"Besok dia bebas," gumam Devan.
Laki-laki yang masih terlihat tampan di usianya yang telah matang itu mengalihkan pandangannya ke arah luar, dia kini sudah tak lagi dapat dengan bebas melakukan apapun pada keluarga Prayoga, tidak sama seperti dua belas tahun yang lalu.
Devan sudah menikahi Mila, sekretarisnya. Walaupun sebenarnya hati Devan masih terpaut pada sosok wanita yang kini tengah menjadi pemeran utama dalam fikirannya.
Mila gadis yang baik dan tidak banyak menuntut. Devan memutuskan untuk mencoba memberikan ruang di hatinya, perempuan itu memang jelas-jelas sudah menyukainya sejak dulu, makanya tak ada perjuangan yang berarti bagi Devan untuk mempersuntingnya.
Tapi tak dapat dipungkiri, jauh di lubuk hati Devan masih tersimpan satu nama yang tak dapat ia lupakan seumur hidupnya.
Cintanya tetap abadi hingga kini, namun hal itu harus tetap terpendam selamanya demi menjaga perasaan Mila yang sekarang sudah memilikinya.
Devan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki, Al Mukti Hanif, dan kini Mila tengah mengandung buah hati mereka yang kedua.
Tok .. tok .. suara pintu diketuk dari luar, Husna masuk setelah Devan mempersilahkannya.
"Pak, ini berkas-berkas ajuan dari klien kita yang sudah masuk," wanita berjilbab putih itu berujar seraya menyodorkan beberapa tumpukan map pada atasannya.
"Oh, iya, terimakasih," ucap Devan setelah berkas-berkas itu berpindah ke tanganya.
Husna adalah karyawati yang menggantikan posisi Mila, gadis itu memutuskan untuk resign setelah dipersunting atasannya sendiri.
Husna seorang single parents yang tidak bisa lagi memiliki anak, karena rahim wanita itu sudah diangkat, ia korban KDRT suaminya sendiri.
Husna adalah salah satu klien Devan ketika ia berseteru dengan suaminya perihal KDRT yang dialaminya, ia dibela oleh Lembaga Hukum milik Devan di dalam persidangan, sampai akhirnya dia dipekerjakan di Lembaga Hukum Devano Putra Bagaskara, S.H, M.H.
Suara notifikasi whatsapp berbunyi.
'Mas, makan siangnya mau dibawain ke kantor atau kamu mau pulang dulu ke rumah?'
Mila mengirimkan pesan lewat sebuah chat.
'Sebentar lagi aku pulang,' balas Devan.
Pria berkemeja biru itu bergegas merapihkan berkas yang tadi diterimanya, ia berniat memeriksa semuanya setelah selesai jam makan siang.
Melihat atasannya keluar, Husna berdiri.
"Saya pulang dulu sebentar," ujar pria bertubuh tinggi itu.
Husna menjawab atasannya dengan anggukan kepala, kedua netranya tak berani menatap.
Devan berjalan menuju deretan kendaraan roda empat yang terparkir rapih, mobilnya memiliki sebuah area khusus yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri, wajarlah, dia memang pemiliknya.
Dalam perjalanan terdengar suara dering panggilan dari ponsel, dengan cepat Devan mengenakan bluetooth earphone pada telinganya.
"Assalamualaikum," ucapnya setelah alat bantu komunikasi dalam mobil itu tersambung dengan baik.
"Alaikumusalam, Van, apa kabar?" tanya seorang pria dari seberang sana.
"Alhamdulillah, saya sehat, Om. Om dan Tante gimana? Sehat juga, kan?" Devan balik bertanya, senyum mengembang di bibirnya.
"Om dan Tante sehat, Van. Alhamdulillah, berkat bantuan kamu dan keluargamu selama ini," balas Prayoga, dengan suara sedikit bergetar menahan haru.
"Van, besok Sarah bebas, tapi dia menolak dijemput ke New York, anak itu meminta kami menunggunya di rumah saja. Jika berkenan, kamu datang ke rumah Om saat Sarah pulang nanti, ajak Mila juga, ya!" tutur Prayoga dengan segenap harapannya.
"Baik, InshaAllah kami usahakan untuk datang, Om," ucap Devan.
"Terimakasih, Van, salam buat Mila, ya!" pungkas Prayoga mengakhiri sambungan komunikasinya.
Devan membuka bluetooth earphone dari telinganya, kemudian meletakan kembali benda kecil itu di tempat semula.
*****
"Gimana, Devan bisa dateng nggak, Yah?" tanya Marni pada suaminya.
"InshaAllah dateng katanya, Bu," jawab Prayoga.
Marni tersenyum, dalam benaknya ia masih mengharapkan Devan menjadi menantunya. Tapi takdir berkata lain, Devan kini sudah menjadi milik istrinya, Mila.
"Ibu mau masak makanan kesukaan Sarah dan Devan, pasti mereka seneng," ucap wanita paruh baya itu seraya beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah menuju ke arah dapur.
Prayoga menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menarik nafas dalam, terkadang ia tak habis fikir dengan kelakar yang dibuat istrinya itu.
Sudah tau Devan pria beristri, tapi masih saja berharap menjadi mertuanya, batin Prayoga.
*****
Devan sampai di depan halaman rumah yang cukup luas, bangunan minimalis modern yang terlihat rapih dan bersih itu adalah kediamannya bersama Mila juga buah hati mereka.
"Assalamualaikum," ucap Devan ketika membuka pintu depan rumahnya.
"Alaikumusalam," jawab Mila, wanita berjilbab maroon itu ternyata sudah berdiri di balik pintu, istri Devano itu menyambut kedatangan sang Suami dengan senyumnya yang menawan.
Sebuah kecupan mesra mendarat dikening wanita yang tengah berbadan dua itu.
"Mau langsung makan, Mas?" tanya Mila dengan wajah merona setelah menerima sebuah kecupan mesra.
"Iya dong, udah nungguin kan?"
Devan merangkul tubuh mungil kekasih halalnya itu, keduanya berjalan berdampingan menuju ruang makan.
Mila tersenyum bahagia, ia benar-benar merasa menjadi seorang ratu di rumah itu. Devan memperlakukan istrinya dengan begitu lembut dan penuh perhatian juga kasih sayang.
"Papah!" teriak seorang anak laki-laki berumur lima tahun yang terlihat sudah berdiri bertolak pinggang di bawah anak tangga.
Devan dan Mila menghentikan langkah mereka.
"Maaf, Tuan, Den Al ndak mau tidur siang, katanya mau nungguin Ndoro Tuan," ujar seorang wanita berseragam baby sitter, ia berdiri di belakang anak kecil yang berwajah tampan itu.
Dia itu adalah Mirna, suster yang menjaga Al Mukti Hanif, putra sulung Devan dan Mila.
"Anak Papah belum tidur siang?"
Devan menghampiri buah hatinya, lalu meraih tubuh mungil itu ke dalam gendongannya.
"Aku mau tidur sama Papah," rengek anak laki-laki itu sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Devan.
"Al, jangan begitu, kasian Papahnya laper, mau makan dulu, Al tidur ditemenin Mamah, yah!" bujuk Mila.
"Nggak mau, Al mau sama Papah," anak itu semakin merajuk, ia mempererat pelukannya.
"Nggak apa-apa, aku ke atas dulu sebentar."
Devan menggendong anak pertamanya itu menuju kamar yang terletak di lantai atas.
Mila menghela nafas dalam, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah menginjak usia sembilan bulan.
"Kamu jangan seperti Kakakmu, ya, Nak," bisik Mila pada perutnya yang sudah besar.
Setelah menunggu beberapa saat, terlihat Devan berjalan menuruni tangga, dia langsung menghampiri Mila yang sudah berada di ruang makan, pria yang sudah melepaskan dasi hitamnya itu lalu mendaratkan bokongnya di kursi meja makan.
Dengan cekatan Mila menyiapkan satu piring menu makan siang untuk orang yang dicintainya, Devan mulai menyantap makanan yang sudah disediakan Mila.
"Mil, besok kita ke rumah Pak Prayoga, yuk!" ajak Devan disela kunyahannya.
"Ada acara apa memangnya?" tanya Mila.
"Besok Sarah pulang, ia sudah bebas," jelas Devan dengan tatapan lekat ke arah istrinya.
"Oh, begitu ya, iya boleh, Mas," jawab Mila seraya melemparkan senyum.
Ada desiran aneh yang terasa tak mengenakan masuk ke dalam hati wanita yang berparas ayu itu, ia tau persis perihal siapa Sarah Ardelia Prayoga, dia adalah wanita yang sudah sejak lama berada di dalam hati suaminya.
Tapi Mila berusaha untuk selalu tampil baik-baik saja di hadapan suami tercintanya, karena ia yakin Devan bukan laki-laki yang tidak bisa menghormati dan menghargai pasangannya.
Devan menyudahi makan siangnya, Mila pun mengikuti. Nyonya rumah itu kemudian memanggil Mbok Minah, seorang pelayan yang membantunya di rumah.
"Kita sholat dzuhur dulu, yuk!" ajak Devan.
Mila mengangguk.
Keduanya berjamaah dengan khidmat, Devan menjalankan kewajibannya, menjadi imam untuk istrinya.
Selesai shalat Devan pamit kembali ke kantor, jarak antara kantor dan rumahnya memang tidak begitu jauh, Devan sudah mengatur semua demi kenyamanan dia dan keluarganya.
Tiba-tiba terdengar suara notifikasi whatsapp dari ponsel Devan.
'Pak, Nona Karina menunggu di kantor! Kelihatannya seperti telah mengalami sesuatu.'
Gadis bermata biru itu berjalan menelusuri trotoar, sesekali dia menengok ke arah belakang, sepertinya ia tengah menunggu kedatangan seseorang.
"Kemana sih, kok lama banget," gerutunya dengan wajah yang terlihat sudah lelah akibat kepanasan.
Karina mengambil sebuah dompet dari dalam tas gendongnya, bermaksud mengeluarkan uang untuk menaiki angkutan umum.
Sreeettt secepat kilat dompet gadis itu berpindah tangan, dua orang laki-laki yang menaiki sepeda motor telah menjambretnya.
"Jambreeeet ... toloooong ...!" teriak gadis itu.
Tiba-tiba datang seseorang berhelm tertutup warna hitam, mengenakan jaket kulit juga dengan warna yang sama.
"Ayo, naik!" ajaknya.
Karina menaiki CBR150R itu dengan cepat, ia tak memikirkan siapa yang mengajaknya, saat ini di dalam isi kepalanya adalah dompet yang dibawa penjambret sialan itu.
Dengan kecepatan tinggi sosok berjaket hitam itu mengendarai motornya, berusaha mengejar si Jambret.
Lama mereka saling berkejaran, tiba di sebuah tikungan, kaki si Jaket Hitam menendang jambret yang duduknya di belakang, motor bebek itu hilang kendali, keduanya nyungsep di sebuah parit pinggir jalan bersama kendaraan yang dipakainya.
Si Jaket Hitam itu turun setelah memarkirkan kendaraan roda duanya di pinggir jalan, Karina berdiri di sampingnya dengan wajah pucat dan jantung berdebar kencang.
Si Jaket Hitam itu menghampiri mereka yang sedang berusaha bangkit.
"Kembalikan dompetnya!" hardik si Jaket Hitam sambil menunjuk ke arah pejambret yang memegang dompet milik Karina.
"Mau jadi pahlawan kesiangan, Lo! Kurang ajar, udah bikin Gue jatoh," umpat si Jambret.
Tak elak perkelahian antara si Jaket Hitam dan kedua jambret itu terjadi, seperti layaknya seorang super hero yang sedang melawan para penjahat, si Jaket Hitam itu berhasil menggulung dua jambret itu hingga babak belur.
Saat kepalan tangan pamungkas si Jaket hitam sudah mengudara, si Jambret berteriak memohon ampun. Pukulan terakhir itu pun urung dilakukannya.
Si Jaket hitam mengambil dompet Karina yang tergeletak di atas aspal, lalu pergi meninggalkan dua jambret yang baru saja dia beri pelajaran.
"Ini dompetnya," ucap si Jaket Hitam.
Karina masih tertegun, dia syok melihat perkelahian antara mereka. Baru kali itu gadis bermata biru melihat orang yang adu jotos tepat di depan matanya.
"Hei, ini dompet kamu! Pertunjukannya sudah selesai," kembali si Jaket Hitam itu berkata sambil menggerak-gerakan dompet di depan mata Karina yang masih bergeming.
"Ah, oh, iyah, terimakasih, Kak," ucap Karina gugup.
"Pulang kemana?" tanya si Jaket Hitam itu, sambil melangkah menuju motornya.
"Jalan Makasar, Kak, eh, tapi tolong antarkan saya ke tempat kerja Kakak saya saja, udah deket kok, dari sini tinggal jalan ke depan lagi sedikit," pinta gadis itu.
Si Jaket Hitam hanya mengangguk, lalu memberikan kode dengan tolehan kepalanya agar Karina cepat naik.
Setelah beberapa menit berkendara, Karina menepuk pelan punggung si Jaket Hitam.
"Itu Kantornya, Kak," tunjuk Karina.
Si Jaket Hitam itu menghentikan kendaraannya di pinggir jalan, Karina turun.
"Kak, makasih udah nolongin saya," ucap Karina yang di jawab dengan anggukan kepala oleh si Jaket Hitam itu.
Kedua netra Karina memandang punggung sosok yang baru saja menolongnya, sampai akhirnya menghilang diantara riuh kendaraan lainnya.
"Kakak ... Kakak ...!" Karina berteriak-teriak sambil berlari memasuki halaman kantor Lembaga Hukum itu.
Satpam yang tengah berjaga menghampiri gadis itu seraya bertanya, "ada apa Neng?"
Karina menutup mulutnya, dia baru sadar bahwa sekarang dirinya sedang berada di kantor Lembaga Hukum milik Kakaknya, bukan di rumah.
"Nggak, Pak, maaf, maaf!" jawab gadis itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Karina lekas berlari memasuki gedung kantor tersebut, gadis itu menghampiri petugas resepsionis.
"Kakak aku ada?" tanyanya.
"Pak Devan belum kembali Karina, beliau tadi pulang dulu, katanya mau makan siang," ungkap Ria, resepsionis di kantor itu.
Ria dan juga karyawan lainnya sudah hafal dengan seluruh anggota keluarga pemilik kantor tempat mereka bekerja, maka tak heran jika Karina sudah terlihat akrab dengan para karyawan di sana, termasuk Ria.
Karina memonyongkan bibirnya setelah mendengar bahwa Devan sedang tidak berada di tempat, kemudian gadis itu berjalan menuju sofa yang berada di lobby kantor.
Ria segera memberitahu keberadaan Karina kepada atasannya.
*****
Devan sampai di depan gedung kantornya, ia berjalan menuju pintu masuk setelah memarkirkan mobilnya.
"Dasar anak nakal!" gerutu Devan, ketika melihat Karina tertidur di sofa.
"Hei, anak nakal, bangun!"
Karina terperanjat, lalu mengucek matanya.
"Kakak!" sapa Karina setelah penglihatannya jelas melihat sosok pria yang sudah tak asing lagi baginya.
"Ngapain tidur di sini?" tanya Devan, keduanya kini duduk berdampingan.
"Tadi aku lelah sekali, Kak, makanya ketiduran di sini, ya, maaf!" jelas Karina seraya mempertunjukkan puppy eyes.
"Ayo, ke atas!" ajak Devan.
Gadis itu lalu mengekori langkah sang Kakak menuju ke ruang kerjanya.
"Hai, Kak Husna!" sapa Karina saat melewati meja kerja sekretaris Devan.
"Hai, cantik!" balas Husna dengan senyuman.
Devan masuk ke ruangan lebih dulu, lalu diikuti adik perempuan satu-satunya.
"Kamu pulang darimana, atau mau kemana?" tanya Devan setelah keduanya duduk di kursi tamu.
"Aku tadi pulang interview, Kak, terus kata Anton dia mau jemput, nyuruh aku nunggu di pinggir jalan. Eh, ternyata lama nggak nongol-nongol, daripada BT, aku putusin buat naik bis. Pas aku ngeluarin dompet malah dijambret sama dua orang cowok naek motor," jelas Karina dengan raut wajah serius.
"Terus, gimana nasib dompet kamu?" tanya Devan.
"Beuh, Kakak malah nanyain dompet, tanyain mah adiknya, kamu nggak apa-apa? Gitu, ih!" protes Karina.
Devan tersenyum geli melihat adiknya kesal.
"Terus itu kamu bisa sampe sini gimana?" kembali Devan bertanya pada adiknya.
"Aku ditolongin sama seseorang, nggak jelas dia cewek apa cowok, soalnya pake helm, wajahnya ketutup, terus pake jaket kulit warna hitam, kaya depkolektor gitu, Kak."
Devan mengernyitkan keningnya, jarinya memberi kode untuk Karina agar meneruskan ceritanya.
"Ah, Kakak, udah kaya ngintrogasi klien aja," gerutu Karina.
Namun tak ayal dia pun menceritakan semuanya, termasuk perkelahian antara si Jaket Hitam dan dua jambret itu.
"Gitu, Kak, ceritanya," pungkas Karina.
"Widiiiihh, kereeeen tuh cerpennya," goda Devan.
"Busyet deh, punya Kakak gini amat, ya! Adeknya dijambret malah dibilang bikin cerpen, mendingan aku pulang, ah," kesal Karina.
Gadis itupun beranjak dari tempat duduknya, namun tangannya ditarik Devan, hingga bokongnya kembali mendarat di kursi.
"Gitu aja ngambek," ujar pengacara itu sambil tersenyum.
Karina tak membalas, bibirnya kembali maju beberapa senti dari batas normal.
"Ya, maaf, maaf, tadi Kakak cuma bercanda. Alhamdulillah kalo kamu baik-baik aja, dan dompet kamu udah balik lagi. Cuma itu orang yang nolongin kamu, siapa yah?" tutur Devan.
Gadis bermata biru itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Apa semua hidangan sudah siap, Bu?"
Prayoga menanyakan menu makanan spesial penyambutan anak semata wayangnya.
"Sudah, Ayah," jawab Marni, wanita paruh baya itu masih sibuk membenahi jilbab pashminanya.
Prayoga sepertinya sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan buah hatinya, Sarah Ardelia. Anak tunggalnya itu sudah dinyatakan bebas dari hukuman yang diberikan oleh Pengadilan New York atas kasus pembunuhan yang dilakukan Sarah kepada bayinya sendiri.
Sarah berhasil mendapatkan remisi hukuman, oleh sebab dia dapat memenangkan kompetisi bela diri cabang taekwondo yang diselenggarakan pemerintah kota.
Sarah menjadi salah satu kandidat yang dinilai sebagai tahanan berprestasi dan layak mendapatkan keringanan hukuman.
*****
Devan memantaskan dirinya di depan cermin, tubuhnya yang tinggi masih terlihat kekar, ketampanannya pun belum memudar, pria yang sudah berumur empat puluh tahun itu tetap terlihat gagah dan berwibawa.
Mila duduk di sofa, ia menunggu suaminya yang masih berada di dalam kamar. Wanita berbadan dua itu nampak anggun dengan setelan khimar dan gamis berwarna merah muda yang dikenakannya.
Keduanya bersiap untuk pergi memenuhi undangan dari keluarga Prayoga, mereka akan ikut serta dalam acara syukuran kepulangan Sarah.
Sebenarnya Mila tidak merasa baik-baik saja, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ada gemuruh cemburu yang mulai merasuk, namun demi rasa hormat dan cintanya kepada sang Suami, Mila harus membunuh egonya sendiri.
"Yuk, berangkat!" ajak Devan, ia mengulurkan tangannya meraih jemari tangan Mila.
Wanita berparas ayu itu tersenyum manis sekali, ia merasa bahagia dengan perlakuan suaminya yang selalu bertutur lembut dan penuh kasih sayang padanya.
Keduanya berjalan menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Al tidak dibawa ikut serta, karena ke aktifannya yang teramat sangat, Devan tak ingin istrinya kecapean menjaga Al saat kandungannya yang sudah tinggal menghitung hari kelahiran.
Devan mulai mempekerjakan Mirna, pengasuh yang menjaga Al, ketika kandungan Mila mulai menginjak semester kedua.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Kendaraan roda empat yang dikemudikan Devan mulai melaju, CRV berwarna hitam itu sudah berbaur dengan riuhnya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.
*****
"Saya check out hari ini," ucap seorang wanita berambut pirang, seraya memberikan kunci kamar hotel yang sudah disewanya dari kemarin.
"Baik Nona, terimakasih sudah singgah," jawab seorang resepsionis hotel.
Wanita cantik bermata bulat itu membenahi bagpack yang dibawanya, lalu berjalan menuju area parkir motor.
"Ayah, Ibu, aku datang," gumamnya sambil mengenakan helm.
CBR150R itu melaju, keluar dari area Hotel.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya wanita berjaket hitam itu tiba di tempat tujuan.
Setelah memarkirkan motornya, Sarah membuka helm dan jaket yang dipakainya.
Ekor matanya berkeliling memandang halaman rumah yang sudah ia tinggalkan selama belasan tahun lamanya, suasananya masih tetap sama seperti dulu.
"Neng Sarah, ini beneran Neng Sarah?"
Wanita berkaos putih itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Mang Uya, apa kabar?" sapa Sarah pada satpam rumahnya yang masih setia dari dulu.
"Baek Neng, baek Alhamdulillah, Neng Sarah gimana?" Uya balik bertanya.
"Alhamdulillah sehat, Mang," jawab Sarah.
"Saya masuk dulu, ya, Mang," pungkasnya.
"Iya, iya Neng, silahkan."
Sarah melangkahkan kakinya menuju ke depan pintu rumah mewah itu.
"Assalamualaikum," ucap Sarah dengan suara bergetar, kedua matanya mulai berembun.
Keharuan yang dirasakannya semakin kuat, namun Sarah berusaha agar tidak meneteskan air mata, ia ingin hari ini adalah hari bahagianya bersama keluarga tercinta.
"Alaikumusalam."
Ucapan salam dari Sarah dibalas oleh seluruh orang yang sudah berada di dalam rumah itu.
"Sarah, anakku!"
Marni berlari menghampiri putri tunggalnya.
Sarah meraih kedua kaki ibunya, wanita yang telah melahirkannya itu berada tepat di hadapannya. Sarah mencium kaki ibunda tercinta dengan khidmat.
"Maafkan aku, Bu," kalimat itu yang selalu Sarah ucapkan setiap kali ia bertemu dengan ibunya.
Tangis haru wanita paruh baya itu pecah seketika, ia teramat sangat bersyukur dengan kepulangan anak semata wayangnya.
Keduanya saling berpelukan erat seakan tak ingin lagi mereka terpisahkan kembali.
Prayoga mendekati kedua wanita yang sangat dicintainya, pria paruh baya itupun memeluk mereka.
"Kamu sehat, Nak?" tanya Prayoga, setelah ketiganya melepaskan pelukan masing-masing.
Sarah tersenyum dan menganggukkan kepalanya, terlihat rona bahagia terpancar dari wajah cantiknya itu.
Devan beserta keluarganya mendekat, mereka bergantian menyapa Sarah, termasuk Mila yang diperkenalkan oleh Devan.
Suasana haru biru berubah menjadi tawa bahagia. Bagas, Maria juga Karina, turut serta hadir di tempat itu, mereka ikut senang dengan kepulangan Sarah.
Setelah saling sapa, Sarah pamit untuk menyimpan tas gendongnya ke kamar, Marni dengan cepat menggandeng tangan anaknya, ia mendampingi Sarah menuju kamarnya.
Sarah perlahan membuka pintu kamarnya, ruangan itu masih tetap seperti dulu, tak ada yang berubah sedikitpun.
"Ibu sengaja tak merubahnya, agar kamu tidak merasa asing," ujar Marni, sambil mengusap lelehan air matanya yang masih terus mengalir dari tadi.
Sarah meraba setiap benda yang ada di sana, tempat tidur, lemari pakaian dan sebuah tempat pajangan trophy juara, semua masih berada ditempatnya.
Senyum bahagia masih diumbarnya, ia sangat bersyukur dapat kembali ke tengah-tengah keluarga dan melihat semua barang-barang kesayangannya lagi.
"Ayo sayang, kita ke luar lagi, kasian mereka sudah menunggumu di meja makan," ajak Marni.
Sarah mengangguk, setelah meletakan bagpack-nya, ia kembali berjalan didampingi ibundanya menuju ruang makan.
"Ajeng, Sri, tolong disiapkan semuanya!"
Tanpa menunggu lama, kedua pelayan yang masih setia membantu di keluarga Prayoga itu menata makanan di atas meja makan.
Dua keluarga sahabat itupun mulai menyantap makanan yang sudah disediakan.
Sesekali Devan melirik wanita pujaan hatinya itu, namun ia berusaha untuk tetap menjaga perasaan Mila.
"Kamu dulu sekretaris Devan?" tanya Sarah disela kunyahannya.
Mila mengangguk seraya tersenyum, rona merah terlihat di wajahnya.
"Cantik," puji Sarah.
Wajah Mila semakin memerah, pujian Sarah benar-benar membuatnya semakin tak karuan.
"Kamu pintar cari istri," Sarah kembali melontarkan pujian sambil menatap ke arah Devan.
Pandangan keduanya beradu, Devan langsung menundukan wajahnya. Sarah hanya tersenyum, tak terlihat ada perasaan apapun yang terpancar dari wajahnya ketika menatap Devan, datar seperti biasanya.
Setelah berbincang melepas rindu, Devan dan Mila pamit pulang lebih dulu, mereka teringat Al yang sudah lama ditinggalkan bersama susternya di rumah.
Kini tinggal Bagaskara beserta istri dan si Bungsu Karina.
"Om, kalo ada lowongan pekerjaan, kasih tau saya yah!" pinta Sarah pada Bagaskara.
"Memangnya kamu mau kerja di restoran?" tanya Bagas.
"Dimana aja boleh, Om," jawab Sarah.
"Kenapa nggak bantuin Ayah aja di kantor?" tanya Prayoga.
"Saya bukan sarjana, dan lagi, masa sekantor sama Ayah sendiri, nanti disebut nepotisme," tolak Sarah tanpa basa basi.
Semua yang ada di sana tertawa mendengar pertanyaan Sarah yang lugas.
Setelah lama berbincang dan saling bercerita, Bagas dan Maria juga pamit pulang.
"Karina, sering-sering maen kesini, biar Kakak ada temen," pinta Sarah pada gadis bermata biru itu.
Karina tersenyum seraya berkata, "iya, Kak."
Ketiganya berjalan menuju mobil yang terparkir di pinggir sebuah motor.
Karina menatap kendaraan itu, ia merasa pernah bertemu dengan Honda CB150R yang berada di samping mobil Ayahnya.
Gadis itu semakin yakin karena helm hitam dan jaket kulit yang dipakai oleh orang yang menolongnya kemaren itupun berada di sana.
"Apa mungkin itu ...?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!