NovelToon NovelToon

Pelabuhan Hati Sekretaris Cupu

Kejutan Nisa

Nisa PoV On

"Ciieee, yang mau kasih kejutan buat ayangnya." Goda Jeni dengan semangat.

"Iya, dong. Dia udah sering kasih aku kejutan. Aku nggak mau kalah juga." Jawabku semangat.

"Iya deh, calon Nyonya Revan."

"Apaan sih, Jen?" Cicitku malu.

Jeni tersenyum lebar melihatku malu-malu. Tapi, ia segera menubruk tubuhku dan memeluk erat.

"Semoga, hubungan kalian langgeng, ya!" Ucap Jeni dengan wajah penuh ketulusan.

"Aamiin." Sahutku haru.

Aku pun membalas pelukan Jeni dengan satu tangan. Karena tangan lain, terhimpit oleh Jeni yang memelukku dari samping.

"Udah ah, aku harus buru-buru! Masih harus ambil pesenan kue dulu ke cakery." Pintaku manja.

"Iya, iya."

Jeni segera melepaskan pelukannya. Aku pun juga segera beranjak dari kursi rias.

"Kamu yakin, belum mau ngaku sama Revan?" Tanya Jeni sambil memperhatikanku memakai jaket.

"Itu jadi kejutan nanti, setelah dia memang menunjukkan keseriusannya padaku dan keluargaku." Jawabku yakin.

"Terserah kamu aja, deh! Good luck, ya!"

"Oke. Thank's, Jen."

Jeni mengangguk yakin. Kami lalu berjalan keluar dari kamarku. Jeni mengantarku hingga ke pintu depan. Dan aku, segera pergi untuk menjalankan misi kejutan untuk kekasihku, Revan.

Oh iya, aku Nisa. Nisa Amora. Usiaku hampir menginjak dua puluh lima tahun. Aku bekerja sebagai seorang sekretaris dari pemilik salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Perusahaan yang bergerak di beberapa bidang. Dari konstruksi, periklanan, hingga hiburan.

Aku bekerja di kantor pusat di ibukota. Dan selama di ibukota, aku tinggal bersama sahabatku sejak sekolah. Namanya Jenifer Arsinta. Aku biasa memanggilnya Jeni.

Aku dan Jeni, tinggal di apartemen milik sepupu Jeni. Jeni sebenarnya anak orang berada. Tapi, ia ingin belajar hidup mandiri, dari hasil kuliah dan kerja kerasnya sendiri. Tanpa embel-embel dukungan dari orang tuanya, yang sebenarnya adalah pemilik salah satu pabrik kain terkenal di kota Bandung.

Apartemen yang aku dan Jeni tempati, ditinggal oleh sepupu Jeni yang sudah menikah dan harus ikut suaminya yang berasal dari luar negeri. Awalnya, sepupu Jeni tidak ingin menyewakan pada kami. Ia ingin membiarkan kami menempatinya saja. Tapi, karena kami tidak enak hati, akhirnya kami sepakat, membayar sewa dengan harga yang sangat murah.

Oh iya, aku dan Jeni sebenarnya berbeda keyakinan. Tapi, itu tidak menjadi masalah bagi kami. Karena sejak awal kami menjalin pertemanan, kami tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dan itu berlangsung hingga saat ini.

Aku juga sudah memiliki kekasih. Namanya Revan Julian Anggara. Dia adalah pemilik kantor dimana Jeni dan kekasihnya bekerja. Julius Ltd. Julius adalah salah satu anak perusahaan dimana aku bekerja. Perusahaan itu bekerja dibidang kontruksi dan perhotelan.

Aku bisa berkenalan dengan Revan, juga karena Jeni dan kekasihnya yang memperkenalkan kami. Dari perkenalan yang tidak disengaja itu, kami akhirnya menjalin hubungan. Karena ia bisa meyakinkanku, jika ia tulus menjalani hubungan denganku. Dan yang jelas, dia tidak mempermasalahkan penampilanku. yang notabene, jauh dari kata sempurna.

Iya, aku jauh dari kata sempurna. Wajahku sangat biasa. Bahkan dihiasi dengan beberapa ruam merah dan jerawat yang setia menemani tanpa jenuh. Belum lagi, aku juga sangat enggan berpenampilan modis dan seksi, seperti teman-temanku di kantor. Karena aku memiliki trauma tersendiri dengan hal itu. Dan Revan, tidak pernah mempermasalahkan itu.

Keluargaku hanya keluarga biasa. Ayahku sudah tidak mampu lagi menafkahi keluarga, karena penyakit ginjalnya. Ia bahkan harus menjalani cuci darah sebulan tiga kali, agar bisa beraktivitas seperti biasa. Jadi, hanya ibu yang bekerja. Dan tentunya, aku juga ikut membantunya.

Apalagi, adikku Raka, baru tahun lalu lulus SMA. Dan aku juga ingin adikku mendapatkan pendidikan yang baik seperti aku dulu. Jadi, aku pun bersungguh-sungguh mencari nafkah untuk membiayai kuliahnya.

Aku sangat beruntung, karena baru satu tahun aku magang di perusahaanku, aku langsung diangkat menjadi karyawan tetap dan menempati posisi yang bisa dibilang, sulit untuk didapatkan. Sekretaris sang empunya perusahaan.

Aku dan Revan sudah hampir dua tahun berpacaran. Dan sekarang, aku ingin memberikan hadiah kejutan untuk ulang tahunnya.

Langkahku terasa ringan saat menapaki lantai lobi salah satu apartemen yang ada di salah satu sudut ibukota ini. Apartemen yang hanya kalangan berdompet tebal saja yang mampu membeli atau sekedar menyewa unitnya.

Iya, aku ingin memberikan kejutan pada Revan di apartemennya. Aku belum berani datang ke rumahnya, karena Revan memang belum memperkenalkan aku pada kedua orang tuanya. Meski, aku sudah tahu alamat rumahnya. Tapi tetap saja, akan terasa aneh jika aku datang begitu saja tanpa Revan. Jadi, aku memutuskan untuk memberi kejutan di apartemennya saja.

Aku sudah beberapa kali ke apartemen Revan. Tapi jangan salah, aku kemari biasanya karena Revan melupakan sesuatu dan harus segera diambil. Jadi, aku diajak ke apartemennya untuk mengambil. Aku juga sudah diberi tahu nomor sandinya. Dan karena hal itu, aku bisa memberinya kejutan malam ini.

Satu tanganku sudah memegang kue yang aku pesan khusus dengan ucapan ulang tahun untuk Revan. Dan tangan yang lain, mulai memencet sandi pintu apartemen Revan.

Aku sedikit melirik arloji di tangan kananku. Karena ingin memastikan, jika Revan sudah pulang pada saat ini. Dan ternyata, sudah jam sebelas malam.

Perlahan kubuka pintu apartemen Revan. Dan ternyata, lampu ruang tamu menyala. Aku segera mengedarkan pandanganku. Mencoba mencari si empunya apartemen pastinya. Tapi ternyata, tidak terlihat.

Aku lalu berjalan menuju kamar Revan. Yang aku yakini, Revan sedang di sana sekarang. Tapi, belum sampai aku ke kamar itu, aku mendengar sesuatu yang aneh. Tapi, begitu jelas menelusup ke telingaku.

"Faster, Van!" Suara sorang wanita yang terdengar sedikit tidak asing bagiku.

"As your wish, Baby." Jawab seorang laki-laki, yang jelas aku kenali.

Pikiranku mulai melang-lang buana. Karena dari nada bicaranya saja, terdengar sangat tidak biasa. Apalagi, diiringi dengan sedikit des*han yang membuat otakku mendadak berhenti bekerja.

Pelan-pelan kubuka pintu kamar itu. Dan betapa terkejutnya aku, saat jelas terlihat di depan mata, ada sepasang laki-laki dan perempuan sedang menyatu di atas ranjang. Mereka sama-sama tidak mengenakan apapun. Sang laki-laki bergerak naik turun sambil memainkan bola kembar milik sang wanita yang berada di bawahnya.

Dadaku bergemuruh seketika. Jantungku mendadak berdetak makin kencang, seiring dengan darahku yang mulai mendidih di ubun-ubun.

"Revan!" Bentakku keras.

Dua orang yang sedang asik menikmati penyatuan mereka, segera menoleh ke arahku dengan terkejut.

"Nisa." Ucap mereka bersamaan.

Revan segera mencabut miliknya dan berjalan menghampiriku. Bahkan ia dengan santainya, menghampiriku tanpa mengenakan apapun.

"Kamu kemari, Sayang?" Sapanya ramah.

Revan melirik kue di tanganku. Ia bahkan merentangkan kedua tangannya.

"Kamu mau memberiku kejutan? Terima kasih, Sayang." Ucapnya santai.

PLAK. Sebuah tamparan yang begitu keras dariku, segera mendarat di pipinya, sebelum ia memelukku. Ia tergelak dan segera mengusap pipinya.

"Kamu kenapa? Apa kamu juga ingin ikut bermain? Pasti akan sangat menyenangkan jika kita bermain bertiga. Aku janji, aku akan membuatmu menjerit seperti Viona. Buka begitu, Vi?" Ucap Revan dengan sangat santai.

Dan saat itu juga, sang wanita yang tadi sedang menyatu dengan Revan, berjalan menghampiri kami. Dan bahkan, ia juga sangat santai berjalan menghampiri kami tanpa memakai apapun.

"Tapi Van, aku ingin berdua saja denganmu. Aku belum puas tadi." Rengek wanita itu manja.

"Kalian gila!" Umpatku marah.

"Ayolah, Sayang! Tak perlu semarah itu." Bujuk Revan.

"Jangan pernah panggil aku dengan panggilan itu! Mulai sekarang, aku tak mau lagi kenal atau melihatmu sedikit pun! Kita putus, Revan Julian Anggara." Akhirku dengan marah.

"Tapi Sayang,,"

Aku segera keluar dari kamar terlaknat itu. Dan membuang roti yang aku bawa dengan serampangan. Kulemparkan ke arah Revan, tapi ia berhasil menghindar.

"Ayolah Van, kita lanjutkan dulu!" Rajuk wanita itu.

Aku mempercepat langkahku, agar tidak mendengar suara laknat mereka lagi.

"Tapi Vi, gimana kalau dia bilang ke suamimu tentang ini?" Sahut Revan, masih terdengar di telingaku.

Dan setelah itu, aku tidak lagi mendengar suara mereka. Aku menutup pintu apartemen dengan keras. Aku tidak peduli akan ada kegaduhan atau apapun karena ulahku itu. Tapi satu yang pasti, aku sangat marah dan kesal.

Orang yang aku kira tulus menerimaku dan mau menjalin hubungan yang serius denganku, malah dengan terang-terangan berhubungan dengan wanita lain yang bahkan sudah menikah.

Aku segera pulang ke apartemenku. Hatiku benar-benar hancur malam ini. Aku yang tadinya berniat memberikan kejutan pada Revan, tapi malah aku yang mendapat kejutan tak terlupakan darinya.

Nisa PoV Off

Menemui Nisa

Malam semakin larut. Jalanan yang jika siang hari begitu padat, kini cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Hanya beberapa saja, yang masih menghiasi pekatnya malam.

Nisa turun dari taksi dengan langkah berat. Nafasnya mulai tak beraturan. Dipeganginya dada kiri atas dengan begitu erat. Bahkan, ia sedikit meremas bajunya. Ia berjalan sempoyongan agar bisa segera sampai ke unitnya.

"Aku,, Jeni,," Ucapnya lirih.

"Neng Nisa nggak papa?" Tanya salah satu petugas di lobi apartemen yang langsung menghampiri Nisa.

Nisa adalah pribadi yang ramah. Beberapa petugas apartemen mengenal dirinya karena keramahannya.

"Bisa tolong antar saya ke unit saya, Pak?" Tanya Nisa sambil menahan sakit di dadanya.

"Iya, Neng."

Petugas itu lalu memapah Nisa menuju lift. Ia membantu Nisa menuju unit apartemennya.

Nisa bertahan sekuat yang ia mampu agar tetap sadar sampai di unit. Yang ia butuhkan adalah obatnya. Obat pereda rasa sakitnya, yang akan sedikit membantunya mengurangi rasa sakit yang bisa kapan saja menyapa.

"Neng Nisa dari mana malam-malam begini? Kenapa sampai bisa sakit gini?" Tanya petugas tadi penuh perhatian.

Nisa hanya menggelengkan kepalanya. Ia cukup kesulitan menjawab pertanyaan sederhana itu, karena menahan rasa sakit di dadanya.

Saat sampai di depan unit apartemennya, Nisa memberikan kartu kunci pada petugas yang membantunya. Petugas itu lalu membantu Nisa membuka pintu.

"Neng! Neng Jeni!" Panggil petugas itu, setelah pintu terbuka.

Jeni yang sedang bersantai di kamar sembari berteleponan dengan sang kekasih, akhirnya keluar dari kamar.

"Astaga, Nisa!" Seru Jeni penuh keterkejutan.

Jeni segera menghampiri Nisa yang sedang dibantu petugas tadi untuk berbaring di sofa.

"Tolong,, obatku, Jen!" Lirih Nisa, yang masih terdengar oleh Jeni.

Jeni segera berbelok arah ke kamar Nisa. Ia lalu mengambil obat Nisa, yang ia sangat paham dan hafal dimana Nisa meletakkannya. Tak lupa, ia menyambar gelas minum yang ada di kamar Nisa.

"Minum dulu!" Pinta Jeni panik.

Jeni membantu Nisa untuk meminum obatnya. Setelah itu, ia membiarkan Nisa tiduran dan menunggu obatnya bereaksi.

"Makasih ya Pak, udah nganter Nisa." Tulus Jeni, saat Nisa mulai tiduran.

"Neng Nisa nggak dibawa ke rumah sakit?" Tanya petugas tadi.

"Nggak papa, Pak. Asal Nisa nggak sampai pingsan, obatnya sudah cukup membantu." Jujur Jeni.

"Neng Jeni, yakin?"

"Iya, Pak. Nanti kalau saya butuh bantuan Bapak, saya akan telepon ke lobi."

"Iya, Neng. Bapak pasti siap membantu." Tulus petugas itu.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Neng. Kalau gitu, Bapak permisi, Neng."

"Iya, Pak. Sekali lagi, makasih ya, Pak."

"Iya, Neng."

Petugas yang berusia sekitar empat puluhan itu, lalu meninggalkan unit apartemen Nisa dan Jeni. Dalam hati kecilnya ia berdo'a, agar kondisi Nisa segera membaik.

Nisa sebenarnya pribadi yang menyenangkan. Tapi, dibalik pribadi yang ramah dan menyenangkan itu, dia dititipi oleh Tuhan ketidaksempurnaan. Ia menderita lemah jantung yang diturunkan dari ayahnya. Dan itu baru diketahui saat ia beranjak remaja.

Nisa berjuang dengan banyak pengobatan selama ini agar ia bisa bertahan hidup. Dokter pernah menyarankan untuk transplantasi jantung sebagai pengobatan bagi Nisa. Tapi karena biayanya yang terlampau tinggi, orang tua Nisa tidak mampu membiayai operasi itu. Dan hanya menjalani rawat jalan hingga kini.

Nisa sangat berusaha menjaga kondisi jantungnya tetap stabil. Dan itu membuat akhir-akhir ini kondisi jantungnya cukup stabil. Ia sudah jarang pingsan mendadak seperti saat remaja dulu.

Nisa sangat beruntung tadi, karena tidak sampai pingsan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Revan yang berselingkuh darinya. Apalagi, dia berselingkuh dengan wanita yang cukup ia kenali.

Iya, Nisa mengenal wanita tadi. Namanya Viona Zaviera. Seorang desainer baju kenamaan ibukota. Yang namanya sudah sangat dikenal oleh orang-orang kalangan berkantong tebal. Yang juga sekaligus merupakan istri dari seorang pengusaha muda ternama, Reyhan Wiliam Anggara, pemilik C.K.D Corp, perusahaan dimana Nisa bekerja.

Jeni duduk di dekat Nisa yang perlahan kondisinya mulai membaik. Ia sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Nisa, hingga bisa membuat penyakitnya kambuh. Karena akhir-akhir ini, penyakit Nisa sudah jarang kambuh.

"Udah mendingan?" Tanya Jeni saat Nisa sudah membuka matanya dan terlihat lebih baik.

Nisa mengangguk lemas.

"Kenapa tiba-tiba kambuh? Kamu nggak sama Revan pulangnya?"

"Jangan sebut nama itu lagi di depanku!" Sahut Nisa lirih, tapi penuh penekanan.

"Kalian ada masalah?"

"Aku sudah nggak punya hubungan lagi dengan laki-laki br*ngsek itu."

Jeni terdiam. Ia tidak pernah melihat Nisa marah dengan Revan sampai seperti itu. Selama yang ia tahu, hubungan Nisa dan Revan sangat baik dan tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Hingga Jeni pun yakin, Revan akan berjodoh dengan Nisa dan menua bersama. Tapi ini,,

Jeni akhirnya memilih untuk tidak menanyakan dulu apa yang sudah terjadi. Ia yakin, Nisa akan menceritakan padanya nanti, apa yang sudah terjadi antara ia dan Revan.

Setelah beberapa saat, Nisa akhirnya bangun dan pergi ke kamarnya di bantu Jeni. Jeni masih belum menanyakan lagi apa yang terjadi pada Nisa. Ia membiarkan Nisa untuk istirahat lebih dulu. Dan ia pun juga yakin, Nisa akan menceritakan semuanya esok.

Keesokan paginya, Nisa bangun dengan kondisi yang lebih baik. Ia cukup beristirahat semalam. Dan pagi ini, ia beraktivitas seperti biasa.

"Gimana? Udah enakan?" Sapa Jeni saat melihat Nisa di dapur.

Nisa hanya memainkan alisnya dan tersenyum pada Jeni.

"Kamu semalam kenapa?" Tanya Jeni hati-hati.

"Aku putus sama Revan." Singkat Nisa, dengan hati yang bergemuruh mengingat kejadian semalam.

"Putus? Kenapa bisa putus?"

Nisa yang baru saja membuat minuman hangat, akhirnya membawa minumannya ke meja makan dimana Jeni sudah duduk di salah satu kursinya.

"Dia selingkuh."

"Selingkuh?"

"Iya. Semalam bahkan aku mergokin dia lagi berhubungan sama selingkuhannya itu di kamar."

"Wah! Br*ngsek itu orang!" Umpat Jeni mulai kesal.

"Dan yang lebih parah lagi, dia selingkuh sama istri sepupunya."

"Maksudmu?"

"Dia selingkuh sama bu Viona, istrinya pak Reyhan."

"Pak Reyhan atasan kamu?"

"Iya."

"Waaahh! Harus dikasih pelajaran mereka." Geram Jeni.

Nisa hanya diam tak menanggapi Jeni. Hatinya masih terasa sakit ketika mengingat pemandangan yang tidak ia harapkan semalam.

Nisa menjadi lebih diam pagi ini. Ia berangkat ke kantor dengan perasaan yang cukup murung. Tapi, ia harus tetap berpikiran positif. Karena ia juga harus menjaga kondisi jantungnya agar tetap stabil.

"Beruntung sekali aku semalam. Aku bisa bertahan sampai apartemen." Gumam Nisa saat mengendarai motornya.

Dan tiba-tiba, SET. Sebuah mobil mendadak memotong laju jalannya motor Nisa dan beberapa motor lain yang berjajar dengan motor Nisa. Beruntung Nisa dan para pemotor tidak melamun dan bereaksi dengan baik. Hingga mereka bisa mengerem motornya dan tidak sampai menabrak mobil itu.

Nisa segera mendengus kesal, bersamaan dengan umpatan kekesalan pemotor lain yang jalannya terhambat oleh mobil tadi. Nisa sangat tahu mobil itu. Itu salah satu mobil Revan. Dan dengan segera, Revan pun turun dari mobil.

Tapi Nisa bisa bergerak cepat. Ia sedikit membelokkan motornya dan kembali melaju tanpa mempedulikan Revan yang jelas akan menghampirinya.

"Nisa!" Panggil Revan yang terkejut karena Nisa bisa kabur.

"Sial!" Umpat Revan sambil menatap Nisa yang makin menjauh.

Revan lalu segera kembali masuk ke mobil dan berniat mengejar Nisa. Ia tidak mempedulikan kekesalan para pengguna jalan lain yang perjalanannya sedikit terhambat karena ulahnya tadi.

Tapi sayang, Nisa bisa dengan segera sampai ke kantornya. Karena memang, tempat dimana Nisa dicegat tadi, dekat dengan kantor Nisa. Dan Revan jelas tidak berkutik jika Nisa sudah sampai kantor.

Revan pun akhirnya menginjak pedal gas mobilnya dengan kesal. Karena gagal untuk menemui Nisa dan bicara dengannya.

"Aku gagal bicara dengan Nisa." Ucap Revan, saat panggilan teleponnya sudah tersambung.

"Biar aku yang bicara dengannya." Jawab seseorang di seberang telepon.

"Iya, Sayang. Kamu harus membuatnya tutup mulut!"

"Tenang saja! Aku tahu kelemahannya."

"Baiklah. Aku ke kantor dulu."

"Iya, Sayang. Nanti ketemu di tempat biasa, ya?"

"Iya. Aku tunggu setelah makan siang."

"Iya, iya."

Panggilan pun terputus. Revan sudah mulai lebih tenang setelah melakukan panggilan dengan seseorang barusan. Seseorang yang tak lain adalah wanita yang menemaninya berpeluh di atas ranjang semalam, Viona.

Di sisi lain, Nisa yang sudah masuk ke area parkir, bernafas dengan sangat lega. Ia masih sangat enggan bertemu dengan Revan karena kejadian semalam. Jadi, ia pun segera mengambil langkah seribu sebelum Revan mencekalnya tadi.

Nisa berjalan ke ruang kerjanya dengan malas. Wajahnya jelas tidak seceria biasanya. Dan itu disadari oleh teman satu ruangannya, Rudi. Dia asisten pribadi pemilik kantor dimana Nisa bekerja.

"Kamu lagi sakit, Nis?" Tanya laki-laki yang usianya sudah menginjak kepala empat itu.

Nisa yang memang tidak begitu fokus, jadi sedikit terkejut.

"Ya, Pak Rudi?" Jawab Nisa gelagapan.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Rudi yang juga baru saja tiba, sambil berjalan ke arah meja Nisa.

"Oh, itu. Sedikit, Pak Rud." Jujur Nisa.

"Masalah apa? Barangkali aku bisa bantu."

"Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga perlahan-lahan kelar masalahnya."

"Oke. Kalau nanti memang butuh bantuan, meja kerjaku masih sama, di situ." Santai Rudi.

"Siap, Pak Rud."

Rudi akhirnya berjalan ke arah meja kerjanya yang memang berada di depan meja Nisa. Nisa pun juga menyiapkan beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Rudi adalah pribadi yang baik. Meski ia belum begitu lama mengenal dan dekat dengan Nisa, tapi karena setiap hari bertemu dan berbagi banyak hal dengan Nisa, ia menjadi sangat menyayangi Nisa. Ia bahkan menganggap Nisa sebagai putrinya. Karena usia mereka yang memang terpaut sangat jauh, hampir dua puluh tahun.

Begitu juga dengan Nisa. Ia juga menganggap Rudi sudah seperti ayahnya di kota perantauannya ini. Ia sering bercerita banyak hal pada Rudi untuk sekedar meminta saran atau yang lain.

Nisa dan Rudi mulai sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak lama, pemilik kantor mereka pun tiba di kantor. Reyhan.

Reyhan adalah putra pertama dari Galih Hartanto Anggara dan Soraya Fatma. Usianya kini hampir menginjak kepala tiga. Dan dia sudah menikah dengan Viona, yang tak lain adalah wanita yang ditemui Nisa di apartemen Revan semalam.

Reyhan dan Viona sudah tiga tahun menikah. Tapi hingga saat ini, mereka belum dikaruniai momongan oleh Yang Maha Kuasa. Padahal Reyhan dan keluarganya, sangat menantikan kehadiran penerus keluarga mereka.

"Ke ruanganku sekarang!" Singkat Reyhan.

Rudi dan Nisa segera berdiri dan mengikuti langkah Reyhan ke ruangannya. Nisa sedikit mengkode Rudi, dengan penuh tanya. Rudi hanya menggelengkan kepala, karena ia juga tidak tahu alasan Reyhan memanggil mereka.

"Kita meeting dengan pak Ridwan jam sepuluh. Beliau ada acara mendadak selepas makan siang. Jadi minta meetingnya diajukan." Jelas Reyhan sambil melepas jasnya.

"Baik, Pak." Jawab Nisa dan Rudi bersamaan.

"Siapkan semuanya dengan baik!"

"Baik, Pak."

"Ya sudah. Kembali ke meja kalian!"

"Kami permisi, Pak." Pamit Rudi.

Reyhan hanya mengangguk paham. Ia pun segera duduk di kursi kebesarannya. Dan dengan segera mulai menmainkan jemarinya di atas keyboard komputernya. Rudi dan Nisa pun kembali menjalankan tugas mereka masing-masing.

Pukul sembilan pagi, perhatian Rudi dan Nisa yang meja kerjanya berada di depan ruangan Reyhan, mendadak teralihkan karena suara langkah kaki dengan sepatu hak tinggi.

Rudi segera menyunggingkan senyumnya untuk menyambut wanita yang baru saja tiba. Sedang Nisa, memasang ekspresi datar, tidak seperti biasanya.

"Selamat pagi, Bu Vio." Sapa Rudi.

"Pagi, Pak Rudi." Jawab sang tamu, yang tak lain adalah Viona.

"Pak Reyhan ada di ruangannya."

"Oke." Santai Viona.

Viona sedikit melirik tajam ke arah Nisa. Tapi Nisa masih tidak mau tersenyum atau menyapa Viona seperti biasanya. Dan itu jelas disadari oleh Rudi.

"Dasar! Wanita jal*ng!" Umpat Nisa dalam hati.

Perasaan Nisa masih sangat kesal saat mengingat kejadian semalam. Karena sungguh, ia tidak pernah membayangkan, akan melihat hal seperti itu semalam.

Viona akhirnya melenggang masuk ke ruangan Reyhan.

"Sayaaanggg,,"

Suara Viona saat membuka pintu ruangan Reyhan, menggema hingga ke telinga Nisa.

"Apa pak Reyhan nggak tahu, kalau istrinya selingkuh sama sepupunya?" Batin Nisa lagi.

"Kamu kenapa, Nis? Tumben nggak nyapa bu Vio." Tanya Rudi, setelah Viona menutup pintu ruangan Reyhan.

"I,, ah, nggak papa, Pak. Baru badmood hari ini, Pak." Kilah Nisa.

"Yakin?"

Nisa mengangguk malas. Ia lalu kembali fokus pada pekerjaannya yang memang mulai menumpuk. Begitu juga dengan Rudi.

Dan di ruangan Reyhan,

"Sayang? Udah selesai reuninya?" Sambut Reyhan bahagia.

"Udah. Mendadak Nadin ada klien besar katanya. Jadi, mau kita lanjutin next time aja reuninya, kalau lengkap semua." Bohong Viona, sambil berjalan menghampiri Reyhan yang juga berjalan ke arahnya.

Reyhan dan Viona segera saling berpelukan. Bahkan Reyhan segera melahap dengan rakus, bibir seksi Viona yang selalu menjadi candunya. Viona pun meladeni ulah Reyhan tanpa ragu.

Iya. Viona berbohong pada Reyhan. Semalan ia tidak pulang, dengan alasan bahwa ia reuni bersama sahabat lamanya yang baru saja kembali ke ibukota setelah tinggal beberapa tahun di luar negeri. Dan Reyhan cukup percaya dengan hal itu, karena ia sangat mencintai Viona.

Setelah sedikit adegan panas antara suami istri itu, Viona segera menggelayut manja di pangkuan Reyhan.

"Apa kamu sibuk?" Tanya Viona.

"Sedikit. Ada rapat penting nanti jam sepuluh." Jujur Reyhan.

"Apa Nisa juga ikut?"

"Iya. Tapi, kenapa kamu nanyain Nisa?"

"Aku ingin ngobrol sedikit dengannya. Bolehkan?"

"Tentu saja boleh, Sayang. Atau, biar dia nanti tidak usah ikut rapat saja, agar kalian bisa mengobrol santai."

"Aku hanya sebentar. Aku ingin menanyakan sesuatu padanya."

"Bertanya?"

"Sssttt! Urusan perempuan." Bisik Viona manja.

"Oke, oke. Aku tidak akan kepo lagi jika sudah menyangkut urusan perempuan."

CUP. Viona tertawa manja setelah mengecup pipi Reyhan.

"Kalau gitu, aku temuin Nisa dulu, ya! Biar nanti, dia bisa ikut rapat." Pamit Viona.

"Oke, Sayang."

CUP. Dan kini, giliran Reyhan yang mengecup pipi Viona, sebelum Viona beranjak dari pangkuannya.

Viona tersenyum pada Reyhan. Ia lalu berdiri dan sedikit memperbaiki blus berwarna pink yang sedikit berantakan karena ulah Reyhan tadi. Reyhan pun kembali ke meja kerjanya setelah Viona menutup pintu.

"Hai, Nis!" Sapa Viona ramah.

Nisa yang memang tahu, Viona yang baru saja keluar dari ruangan Reyhan, memilih acuh. Tapi karena Viona menghampiri meja kerjanya dan menyapanya, mau tak mau, ia pun akhirnya meladeni Viona. Agar Rudi tidak lagi curiga.

"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nisa seramah mungkin.

"Aku ingin bicara denganmu. Reyhan sudah memberikan ijin tadi." Jelas Viona tanpa basa-basi.

"Oh, iya. Silahkan! Ada apa, Bu?"

"Kita bicara di rooftop!" Ajak Viona segera.

"Pasti dia mau bicarain yang semalam. Sial! Tadi udah lepas dari Revan, sekarang malah ketemu jal*ngnya." Umpat Nisa dalam hati.

"Nis! Nisa!" Panggil Viona, karena tak mendapat respon dari Nisa.

"Oh, iya, Bu. Mari!" Sambut Nisa.

"Pinjem Nisa bentar ya, Pak Rud!" Pamit Viona.

"Iya, Bu." Jawab Rudi ramah.

Viona dan Nisa lalu berjalan bersamaan menuju atap gedung kantor.

"Ada yang nggak beres kayaknya." Gumam Rudi lirih, saat melihat Nisa dan Viona berjalan menuju lift.

Bicara Dengan Nisa

"Ada apa, Bu Viona? Apa ini tentang tadi malam?" Datar Nisa, saat ia dan Viona sudah berada di rooftop gedung.

"Baguslah jika kamu langsung mengerti. Aku tak perlu banyak basa-basi." Tegas Viona.

"Apa Anda ingin saya tutup mulut? Saya yakin, pak Reyhan tidak tahu tentang hubungan Anda dengan Revan. Bukan begitu?"

"Itu bukan urusanmu, apakah Rey tahu atau tidak. Tapi jika sampai hal itu tersebar, jangan salahkan aku, jika sampai terjadi sesuatu pada keluargamu di Bandung."

Nisa yang tadi menatap hamparan luas, permadani indah ciptaan Yang Maha Kuasa, segera menoleh pada Viona. Keluarganya, adalah harta paling berharga baginya. Karena ia berada di tempat ini saat ini pun, juga demi keluarganya.

"Saya yakin, pak Reyhan tidak tahu tentang hubungan Anda dengan Revan." Sindir Nisa.

"Pilihan ada di tanganmu. Kalau kamu sampai menyebarkan hal itu, keluargamu jelas tidak akan baik-baik saja."

"Saya akan pastikan hal itu tidak tersebar, asalkan Anda juga tidak macam-macam dengan keluarga saya." Yakin Nisa.

"Bagus. Dan untuk Revan, lanjutkan hubungan kalian!" Pinta Viona tanpa rasa berdosa.

"Siapa Anda, berani meminta saya untuk hal itu? Bahkan kedua orang tua saya saja, tidak pernah memaksa saya untuk menjalin hubungan dengan seseorang." Tantang Nisa santai.

"Dia masih menyayangimu." Bohong Viona.

"Kalau Revan memang menyayangi saya, dia tidak akan melakukan hal itu dengan Anda."

"Kamu yang selalu menolaknya, bukan?"

Iya. Revan pernah beberapa kali mengajak Nisa melakukan hubungan s*x dengannya. Dengan alasan, sebagai tanda bukti rasa cintanya pada Revan. Tapi Nisa jelas menolaknya. Dan itu akhirnya akan berujung pada sebuah pertengkaran antara mereka berdua.

Tapi selalu saja, Revan dan Nisa kembali berbaikan. Itu semua karena Nisa memang menyayangi Revan. Tapi, apa Revan juga seperti itu pada Nisa? Tulus menyayangi Nisa.

"Karena milik saya, hanya untuk suami saya kelak. Bukan untuk diobral pada laki-laki lain." Sindir Nisa.

"Kamu menyindirku?" Sahut Viona tak terima.

"Tidak. Saya hanya mengatakan prinsip saya, yang saya pegang sampai saat ini."

"Wanita sialan!" Umpat Viona tak terima.

Nisa tahu, Viona kesal padanya. Ia tersenyum sinis pada Viona yang sedang mengumpat kesal pada Nisa.

Viona berbalik badan dan melenggang begitu saja meninggalkan Nisa. Tapi baru tiga langkah,

"Bu Viona." Panggil Nisa santai, tanpai menoleh pada Viona.

Nisa yakin, Viona menghentikan langkahnya. Karena tidak terdengar suara ketukan sepatu hak tingginya.

Viona pun berhenti dan kembali membalik badan.

"Bagaimana jika saya juga menjalin hubungan dengan suami Anda? Bukankah itu adil?" Tantang Nisa, sambil menoleh ke arah Viona.

Dada Viona jelas bergemuruh mendengar ucapan Nisa. Ia tidak menyangka, Nisa bisa mengatakan itu padanya.

"Jangan pernah main-main dengan Reyhan! Hanya aku yang boleh memilikinya." Sahut Viona tanpa ragu.

"Serakah sekali Anda, Bu Viona." Cibir Nisa, sambil membalik badan.

"Anda sudah menjadi istri pak Reyhan tapi masih berselingkuh dengan sepupunya juga? Dan bahkan, Anda tidak mengijinkan orang lain untuk mendekati pak Reyhan, yang jelas-jelas, sudah Anda selingkuhi? Siapa Anda bisa melakukan semuanya tanpa mau merugi?" Imbuh Nisa tanpa ragu.

Hati Viona jelas makin memanas karena ucapan Nisa yang baginya begitu menohok. Meski, benar adanya. Tapi, ia tidak terima jika harus membagi Reyhan dengan wanita lain. Karena bagi Viona, Reyhan adalah tambang emasnya.

Viona berjalan kembali mendekati Nisa dengan langkah pasti.

"Aku Viona Zaviera. Desainer ternama di ibukota. Dan kamu, mau berusaha merebut Reyhan dariku?" Sinis Viona.

"Aku beritahu kamu sesuatu. Reyhan, tidak akan pernah tergoda oleh wanita lain, karena dia sangat mencintaiku. Apalagi oleh wanita penuh jerawat dan cupu sepertimu." Bangga Viona, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Nisa.

"Takdir Tuhan tidak ada yang tahu, Bu Viona." Singkat Nisa.

Dan sekarang, giliran Nisa yang melenggang meninggalkan Viona. Ia melangkahkan kakinya dengan pasti meninggalkan Viona yang masih menahan kekesalan hatinya karena ancaman kecil dari Nisa.

"Awas kamu, jika berani menggoda Reyhan!" Batin Viona penuh kesal.

Viona lalu mengambil ponselnya dan segera menghubungi seseorang.

"Kamu bilang, Nisa itu penurut dan penakut. Kenapa dia berani mengancamku?" Adu Viona saat panggilan teleponnya tersambung.

"Apa maksudmu, Sayang?"

"Nisa mengancam akan merebut Reyhan dariku. Jadi itu adil baginya."

"Nisa mengatakan itu?"

"Iya. Dia bahkan tidak terlihat takut sama sekali dengan ancamanku tadi."

"Biar aku menemuinya setelah pulang kantor nanti. Kamu sudah memintanya untuk kembali melanjutkan hubungan kami, kan?"

"Udah. Dia malah menantangku, aku ini siapa sampai berani mengatur hidupnya."

"Ya sudah! Aku akan coba bicara dengannya nanti. Kamu tenanglah, Sayang."

"Harus. Kita harus kasih dia pelajaran!"

"Tenangkan dirimu! Kamu masih di kantor Reyhan, kan?"

"Iya."

"Jangan sampai kekesalanmu mengundang kecurigaan! Pergilah ke kantorku, kita jalan-jalan!"

"Oke."

Viona segera mengakhiri sambungan teleponnya, yang tidak lain dengan Revan. Ia pun segera kembali ke ruangan Reyhan untuk berpamitan pada Reyhan lebih dulu. Dan kebetulan, Nisa sedang tidak ada di mejanya. Jadi, Viona sedikit lega karena tidak perlu berpura-pura ramah lagi pada Nisa.

...****************...

Sore harinya, Nisa, Rudi dan Reyhan harus sedikit lembur demi menyelesaikan beberapa berkas laporan. Pukul setengah tujuh, mereka bertiga baru keluar kantor. Rudi lebih dulu keluar, karena sudah memiliki janji dengan salah satu temannya.

"Yaaahh, kok kempes bannya!" Keluh Nisa, saat mendapati ban sepeda motornya ternyata kempes di parkiran.

"Ini udah malem lagi. Pasti udah jarang tambal ban buka jam segini." Gumam Nisa sedih.

Nisa akhirnya keluar dari area parkiran dengan berjalan kaki. Ia meninggalkan motornya di parkiran malam ini. Dan rencananya, esok baru akan ia antar ke tukang tambal ban untuk diperbaiki.

"Aku naik ojek online aja, deh. Malas naik bis." Gumam Nisa, seraya berjalan ke arah pelataran gedung kantornya.

"Neng Nisa nggak bawa motor?" Sapa seorang satpam yang sedang berjaga.

"Bawa, Pak. Tapi ternyata bannya kempes. Saya nggak tahu tadi siang. Saya titip di parkiran, nggak papa kan, Pak? Besok baru saya bawa ke bengkel." Jujur Nisa.

"Nggak papa, Neng. Yang penting, dikunci aja motornya. Atau kalau boleh, Neng Nisa tinggal aja kuncinya ke Bapak. Nanti Bapak bawakan ke bengkel buat ditambalin bannya."

"Emang masih ada yang buka jam segini?"

"Agak jauh dari sini, ada, Neng."

"Beneran, Pak?" Tanya Nisa antusias.

"Ada, Neng. Kenalannya Bapak."

"Ya udah, Nisa ambil motor dulu ya, Pak. Nanti Bapak tolong kasih tahu Nisa aja, dimana tempatnya."

"Eh, jangan, Neng! Biar Bapak, aja!" Cegah laki-laki berseragam itu, yang di dadanya tertera nama Hari.

Dan tiba-tiba, sebuah mobil sedan, masuk ke pelataran dan berhenti tepat di dekat Nisa dan satpam tadi.

"Revan." Gumam Nisa terkejut.

Pengemudi mobil segera keluar. Nisa jelas membelalakkan matanya. Sedang Hari, hanya menatap santai.

"Sayang, kita harus bicara!" Ucap pengemudi mobil, yang memang adalah Revan.

Nisa melengos dengan segera. Ia ingin mengambil motornya dan mencari tukang tambal ban yang diceritakan oleh Hari barusan. Ia masih enggan menemui Revan.

"Nisa!" Panggil Revan lagi.

"Oh, itu pacarnya neng Nisa." Gumam Hari.

Nisa tetap kembali berjalan tanpa menghiraukan Revan. Revan pun akhirnya mengejar Nisa. Ia bahkan mencegat langkah kaki Nisa.

"Minggir!" Tegas Nisa.

"Kita harus bicara!"

Nisa berusaha membelokkan langkahnya. Tapi pergelangan tangan Nisa segera dicekal oleh Revan. Nisa jelas segera menatap Revan dengan kesal.

"Lepas!" Pinta Nisa, sambil meronta.

"Enggak. Kita bicara dulu!" Jawab Revan tegas.

"Aku nggak mau bicara sama kamu!" Marah Nisa.

"Tapi aku mau, Sayang! Ada yang harus aku jelaskan padamu."

"Aku nggak mau denger."

Nisa terus saja meronta. Ia mencoba menarik tangannya yang digenggam erat oleh Revan.

"Lepasin!"

"Ikut aku dulu!" Tegas Revan, seraya mulai menarik Nisa ke arah mobilnya.

"Pak Hari. Tolong Nisa, Pak!" Teriak Nisa tanpa ragu, sambil menoleh ke arah Hari.

Hari yang sedikit memahami situasi Revan dan Nisa, kebingungan menanggapi permintaan Nisa. Ia tahu, Nisa dengan kekasihnya itu pasti sedang ada masalah dan mereka sedang bertengkar. Jadi, ia tidak ingin menjadi orang ketiga yang jelas tidak tahu menahu tentang permasalahan mereka.

"Pak, tolong, Pak!" Pinta Nisa lagi, sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari Revan.

Hari pun akhirnya menghampiri Nisa dan Revan.

"Lepas, Van! Sa, kit!" Ucap Nisa mulai meringis kesakitan, karena Revan makin keras mencengkeram tangannya.

Dan bertepatan dengan itu, sebuah mobil keluar dari area parkiran gedung. Si pengemudi, jelas melihat Nisa yang sedang meronta dan berusaha melepaskan diri dari Revan. Lalu dengan segera, pengemudi itu mencegat langkah Revan dengan mobilnya. Pengemudi mobil itu pun keluar.

"Ada apa ini?" Tanya si pengemudi dengan tegas.

"Pak Reyhan." Gumam Nisa lirih.

"Ini tak ada ursannya denganmu." Sahut Revan santai.

"Ini masih di area kantorku. Jadi, semua yang terjadi di sini, menjadi urusanku. Apalagi, wanita yang sedang kamu paksa, dia sekretarisku. Jelas itu urusanku." Tegas si pengemudi, yang memang adalah Reyhan.

"Aku kekasihnya. Ini urusan pribadi kami."

"Aku bukan kekasihmu lagi." Sela Nisa.

"Aku tidak tahu apa masalah kalian. Tapi bukan seperti itu caranya memperlakukan wanita, Van!" Tegas Reyhan, sambil meraih pergelangan tangan Revan yang masih mencengkeran Nisa.

Revan menoleh sejenak. "Kamu tak usah ikut campur!"

"Kamu tidak lihat, Nisa kesakitan." Bela Reyhan.

"Kalau dia mau menurut sejak tadi, itu tidak akan terjadi."

"Lepaskan Nisa, atau kamu akan menyesal." Ancam Reyhan tegas.

Revan masih tetap tidak mau melepaskan Nisa, dan malah makin erat mencengkeram pergelangan tangan Nisa karena geram dengan Reyhan.

"Van, lepas! Tanganku sakit." Rintih Nisa sambil terus berusaha melepaskan tangan Revan.

"Kamu nggak denger, Nisa bilang apa barusan?" Marah Reyhan.

"Aku ada urusan dengan kekasihku. Kamu jangan ikut campur!" Jawab Revan tak mau mengalah.

"Vaan! Sakit." Rintih Nisa lagi, dan bahkan ia mulai meneteskan air matanya karena kesakitan.

Revan dan Reyhan menoleh pada Nisa. Revan masih tetap belum mau melepaskan Nisa. Ia bahkan mulai menarik Nisa agar mau ikut dengannya.

Reyhan jelas tidak tinggal diam. Ia jelas tidak bisa melihat Nisa kesakitan seperti itu.

"Lepaskan Nisa!" Pinta Reyhan lebih tegas.

"Aku ada urusan dengannya." Jawab Revan tak mau mengalah.

"Sa, kit, Van." Lirih Nisa lagi.

Revan masih tidak menghiraukan rintihan kesakitan Nisa. Reyhan pun akhirnya mengambil tindakan. Ia melepaskan tangannya dari Revan. Dan,

BUG. Sebuah tinju cukup keras dari Reyhan, mendarat di pipi kiri Revan. Revan pun refleks melepaskan tangan Nisa dan menatap tajam pada Reyhan. Nisa dan Hari yang juga melihat hal itu, jelas terkejut bukan main.

Revan jelas langsung naik pitam. Ia yang tidak berhasil membujuk Nisa untuk berbicara dengannya, malah mendapat bogem mentah dari Reyhan. Ia segera berniat untuk membalasnya.

Tapi sayang, Reyhan bisa menghindar.

"Aku sudah memperingatkanmu tadi. Aku sudah memintamu untuk melepaskan Nisa secara halus, tapi kamu menolaknya." Tegas Reyhan.

"Aku tak ada urusan denganmu." Marah Revan.

Revan kembali berusaha meraih tangan Nisa dan mengajaknya pergi. Tapi Reyhan juga bergerak cepat. Reyhan lebih dulu berdiri di depan Nisa dan menghalangi Revan untuk meraih Nisa lagi.

Dan tanpa berkata apapun, Reyhan menuntun Nisa masuk ke mobilnya. Nisa yang masih merasakan tangannya yang sakit, hanya pasrah saat Reyhan menuntunnya ke mobil.

"Aku ada urusan dengan Nisa." Cegah Revan tidak terima.

"Redamkan dulu amarahmu, jika ingin berbicara dengan wanita." Jawab Reyhan tanpa menoleh pada Revan.

"Kunci pintunya!" Pinta Reyhan singkat, saat Nisa masuk ke mobil.

Nisa menuruti permintaan Reyhan. Ia yang benar-benar enggan bertemu dan berbicara dengan Revan saat ini, merasa sangat tertolong dengan kehadiran Reyhan.

Reyhan pun segera kembali ke kursi kemudi. Meninggalkan Revan yang berusaha mencegah Reyhan yang mebawa Nisa pergi.

"Sial!" Umpat Revan sangat kesal, saat mobil Reyhan pergi.

Tak ada yang akan berakhir baik jika disertai dengan amarah. Semua akan menjadi tak terkendali dan diluar apa yang kita harapkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!