NovelToon NovelToon

Badboy Untuk Tiara

Nathaniel Gionino Putra

Suara bising kenalpot memenuhi jalanan sepi di malam ini. Para pemuda geng motor sedang melancarkan aksinya. Balapan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka, tidak peduli mengganggu ketenangan warga atau pun polisi yang sering kali datang untuk mengamankan. Yang terpenting adalah kebebasan dan kesenangan.

"Gio, siap!" teriak seorang wanita yang mengibarkan bendera.

Pemuda yang di panggil Gio sudah bersiap-siap di atas motor sportnya, kedua tangan mencengkeram kuat pada kedua stang di depannya, menekan dengan kuat rem dan gas.

Mata bulat dan tajam begitu fokus pada jalanan di depannya. Helm fullface tetap melindungi kepalanya. Hingga saat hitungan ke tiga terdengar, motor itu melesat dengan sempurna.

Suara riuh dari para kawan mulai terdengar memberikan semangat pada mereka yang tengah berbalap. Namun, tetap Gio yang paling unggul hingga sebuah motor melesat melewatinya.

"Sial!" umpat Gio.

Tentu saja Gio tidak terima, dia akan terus mengejar hingga posisinya paling depan. Kedua motor itu saling menyelip, mengejar, dengan kecepatan yang paling tinggi. Mata keduanya saling menatap tajam.

Hingga saat Gio hendak berbelok sebuah insiden terjadi, entah dari mana seorang gadis datang menghalangi balapan mereka. Sang teman bisa lolos melewati gadis itu sedangkan Gio nasibnya tidak beruntung sehingga gadis itu tertabrak olehnya.

"Ah, sial!" umpatnya lagi.

Gio menghentikan motornya sejenak lalu melirik ke arah gadis yang tergeletak di atas aspal sana. Gio tidak peduli yang terus melajukan motornya dan meninggalkan gadis itu. Dan Gio tiba di barisan terakhir.

"Gio, kenapa lo bisa kalah?" protes temannya.

"Diam!" bentak Nico

"Gio, lihatlah si angkuh itu jadi menang." Tunjuk temannya pada seorang pria.

"Sudah ku bilang diam. Jika bukan karena gadis itu aku tidak akan kalah," ujar Gio.

"Maksudmu?" tanya temannya.

"Aku menabrak seseorang," jawab Gio.

"Lalu kamu meninggalkannya? Apa gadis itu masih hidup?"

"Entahlah."

"Gio, bagaimana jika ada yang melihat?"

"Sst … sudah ku bilang diam. Jangan terlalu keras nanti ada yang mendengar."

"Kamu yakin diantara mereka tidak ada yang melihat?" Gio melirik pada ke empat teman balapnya. Lalu menghadap temannya lagi.

"Sepertinya tidak. Hanya aku seorang yang melewatinya. Aku pergi dulu." Gio pamit pergi meninggalkan area balap. Dia sangat gelisah memikirkan bagaimana keadaan gadis itu yang sudah ditabraknya.

Namun, ketika Gio kembali gadis itu sudah tidak ada lagi di jalanan.

"Apa ada seseorang yang membawanya?" Pikir Gio yang merasa takut karena gadis itu tiba-tiba menghilang.

****

"Gio!" Panggilan seorang pria.

Langkah Gio terhenti ketika suara bariton sang ayah mengejutkannya. Keadaan rumah yang awalnya gelap kini menjadi terang setelah sang ayah menyalakannya. Pria itu menghampiri Gio yang tidak bergeming dengan satu tangan yang menggenggam helm fullface.

"Apa yang kamu lakukan? Balapan lagi? Tidak bisakah kamu berhenti melakukan hal yang tidak berguna!" Terlihat jelas urat-urat lehernya ketika pria itu meluapkan amarahnya.

Dengan tenangnya Gio menghadap sang ayah. "Lalu apa yang kamu inginkan? Aku seperti ini karena dirimu," kata Gio membuat bola mata pria itu membulat dengan tajam.

Gio melangkah pergi meninggalkan ayahnya yang mungkin sedang menahan amarah.

Nathaniel Gionino Putra, menjadi anak pembangkang dan pemberontak setelah keluarganya hancur dan sang ayah memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi.

Merasa sang ayah tidak peduli dan ibu yang juga tidak pernah datang hanya sekedar menanyakan kabar. Gio melampiaskan amarahnya dengan menjalani hidup sesuka hati.

Tidak peduli akan memalukan kedua orang tua atau pun reputasi keluarganya hancur. Sedangkan ayahnya selalu mempedulikan tentang kehormatan keluarga dan dirinya. Tidak pernah menanyakan apa keinginan sang putra, yang selalu menuntut Gio untuk menjadi apa yang dia mau.

Gio memasuki kamar melempar helmnya ke sembarang arah. Lalu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Entah kenapa hatinya masih gelisah memikirkan seorang gadis yang sudah dia tinggalkan.

"Ah, sial. Kenapa aku jadi memikirkan gadis itu? Bagaimana keadaannya? Bagaimana jika dia mati? Tidak-tidak, dia tidak akan mati lagi pula aku hanya menyerempetnya saja. Aku harus tenang … gadis itu pasti baik-baik saja."

Gio, menjadi frustasi. Mengingat insiden itu Gio tidak ingin menjadi tersangka karena membunuh seseorang.

"Lebih baik aku pergi mandi. Dari pada harus mengingat gadis itu." Gio pun melangkah pergi menuju kamar mandi.

Namun, bayangan itu tetap saja mengganggu pikirannya, ketika mata terpejam bayangan itu selalu muncul. Baru kali ini Gio merasa takut hingga keesokan paginya Gio melewati jalanan itu lagi sebelum pergi ke sekolah.

Tidak ada tanda apa pun di sana. Jika gadis itu terluka parah mungkin akan ada noda darah yang tertinggal. Apalagi melihat sekeliling jalanan yang sangat sepi. Tidak mau terus memikirkannya Gio, kembali melajukan motornya menuju sekolah.

***

Bangunan besar menjulang tinggi, begitu kuno tapi terlihat megah berada di tengah-tengah tanah yang luasnya menyamai lapangan golp. Para siswa dan siswi akan berjalan sekitar 20 km jauhnya dari gerbang menuju kelas.

Tidak sedikit dari mereka mengendarai motor dan mobil, bukan pamer karena itu sekolah swasta favorit. Hanya anak-anak kalangan ataslah yang bisa memasuki sekolah itu.

Seragam yang berbeda dan elegan melekat pada tubuh mereka, penampilan dan gaya masing-masing siswa mencerminkan dari keluarga mana mereka berasal. Siswa yang masuk karena beasiswa tidak jarang akan mendapatkan bullyan.

"Gio!" teriak seorang siswi ketika melihat motor Gio melintas dihadapannya. Tidak sedikit para siswi di sana mengagumi Gio yang memang cowok terpopuler di sekolah. Yang terkenal dingin dan cuek, tetap saja para siswi selalu mengaguminya.

Gio menghentikan motornya, yang langsung di kerumuni banyak siswa ketika helm fullface itu dilepas.

"Gio, kamu terlihat keren," puji seorang siswi.

"Gio, apa aku terlihat cantik?" tanya siswi lainnya.

"Gio, aku kecewa karena kemarin kamu kalah balapan," ujar siswi itu lagi. Gio menatap malas ketiga siswi itu, dia sangat kesal hingga meninggalkan mereka semua.

"Gio, berikan pesonamu padaku. Aku juga ingin di kerumuni banyak wanita." Gio hanya menggeleng ketika temannya berkata.

"Jika kamu mau, ambil saja mereka semua. Tidak ada yang membuatku tertarik," ujar Gio.

"Eh, Gio tunggu." Siswa itu mengejar Gio yang hendak meninggalkannya. "Gio, bagaimana dengan gadis itu? Ah …!" teriaknya ketika tangan Gio mencengkram kuat kerah kemejanya.

Gio emosi ketika temannya mengungkit masalah semalam apalagi saat di sekolah. Netra tajam itu memindai sekeliling sebelum akhirnya Gio berkata, "Jangan mengatakan hal itu lagi mengerti."

"Sorry … gue hanya ingin tahu." Nico berkata dengan gemetar.

"Entahlah, gue gak peduli. Gadis itu sudah gak ada mungkin dia hanya pingsan lalu bangun dan pergi," ungkap Gio.

"Semoga saja," ucap Nico temannya.

"Jangan katakan lagi mengerti." Tatap Gio dengan tajam.

Ketika hendak melangkah Gio, berpapasan dengan seorang siswa wajahnya tidak kalah dingin dengannya. Tatapan keduanya tidak bersahabat. Siswa itulah yang mengalahkannya semalam.

"Apa lihat-lihat!" tegur Gio.

"Aku pikir kamu ketakutan setelah meninggalkan seorang gadis yang sudah kamu tabrak," ucap seorang siswa, mata Gio terbelalak seketika ternyata siswa itu melihatnya.

"Jangan tegang, aku hanya mengira," ujar siswa itu lalu melangkah masuk ke dalam kelas.

Nico segera menghampiri Gio yang masih mematung. "Apa yang Revan katakan?" Bukannya mendapat jawaban, Nico malah mendapat tatapan tajam.

"Aish, kenapa para gadis menyukai pria dingin sepertinya," ucap Nico setelah Gio melangkah masuk ke dalam kelas.

...****************...

Hai reader selamat datang di karya baru author. Jangan lupa dukungannya like, komentar, dan votenya. Kebetulan karya ini sedang ikut event Badboy semoga kalian suka dengan ceritanya. Jangan lupa subscribe ok.

2 Mutiara Andini

Seorang gadis tengah berbaring di atas brankar rumah sakit. Kedua orang dewasa hanya menangisinya, entah apa yang terjadi pada gadis itu mereka bersedih seolah akan kehilangan untuk selamanya. 

"Jangan menangis," ucap seorang pria pada istrinya.

"Bagaimana aku tidak menangis melihat putriku seperti itu," ujar wanita yang terisak.

"Lukanya tidak parah, jangan terlalu khawatir," sambung pria itu.

"Apa kamu tidak khawatir sedangkan putrimu diagnosa untuk beberapa bulan lagi. Bahkan seorang Dokter sudah bisa menentukan kapan putrimu mati." Wanita itu berbicara dengan nada tinggi.

Pria itu hanya menghela nafas, bukan karena tidak khawatir dia hanya mencoba untuk tenang. 

"Bukan untuk pertama kalinya putri kita berbaring di sana. Bertahun-tahun, bahkan tempat ini sudah seperti rumahnya. Dia lebih banyak menghabisi waktu di rumah sakit dari pada di rumah kita. Percayalah putri kita sangat kuat, seorang Dokter tidak bisa menentukan nasib hidupnya. Tiara kita pasti sembuh." 

Seorang wanita hanya menatap suaminya. Pandangan mereka tetap fokus pada sang putri yang masih memejamkan mata. 

Mutiara Andini itulah namanya, 17 tahun sudah dirinya melewati masa sulit. Penyakit yang diderita membuat hidupnya tidak normal. Setiap hari, hampir setiap waktu yang dia lakukan hanyalah berbaring di tempat tidur. 

Teman yang selalu dia temui hanya seorang Dokter dan perawat, tidak pernah memiliki teman apalagi melihat dunia luar. Selama 10 tahun dia hanya belajar di dalam kamar. 

Ketika sang Dokter mengatakan hidupnya tidak akan lama lagi Tiara memilih pergi meninggalkan rumah sakit. Dia ingin melihat dunia luar sebelum tiada. Sebebas apakah pergaulan di luar sana sehingga kedua orang tuanya selalu melarang dia untuk pergi. 

Namun, apa yang dia dengar dan lihat malam itu hanya sebuah kebisingan. Hingga saat sebuah motor melaju ke arahnya Tiara bingung harus melakukan apa, dia tidak bisa menghindar kepalanya terasa berputar, cahaya lampu menyilaukan matanya. Hingga saat tubuhnya terjatuh Tiara merasa semua itu mimpi. 

Dunia luar sangat kejam dan menakutkan. Pantas saja kedua orang tuanya tidak mengizinkannya pergi. 

"Sayang lihatlah! Putri kita sudah sadar," kata wanita itu.  

"Akan aku panggilkan Dokter." Pria itu berlari ke luar memanggil seorang Dokter sedangkan wanita itu menghampiri Tiara yang masih tercengang menatap atap kamarnya. 

"Sayang, ini Mama apa kamu baik-baik saja?" Tiara hanya diam. Bahkan dia tidak merasakan sakit di kepalanya yang kini berbalut perban. 

"Apa aku mimpi?" tanya Tiara.

"Mimpi," ucap sang ibu bingung.

"Aku melihat ada cahaya yang menyilaukan, sebuah motor melintas setelah itu aku tidak ingat apa pun." Wanita itu terdiam dia berpikir Tiara tertabrak motor.

"Sudah, jangan mengingat apa pun. Sebentar lagi Dokter akan datang." 

Sedetik Tiara menoleh pada sang ibu lalu berkata, "Apa benar hidupku tidak lama lagi? Lalu apa yang harus aku lakukan." 

"Siapa yang bilang?" tanya wanita itu.

"Aku mendengar semuanya, Dokter mengatakan itu." 

"Dia hanya Dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan kapan kita tiada," ujar si wanita.

Tidak berselang lama seorang Dokter memasuki kamar. Tiara kembali diam membiarkan Dokter itu memeriksanya. Namun, pertanyaan yang sama kembali dia tanyakan. 

Dokter itu pun diam tidak bisa menjawab apa yang Tiara tanyakan. 

"Tiara, kamu salah mendengar. Dokter tidak pernah mengatakan apa pun pada Mama dan papa," kata wanita itu lagi. 

"Aku tahu Ma, penyakit yang ku derita sulit disembuhkan. Aku tidak tahu apa hari ini, esok, atau lusa saat itu pasti akan tiba," ujar Tiara.

"Tiara …." 

"Tiara hanya sedih, karena tidak bisa menikmati hidup ini. Mama, Papa, jika hidup Tiara tidak lama lagi bolehkah Tiara meminta satu permintaan?" Tatap Tiara pada ibunya.

"Tiara …," ucap Ibunya yang tertahan. Karena suaminya yang menggenggam erat tangannya.

"Katakanlah," ucap Ayahnya. "Apa kamu ingin pergi berlibur atau keliling dunia? Papa dan Mama akan mewujudkannya. Bahkan Dokter tidak akan melarang. Katakan saja kamu ingin pergi kemana kita bisa pergi besok, atau sekarang." 

Mereka sudah putus asa. Mungkin mewujudkan impian Tiara adalah hal yang paling penting saat ini. Karena tidak ada kebahagiaan lain selain kebahagiaan putrinya. 

"Tiara tidak ingin pergi kemana pun. Tiara hanya ingin … pergi ke sekolah." Hanya itulah yang Tiara inginkan.

Dia ingin merasakan bagaimana kehidupan di sekolah, punya banyak teman, belajar bersama para guru. Dia ingin menjadi anak normal yang bisa merasakan indahnya masa sekolah, memiliki teman yang ceria, bertemu seorang siswa tampan dan masih banyak lagi yang ingin Tiara lakukan. Di banding duduk dan berbaring dalam sangkar.

Tidak ada yang memberi jawaban baik orang tuanya atau pun Dokter.

"Dokter, aku mohon." Tiara memohon yang menangkupkan kedua telapak tangannya. 

Mereka bertiga hanya saling pandang. Pada akhirnya mereka mengizinkan Tiara untuk sekolah. Namun, sang ibu masih merasa khawatir.

"Dokter, apa itu tidak terlalu bahaya?" tanya ibunya pada Dokter. 

"Selama Tiara bisa menjaga diri semua akan baik-baik saja. Kalian bisa daftarkan Tiara ke sekolah swasta milik temanku, dia pasti bisa menjaga Tiara juga," jawab Dokter.

"Tapi Tiara, ingin kita merahasiakan penyakitnya." 

"Mungkin kita akan merahasiakan dari para siswa tapi tidak dengan para guru. Mereka harus tetap tahu keadaan Tiara. Aku akan menghubungi temanku dulu," ucap Dokter itu lalu melangkah pergi.

***

Hari ini Tiara terlihat ceria melihat wajahnya pada pantulan cermin. Dia merasa bangga karena bisa memakai seragam sekolah.

"Mama, apa aku terlihat cantik?" tanya Tiara pada ibunya.

"Tentu. Putri Mama sangat cantik. Sayang, kamu harus ingat." 

"Mama jangan khawatir Tiara bisa jaga diri." 

"Entah kenapa Mama sangat cemas. Kamu harus ingat jangan terlalu capek, jangan ikut pelajaran olah raga." 

"Ma, biarkan Tiara melakukan apa yang tidak pernah Tiara lakukan. Tiara mohon tetap merahasiakan penyakit Tiara. Tiara tidak ingin mereka mengasihani ku karena penyakit itu." 

"Tapi Tiara …." 

"Tiara akan jaga diri. Tiara ingin merasakan seperti orang normal tanpa penyakit." Susan hanya bisa mengangguk, menyetujui keinginan putrinya. 

Kapan lagi dia akan melihat Tiara tersenyum bahagia seperti saat ini. Semoga Tuhan, mengubah takdir hidup putrinya. 

Tiara menatap takjub bangunan megah di depannya. Sekolah swasta paling besar di kotanya bahkan jarak gerbang menuju kelas sangat jauh. Namun, itu terlihat menyenangkan apalagi sambil bercanda bersama teman. 

Dibalik kebahagiaannya itu dia merasa gelisah, entah Tiara akan mudah bergaul dan mendapatkan teman. Dia tidak tahu seperti apa mereka semua. 

"Mama, Tiara akan turun," ujar Tiara.

"Ingat pesan Mama," ucap Susan khawatir.

"Jangan khawatir. Tiara akan baik-baik saja." 

"Tunggu dulu," tahan Susan ketika Tiara hendak turun. "Apa kamu membawa obat? Itu tidak boleh tertinggal. Dan jika kamu merasa sakit bilang pada gurumu atau pergi ke UKS, kamu bisa hubungi Mama." 

"Tiara mengerti. Tiara masuk dulu." 

Tiara turun dari mobil berjalan memasuki sekolah. Banyak pasang mata yang melihat ke arahnya bukan karena penampilannya, tapi karena wajahnya yang terlihat pucat. 

"Siapa dia?" tanya seorang siswi berkacamata.

"Mungkin anak baru," jawab temannya.

"Dia terlihat cantik tapi … begitu pucat," ujar siswi berkacamata lagi. "Apa dia vampir?" tanyanya.

"Aish … kamu sangat konyol," tegur temannya. "Apa kita hidup dalam film, tidak ada vampir dalam dunia nyata." 

"Aku hanya mengira," jawab siswi berkaca mata.

"Apa kita samperin saja?" ajak temannya. Mereka pun menghampiri Aileen yang sedikit bingung mencari kelas. 

"Hai, apa kamu anak baru?" tanya siswi itu.

Aileen masih diam. Dia terus menatap kedua wajah siswi di depannya. Satu siswi berkaca mata, dengan dua kuncir yang menghiasi rambutnya. Dan satu siswi feminim terlihat dari penampilannya yang pandai merias wajah dan rambut indah yang terurai. 

"Halo! Apa kamu bisa bicara?" teguran siswi feminim itu membuyarkan lamunannya.

"Ah, iya." 

"Dia sepertinya merasa gugup," ujar gadis berkaca mata. Lalu memperkenalkan dirinya. "Namaku Mytha." Katanya yang mengulurkan tangan. 

"Aku Tiara," jawab Tiara.

"Wah, nama yang indah," ucap Mytha

"Terima kasih," ucap Tiara.

"Kenalkan namaku Zyana kamu bisa panggil aku Zy, cewek terpopuler dan tercantik di sekolah ini." Zy, begitu percaya diri. 

"Kamu masih saja berharap cewek terpopuler. Mendekati TCK saja tidak bisa." 

"T-C-K?" tanya Tiara heran.

"Trio cowok keren," jelas Mytha.

"Oh." Ternyata itu sebuah panggilan. Tiara pikir bahasa gaul yang tidak dia mengerti.

"Wah, TCK! … Gio!" Semua siswi berlari ke arah Gio yang baru memasuki sekolah. Mereka begitu histeris seperti bertemu seorang idola. Tiara hanya menatap bengong karena dia tidak mengenal pria itu.

T-C-K ( Trio Cowok Keren )

TCK …!

Semua siswi berkerumun dan mulai ricuh ketika para cogan memasuki sekolah. Entah siapa yang memberi julukan itu T-C-K yang berarti Trio Cowok Keren.

Ketiga cowok itu tidak lain Gio si tokoh utama yang paling dikagumi. Namun, terlalu cuek dan dingin pada wanita senyum pun tidak pernah.

"Gio … Gio!" teriak para siswi.

Gio tidak peduli dengan teriakan para gadis dia terus melangkah melewati mereka. Bahkan para gadis itu pernah sakit hati karena sering diabaikan.

"Tidak, Gio berjalan ke arah kita." Mytha segera pergi ketika langkah Gio semakin dekat, tapi tidak dengan Zyana yang begitu percaya diri jika Gio akan menghampirinya.

Senyum Zy sudah melebar, rambutnya pun sudah dirapihkan. Namun, sayang bukan Zy yang dilihat melainkan Tiara yang kini diam mematung menatapnya. Bahkan tatapan Gio sangat intens.

"Siapa dia?" tanya mereka semua.

"Siapa gadis itu?" Bisikan-bisikan mulai terdengar. Mereka sedikit iri karena Gio menatap Tiara dalam waktu yang cukup lama.

"Minggir," ucap Gio dengan dingin. Zyana segera menarik tangan Tiara agar menghindar dari jalanan Gio.

"Maaf Gio, dia anak baru mungkin dia terpesona padamu," ujar Zyana.

"Ck, kamu pikir aku peduli siapa dia." Sinisnya Gio berkata.

"Kenapa minta maaf? Apa aku salah? Jalanan masih luas kenapa dia tidak melewati ku saja," ucap Tiara membuat semua orang melongo.

"Astaga Tiara …." Hanya Tiara yang berani berkata seperti itu. Gio, berbalik menghadap Tiara, tatapannya begitu dingin memancarkan amarah.

"Kamu bilang apa tadi?" tanya Gio dengan tatapan dinginnya.

"Gio, dia anak baru. Dia tidak tahu apa pun." Zy membela Tiara. "Tiara bukankah kamu mencari kelas? Ayo akan aku antar." Zy menarik tangan Tiara pergi meninggalkan Gio.

"Gadis pucat," lirih Gio.

"Gio!" panggil Nico, cogan yang ke dua. Nicholas Sanjaya itu nama lengkapnya. Namun, Nico sedikit berbeda dia terlihat ramah dan murah senyum tidak seperti Gio yang sangat dingin apalagi pada wanita.

"Apa yang kamu lihat? Seorang gadis?" tanya Nico

"Apa itu penting?" tanya Gio balik.

"Biasa saja jangan terlalu sinis. Kamu tidak lihat para gadis di belakangmu. Mereka terus memperhatikanmu," ujar Nico.

"Aku tidak peduli," ujar Gio yang hendak pergi.

"Tunggu Gio, lo ada masalah dengan Revan? Semenjak balapan itu kalian tidak pernah saling menyapa." Nico menanyakan tentang permasalahan Gio dan Revan.

"Kamu pikirkan saja sendiri. Aku tidak suka pria angkuh sepertinya." Kata Gio yang melirik pada Revan yang baru saja turun dari motor gedenya.

Revan sama-sama membalas dengan tatapan. Entah ada masalah apa antara mereka berdua.

"Gio … Revan … bisakah kalian berdamai?" Nico merasa bosan melihat kedua temannya yang saling bermusuhan.

***

Seisi kelas mulai riuh para siswi menghampiri Gio yang baru saja duduk di bangkunya. Mereka akan terus menyapa walau diabaikan.

"Kembali ke tempat duduk kalian masing-masing." Semua siswa berlarian ke tempat duduknya, keadaan jadi hening setelah sang guru memasuki kelas.

Namun, bukan guru itu yang membuat mereka diam. Semua orang memandang Tiara yang baru masuk, begitu pun dengan Gio. Tapi tidak dengan Mytha dan Zy yang senang melihat Tiara ada di kelasnya.

Setelah memperkenalkan diri Tiara duduk di bangku kosong tepat samping Mytha dan Zy. Tiara merasa gugup karena inilah pertama kali dia belajar di sekolah.

"Kenapa wajahnya begitu pucat," gumam Gio yang terus memperhatikan Tiara.

***

"Tiara, apa kamu tidak ke kantin?" tanya Mytha.

"Kalian duluan saja nanti aku menyusul," jawab Tiara.

"Baiklah kita duluan." Mytha dan Zy berkata lalu pergi.

Tiara memastikan jika tidak ada siapa pun di kelas. Lalu mengeluarkan beberapa obat di dalam tasnya. Sangat membosankan, ingin rasanya Tiara berhenti meminum obat itu.

"Tiara!" Baru saja ingin meminum Tiara langsung memasukan kembali obat itu karena ada yang memanggil. Tiara tidak ingin teman-temannya tahu jika dia sakit keras.

"Mytha," ucap Tiara

"Tiara kamu lama sekali ayo kita ke kantin. Kalau kamu telat tidak akan kebagian makanan." Tiara hanya pasrah saat Mytha menuntunnya.

Tidak apa-apa mungkin jika aku tidak meminum obat hari ini, batin Tiara.

"Tiara duduklah aku sudah memesankan makanan untukmu," kata Zy yang sudah duduk di sana.

"Terima kasih," ucap Tiara. Bahkan Tiara tidak bisa menghindari makanan yang tidak boleh dia makan.

"Tiara ponselmu berdering," ujar Mytha

"Tidak apa-apa itu tidak penting," ucap Tiara mengabaikan telepon ibunya yang pasti bertanya sedang apa dan apa yang dia makan. Itu sebabnya Tiara mengabaikan.

"Sepertinya ini enak." Tiara sudah tidak sabar ingin menyantap makan siangnya. Namun, Tiara merasa aneh kuah yang bending mendadak jadi merah.

"Tiara, apa yang terjadi? Kenapa hidungmu berdarah?" tanya Mytha. Tiara segera menutup hidungnya dengan tisu. Pantas saja kuah bening menjadi merah karena darah mimisannya.

"Tiara kamu baik-baik saja?" Mytha dan Zy merasa khawatir.

"Aku ke toilet sebentar."

Tiara langsung pergi meninggalkan kantin. Dia terus berlari menuju toilet. Bukan cuma darah yang menetes Tiara sangat tidak tahan sesuatu dari tenggorokan ingin keluar.

Hanya cairan bening yang terus Tiara muntahkan. Tiara duduk bersandar di atas closed tubuhnya sekarang terasa sangat lelah.

"Obat, aku harus meminum obat."

Tiara segera keluar dari toilet berjalan menuju kelas. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, Tiara tidak bisa melihat jalanan dengan benar.

"Lihatlah dia anak baru itu. Wajahnya sangat pucat apa dia benar-benar sakit?" tanya seorang siswi.

"Entahlah, tapi aku tidak menyukainya karena dia merebut perhatian Gio dariku," kata temannya.

"Mungkin kamu bisa memberinya pelajaran," ucap ketiga siswi yang memperhatikan Tiara. Namun, Tiara sudah lebih dulu pergi menuju kelas.

Tiara segera mengambil beberapa obat untuk diminum. Gio yang baru masuk melihat Tiara yang begitu panik dan pucat. Namun, Gio tidak peduli mencoba mengabaikannya.

Tiba-tiba … Tiara terjatuh. Gio segera menghampirinya yang sudah tergeletak di bawah lantai.

"Hei! Bangunlah. Ada apa denganmu." Gio mencoba membangunkan Tiara.

"Aish, kenapa dengan gadis pucat ini. Benar-benar menyusahkan ku." Gio menggerutu Tidak ada seorang pun siswa yang ada di kelas terpaksa Gio membawanya ke klinik.

****

Tiara membuka mata. Dia baru sadar jika dirinya berada di klinik. Dan tubuhnya kini masih berbaring.

"Apa yang terjadi kenapa aku ada di sini?"

Tiara mengingat saat terakhir kali sebelum dirinya jatuh pingsan. Dia bertemu dengan Gio. Tiara segera kembali ke kelas dan mencari Gio.

Dia melihat Gio bersama teman-temannya. Termasuk Nico, dan para gadis yang mengerumuninya. Dengan ragu Tiara melangkah mendekat.

"Hei, bukankah dia anak baru itu? Kenapa dia datang kemari." Nico merasa heran karena Tiara mendekat, para gadis itu pun merasa risih apalagi ketika Tiara mendekati Gio.

Gio hanya menatapnya datar.

"Apa kita bisa bicara?" Pinta Tiara pada Gio, mereka merasa terkejut karena Tiara berani mengajak Gio bicara dan Gio tidak menolaknya sama sekali.

Gio bangun dari duduknya pergi menjauh dari teman-temannya. Tentu saja tingkah Gio membuat heboh para gadis.

"Bukankah dia anak baru tapi Gio … Aish, sial. Dia merebut perhatian Gio dariku," ujar seorang siswi.

"Masih ada aku. Aku tidak kalah tampan," ujar Nico dengan PD-Nya.

"Tapi kamu terlalu manis Nico, aku tidak menyukainya. Aku lebih menyukai cowok seperti Gio dan Revan," ucap siswi itu. Nico, menghela nafas, apa karena wajahnya terlalu imut para gadis tidak menyukainya.

Tiara dan Gio berhenti di sebuah taman. "Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Gio.

"Apa kamu yang membawaku ke klinik?" tanya Tiara.

"Ya kenapa? Karena tidak ada orang lain jadi aku yang membawanya. Kamu tahu itu sangat merepotkan," jawab Gio dengan sinis.

"Aku ingin kamu merahasiakannya. Jangan katakan apa pun pada teman-teman jika aku pingsan," ucap Tiara memohon.

"Kamu pikir aku peduli. Jika kamu sakit kenapa sekolah, tidak diam di rumah saja."

"Apa orang sakit tidak berhak sekolah?" tanya Tiara.

"Tapi itu akan merepotkan semua orang," jawab Gio menyakitkan.

"Aku tidak memintamu untuk membawaku ke klinik. Jika itu merepotkan seharusnya kamu abaikan saja aku. Dan ingat satu hal, jangan memandangku lemah." Dengan tegasnya Tiara berkata. Lalu melangkah pergi.

"Apa dia baru saja memarahiku. Dasar gadis pucat." Gio merasa kesal. Namun, dia penasaran penyakit apa yang Tiara derita.

...----------------...

Hai reader terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like, dan komentar setelah membaca. 👌

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!