Raden Surya Biantara bertanya seperti itu padanya.
"Rasanya aku terkena jantungan mendadak." Dalam hatinya sangat gugup. "Aman Raden." Jawabnya. "Si-sial! Kenapa aku mendadak terkena kutukan berbicara gagap seperti ini?." Daam hatinya sangat kesal, sangat mengutuk dengan perbuatannya sendiri.
"Baguslah jika memnag aman." Raden Surya Biantara tersenyum kecil. "Kau memang sangat hebat dalam melaksanakan tugas ini nimas, tidak salah ayahandamu menyarankan aku untuk mengajakmu bekerja di sini, kau memang orang yang sangat pekerja keras."
Deg!.
Detak jantungnya semakin berdegup kencang, ia hampir saja tidak bisa mengendalikan dirinya ketika mendengarkan ucapan itu.
"Oh! Jantungku rasanya sangat tidak aman mendengarkan pujian dari kekasihku ini." Dalam hatinya malah berpikiran seperti itu. "Saya akan melakukannya dengan baik Raden." Suaranya terdengar sangat datar.
"Baiklah kalau begitu, aku akan memeriksa yang lainnya, dan kau lanjutkan saja pekerjaannya."
"Baik Raden."
Wanita cantik yang bekerja di dalam istana Barat itu pun sangat terpesona dengan ketampanan Raden Surya Biantara.
"Andai saja saat itu kau tidak menikahi gadis dari kerajaan lain? Menyadari keberadaanku? Pastilah aku menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini Raden." Dalam hatinya saat itu sedang membayangkan kebahagiaan yang sangat melimpah jika ia bersama Raden Surya Biantara. "Walaupun aku terluka? Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, walaupun nantinya aku akan menjadi istri kedua, atau bahkan istri ketiga." Dalam hatinya merasa tidak keberatan. "Aku tidak peduli dengan itu, karena yang aku inginkan adalah hidup bersamamu Raden." Dalam hatinya masih membayangkan ia hidup bersama Raden Surya Biantara dalam kebahagiaan yang sangat melimpah. Sebuah imajinasi yang sangat luar biasa. "Aku tidak akan menyerah begitu saja." Dalam hatinya menyemangati dirinya untuk tetap berjuang.
...***...
...***...
Raden Surya Biantara saat itu telah sampai di desa Bendung Pasa. Kedatangannya disambut dengan sangat meriah oleh mereka semua, tentunya itu membuat Raden Surya Biantara sangat senang. Siapa yang menduga jika akan disambut seperti itu oleh mereka semua.
"Selamat datang di desa bendung pasa Raden." Dengan senyuman ramah, dan memberi hormat ia menyambut kedatangan Raden Surya Biantara.
"Terima kasih tuan, sambutannya sangat meriah sekali." Matanya melihat orang-orang yang berkumpul di sana. "Saya hanyalah utusan saja, maaf jika ayahanda tidak bisa hadir, karena ada beberapa masalah yang harus diselesaikan."
"Sama-sama Raden." Balas. "Meskipun Raden hanyalah utusan dari sang Prabu? Tentunya kami memahaminya." Senyuman itu memang terlihat sangat ramah, tidak ada masalah yang ia pendam.
"Syukurlah jika tuan mengerti, namun saya nanti berharap jika ayahanda Prabu bisa datang ke sini." Tentu ia harus memilih kata yang tepat untuk mewakili ayahandanya.
"Kalau begitu silahkan masuk Raden, anggap saja ini adalah ungkapan kebahagiaan kami, terima kasih karena telah datang sebagai perwakilan dari Gusti Prabu."
"Mari masuk dinda, ananda santika jayanti." Raden Surya Biantara mengajak anak dan istrinya untuk masuk ke dalam rumah yang telah disiapkan oleh mereka untuk beristirahat.
"Karena Raden beserta keluarga baru saja tiba di sini." Ia memberi kode pada yang lainnya agar memberi ruang pada mereka agar masuk ke rumah itu. "Untuk sementara waktu Raden beristirahat di sini, acaranya akan dimulai nanti malam." Ia membuka pintu rumah dengan sangat sopan, mempersilahkan tamu untuk masuk. "Pasti Raden beserta keluarga sangat lelah setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh."
"Terima kasih tuan." Raden Surya Biantara senang dengan jamuan mereka. "Jika dirasakan memang seperti itu, kalau begitu kamu ini istirahat sampai menjelang malam, nanti kami akan datang bersama-sama ke tempat acara." Ia melihat ke arah putrinya yang kelelahan.
"Baiklah kalau begitu Raden." Ia memberi hormat. "Nanti ada beberapa pembantu dan prajurit yang akan membantu Raden, menyiapkan beberapa hidangan sebelum datang ke tempat acara."
"Saya ucapkan terima kasih sekali lagi tuan, sambutan ini sangat luar biasa." Raden Surya Biantara merasakan keramahan yang sangat luar biasa atas sambutan itu.
"Kalau begitu saya pamit Raden, sampurasun."
"Rampes."
Setalah itu lurah Mugeni pergi dari sana, membuatkan keluarga Raden Surya Biantara beristirahat sejenak.
...**...
Di sebuah perkumpulan kelompok kegelapan yang menerima tugas membunuh.
"Target kita telah sampai di desa ini, artinya malam ini kit a mulai bergerak dengan rencana yang teah kita susun."
"Ya, itulah tugas yang kita dapatkan dari Gusti Putri."
"Kalau begitu kita lakukan persiapan."
"Tapi, informasi yang aku dapatkan? Raden surya biantara tidak ahli dalam ilmu kanuragan, bagaimana mungkin dia bisa membunuh banyak orang dalam satu malam?."
"Kau tidak usah banyak berpikir, lakukan saja permintaan Gusti Putri." Sorot matanya terlihat sangat jelas bahwa ia sangat takut. "Kau jangan mencari kematian jika kau gagal melakukan tugas itu."
"Baiklah, ika memang seperti itu perintahnya? Tentu saja kita harus melakukan itu."
Ya, ia sangat takut dengan kemarahan yang dimiliki oleh tuan Putri, karena itulah ia harus melakukan tugas itu dengan sangat baik, ia masih sayang dengan nyawanya.
...***...
Di tempat persembunyian yang sangat rahasia.
Mereka semua hanya menunggu kapan anak buah mereka akan segera bertindak. Tapi untuk saat ini mereka sedang mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Jika rencana kita berhasil dengan sukses di desa bendung pasa? Maka selanjutnya adalah, menghukum mati Raden surya biantara." Ada ambisi dan kebencian yang mendalam darinya?.
"Hukum mati? Apakah Gusti Putri yakin? Bukankah Gusti Putri sangat mencintainya?." Nada bertanya itu seakan-akan meragukan orang yang ia tanyai.
"Aku memang sangat mencintainya." Untuk sejenak ia terlihat sangat ragu. "Tapi dia lebih mencintai wanita lain." Hatinya sangat sakit mengingat itu semua. "Sehingga aku ingin membunuhnya, saking besarnya rasa cinta yang aku miliki kepadanya." Kemarahan yang sangat luar biasa ditunjukkan pada mereka semua, sehingga dapat merasakan kemarahan itu.
"Ahaha!." Suara seorang laki-laki tertawa dengan sangat kerasnya. "Kau ini bicara apa putriku?." Ia merasakan ada yang ganjil dengan sikap anaknya. "Jika kau memiliki perasaan cinta kepadanya? Maka kau harus memilikinya, bukan malah sebaliknya, itu sangat aneh sekali." Ia tidak bisa menghentikan tawanya.
"Itulah ungkapan rasa cintaku ayahanda." Tuan putri malah tersenyum aneh ketika berbicara seperti itu. "Jika dia mati di tanganku? Maka tidak ada yang bisa mendapatkan cintanya selain aku." Sorot matanya semakin tajam ketika membayangkan bagaimana ia melakukan itu.
"Selera Gusti Putri ternyata sangat mengerikan." Ia bahkan menghela nafasnya ketika mendengarkan ucapan anaknya yang tidak biasa.
Mereka hanya memakluminya bagaimana perasaan benci Gusti Putri terhadap Raden Surya Biantara. Tapi apakah ia akan melakukan itu?. Hanya Gusti Putri sendiri yang mampu menjawab pertanyaan itu.
"Kita tidak usah memberi belas kasihan kepada orang yang tidak mencintai kita, segera saja eksekusi mereka, bunuh mereka semua dengan menggunakan namanya." Saat itu ada perasaan yang sangat puas yang ia rasakan. "Supaya dia lebih menderita lagi karena tuduhan telah membunuh orang yang sangat ia cintai."
"Ya, tentu saja kita akan melakukan sesuai dengan rencana." Ia telah melakukan persiapan dengan sangat matang.
Entah apa yang mereka rencanakan pada saat itu akan tetapi sepertinya itu sangat tidak baik. Sebenarnya rencana apa yang mereka lakukan terhadap Raden Surya Biantara?. Mereka tidak memiliki hati nurani.
...***...
Di sisi lain.
Raden Sahardaya Biantara saat itu baru saja kembali dari luar. Sebagai putra kedua dari seorang raja yang terkenal tentunya ia harus kembali ke istana untuk menjalankan kewajibannya. Kewajibannya saat ini adalah menjaga keamanan istana dari ancaman musuh yang berasal dari luar ataupun dari dalam.
"Selamat datang kembali putraku." Mata sang Prabu memastikan siapa yang ada di hadapannya saat itu. "Apakah keadaanmu baik-baik saja? Ayahanda harap kau tidak mengalami kesulitan selama berada di sana." Itulah yang ditanyakan Sang Prabu pada putranya.
"Salam hormat saya ayahanda prabu." Ia memberi hormat. "Berkat doa dari ayahanda dan ibunda, keadaan ananda tentunya baik-baik saja selama berada di sana." Raden Sahardaya Biantara terlihat begitu tenang. "Jika ada kesulitan, tentunya ananda akan mengatasinya dengan sangat baik." Dari senyumannya memang terlihat sangat jelas bahwa hasil itu ia dapatkan. "Jika tidak ada kesulitan, mungkin ananda tidak akan tinggal berada di dunia fana, pastilah itu adalah surga di mana tidak ada seseorang yang mengalami kesulitan apapun untuk memenuhi kebutuhannya ayahanda." Ia masuk sempat bercanda.
"Baiklah." Prabu Kencana Biantara hanya menghela nafasnya dengan pelan melihat kelakuan anak bungsunya yang memiliki jiwa humor berbeda di istana. "Kalau begitu kau beristirahatlah di wisma putra Raja, setelah ini ayahanda ingin mendengarkan semua cerita darimu."
"Baiklah ayahanda prabu." Ia kembali memberi hormat.
"Kalau begitu ibunda akan menemanimu untuk beristirahat." Ratu Saraswati Tusirah berjalan mendekati anaknya, senyumannya sangat mengembang dengan anggun ketika melihat anaknya telah kembali.
"Terima kasih ibunda." Ia juga tampak senang. "Ananda sangat senang sekali jika ditemani oleh ibunda yang sangat cantik ini."
"Apakah kanda mendengarnya? Jika putra kita telah berani menggoda ibundanya sendiri." Ratu Saraswati Tusirah bahkan terkesima dengan rayuan anaknya itu.
Saat itu terdengar gelak tawa antara mereka sebagai keluarga yang sangat bahagia. Siapa yang menduga jika Ratu Saraswati Tusirah memiliki jiwa humor yang sangat tinggi.
"Kau berani menggoda istriku sahardaya biantara?." Dalam tawanya sang Prabu bertanya seperti itu. "Kehebatan apa yang kau miliki sehingga kau berani melakukan itu?." Meskipun bercanda namun itu seperti nada ancaman yang tidak main-main.
"Ampuni hamba Gusti Prabu." Raden Sahardaya Biantara memang pangeran yang suka bermain sandiwara. "Tentunya hamba tidak akan berani menggoda istri Gusti Prabu."
Kembali mereka tertawa melihat sandiwara singkat itu. Bahkan para emban dan para prajurit yang berada di sekitar itu berusaha menahan tawa mereka. Sungguh sangat lucu sekali atas apa yang mereka lakukan saat itu, mungkin saja itu adalah ungkapan kerinduan antara anak dan orang tua setelah sekian lama tidak bertemu.
...***...
Malam telah datang.
Raden Biantara dan keluarganya telah sampai di tempat acara yang diselenggarakan. Terdengar suara musik yang dilantunkan dengan sangat merdunya. Banyak warga desa yang datang di sana, tentunya mereka ingin menikmati alunan musik yang diselenggarakan.
"Selamat datang Raden, silakan duduk."
"Terima kasih atas jamuan ini tuan."
"Sama-sama Raden, anggap saja ini adalah ungkapan rasa syukur kami, rasa bahagia yang ingin kami sampaikan kepada keluarga istana, yang telah memberikan kami kesempatan untuk membajak sawah di kerajaan yang sangat subur ini."
"Kami dari pihak kerajaan juga mengucapkan terima kasih atas jamuan ini, semoga dengan adanya acara ini hubungan kita semakin dekat."
"Semoga saja seperti itu Raden."
Hanya seperti itu harapan mereka pada malam itu. Sungguh acara yang sangat meriah yang diselenggarakan oleh mereka semua. Katanya acara itu untuk ungkapan rasa bahagia mereka karena akan mendapatkan hasil panen yang sangat melimpah. Mereka semua menikmati alunan musik dan tari-tarian yang dimainkan oleh para penari dengan sangat indahnya. Namun pada malam itu mereka tidak mengetahui sama sekali jika mereka telah diincar oleh beberapa orang yang memiliki niat buruk terhadap mereka semua. Termasuk Raden Surya Biantara yang sedang menikmati acaranya. Pada saat itu ia tidak menyadari jika ada ancaman yang mengincar dirinya beserta keluarganya. Sungguh itu semua di luar dugaan.
...***...
Raden Sahardaya Biantara saat itu sedang bersama ibundanya Ratu Saraswati Tusirah.
"Rasanya nananda sangat merindukan ibunda ketika berada di sana." Dari sorot matanya terlihat sangat jelas. "Nanda ingin segera kembali, namun nanda belum bisa menyelesaikan tugas nanda di sana." Kali ni terlihat sangat jelas bagaimana kerinduan itu hendak ia ungkapkan. "Sangat disayangkan sekali ibunda."
"Jangan sedih seperti itu anakku, ibunda juga sangat merindukan nanda, hanya saja ibunda tidak berani mendatangimu." Ratu Saraswati Tusirah tentunya sangat sedih karena jauh dari anak bungsunya. "Tapi untuk saat ini ibunda sangat senang karena kau telah kembali anakku."
"Nanda juga begitu ibunda."
Malam itu Raden Sahardaya dan Ratu Saraswati Tusirah saling melepaskan kerinduan yang mereka rasakan sebagai hubungan anak dan ibu.
...***...
Sementara itu, di ruangan yang gelap, seorang wanita terlihat sedang duduk dengan tenangnya. Senyumannya memang tidak terlihat di dalam kegelapan, namun siapa yang melihat itu akan langsung memilih untuk melarikan diri dari sana saking seramnya senyuman itu.
"Malam yang indah, namun aku telah kehilangan wujud kekasih yang aku impikan." Entah kenapa saat itu ia ingin membacakan syair yang sangat dalam akan sebuah masalah yang akan terjadi. "Kau dulunya adalah matahari dan bulan yang ingin aku miliki." Hatinya berkata seperti itu. "Di kala siang hari kau seperti matahari yang menghangatkan aku dengan senyuman dirimu, namun saat malam kau bagaikan bulan yang dapat memberikan cahaya walaupun redup." Wanita cantik itu benar-benar mengungkapkan apa yang ia rasakan. "Namun semuanya sirna begitu saja ketika kau menemukan pendamping lain, padahal aku adalah rotasi dirimu yang sesungguhnya, tapi kenapa kau malah memilihnya?." Rasa sakit yang sangat dalam.
Sementara itu di sisi lain.
Deg!.
"Perasaan apa ini?." Dalam hati seorang pendekar wanita bertopeng hitam merasakan sesuatu. "Kenapa aku merasakan jika masalah desa ini akan segera datang." Dalam hatinya sangat gelisah dengan firasat buruknya. "Aku harus segera memeriksa apa yang terjadi di desa ini, apalagi aku merasakan perasaan tidak beres mengenai acara pesta itu." Ada perasaan cemas yang terselip di hatinya ketika ia ingat hawa hitam yang berada di lokasi acara itu. "Aku tidak akan membiarkan orang jahat melakukan tindakan kejam di desa ini." Dalam hatinya saat itu telah bertekad bahwa ia tidak akan pernah mengabaikan firasat buruknya.
Kembali ke masa itu.
"Guru, aku melihat ada awan merah yang sedang menggulung di hutan rawan, apakah terjadi seseuatu di sana?." Dengan raut wajah yang polos ia berkata seperti itu."
"Aku tidak tahu, tapi kita lihat di sana ada apa." Balasnya.
"Baiklah."
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bagaimana situasi hutan itu, darah membanjiri tanah itu.
"Ternyata di sini baru saja terjadi perang." Matanya sampai melotot lebar saking ngerinya pemandangan di sana.
"Bagaimana mungkin kau bisa melihat awan mengerikan di sini?." Batik Kuat, nama lelaki setengah tua melihat tidak percaya. "Apakah kau menyadari sesuatu?."
"Firasat aku yang mengatakan itu guru, bahkan aku dengan sangat jelas bagaimana mereka mati karena perang di sini."
Deg!.
"Kalau begitu kau harus menggunakan kekuatan yang kau miliki untuk kebaikan, haram sekali hukumannya jika kau tidak menjaganya dengan baik." Ada rasa cemas yang menyelimuti hatinya.
"Baiklah, jika memang seperti itu guru." Dengan sangat patuh ia mengiyakan ucapan gurunya.
Kembali ke masa ini
"Kali ini hawa gelap itu sangat kuat, bahkan ada aroma darah di sana." Dalam hatinya sangat merinding dengan pandangannya. "Rasanya aku tidak ingin melihatnya, tapi muncul begitu saja." Dalam hatinya sebenarnya sangat kesal. "Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja." Dalam hatinya sangat cemas.
Next.
...***...
Kira-kira 200 meter dari tempat diselenggarakannya acara itu.
Saat itu ada beberapa orang yang sedang mengintai mereka dari jarak kegelapan yang sangat berbahaya. Salah satu dari mereka sedang menyiapkan salah satu ajian serat jiwa yang dapat membuat orang tertidur, ataupun bisa menyerang orang lain sesuai dengan keinginannya.
"Malam ku sepi, malamku dipenuhi dengan rasa kantuk yang sangat luar biasa." Ia membacakan kalimat tersebut seperti sedang membacakan sebuah syair, namun mengandung hawa gaib menyeramkan. "Aku tidak bisa menahan rasa kantuk itu untuk waktu yang singkat, aku tertidur dalam kegelapan malam yang sangat indah sehingga aku tidak bisa terbang lagi."
Seperti itulah mantram yang ia ucapkan untuk membuat mereka semua tertidur malam itu. Ajian serat jiwa pada saat itu perlahan-lahan mulai menyebar ke seluruh area itu, termasuk area di mana orang-orang sedang menikmati musik dengan santai. Satu persatu dari mereka mulai merasakan mengantuk yang sangat luar biasa. Termasuk Raden Surya Biantara yang merasakan aneh dengan situasi itu.
"Demi Dewata yang agung." Raden Surya Biantara merasa ada yang aneh dengan dirinya. "Kenapa tiba-tiba saja aku merasakan kantuknya sangat luar biasa?." Pada saat itu ia merasa sangat ngantuk yang tidak bisa ia tahan lagi. "Apakah aku mengalami kelelahan yang berlebihan?." Kepalanya juga terasa sangat berat, seperti memaksa dirinya untuk terlelap.
"Kanda." Putri Jayanti Latsmi mencoba menyentuh lengan Raden Surya Biantara. "Kanda." Perlahan-lahan suaranya terdengar sangat pelan karena ia tidak dapat menahan kantuknya itu.
Sementara itu anaknya telah terlelap di sampingnya, namun ia berusaha untuk tetap terbangun karena ia sangat khawatir dengan keadaan sekitar.
"Dinda." Raden Surya Biantara berusaha untuk tetap terjaga namun hasilnya tetap mustahil. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa tiba-tiba saja-." Ia berusaha untuk melawan itu, namun hasilnya sia-sia.
Ajian serat jiwa pada saat itu telah membuat mereka terkapar semua. Tidak ada yang bisa melawan ajian itu, tidak ada yang bisa menolaknya jika terkena ajian itu.
Deg!.
Pendekar wanita yang masih belum diketahui identitas itu merasakan firasat yang sangat buruk.
"Kurang ajar! ternyata mereka mulai bergerak." Ia mengumpat dengan sangat kesalnya. "Aku harus memastikan mereka semua." Setelah itu ia melompat menuju lokasi acara itu. "Semoga saja tidak terjadi, aku harap itu hanyalah sebuah firasat saja." Dalam hatinya sangat tidak enak.
Kembali ke lokasi acara.
Saat itu pulang keluar tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian yang sangat luar biasa. Ketiga pendekar itulah yang telah membuat mereka tertidur.
"Kita hanya melakukan sesuai dengan perintah Gusti Putri." Ia mengeluarkan senjatanya. "Kita bunuh mereka semua, kamu yang tersisa hanyalah Raden surya biantara saja." Senyumannya terlihat sangat mengerikan dan diisi oleh ambisi yang sangat buruk sebagai ukuran manusia biasa.
"Tapi Gusti Putri mengatakan untuk menyisakan lima orang untuk sebagai saksi nantinya." Salah satu dari mereka masih ingat dengan pesan itu.
"Ya." Ia maju duluan. "Lima orang sisanya itu akan menjadi saksi atas apa yang telah dilakukan Raden surya biantara." Ia malah terkekeh. "Kita rasuki pikiran mereka agar menyaksikan itu dengan sangat baik adegan indah itu nantinya." Ia semakin terlihat menyeramkan. "Aku sudah tidak sabar lagi untuk membunuh mereka semua."
"Kau ini sangat tidak sabaran sekali." Temannya malah tertawa melihat Darka yang sangat bersemangat.
"Kalau begitu mari kita lakukan dengan segera, jangan sampai ada celah yang nantinya akan memberatkan kita semua." Tumba menyiapkan senjatanya. "Jangan sampai ada orang luar yang melihat ini."
Pada malam yang sangat sadis itu mereka bertiga melakukan hal yang sangat tidak manusiawi sama sekali. Mereka yang saat itu melakukan pembunuhan massal. Apakah yang akan terjadi kepada mereka semua?. Apakah akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan setelah malam berlalu?. Simak dengan baik kisah ini.
...***...
Di istana.
Entah kenapa pada saat itu ia merasakan hal buruk telah terjadi kepada anaknya. Suasana hatinya sangat tidak tenang sama sekali, bayangan anaknya yang selalu menghantui pikirannya.
"Kenapa ibunda terlihat sangat sedih? Apakah ibunda sedang memikirkan raka surya biantara?." Raden Sahardaya Biantara melihat raut wajah ibundanya yang berbeda dari yang tadi.
"Entah kenapa ibunda merasakan hal buruk sedang terjadi kepadanya." Perasaanya semakin tidak karuan. "Ibunda merasakan jika ia sedang mengalami kesulitan." Raut wajahnya terlihat semakin sedih.
"Ibunda jangan berpikir seperti itu." Ia mencoba untuk menenangkan ibundanya. "Kasihan Raka saat ini yang sedang berada di luar istana, jika ibunda memikirkan hal yang buruk tentang raka." Ia hanya tidak ingin ibundanya terlihat sedih.
"Maafkan ibunda jika seperti itu." Ratu Saraswati Tusirah mencoba menenangkan perasaanya. "Tapi apanya yang dirasakan saat ini sangat menyakitkan rasanya, gambaran itu dayang begitu saja tanpa ibunda kehendaki." Perasaan itu semakin membuncah ketika ia memikirkan anak sulungnya itu.
"Tenanglah ibunda." Raden Sahardaya Biantara kemabli mencoba untuk menenangkan ibundanya. "Semuanya akan baik-baik saja, lagi pula raka surya biantara adalah pendekar yang sangat hebat." Ia sangat yakin dengan itu. "Jika ada sesuatu yang terjadi kepadanya? Raka akan mengatasinya dengan baik, ibunda harus percaya dengan itu." Dengan perlahan-lahan ia menjelaskannya, supaya Ratu Saraswati Tusirah tidak sedih lagi.
"Ya, ibunda juga berharap seperti itu." Hatinya saat itu masih cemas. "Ibunda sangat berharap jika nanda surya biantara akan baik-baik saja." Dalam hatinya merasakan kecemasan yang sangat berlebihan tentang anaknya Raden Surya Biantara.
...****...
Di malam yang sepi itu.
Seorang wanita cantik sedang memandangi langit malam yang sangat kelam, cahayanya seakan redup tidak ada penerangan sama sekali, bahkan bintang dan bulan seakan-akan enggan untuk menampakkan dirinya.
"Malam yang sangat sepi, tanpa bintang dan bulan aku seperti sedang kehilangan cahaya yang sangat tenang." Dalam hatinya seakan-akan sedang membacakan sebuah syair yang menggambarkan bagaimana suasana hati dan malam itu. "Aku selalu memikirkan kekasihku yang jauh dariku, berada di genggaman tangan orang lain, betapa sakitnya hatiku ketika aku melihatnya tersenyum bahagia." Saat itu pula ia merasakan emosi jiwa ketika hatinya kembali membacakan kalimat ungkapan syahdu goresan luka. "Sedangkan aku terluka dengan perasaan hampa, bahkan dia tidak menyadari jika aku sangat mencintainya lebih dari apa yang ia bayangkan, namun sayangnya cahaya rembulan ku tak cukup terang untuk menyentuh tanah yang tebal sehingga ia lebih memilih rumput liar karena akarnya menyatu dengan bumi." Perasaan emosi jiwa itu semakin kuat membara di relung hatinya.
"Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini putriku? Apakah kau sedang ingin menikmati angin tidak segar ini?." Seorang laki-laki hampir setengah baya mendekati anaknya yang tampak rundung.
"Ayahanda?." Lamunannya buyar ketika ia melihat ayahandanya mendekatinya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau masih berada di sini? Apakah kau cemas padanya?." Ia usap rambut anak gadisnya dengan lembut. "Jika kau masih sayang padanya? Artinya percuma saja apa yang telah kita rencanakan." Matanya menangkap raut wajah anak gadisnya terlihat sedih.
"Aku hanya mengungkapkan rasa sakit hatiku saja ayahanda, orang bodoh seperti Raden surya biantara tidak dapat menyadari betapa besarnya rasa cintaku padanya." Saat itu juga raut wajahnya terlihat sangat kesal. "Aku sangat kesal kepada lelaki seperti itu ayahanda."
"Ahaha! Kau ini sangat aneh sekali, kau ini benci atau cinta padanya?." Ia malah tertawa mendengarkan ucapan anaknya.
"Ayahanda jangan tertawa, aku sangat kesal." Ia bahkan menggembungkan kedua pipinya sebagai ungkapan rasa kesalnya.
Lelaki setengah baya itu semakin tertawa kuat melihat tingkah anaknya yang seperti itu.
...***...
Sementara itu di alam bawah sadar Raden Surya Biantara.
Pada saat itu ia seperti sedang memegang pedang yang sangat tajam, tubuhnya seakan-akan sedang dikendalikan oleh seseorang yang memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi. Pada saat itu ia seperti sedang melakukan hal yang sangat tidak manusiawi sama sekali. Dengan tangannya yang sangat kejam itu ia membunuh siapa saja yang ia temui.
"Kanda! Apa yang telah kanda lakukan?." Suara itu adalah suara yang sangat ia kenali.
"Dinda? Kau di mana?." Suara Raden Surya Biantara terdengar bergetar ketika itu. "Dinda di mana?." Hatinya merasakan sakit yang tidak biasa.
"Kenapa kau melakukan hal yang sangat keji padaku kanda? Apa salahku? Apa salah putri kita? Apakah kau telah merencanakan ini semua?." Suara Putri Jayanti Latsmi terdengar sangat marah.
"Apa yang kau katakan dinda? Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau katakan." Entah kenapa saat itu ia menangis karena bingung dengan apa yang ia hadapi sebenarnya.
"Kau masih bertanya kanda? Apakah kau tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah kau lakukan padaku? Juga terhadap putri kita kanda?!." Kemarahan itu semakin besar ia keluarkan.
"Dinda." Raden Surya Biantara mencoba melihat dengan lebih fokus lagi untuk melihat, karena pandangannya saat itu sedang gelap, seperti sedang ditutupi sesuatu yang sangat menyakitkan hati ketika berada di kegelapan malam.
Deg!.
Raden Surya Biantara sangat terkejut melihat keadaan istrinya yang sangat mengenaskan, matanya yang perlahan-lahan melihat istrinya bersimbah darah.
"Tega sekali kau melakukan itu kepadaku kanda! Kenapa kamu bunuh anak kita? Apa salahnya sehingga kau membunuhnya?." Dengan perasaannya sangat sakit luar biasa iya menanyakan itu kepada Raden Surya Biantara. "Terkutuk kau Raden surya biantara!." Rasa sakit yang sangat luar biasa ia rasakan kala itu.
"Aku." Raden Surya Biantara sama sekali tidak mengerti dengan apa yang telah ia alami. "Apa yang telah aku lakukan?." Dalam hatinya tidak bisa memikirkan apapun, hatinya sangat sakit, kepalanya juga berdenyut sakit. Raden Surya Biantara tidak bisa memikirkan apa yang telah ia lakukan pada istrinya.
"Kau akan dikutuk oleh dewata agung karena telah melakukan hal yang sangat keji! Kau bukan manusia! Kau iblis! Aku sangat menyesal karena telah mencintai iblis seperti kau!." Teriaknya dengan penuh amarah.
Deg!.
Raden Surya Biantara sangat terkejut dengan apa yang ia dengar, namun saat itu ada gejolak kemarahan di dalam hatinya. Amarah yang tidak bisa ia rasakan, hasrat tidak baik itu telah muncul begitu saja.
"Akan aku bunuh kau!." Saat itu Raden Surya Biantara merasakan gejolak yang aneh di dalam tubuhnya, sehingga tanpa berpikir panjang lagi ia telah menebas tubuh istrinya itu dengan menggunakan pedang yang berada di tangannya.
Cekh!.
Darah merah kental menyiprat ke tubuhnya ketika ia menebas tubuh istrinya, padahal kondisi Putri Jayanti Latsmi saat itu telah terluka parah, namun karena tebasan pedang yang kuat itu?.
"Kau ada seorang pembunuh! Suatu saat nanti kau akan dibunuh oleh orang yang mencintaimu."
Ucapan itu terdengar seperti sebuah kutukan baginya, tapi apakah ia tidak mengetahui jika Raden Surya Biantara sebenarnya sangat ketakutan dengan apa yang telah ia lakukan saat itu. Hingga saat itu ia terbangun dari tidurnya?. Namun saat itu ia melihat banyak mayat yang bergelimpangan di sana. Jantungnya berdekap dengan sangat kencang melihat pemandangan yang mengerikan itu. Hatinya sangat hancur melihat kejadian yang sangat mengerikan itu.
"Aku tidak peduli dengan semuanya, tanganku telah berdarah, aku yakin ini hanyalah sebuah mimpi." Raden Surya Biantara merasa itu hanyalah sebuah mimpi. "Aku pasti akan bangun dari mimpi buruk ini, keluargaku pasti akan baik-baik saja." Hatinya sangat sakit, dan ia tidak bisa menahan perasaan sakit itu.
...***...
Kembali ke istana.
"Ibunda." Raden Sahardaya Biantara mencoba mencoba memberanikan dirinya. "Kalau begitu ananda yang akan bertanya kepada ibunda." Entah kenapa ia ingin mengetahuinya.
"Memangnya apa yang akan ananda tanyakan kepada ibunda?." Dalam perasaan yang sedih?. Raut wajahnya terlihat kebingungan ketika melihat anaknya yang ingin bertanya?. "Semoga saja bukan pertanyaan berat sehingga ibunda tidak bisa menjawabnya." Mungkin hanya seperti itu yang ia balas.
"Ada sebuah kabar yang nanda dengar dari beberapa tukang gosip yang berada di istana ini." Ia terlihat sangat serius. "Sebenarnya dahulu raka ingin menikah dengan putri dari senopati rangga bumi? Tapi tidak jadi, karena raka memilih nimas jayanti latsmi yang merupakan putri dari raja pusara angin, apakah kabar itu benar ibunda?." Itulah yang ia dengar.
"Kabar yang seperti itu memang cepat berada di kalangan istana." Ratu Saraswati Tusirah menghela nafasnya. "Banyak yang menyebarkan kabar yang buruk tentang raka mu itu, bahkan tidak segan-segan mengakui dirinya sebagai istri dari raka mu." Keluhnya.
"Ternyata raka sangat luar biasa sekali." Antara kagum dan resah, mungkin itulah yang ia rasakan. "Tapi kabar yang sangat meresahkan itu, jika raka ingin menguasai kerajaan ini ibunda."
"Kabar burung itu memang selalu datang mengenai raka mu itu." Ratu Saraswati Tusirah semakin resah. "Mereka yang selama ini tidak menyukai kita? Tentu saja akan mencari celah untuk membuat kita terlihat bersalah."
"Ya, ibunda benar." Raden Sahardaya Biantara mengerti itu. "Mereka yang membenci kita akan mencari semua kesalahan yang kita miliki ibunda."
Malam itu malam yang sangat panjang bagi Ratu Saraswati Tusirah, dan putranya Raden Sahardaya Biantara. Banyak hal yang mereka ceritakan pada malam itu, banyak cerita yang keluar begitu saja antara keduanya untuk melepaskan kerinduan yang ada di dalam hati mereka.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!