NovelToon NovelToon

BALAS DENDAM PENDEKAR HITAM

CEMBURU?

...

...

...**...

15 tahun yang lalu.

Di mana semuanya berawal dari titik ini, titik di mana lahirnya seorang anak, yang 15 tahun kemudian akan menjadi seorang pendekar muda yang membunuh tanpa belas kasihan, pada orang-orang yang telah membuat ayahnya sakit hati?. Ia menjadi batu pijakan bagi ayahnya untuk balas dendam. Pemuda yang digembleng oleh beberapa pendekar golongan hitam. Bagaimana 15 tahun yang lalu itu?. Simak dengan baik kisahnya.

Di istana.

Saat itu Adipati Gandara Fusena sedang menghadap Prabu Adiwangsa Dirja. Tentunya mendapatkan tugas yang sangat penting dari sang Prabu.

"Hormat hamba Gusti Prabu, Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." Ia memberi hormat pada sang prabu.

"Wa'alaskumussalam warahmatullahi wabarokatuh, silahkan duduk adi." Balas Prabu Adiwangsa Dirja sambil mempersilahkan Gandara Fusena untuk duduk.

"Terima kasih Gusti Prabu." Ia kembali memberi hormat sebelum ia duduk.

Namun yang berada di sana bukan hanya Adipati Gandara Fusena saja berada di sana, melainkan ada beberapa senopati dan dharmapati yang juga ikut dalam pertemuan itu.

"Semoga saja aku tidak mengganggu istirahat mu adi." Prabu Adiwangsa Dirja merasa bersalah?.

"Hamba akan selalu siaga, jika Gusti Prabu memanggil hamba." Ia tidak merasa keberatan sama sekali.

"Itulah yang saya harapkan dari adi." Prabu Adiwangsa Dirja tersenyum lembut.

"Hamba Gusti Prabu." Begitu juga dengan Adipati Gandara Fusena.

"Baiklah, aku memiliki tugas yang sangat penting untukmu adi, tugas yang mungkin akan berat." Sang prabu mengatakan tujuannya memanggil Adipati Gandara Fusena. "Kabar yang aku dapatkan dari telik sandi yang mengatakan, bahwa ada rombongan kelompok pendekar hitam yang sedang bercokol di desa lembung, aku sangat cemas mereka akan melakukan sesuatu kerusakan di sana, terutama menebarkan rasa takut pada rakyat yang berlebihan di sana." Ada bentuk kecemasan yang ia tunjukkan. "Adi aku tugaskan untuk mengusir mereka semua dari sana." Itulah permintaan dari sang prabu.

"Mohon ampun Gusti Prabu, bukan hamba bermaksud untuk menolak apa yang telah Gusti Prabu perintahkan pada hamba." Adipati Gandara Fusena merasa heran dengan tugas yang akan ia emban kali ini. "Hanya saja hamba merasa tidak enak hati pada kakang sanda drajat, sebab yang memimpin di desa itu adalah wilayah kekuasaan dari kakang sanda drajat, jadi? Hamba tidak berani masuk ke sana sembarangan Gusti Prabu." Ya, itulah yang menjadi masalahnya.

"Baiklah, aku mengerti dengan apa yang telah adi katakan. Aku akan membuat surat yang berisikan perintah pada adi untuk masuk ke wilayah itu." Sebagai seorang Raja tentunya ia sangat memahami itu. "Saya yakin dia akan mengizinkan adi untuk masuk ke sana." Lanjut Prabu Adiwangsa Dirja sambil menunjukkan surat izin resmi darinya langsung sebagai seorang raja.

"Mohon ampun Gusti Prabu, mohon ampun jika hamba lancang." Ia memberi hormat pada sang Prabu, dan ia ingin mengatakan sesuatu.

"Apa yang ingin kau sampaikan Senopati sagala kasih?." Prabu Adiwangsa Dirja mem[mempersilahkan bawahannya itu untuk berbicara.

"Mohon ampun Gusti Prabu, jika memang desa lembung adalah wilayah yang dijaga kakang sanda drajat?." Ia mengetahui informasi itu. "Kenapa bukan kakang sanda drajat saja yang tidak menyelesaikan masalah itu? Kenapa harus adipati gandara fusena yang melakukan itu?." Pertanyaan itu keluar begitu saja darinya. "Apakah Gusti Prabu tidak percaya dengan kemampuan kami para Senopati yang telah memiliki pengalaman dalam perang?." Pertanyaan itu terdengar aneh bagi yang lainnya.

"Astaghfirullah hal'azim ya Allah." Prabu Adiwangsa Dirja sampai mengucap, mendengarkan ucapan itu. "Apakah masalah perampok? Masalah kerusuhan pendekar golongan hitam yang bercokol di desa harus aku serahkan juga pada Senopati agung? Jawab pertanyaan ku ini dengan jujur!." Ada kemarahan yang ditunjukkan Prabu Adiwangsa Dirja. "Apakah kalian tidak akan kehilangan wibawa? Jika aku serahkan masalah ini pada kalian?." Suaranya terdengar sangat tinggi.

Tentu saja mereka dapat menangkap itu adalah sebuah kemarahan yang tidak biasa dari Prabu Adiwangsa Dirja. Untuk sesaat mereka semua terdiam, tentunya mereka tidak ingin membuat Prabu Adiwangsa Dirja marah pada mereka sesmua.

"Mohon ampun Gusti Prabu, maafkan hamba yang sangat lancang ini." Senopati Sagala Kasih mengakui itu, dan ia terpaksa tunduk.

"Baguslah, kalau kau menyadarinya Senopati sagala kasih." Prabu Adiwangsa Dirja sangat senang mendengarkan itu. "Kalau begitu jangan membuat suasana ruangan ini memanas dengan ucapan kalian." Lanjutnya dengan mencoba menekan amarahnya itu.

Suasana saat itu sempat hening karena mereka tidak berani lagi untuk membantah. Mereka hanya menerima saja keputusan dari Prabu Adiwangsa Dirja yang merupakan Raja hebat yang memimpin sebuah kerajaan yang sangat besar.

"Baiklah adi, aku harap adi akan mau melakukannya, sebab? Aku sangat yakin karena Allah SWT, jika adi mampu melakukan itu." Prabu Adiwangsa Dirja yang telah menyerahkan langsung surat tugas serta sirat minta izin masuk ke desa Lembung pada Adipati Gandara Fusena.

"Akan hamba laksanakan perintah Gusti Prabu dengan sebaik-baiknya." Ia menerima dua surat itu dengan hati yang berdebar-debar. Apakah ia mampu melakukan itu atau tidak?. Bukan masalah harga diri yang ia pertahankan saat itu, akan tetapi adalah amanah yang akan ia  lakukan saat itu dari seorang raja yang memberikan kepercayaan padanya.

"Terima kasih adi, semoga saja adi bisa melakukan tugas adi dengan baik." Terlihat senyuman yang sangat puas saat itu. "Aku tunggu kabar baik darimu adi."

"Aamiin, terima kasih atas doa baiknya Gusti Prabu." Adipati Gandara Fusena hanya tersenyum kecil.

Pertemuan itu membahas beberapa banyak masalah yang terjadi di istana, hanya saja saat itu Prabu Adiwangsa Dirja yang saat itu mengarahkan Adipati Gandara Fusena yang diperhatikan, sehingga menimbulkan bentuk kecemburuan yang berlebihan pada mereka yang saat itu mencari perhatian Raja mereka.

"Entah kenapa aku merasakan perasaan yang sangat tidak enak sama sekali. Entah kenapa rasanya aku benar-benar seperti hendak dimakan oleh mereka dalam keadaan hidup-hidup." Dalam hati Adipati Gandara Fusena merinding melihat tatapan mereka yang seperti itu padanya. "Ya Allah, kuatkan hamba untuk menghadapi situasi seperti ini." Dalam hatinya sangat berat melihat tatapan mereka yang tidak bersahabat sama sekali. "Jangan hamba sampai goyah dengan apa yang hamba rasakan ya allah." Dalam  hatinya hanya berharap.

Apa lagi Adipati Gandara Fusena masih kerabat dekat dengan Prabu Adiwangsa Dirja, karena itulah mereka merasa diperlakukan beda. Itulah yang kadang membuat mereka merasa iri padanya?. Walaupun kerabat raja?. Apa yang mereka inginkan dengan bersikap seperti itu?. Tidak ada yang mengetahui apa yang mereka inginkan dengan bersikap seperti itu pada Adipati Gandara Fusena yang mendapatkan kepercayaan langsung dari Prabu Adiwangsa Dirja. 

...***...

CEPAT MARAH

...***...

Di sebuah Goa yang cukup tersembunyi di desa Lembung, desa yang memiliki lembung untuk menyimpan padi. Namun desa itu menjadi incaran sebuah kelompok pendekar golongan hitam yang sangat kuat. Saat itu mereka sedang bersantai-santai setelah melakukan jarahan di tempat-tempat warga desa.

"Apa yang akan kita lakukan kakang? Aku sangat bingung, kenapa kakang malah memilih tempat ini sebagai tempat bercokol?." Tadakara sangat mulai mengeluh. "Apakah tidak ada tempat lain lagi?." Keluhanya.

"Anggap saja aku sedang ingin santai sejenak." Balas Hadi Gama dengan raut wajah yang sangat datar. "Lagi pula tempat ini cukup akan untuk diuuni."

"Santai?." Suaranya meninggi secara spontan, Tadakara terlihat sangat marah, ia tidak dapat menahan amarahnya. "Aku sangat marah! Dan tidak bisa menahan diriku lagi! Agar aku tidak membunuh mereka semua, atas kemarahan yang aku rasakan saat ini!." Ungkapnya dengan penuh amarah, dan ia ingin mengatakan jika ia ingin membantai mereka semua?.

"Mereka siapa yang kau maksudkan tadakara?." Dalam hati Taraka, Tohpati, dan Gala sangat heran mendengarkan kemarahan yang Tadakara.  "Kau ini bicara yang jelas." Dalam hati mereka sangat kesal dengan sikap yang seperti itu.

"Kakang yang santai., Sedangkan aku tidak!." Lanjutnya dengan amarah yang meledak-ledak. "Aku tidak bisa bersantai-santai di sini!."

"Jangan emosi seperti itu, nanti bisa kena penyakit kejang-kejang, lumpuh, apa kau mau seperti itu? Hah?." Tohpati mencoba untuk menenangkan suasana yang hampir panas. "Kau ini sangat kekanakan sekali, kau pikir kau siapa seenaknya saja marah-marah di sini!."

"Diam kau tohpati! Aku yang repot dalam masalah ini!." Ia masih terlihat sangat marah. "Aku sangat kesal! Kenapa kita malah bercokol di tempat seperti ini?!." Sungguh, ia tidak terima sama sekali. "Apakah tidak ada tempat lain yang lebih nyaman dari pada tempat ini? Hah?!."

"Sudahlah! Anggap saja kita istirahat sejenak.! Kasihan para prajurit yang selalu kena libas kakang hadi gama." Ungkapnya dengan nada yang sangat simpati. "Sesekali kita berdiam diri di sini sambil menikmati indahnya desa yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah ini." Ucapnya sambil membayangkan apa yang akan ia lakukan terhadap desa Lembung. "Apakah kau tidak capek? Jalan terus?." Ia yang malah melempar balik pertanyaan. "Apakah kau masih kuat berjalan tanpa henti seperti kuda?!."

"Kau ini bicara apa?! Hah?!." Tadakara semakin emosi mendengarkan itu. "Jangan buat aku semakin marah! Berani sekali kau menyamai aku seperti kuda!."

Terjadi perdebatan diantara mereka saat itu, seakan-akan tidak mau mengalah sama sekali, darah mereka cepat sekali mendidih.

"Coba ingat-ingat lagi? Kita tidak pernah dapat bagian apapun, selain menemani kakang hadi gama jalan-jalan, sambil menghajar para bangsawan yang jahat menurut pandangannya." Ia malah curhat?. "Kakang hadi gama bahkan mampu melumpuhkan puluhan prajurit dengan tiga jurus saja? Apakah menurutmu kita ini dapat bagian untuk bertarung?." Kembali ia memberikan pertanyaan. "Aku rasa kau masih ingat dengan itu. Jadi kau tidak usah marah-marah lagi." 

"Betul juga yang kau katakan tohpati." Taraka saat itu mencoba untuk menenangkan mereka semua agar tidak adu mulut. "Jadi kau jangan berkecil hati seperti itu." Ucapnya sambil menepuk pelan pundak Tadakara yang masih marah. "Kau ini seperti anak kecil saja tadakara, dan ini bukan kali pertama kita bercokol di tempat seperti ini!."

"Ya sudah? Diam dulu toh? Jangan mengamuk, marah sana-sini, nanti kau cepat tua." Tohpati merasa menang karena ada yang membelanya. "Jika kau cepat tua, nanti kau tidak bisa berjalan lagi. Ahaha!."

"Heh! Tidak usah kau berkata seperti itu padaku tohpati!. Taraka!." Ia masih saja emosi, bahkan ia sampai mengejar Taraka dan Tohpati.

"Ahaha!."

Taraka dan Tohpati malah tertawa melihat bagaimana raut wajah Tadakara yang sedang marah, bahkan mereka sampai dikejar oleh Tadakara saking kesalnya.

"Jangan lari kalian!." Teriaknya dengan penuh emosi yang membara.

"Kau yang lari tadakara, bukan kami Ahaha!." Balas Tohpati dengan tawa mengejek.

"Kau yang mulai lari tadakara, jadi kami cuma mengikut saja, haha!." Begitu juga dengan Taraka yang mencoba menghindari serangan Tadakara.

"Berisik! Akan aku tebas mulut kalian berdua!." Tadakara semakin kesal.

Pada saat itu Tadakara malah mengejar mengejar Tohpati dan Taraka yang membuatnya semakin marah. Sedangkan yang lainnya hanya memakluminya, akan tetapi pada saat itu Hadi Gama berkata sesuatu pada Tohpati.

"Terima kasih tohpati, taraka., Kalian selalu bisa aku andalkan." Hadi Gama malah berkata seperti itu, ia sebenarnya risih dengan sikap Tadakara yang suka mengeluh.

"Sama kakang hadi gama, haha!." Balas mereka dengan tawa yang aneh.

Rasanya apa yang mereka lihat pada Tohpati, Tadakara dan Taraka rasanya tidak sesuai dengan umur mereka. Ya, anggap saja mereka sedang ingin bersenang-senang.

"Apakah tidak apa-apa membiarkan mereka seperti itu kakang?." Gala merasa miris melihat kelakuan mereka yang seperti itu.

"Biarkan saja mereka seperti itu, mungkin mereka bosan. Jika kau bosan kau juga bisa ikut dengan mereka."

"Tidak sudi aku kakang, hi! Lebih baik aku tidur saja dari pada ketularan bodoh mereka yang seperti itu." Gala merinding sendiri membayangkan jika ia tertawa aneh seperti yang dilakukan Taraka dan Tohpati.

"Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah adipati itu masih masih melanjutkan pertarungan itu? Atau dia telah melarikan diri dari sini, mencari tempat berlindung yang aman." Dalam hati Hadi Gama sedang memikirkan apa yang telah dilakukan Adipati Sanda Drajat saat ini. "Akan aku tunggu sampai besok." Dalam hatinya lagi.

...***...

Di sebuah tempat pertemuan yang sangat rahasia antara senopati dan dharmapati.

"Rasanya Gusti Prabu menaruh perhatian yang berlebihan pada Adipati gandara fusena." Ucapnya sambil mengambil buah pisang. "Meskipun masih kerabat dekat dengan gusti prabu, tapi tetap saja itu rasanya sangat tidak adil sekali." Itulah yang ia rasakan selama ini. "Padahal kita adalah prajurit yang sangat terlatih jika masalah itu kakang, tapi kenapa Gusti Prabu masih saja ragu dengan kita?." Hatinya sangat tidak terima.

"Mau bagaimana lagi? Kita tidak ada nilainya sekarang dihadapan Gusti Prabu." Itulah yang menjadi keluhannya selama ini. "Seakan-akan kita digunakan saat waktu penting saja." Lanjutnya dengan penuh kekesalan. "Dia hanya mengandalkan orang terdekatnya saja."

"Lantas apa yang akan kita lakukan kakang? Saya merasa tersinggung, dan tidak terima dengan apa yang telah dikatakan Gusti Prabu." Tentunya ia meminta pendapat dari orang yang lebih tua darinya.

Pada saat itu Senopati Sagala Kasih dan Dharmapati Ayutra Ganda sedang berunding, tentang apa yang akan mereka lakukan, agar mereka lebih terlihat bisa melakukan apa saja dihadapan Prabu Adiwangsa Dirja.

"Bagaimana kita ikuti si gandara fusena itu. Mari kita lihat, seberapa besar ilmu kanuragan yang dia miliki?. Sehingga dia diberikan kepercayaan Gusti Prabu."

"Baiklah kakang, saya setuju."

"Kalau begitu lakukan persiapan, karena kabar yang aku dengar, kita tidak boleh ketahuan masuk tanpa izin ke desa itu."

"Tentu saja kakang. Saya akan menyiapkan semuanya."

Mereka telah sepakat akan melakukan rencana itu, tentunya mereka akan menggunakan banyak cara agar dapat melakukan apa yang mereka anggap itu nantinya membuat nama mereka melambung tinggi dihadapan Prabu Adiwangsa Dirja.

Simak dengan baik bagaimana kisah selanjutnya. Next.

...****...

KEJADIAN HARI ITU

...***...

Adipati Gandara Fusena baru saja sampai di rumahnya setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang. Tentunya ia pulang ke rumah untuk berpamitan pada istrinya agar tidak mencemaskan dirinya yang mungkin belum pulang?.

"Assalamualaikum." Ucapnya sebelum masuk ke dalam rumah.

"Wa'alaikumussalam." Balasnya, ia langsung menuju ruangan depan untuk menyambut kedatangan suaminya. "Kakang?. Sudah kembali?." Ia tersenyum lembut.

"Kakang baru saja kembali." Balasnya. "Mungkin kakang akan pergi lagi." Lanjutnya. Ia duduk dengan tenang.

"Pergi lagi kakang?." Raut wajahnya tampak cemas.

"Kakang mendapatkan perintah dari Gusti Prabu untuk mengusir para pendekar jahat, bercokol di desa lembung!!" Jawabnya sambil merangkul istrinya.

"Kalau begitu saya ikut kakang!." Ia terdengar sedang merengek.

"Nini ini bicara apa?. Kandungan nini harus dijaga, loh?." Ia menunjuk ke arah perut istrinya yang telah membesar. "Nini saat ini bukan lagi seorang pendekar yang suka pergi sembarangan tempat."

"Habisnya, saya enggak betah, kalau kakang terus berada di luar rumah. Jadi saya ingin pergi dengan kakang, walaupun kakang cuma di halaman rumah saja." Wanita cantik yang dulunya seorang pendekar cantik itu mengeluhkan sesuatu pada suaminya.

"Hahaha!. Nini sekarang adalah seorang wanita, dan calon ibu." Ia tidak dapat menahan tawanya. "Ini semua juga demi keselamatan anak kita. Apakah nini tidak kasihan sama anak nini?. Ini semua demi anak kita, ya?." Dengan lembut ia mengelus perut istrinya.

"Saya sangat kasihan, hanya saja saya cemas, jika kakang pulang bawa bunga kembang desa." Terlihat ia sedang tidak enak hati.

"Ahahaha!. Nini jangan berkata seperti itu. Saya tidak mungkin melakukan itu. Lagi pula saya ke sana karena tugas dari gusti prabu." Dengan suara yang lemah lembut ia mencoba untuk mengatakan pada istrinya. "Jadi nini istirahat saja sambil menjaga anak kita. Jagalah kesehatan nini demi anak kita. Supaya ketika lahir ia akan menjadi anak yang sehat pula."

Wanita cantik yang kini telah menjadi istri seorang Adipati tampak sedang memikirkan apa yang telah dikatakan suaminya. 

"Baiklah. Kalau memang demi anak kita, akan saya turuti ucapan kakang." Dengan suara yang lembut ia berkata seperti itu.

"Alhamdulillah, jika nini mengerti." Ia kecup kening istrinya. Sungguh, ia sangat mencintai istrinya dengan sepenuh hatinya. "Saya tentunya hanya mencintai nini saja."

"Ah!. Kakang gombal." Pipinya terlihat merona mendengarkan ucapan suaminya.

"Hehehe. Memangnya nini tidak?." Ia kembali menggoda istrinya.

"Sudahlah kakang, jangan goda saya terus."

Adipati  Gandara Fusena hanya tertawa melihat istrinya yang tersipu malu, dan itu sesekali ia lihat setelah ia menikah.

"Tapi kapan kakang akan berangkat ke sana?. Tentunya kakang perlu persiapan." Dengan suara yang lembut ia bertanya. "Katakan pada saya, apa saja yang akan kakang bawa nanti."

"Setelah sholat ashar kakang akan berangkat, supaya tidak terlalu malam sampai di desa lembung." Jawabnya.

"Kalau begitu akan saya siapkan semuanya. Kakang juga bersiap-siap lah berpenampilan rapi." Ia merapikan pakaian suaminya.

"Kenapa harus seperti itu nini?." Iseng ia bertanya.

"Meskipun sebagian seorang Adipati yang dibawahi langsung oleh raja, kakang harus tetap memperlihatkan wibawa kakang sebagai seorang Adipati. Kakang adalah orang yang terhormat." Lanjutnya.

"Baiklah istriku yang cantik. Kakang akan rapi-rapi dulu." Balasnya dengan senyuman yang sangat menawan.

Tentunya senyuman itu membuat hati wanita cantik itu berbunga-bunga. Adipati Gandara Fusena adalah laki-laki yang padanya, sejak pertama kali mereka bertemu disebuah perkumpulan para pendekar, dan kejadian itulah yang membuat ia memeluk agama Islam.

...***...

15 tahun kemudian.

Saat itu ada seorang pemuda yang sedang dilatih oleh beberapa orang pendekar. Namun tubuhnya terasa sangat sakit setelah menyerap lima ilmu kanuragan dalam tingkat tinggi, karena itulah tubuhnya hampir mati rasa.

"Cakrawala!. Terus lakukan dengan cepat. Kau akan aku hukum jika kau berani melakukan kesalahan dalam memainkan jurus serap jiwa yang telah aku ajarkan padamu!."

Namun saat itu ia tidak menanggapi ucapan itu, karena ia sedang berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya agar tidak oleng.

"Kurang ajar!. Kepalaku terasa sangat sakit. Tubuhku rasanya hampir saja mau meledak karena jurus kurang ajar ini." Dalam hatinya sangat mengutuk dengan apa yang telah ia pelajari saat itu.

"Ingat cakra!. Kau memiliki mata yang sangat bagus!. Kau harus melihat setiap gerakan yang aku lakukan!."

Lagi, ia tidak menanggapinya. Tubuhnya yang memang sudah tidak sanggup lagi.

"Sedikit lagi!."

Tohpati memaksa anak muda itu untuk menyelesaikan semua inti dari jurus serap jiwa. Hingga setelah ia memainkan jurus itu?. Tubuhnya benar-benar oleng, ia berusaha untuk menahan tubuhnya.

"Bhuek!. Ohok! Ohokh!." Cakrawala, itu nama anak muda itu. Saat itu ia sedang terbatuk dan muntah darah. Tubuhnya benar-benar sangat sakit, hingga semua yang ada di dalam tubuhnya ingin keluar.

"Cakra!." Taraka sangat terkejut melihat itu, ia langsung membantu Cakrawala untuk bangun. Ia menotok beberapa aliran darah Cakrawala agar tidak kehilangan darah terlalu banyak. "Bertahan lah cakra!. Aku akan membawamu ke tempat pengobatan." Ia tampak  cemas. Ia gedong Cakrawala yang hampir tak sadarkan diri.

"Taraka!. Jangan berlebihan kau!. Biarkan anak itu melanjutkan latihannya!." Bentak Tadakara.

"Kau yang jangan berlebihan padanya!." Balas Taraka dengan sangat kesalnya. "Jika saja anak ini mati sebelum waktunya!. Maka tujuan utama kita tidak akan tercapai!. Apakah itu yang kau inginkan?!. Jawab aku tadakara bangsat!." Makinya dengan hati yang dipenuhi amarah yang sangat membara.

Tadakara terdiam mendengarkan apa yang telah dikatakan Taraka. Memang benar apa yang telah dikatakan Taraka, jika Cakrawala tewas dalam latihan itu?. Maka tujuan mereka balas dendam atas apa yang telah dilakukan Adipati Gandara Fusena pada mereka selama ini.

"Bertahanlah cakra. Aku akan membawamu pada nini asmara tanjung." Setelah berkata seperti itu, ia melompat dengan menggunakan jurus meringankan tubuh, supaya ia lebih cepat sampai tujuan.

"Sial!. Taraka itu seperti memiliki belas kasihan pada anak Adipati kurang ajar itu!."

"Sudahlah tadakara. Tidak ada gunanya kau marah-marah."

"Diam kau tohpati!. Kita jangan mengulangi hal sama!. Apakah kau tidak lihat bagaimana kondisi kakiku akibat dari perbuatan gandara fusena sialan itu?." Ia menunjukkan bagaimana kondisi kakinya yang saat itu pincang akibat serangan yang ia terima.

"Ya, nanti kita balaskan. Jika kita berhasil menggembleng anaknya dengan jurus kegelapan yang telah kita miliki." Balasnya. "Sebab anak itu memiliki mata yang sangat bagus dalam menyerap semua tenaga dalam musuhnya." Lanjutnya lagi.

Sepertinya mereka memang memiliki dendam yang sangat dalam pada Adipati Gandara Fusena, sehingga mereka menculik anaknya, dan dijadikan wadah untuk balas dendam pada orang tuanya sendiri?. Kejam!.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!