...CAN I LOVE YOU?...
...by: VizcaVida...
...______________...
“Dia anakku! Kamu tidak berhak bertemu dan memintanya dariku!” seru Leona pada Antariksa, sang mantan suami yang sudah berpisah darinya sejak delapan tahun yang lalu.
“Dia juga anakku—”
“Kenapa baru sekarang kamu mengakuinya, huh?! Kenapa tidak sejak dulu saat aku meminta dan mengemis belas kasihmu untuk menerima dia sebagai darah dagingmu?! Menerima kehadirannya?! Buah kasih kita yang meskipun—” suara Leon tercekat. Ia kecewa saat mengingat hari itu, hari dimana Antariksa merenggut paksa kehormatannya?
Tidak. Sepahit apapun masalalu itu, Lunar tidak boleh mendengar semuanya dari bibirnya. Anaknya tidak boleh tau. Atau Leon sendiri akan merasa lebih hina dari Anta kemudian ... menyesal sendirian.
Suasana menjadi senyap untuk beberapa detik. Tidak ada balasan apapun dari Anta selain tatapan lurus dan tajam yang masih sama seperti dulu dimata Leon.
“Kenapa dulu kamu tidak percaya jika Lunar adalah anakmu dan lebih percaya pada wanita itu?” sahut Leon tak lagi peduli seberapa remuk hati Anta dan hatinya. “Kamu menyesal?” lanjut Leon mengejek dengan senyuman masam dan pahit.
Masih sama, Anta tetap diam menatap Leon dan Lunar secara bergantian.
“Aku harap kamu mengerti perasaanku, Antariksa. Sekali ini saja.”
Memang tidak elok saling mencaci didepan seorang anak kecil yang bahkan tidak mengerti masalah apa yang sedang di hadapi dua orang dewasa di sekelilingnya itu. Kedua lengan kecil seputih susu itu memeluk erat bahu dan leher, serta menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher sang mama yang selama ini selalu ada untuknya.
“Papa menyesal, nak.” lirih Anta tidak berbohong. Dia benar-benar menyesali keputusannya untuk meninggalkan Leon dan memilih percaya pada kedua orang tua dan hasutan perempuan yang saat itu masih sangat ia cintai.
Mendengar Anta mengucapkan sebuah kalimat penyesalan, Leon tertawa disudut bibir. Ia mencibir tingkah Antariksa yang ia nilai tidak konsisten. Dulu, dia diceraikan tanpa ada sebab musabab. Dan sekarang apa? Menyesal? Omong kosong!
“Buang kalimat penyesalanmu itu jauh-jauh, Ta. Kami tidak butuh apapun darimu! Termasuk penyesalan dan belas kasihmu!” kata Leon dengan nada dingin, lantas berniat pergi meninggalkan Anta untuk masuk kedalam rumah kontrakan yang sudah ia tempati sekitar delapan tahun yang lalu, lebih tepatnya setelah dia dan sang putri yang saat itu masih berada dalam kandungan, diusir dari istana yang mereka tempati bersama selama beberapa bulan setelah menikah, oleh pria itu sendiri.
Namun langkah Leon terhenti kala Antariksa meraih pergelangan tangannya, menggenggamnya kuat agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.
“Aku benar-benar menyesal, Leona. Maafin aku.”
Leona tidak menyahut atau memberi tanggapan apapun selain menarik paksa lengannya agar terlepas dari cengkraman Antariksa yang semakin kuat.
“Maafmu sudah tidak berlaku sejak kamu menyebut dia—” lagi-lagi Leona tercekat, salivanya meluncur membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Lantas Leona melanjutkan dengan nada suara yang rendah dan dingin penuh intimidasi. Wajahnya tak berekspresi, dan sorot matanya penuh benci kepada Antariksa. “Maaf itu sudah hilang, sudah tidak berlaku, sejak kamu menuduhku selingkuh, dan menyebut anakku ... anak haram!” []
...🌼🌺🌼...
NOTED:
Hai semua, karya baru lagi nih. Semoga suka ya ...
Silahkan tinggalkan Like dan drop komentar, serta simpan dalam lost favorit, juga berikan vote dan hadiah jika berkenan. ☺️
Oh iya, sekian dulu prolognya. Cerita ini punya konflik ringan—seringan bulu burung Pipit, dan masih seputar drama rumah tangga😁
Rate 21+ ya ...
Jadi kalau nggak nyaman, atau nggak suka dengan cerita yang berisi drama, kata kasar atau adegan dewasa, Skip saja.
..._______________...
...DISCLAIMER CERITA...
...-Cerita ini murni imajinasi penulis....
...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....
...-Semua karakter didalam cerita hanya fiksi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata....
...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....
...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....
...Regret,...
...Author....
...Can I Love you?...
...by VizcaVida...
..._____🌺_____...
Alangkah gembiranya hati Leona saat dia mendengar lamaran pekerjaannya mendapat tanggapan baik dari pihak perusahaan yang ia inginkan sejak duduk di bangku kuliah, beberapa bulan lalu.
Dan sekarang, Leon—sapaan akrab Leona—bekerja di sebuah kantor pusat sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar dan ternama. Kehadirannya disambut baik oleh tim bahkan sebagian pegawai, karena selain kemampuannya yang luar biasa dalam mendesign sebuah bangunan, Leona juga terkenal memiliki paras yang cantik dan memiliki attitude yang luar biasa baik.
Tidak jarang Takan kerjanya mencoba mendekati dia. Lalu pada bulan ketiga, Leon berpacaran pertama kali dengan seorang laki-laki yang berasal dari lingkungan kerja yang sama.
Mereka saling mencintai, hingga hubungan itu berlanjut hingga mencapai kurun waktu yang lama. Leon dan Joan menjalani hubungan itu sudah hampir tiga tahun lamanya, dan sekarang, usia Leon sudah dua puluh empat tahun.
Hubungan yang terjalin diantara mereka, tidak sedikitpun mengganggu kinerja baik Leon ataupun Joan. Mereka terbilang profesional, dan tau posisi. Mereka selalu memisahkan antara urusan pekerjaan dan asmara.
Hingga hari itu, perusahaan tempat Leon bekerja baru saja memenangkan tender dan melakukan pertemuan dengan klien eksekutif yang akan menggunakan jasa perusahannya. Karena deadline yang mepet, Leona rela kerja lembur bersama tim. Tidak terkecuali Joan, sang kekasih.
Ntar pulang bareng aja ya?
Leona yang saat itu sedang merenggangkan punggung lelahnya, melihat ponselnya yang menyala dan bergegas meraihnya dari atas meja. Bibirnya membuat lengkungan senyum saat tau Joan yang mengirim pesan menawarkan pulang bersama dengannya. Semua lelahnya seperti hilang, menguar bersama udara begitu saja. Pria yang sangat ia cintai itu, tidak pernah gagal membuatnya bahagia.
Of course, hon.
Hon, adalah panggilan sayang dari Leon untuk Joan Alexander, sang kekasih yang tidak lain adalah leader tim yang dinaungi Leona.
Tidak lama berselang, pesan kembali datang.
Jam delapan, di lobby biasa
Lobby yang dimaksud adalah sebuah jalan yang menghubungkan antara ruang kerja tim Leon dengan salah satu lift yang ada di lantai lima perusahaan ini.
Oke. Ntar aku kabari lagi kalau aku udah disana
Leona tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena hendak bertemu dengan sang pujaan hati. Apalagi ketika Joan membalasnya dengan emotikon kecup manja dan gambar hati, Leon semakin girang. Andai saja dia sedang tidak di kantor, dia pasti sudah melakukan selebrasi.
Ia pun lanjut berkutat dengan komputer dan mulai bergelut kembali dengan aplikasi yang menjadi andalannya ketika bekerja untuk membuat design gambar gedung seperti yang diminta klien.
***
Pukul setengah delapan, lebih cepat tiga puluh menit dari jam janjinya bersama Joan, Leon sudah sampai di tempat mereka janjian. Leon tidak pernah keberatan menunggu Joan pulang karena sadar akan tanggung jawab yang diemban sang kekasih tidaklah ringan. Pria itu bahkan pernah pulang hampir jam satu dini hari karena harus melakukan cek ulang dan finishing design dari tim, karena waktu deadline yang sialan mepet.
Tapi untuk sekarang, tidak seperti itu. Pengalaman memang menjadi guru yang berharga. Mereka menyusun trik untuk mengatasi hal seperti itu agar tidak terulang dengan cara mencicil lembur dan menjalin ke-solidan yang erat agar pekerjaan tidak membuat badan remuk.
“Mbak Leon, nunggu pak Joan?” tanya salah seorang cleaning servis yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka untuk turun.
“Ah, iya Ndre. Kamu lembur juga?” tanya Leon basa-basi agar suasana tidak sepi.
“Iya, mbak. Mumpung ada lemburan. Itung-itung nambah penghasilan buat bayar kosan.”
Leon tersenyum lembut. Senyuman yang mengandung sihir dan daya pikat luar biasa kuat. Laki-laki manapun tidak akan pernah mau melewatkan senyuman manis nan ramah di bibir Leona.
“Iya, Ndre. Nasib kita sama disini. Saya juga perantau. Biaya hidup disini nggak murah, beda sama desa.”
“Iya mbak.”
Bersamaan dengan itu, pintu Lift terbuka. “Saya duluan ya, mbak Le.”
“Oke.” sahut Leon sambil membuat bulatan membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya.
Seperginya Andre—si cleaning servis, Leona kembali sendirian menunggu Joan yang tak kunjung muncul.
Lalu, tanpa sengaja Leon melihat seseorang keluar dari lift lain dan berjalan menuju salah satu ruangan yang terlihat sudah gelap. Orang si Andre tadi sudah pulang kan? Jadi dapur di sudut sana sudah kosong.
Ia hanya ingin memberitahu orang itu, lalu kembali menunggu Joan di tempat biasa mereka bertemu.
Langkah kaki berbalut pantofel ber-hak lima senti itu bergegas menyusul. Saat Leon berhasil mengintip dari kaca berbentuk persegi kecil yang terpasang di bagian atas pada pintu. Ruangan benar-benar sudah gelap, dan tanpa meminta persetujuan, Leon mendorong pintu ruangan yang sangat ia hafal akan menuju dapur tersebut. Ia berjalan cepat dan berharap bertemu orang yang ia lihat sekelebat tadi. Tapi, tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung. Seseorang menariknya dari belakang sembari membekap mulut Leon hingga tak bisa bersuara.
Panik menyerang seluruh inci tubuh Leon kala pria itu menyentak kuat agar posisi Leon berbalik saling berhadapan, lalu mata indahnya mendapati wajah seorang pria dengan kening yang basah oleh keringat diantara temaram. Tubuh tinggi tegap pria tersebut menindih tubuh bagian depan tanpa celah.
Pria itu memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri agar Leona tidak membuat suara apalagi berteriak. Dan setelah Leona mengangguk, pria yang tidak ia kenal itu melepas telapak tangan besarnya dari mulut Leon. Mata mereka bertemu.
Mata pria itu begitu tajam bak elang, wajahnya terlihat datar dan minim ekspresi, penampilannya begitu berkelas dengan kemeja rapi dan dasi yang mengekang leher, serta aroma parfum mahal yang menguar dari tubuh pria itu terhirup oleh indra pencium milik Leona.
“S-siapa anda?” tanya Leona takut. Ia khawatir jika pria tampan didepannya ini akan berbuat macam-macam padanya.
“Tolong jangan berteriak.” pintanya dengan suara serak. “Tolong beritahu saya, dimana toilet nya berada.”
Leona merasa lega karena pria ini hanya tersesat dan ingin pergi ke toilet. Bukankah itu pertanda jika semua tidak akan apa-apa? Tidak akan terjadi apapun padanya, kan?
Lantas, kening Leona sedikit mengkerut saat menyadari siapa pria didepan matanya ini.
“Anda—”
“Cepat antar saya kesana!” seru pria itu tanpa memberi kesempatan bagi Leona untuk bicara. Mendengar permintaan pria asing yang sedang ia terka itu, Leona mengangguk patuh dan berjalan menunjukkan si pria dimana toilet berada.
“Saya antar ke toilet khusus—”
“Tidak! Cari toilet terdekat saja.” kata pria itu dengan raut seperti menahan sakit yang Leona pikir, sedang menahan panggilan alam.
Lagi-lagi Leona mengangguk patuh dan membawa pria itu melangkah menuju kamar mandi pegawai yang letaknya memang ada di bagian paling ujung ruangan ini.
“Kenapa anda tidak ke toilet khusus tamu saja, pak?” celetuk Leona yang mulai sadar dan tau siapa pria di belakangnya saat ini.
“Jangan banyak tanya.”
Leona langsung terdiam. Bukan ranahnya bicara dengan orang penting seperti Antariksa Graham. Leona pun memilih mengunci bibirnya agar tidak lagi bersuara.
Dan sesampainya di depan toilet yang berjejer sebanyak lima kotak itu, Leona mempersilahkan Antariksa menggunakan salah satu toilet yang ada, lantas berniat pamit kemudian pergi dari sana.
Tapi, sesuatu yang mengejutkan berhasil menyentak kesadaran Leona. Ia berada di dalam kamar mandi berukuran sempit dengan seorang pria yang kini bisa ia lihat dengan jelas rupanya. Pria berwajah sempurna dengan garis wajah yang tegas itu, kini mengunci pintu yang jelas saja membuat Leona ketakutan.
“Apa yang anda lakukan, pak?! Saya harus keluar dari sini!”
Leona mencoba menyingkirkan tubuh kekar beraroma maskulin itu dari hadapannya agar dia bisa keluar menyelamatkan diri. Tapi nahas, pria itu menyentak tubuh langsing Leon hingga berbalik membelakangi. Lalu sebuah bekapan kuat kembali menyapa bibirnya hingga tak bisa bersuara. Segala upaya melepaskan diri sudah ia coba, namun gagal karena kalah tenaga.
Leona semakin pasrah saat pria itu berbisik, “Maaf, tolong bantu aku menyelesaikan pengaruh obat sialan ini. Aku janji, akan bertanggung jawab atas hidupmu. Jika memang di butuhkan, kita menikah setelah ini.”
Dan, semuanya terjadi begitu saja. Leona Agustin kehilangan hal paling berharga yang sudah ia dan kedua orang tuanya jaga selama dua puluh empat tahun hidupnya, oleh pria yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.[]
...To be continue...
...🌼🌺🌼...
Tinggalkan Like dan komentar, tambah ke list favorit, juga berikan hadiah jika berkenan ☺️
Terima kasih,
sampai jumpa di next episode yang pastinya tidak kalah seru 😉
...Can I Love you?...
...by VizcaVida...
..._____🌺_____...
Pernikahan.
Leona tidak bisa membayangkan sebuah pernikahan akan menyambangi hidupnya secepat ini. Dia mempunyai rencana akan membangun rumah tangga bersama Joan sekitar dua tahun kedepan, saat Joan sudah menyelesaikan KPR rumah yang pria itu beli di salah satu area perumahan kelas menengah yang berlokasi tidak jauh dari kantor. Ya, sesederhana itu keinginan pasangan yang memang sederhana itu. Baik Leona maupun Joan, saling mengerti kehidupan masing-masing. Dua-duanya tidak berasal dari keluarga berada yang bisa mengandalkan harta orang tua untuk bertahan hidup di kota. Mereka berjuang dengan keringat sendiri agar bisa makan dan tidur di tengah tekanan hidup ibukota.
Leon dan Joan juga sudah sempat membahas rencana kedepan mereka setelah berumah tangga nanti, termasuk dua anak yang akan meramaikan hidup mereka kelak.
Akan tetapi setelah kejadian malam itu, Leona harus rela kehilangan semua angan indah tersebut, lalu mengambil keputusan menikah dengan laki-laki yang bahkan tidak ia ketahui kepribadiannya. Pria itu hanya berkata akan menjamin hidup layak secara finansial. Memberikan hunian nyaman sebagai tempat tinggal dan tentu makan enak, serta uang belanja bulanan yang tidak akan bisa di bandingkan dengan uang gajinya meskipun bekerja banting tulang hingga remuk tak berbentuk.
Leona tidak tergiur, tapi dia tidak ingin membuat Joan kecewa padanya. Apalagi nanti jika Joan tau, dia sudah tidak gadis lagi oleh pria lain yang sekarang, telah menjadi pasangan hidupnya secara dadakan.
Berita pernikahan itu membuat gempar seisi kantor. Bahkan ada yang tak segan-segan mencibir dan mengecap Leon sebagai pengkhianat.
Apa mau di kata, orang melihatnya seperti itu tanpa tau alasan dibalik semua kesulitan yang ia lalui.
Leon sempat meminta bertemu dengan Joan, akan tetapi pria itu menolak dan berakhir Leon yang mengirimkan pesan singkat berisi permintaan maaf tulus atas keputusan sepihak yang sudah diambil olehnya itu.
***
Sebelum pernikahan di gelar, Leon dan Antariksa sempat bertemu dua kali. Pertama untuk membicarakan perjanjian hitam di atas putih yang harus mereka sepakati, termasuk harta dan beberapa hal lain yang berhubungan dengan lahir dan batin. Pertemuan kedua, untuk melakukan fitting baju pengantin dan mencari WO yang akan mengurus seluruh persiapan acara resepsi setelah pengucapan janji suci berlangsung.
Dan hari ini, adalah hari ketiga Leon menjadi Nyonya Graham di rumah bergaya Eropa yang ia tempati bersama Antariksa—pria yang menikahinya atas dasar kasihan. Ya, kasihan. Antariksa mengatakan itu secara gamblang didepan Leon tanpa mau menutupi sedikitpun niatan pernikahan itu digelar.
Leon sengaja memasang alarm di jam empat pagi agar dia bisa membereskan rumah dan memasak untuk Antariksa, seperti istri pada umumnya. Dipikir-pikir lagi, sudah seharusnya dia melakukan itu karena Antariksa sudah mentransfer uang belanja pertama untuknya sebagai seorang istri. Mau tidak mau, Leon harus meladeni sang suami dengan baik. Terlebih saat tau nominal yang muncul di pemberitahuan saldo M-banking nya, sangatlah fantastis.
Setelah mencuci baju dan mengepel lantai, Leon mulai berkutat di dapur. Oh ya, sebagai tambahan informasi, mereka sepakat untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan rahasia yang ada dan sudah mereka buat bersama.
Pagi ini, dia berniat membuat soto daging. Menu sederhana yang biasa ia buat di kosan. Leon hanya berharap, selera Anta tidak seperti orang-orang kaya lainnya yang suka menikmati makanan ala western. Jika memang seperti itu, Leon akan meminta maaf dan belajar mulai dari nol secara otodidak melalui internet. Ya, mungkin jalan keluarnya yang harus ia pikirkan adalah itu.
“Mmmm ... pas.” serunya penuh kelegaan setelah mencicipi kuah soto dari dalam panci yang terlihat mahal. Jika kalian bertanya mengapa dia bisa menebak, karena panci yang ada dirumah Leon, hanya sebatas panci aluminum yang pantatnya gosong. Berbeda dengan yang ia pakai sekarang. “Semoga saja pak Anta suka.”
By the way, Leon dan Anta juga sempat membicarakan nama panggilan masing-masing. Anehnya, mereka justru berdebat karena Antariksa menyebutnya keturunan singa. Mengapa? Karena Leon, terasa familiar dengan seekor singa ditelinga Anta. Leon terdengar seperti ... Leo.
Leon melirik jam yang menempel di salah satu dinding rumah bercat abu-abu muda itu, lantas mulai menata satu persatu di atas meja makan, menghidangkannya dengan penuh perasaan. Katanya, kalau makanan dimasak dengan hati, dan dihidangkan dengan penuh perasaan itu, rasanya pasti enak. Entah Leon pernah mendengarnya dimana, tapi dia berharap itu bukan hanya sekedar mitos.
Setelah semua ada diatas meja makan yang ukurannya tidak terlalu luas itu, Leon bermaksud membangunkan Anta karena laki-laki itu bilang akan pergi ke kantornya agak pagi karena ada meeting.
Namun, belum sempat Leon pergi kembali ke kamar mereka dan masih melepas appron dari badannya, dia sudah melihat Anta berjalan dengan rambut berantakan dan kaos sleeveless menuju lemari pendingin.
Melihat Anta menuang air dingin ke dalam gelas, Leon buru-buru menegur. “Ini, saya buatkan susu, pak. Masih pagi jangan minum air dingin, nanti perut bapak sakit.”
Selama hidup di muka bumi, baru sekarang Anta mendengar jika meminum air dingin di pagi hari itu membuat perut sakit. Keningnya sedikit mengerut, tapi dia tidak peduli dengan Leon yang berusaha mengubah kebiasaannya tersebut.
“Pak—”
“Gue bukan bapak Lo, dan stop ngatur gue!” ketusnya, lalu menenggak segelas penuh air dingin. Sedangkan Leon, hanya diam dengan bibir menganga sembari menatap Anta yang sekarang meninggalkan dapur dan mungkin akan ke kamar mandi. Sekali lagi, Leon bersuara.
“Saya sudah buatin sarapan buat bapak. Nanti, setelah mandi dan siap-siap, kita sarapan bareng ya?”
Anta sempat menghentikan langkah mendengar ajakan sok friendly dari roomate barunya itu. Tapi ia acuh dan kembali berjalan menuju tempat sakral yang selalu ia tuju saat pagi hari, yakni kamar mandi.
Melihat gelagat Anta yang tidak suka padanya, Leon mengembuskan nafas kesal. Ia hanya berusaha menerima dan berlapang dada karena sadar siapa dirinya untuk Antariksa. Mengesampingkan semua itu, Leon pun menuju kamar mandi lain yang tidak terpakai untuk membersihkan diri, karena dia juga harus bekerja.
Ah, untuk yang satu itu, Antariksa tidak mau membatasi apapun keinginan Leona. Dia bahkan membiarkan istri barunya itu untuk tetap pergi ke kantor meskipun dia sudah memberi uang banyak. Bodo amat uang itu mau dipakai untuk apa oleh si Leon, toh uangnya tidak akan habis tujuh turunan.
Keduanya sudah duduk di meja makan minimalis modern seperti yang pernah Leon lihat di televisi. Awalnya Leon pikir ia hanya bermimpi, tapi semua itu nyata saat dia duduk di atas salah satu kursi seharga puluhan juta itu.
Norak?
Benar. Leon sangat norak dimata Anta hingga membuat pria itu ilang feeling.
“Saya tidak tau bapak suka atau—”
“Udah gue ingetin kan? Jangan panggil gue bapak! Gue bukan bapak Lo. Nama gue Antariksa. Panggil gue Anta, sulit ya?” ketus pria berumur tiga puluh dua tahun itu tanpa filter, yang mengakibatkan gerakan tangan Leon menjadi frezz, membeku saudara-saudara.
“T-tidak. S-saya cuma ingin menghormati—”
“Gue bukan tipikal manusia gila hormat.”
Astaga. Ingin sekali Leon menepuk mulut pria itu dengan centong nasi yang sedang ia genggam. Nafas berembus samar setelah Leon berhasil melawan gejolak emosi yang membuat darahnya mendidih. Ia lantas melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda. Ia ingin memperkenalkan masakan buatannya didepan Anta. Tidak mendamba pujian, hanya saja semoga Anta suka.
“S-saya masak soto daging pagi ini. Semoga pak—, maksud saya, semoga suka.”
Antariksa menerima piring berisi nasi yang takaran porsinya lumayan banyak. Seumur hidupnya—lagi, dia tidak pernah makan sebanyak itu. Lantas ia juga menatap piring milik Leon yang sudah terisi oleh nasi. Dan sesuatu yang mengejutkan membuatnya membolakan mata.
Leon itu manusia, bukan singa, dan dia juga seorang wanita. Tapi mengapa porsi makanan di sana lebih banyak darinya?
Mata Anta berkedip cepat saat Leon bertanya, “Kenapa melihat piring saya seperti itu?”
Anta mengalihkan tatapan matanya lalu menggigit bibir bawahnya. “Kamu makan sebanyak itu?” tanyanya penasaran. Pasalnya, Amanda tidak pernah terlihat makan sebanyak itu. Perempuan bernama Amanda itu lebih elegan dan berkelas, berbanding terbalik dengan perempuan yang ada didepan matanya.
“Memangnya kenapa?” tanya Leon heran. “Apa anda tidak pernah melihat perempuan makan seperti saya?”
Speechless. Anta kehilangan semua kata-kata, hanya bisa menatap lurus wajah Leon yang tidak ada sama sekali raut bersalah.
“Saya kasih tau nih pak Anta. Makanan itu penyokong tenaga dan isi kepala. Jadi, kalau perut kita kenyang, pasti akan membuat otak berfikir serta berfungsi dengan baik. Selain itu, energi yang ada dalam tubuh kita pasti akan bertahan lama. Beda dengan—”
“Nggak usah ceramah. Mana soto daging yang sedari tadi kamu bangga-banggain?”
Leon sedikit kesal, karena Antariksa ini hobi sekali memenggal kalimatnya. Selalu saja ucapnya di putus di akhir kalimat yang seharusnya menjadi point pelengkap.
“Ah, ini.” kata Leon spontan mengambil spatula khusus kuah dan bergerak mendekat ke arah samping Anta berada. Tapi sebelum itu, dia meletakkan beberapa pelengkap lain diatas nasi milik Antariksa seperti: kecambah, bawang goreng, seledri, dan sepotong kecil jeruk nipis, agar rasa kuahnya lebih segar.
“Segini cukup?” tanya Leon setelah memeras potongan jeruk nipis ke dalam cekungan sendok, lalu meletakkan sambal di tepian piring. Anta mengangguk. Berlanjut Leon menuang kuah berwarna kuning itu diatas air perasan jeruk nipis agar tercampur. Lalu mengambil beberapa potong daging dari dalam panci dan meletakkan diatas bahan pelengkap. “Selamat makan, semoga suka.” katanya ceria. Dia tidak pernah melupakan motto tentang makanan. Penuh hati, cinta dan perasaan.
Ia duduk kembali ke kursi tanpa memutus tatapan matanya ke arah Anta yang sekarang terlihat menyuapkan nasi ke dalam mulut. Antusias terpancar di kedua matanya hingga menimbulkan binar kebahagiaan saat melihat ekspresi wajah Antariksa yang baik-baik saja.
“Bagaimana rasanya?”
Anta berhenti mengunyah, lalu menyorot Leon yang sedang berbinar menunggu jawaban.
“Biasa saja.”
Mendengar jawaban Anta, senyuman Leon memudar perlahan-lahan. Tapi, meskipun kecewa, Leon tetap berusaha tersenyum. Ia menunduk dan mengambil kuah untuk ia sendiri. Tapi,
“Rasa kuahnya pas. Lain kali, jangan terlalu banyak sambalnya. Gue nggak bisa makan pedes.”
Ternyata, si soto daging rasanya biasa saja gara-gara sambal, pemirsah. []
...To be continue...
...🌼🌺🌼...
Hola.
Ke pasar beli kelapa, eh si pak Anta bikin ulah. Wkwkwk
Maaf pari'annya jelek. But, semoga terhibur dengan kebersamaan hari ketiga pernikahan mereka.
See you next bab
Jangan lupa untuk dukungannya buat Si 🐫 dan Si 🦁 ya ... 🤭
Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!