NovelToon NovelToon

Mendadak Menikah

Pertanyaan angker.

VISUAL

1. Demian Akira Wijaya

.

.

.

.

2. Sarah Clevery Nugraha

*****

Sarah Cleverly Nugraha. Gadis cantik dan rupawan yang saat ini sukses menarik perhatian banyak lelaki di sekitar meja yang sedang dia tempati. Laki-laki yang sedang duduk sendirian maupun yang sedang duduk bersama kekasih atau istrinya seakan tidak mampu menahan mata liarnya untuk tidak mencuri pandang ke arah meja Sarah secara terang-terangan.

Gadis cantik mana yang datang ke kafe seorang diri hanya untuk menikmati secangkir kopi? Apa dia tidak takut dengan pria-pria hidung belang yang sedari tadi mencoba menawarkan diri untuk menemaninya? Batin mereka.

Tentu saja Sarah gemetar duduk berlama-lama di sana. Jika bukan karena Grasian memintanya untuk menunggu sebentar lagi, sudah pasti Sarah akan cabut sejak setengah jam yang lalu. Dia sudah muak melihat wajah pria-pria lintas generasi yang sedari tadi melempar senyum nakal padanya. Ahh... entah sejak kapan Grasian lupa bahwa Sarah adalah penganut 'on time' garis keras.

"Halo, Sayang. Maaf aku terlambat," suara bas yang begitu dikenali Sarah membuat wajah gadis itu otomatis mendongak. Pria dengan tubuh tinggi berwajah tampan kini berdiri di sebelahnya, seraya menghadiahi sebuah kecupan di puncak kepalanya.

"Tidak apa-apa, Sayang. Aku senang kau datang. Aku sudah muak menghitung berapa banyak pria yang ingin duduk di depanku. Kurasa sepuluh jari tangan ditambah sepuluh jari kakiku pun masih kurang, jika kau ingin tahu," tandas Sarah seakan-akan ingin melepas kekesalannya sambil menyindir Grasian. Sekilas dia melirik pria-pria hidung belang di sekelilingnya. Semuanya sudah kembali fokus pada pasangan masing-masing.

Grasian tersenyum sambil mengambil duduk di sebelah Sarah. Ia melihat kekesalan di wajah cantik kekasihnya itu. Pria itu pun menarik pundak Sarah untuk mendekat padanya.

"Aku merindukanmu," ucapnya pelan sambil menempelkan pipinya di atas kepala Sarah seolah tidak peduli dengan keketusan gadis itu barusan. Adegan mesra itu lagi-lagi berhasil menjadi bahan perhatian orang di sekeliling mereka.

"Aku juga, Sayang. Tapi kenapa baru bisa meluangkan waktumu sekarang? Dua minggu ini kau kemana?"

"Maafkan aku. Di kantor lagi ada kasus yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, gaji seluruh karyawan akan ditangguhkan untuk sementara."

Sarah menarik sedikit dirinya hanya untuk melihat wajah pria itu. "Kasus apa yang membuat gaji karyawan jadi taruhannya?"

"Korupsi. Besar-besaran. Pelakunya komplotan. Orang dalam semua. Tapi sampai sekarang yang mengaku baru tiga orang saja. Yang lain masih bertahan untuk bungkam."

"Lantas, yang tidak terlibat akan ikut menanggung resiko? Tidak adil, Gras," Sarah mengerutkan keningnya. Begitulah Sarah. Dia sangat peka dan cukup antusias setiap mendengar ketidakadilan. Menurutnya keputusan Grasian sungguh tidak masuk akal dan tidak manusiawi.

"Sar, orang-orang yang tidak terlibat itu pada tahu siapa pelakunya, tapi memilih bungkam dan tidak mau bersaksi karena diancam pelaku. Penangguhan gaji adalah satu-satunya jalan agar orang-orang itu mau buka suara. Mana mungkin mereka rela tidak gajian demi melindungi teman," jelas Grasian tenang.

"Tapi bisa jadi ada orang yang benar-benar tidak tahu apa-apa. Bagaimana? Haruskah dia menjadi korban juga?"

Grasian menatap manik hitam Sarah yang kini sangat menanti jawabannya. Sepertinya pria itu salah besar sudah menceritakan tentang kasus itu kepada Sarah. Seharusnya dia tahu Sarah akan kontra padanya. Sekarang dia jadi kehilangan waktu untuk bermesraan dengan kekasihnya itu karena obrolan mereka sudah pasti akan semakin panjang. Padahal tujuannya ingin bertemu Sarah adalah ingin melepaskan penat yang ia rasakan selama dua minggu ini.

"Hm... bagaimana kalau kita bahas itu lain kali, Sayang? Aku sudah lapar," Grasian mencolek hidung Sarah sembari melepaskan rangkulannya. Dia tahu Sarah belum puas. Lebih tepatnya tidak akan puas selama wajahnya masih ditekuk seperti itu.

"Aku sarankan kau mempertimbangkannya lagi, Gras. Bagaimana pun akan ada saja yang benar-benar polos dan tidak bersalah. Masak kau tega membuat dia menderita juga?" Sarah menasehati sambil menyodorkan buku menu pada Grasian. Pria itu tidak menyahut, hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Tentu saja bukan itu yang Sarah mau. Tapi jika Grasian sudah memutus rantai obrolan, maka itu artinya dia pun harus menyudahinya.

Grasian membolak-balik menu sambil meracau tentang perutnya yang sudah keroncongan. Padahal tadi sore dia sudah makan cemilan setelah meeting selesai, entah kenapa cacing-cacingnya sudah berontak minta dikasih makan lagi.

"Pekerjaanmu bagaimana? Minggu depan jadi ke Surabaya dengan Demian?" tanyanya di sela-sela penantian pesanan makanan mereka datang.

"Oh iya, jadi. Hampir saja aku lupa memberitahumu. Aku izin ya, Sayang? Hanya tiga hari kok," Sarah mengelus jemari Grasian yang kini berada dalam genggamannya. Sarah memang sedikit pelupa jika menyangkut dirinya, tapi sangat pengingat jika itu tentang orang lain. Grasian sangat hafal itu dan dia sudah memakluminya. Oleh karena itu, tidak jarang dia yang bertanya duluan ke Sarah tentang jadwal gadis itu. Jika tidak, gadis itu akan selalu mengabarinya di detik-detik terakhir.

"Iya, bekerjalah dengan baik. Aku akan bilang ke Demian agar menjagamu selama di sana," balas Grasian sambil mengelus puncak kepala Sarah. Ia pun menyebutkan nama direktur Sarah itu lagi. Kebetulan Grasian memang mengenal Demian, bosnya Sarah itu. Mereka pernah bertemu saat ada event besar yang diselenggarakan perusahaan Demian. Sarah yang kebetulan mengajak Grasian hadir saat itu, memperkenalkan kekasihnya itu kepada Demian. Sejak saat itu Grasian dan Demian terlihat akrab di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Bahkan mereka sampai bertukar nomor telepon.

"Kau akan mengantarku ke bandara?"

"Beritahu saja jam keberangkatan kalian. Aku akan mengosongkan jadwalku," Grasian kembali membuat hati Sarah tenang dan senang. Sepertinya frekuensi perjumpaan mereka yang semakin jarang saat ini membuat Sarah sering kesepian dan sangat merindukan kekasihnya itu. Itu sebabnya malam ini dia rela menunggu lama hanya untuk melihat wajah tampan yang sudah dua minggu lebih menghilang dari hadapannya. Bahkan dia pamit pulang lebih awal kepada Demian agar dia bisa mandi dan berias terlebih dahulu. Dia selalu ingin tampil cantik di depan Grasian.

"Baiklah. Sepertinya aku akan merindukanmu meskipun hanya tiga hari di sana. Bahkan sekarang pun aku sudah merindukanmu," rayu Sarah sambil bergelanyut manja di pundak Grasian. Pria itu ingin membelai kepalanya, namun segera diurungkan karena pegawai kafe yang tiba-tiba datang mengantarkan pesanan mereka.

"Lebih baik kita makan dulu, Sayang," ujar Grasian sambil memperbaiki posisinya. Sarah pun mengikuti.

Mereka menikmati makanan sambil membahas hal-hal yang mereka alami selama dua minggu terakhir. Tentang keluarga, tentang pekerjaan, tentang topik yang sedang trending di Twitter juga Instagram.

Namun keharmonisan mereka mendadak hilang ketika Sarah lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang sejak dulu selalu berusaha dihindari Grasian.

"Oh ya, Sayang. Mama nanyain aku lagi nih. Ditanya kita kapan nikahnya?"

Sendok di tangan Grasian berhenti bergerak. Juga gerakan rahangnya. Mood -nya terjun bebas seketika. Sorot matanya yang sejak tadi bersahabat dan berbinar penuh cinta, kini berubah gelap sebagaimana setiap kali Sarah menanyakan pertanyaan angker tersebut.

"Tahun ini umurku dua-puluh-sembilan, Gras. Menurutmu berapa tahun lagi harus kuhabiskan denganmu tanpa sebuah kejelasan?"

Bukan jawaban yang didapatkan Sarah, melainkan gerak cepat Grasian untuk meneguk air mineralnya, lalu bangkit berdiri sambil menyambar ponsel serta kunci mobilnya. Kemudian beranjak pergi meninggalkan Sarah tanpa sepatah kata pun.

Sarah hanya bisa memandang punggung Grasian yang semakin lama semakin menjauh, lalu hilang di balik tembok pembatas kafe.

Gadis itu menghembuskan napas kuat. Mengembang-kempiskan pipinya berulang kali demi mencegah butiran bening lolos dari bola matanya. Dia tidak ingin jadi bahan tontonan lagi.

Mama, sepertinya aku akan menjadi perawan tua. Batinnya sedih.

*****

Hai hai readers...

Perkenalkan, ini novel ke tigaku 🤗🤗

Novel ku yang pertama dan kedua sudah tamat, sudah pada baca belum? 🤗

Yang mau singgah, silahkan singgah yaa, dijamin suka sama ceritanya.

Semoga novelku yang ke tiga ini pun bisa mencuri perhatian kalian ya...

Selamat membacaa 🤗🤗🤗

Syarat mutlak.

Saat sudah duduk di kursi kebesarannya di kantor, itu artinya Sarah harus menyimpan rapat semua urusan pribadinya dan kembali ke mode settingan-nya sebagai seorang sekretaris. Sarah yang enerjik, sarah yang cekatan, sarah yang cerewet, Sarah yang tidak bisa diam, Sarah yang perfeksionis. Sekali pun ada persoalan pribadi yang sedang berkecamuk di dadanya saat ini, dia selalu berhasil menyembunyikannya dan membuatnya selalu terlihat sempurna di mata semua orang.

Orang-orang mengira Sarah adalah gadis cantik dengan sejuta keberuntungan di dalam hidupnya. Punya pekerjaan yang bagus, keluarga yang harmonis, kekasih yang tampan juga kaya raya. Tidak sedikit pula teman kantornya menaruh rasa iri kepadanya karena dia juga setiap hari bisa berdampingan dengan Direktur tampan dan muda seperti Demian. Sarah punya segalanya. Itulah yang orang-orang ketahui.

Namun tidak satu pun yang tahu jika kehidupan asmaranya tidak seindah yang ada di dalam pikiran mereka. Grasian bahkan belum berani memberikan kepastian atas hubungan mereka yang sudah terjalin selama empat tahun lamanya itu. Padahal usia Grasian pun sudah tiga-puluh-dua. Entah kenapa pria itu tak kunjung berani melamarnya. Pria itu juga belakangan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang dengannya. Kencan sekali dua minggu adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan saat ini. Bahkan bisa jadi lebih lama dari itu. Sarah juga sudah lupa apa rasa ciuman mereka, karena Grasian sudah terlalu lama tidak menyentuhnya.

Tidak banyak juga yang tahu jika hubungan ayah dan ibunya tidak se harmonis yang sering mereka tampilkan di khalayak ramai. Ayahnya adalah pria berwatak keras yang tidak jarang membuat ibunya menangis diam-diam di kamar mandi. Sejak kecil Sarah sering memergoki wanita paruh baya itu bersembunyi dan meluapkan sakit hati kepada suaminya. Sungguh hebat jika ayah dan ibunya masih sanggup bertahan hingga saat ini, membesarkan Sarah dan kakak laki-lakinya, Yonathan, yang kini sudah berkeluarga di Singapore.

Pekerjaan Sarah yang kata orang-orang adalah pekerjaan yang paling menyenangkan hanya karena bisa berdampingan dengan Demian setiap saat, nyatanya tidak jarang membuat dirinya frustasi dan tertekan. Dia perfeksionis, namun Demian jauh jauh lebih perfeksionis. Demian tidak mentoleransi kesalahan se-kecil apa pun. Meskipun Sarah bilang tidak disengaja, tetap saja Demian akan mengamukinya. Oleh karena itu, Sarah harus terlatih untuk menjadi sempurna demi Demian. Jika bukan karena Demian adalah sahabat baik kakaknya, dia tidak akan betah berlama-lama di perusahaan itu.

Intercom di meja Sarah berbunyi, membuat jemari panjangnya berhenti menari di atas keyboard PC.

"Sar, ke sini sebentar," suara Demian terdengar pelan namun bernada memerintah. Membuat Sarah langsung berdiri hanya dalam hitungan detik.

Ah iya ... 'Sar' adalah panggilan akrab Demian kepadanya. Karena Sarah adalah adik dari sahabatnya, Demian merasa tidak perlu terlalu formal jika berkomunikasi berdua saja dengan Sarah. Cukup ketika berada di lingkungan formal saja dia memanggil Sarah dengan embel-embel 'Ibu' atau 'Nona'.

Sarah mengetuk pintu ruangan Demian dan suara berat dari dalam mengizinkannya untuk masuk.

"Anda memanggil saya, Pak?" tanyanya sopan, tepat di depan meja pria yang sedang bertopang dagu itu. Saat sarah masuk, Demian sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar Mac Book-nya.

"Kontrak kerja sama dengan Pak Joseph sudah di email ke saya, Sar?"

"Sudah, Pak. Apa ada kendala, Pak?" tanya Sarah seakan sudah paham arah pertanyaan Demian hanya dengan melihat raut wajah pria itu

"Beliau minta naik plafon. Tapi aku harus menganalisa kemungkinannya dulu. Jika sudah selesai, aku akan info ke kamu plafon akhirnya berapa."

"Baik, Pak. Saya tunggu. Oh iya, jam sebelas nanti kita ada jadwal bertemu dengan Gottardo Group. Saya sudah atur pertemuan di restoran Cina favorit Bapak. Saya akan siapkan semua dokumen untuk pertemuannya. Apa ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?"

"Tidak ada dan remind saya jam sebelas kurang sepuluh. Kau sudah bisa keluar," kali ini Demian menyempatkan untuk melirik Sarah sebentar dan melemparkan senyum kecil.

Sarah mengangguk dan menundukkan kepalanya sedikit untuk berpamitan keluar dari ruangan itu.

"Eh, Sar ...!" belum sempat Sarah menyentuh gagang pintu, Demian sudah memanggilnya lagi. Membuat gadis itu harus berbalik dan kembali maju beberapa langkah mendekati meja pria itu.

"Iya, Pak? Masih ada yang bisa saya bantu?" tanya Sarah seraya tersenyum. Demian memang sering sekali menginterupsi langkahnya. Sebenarnya dia sudah memberikan kesempatan bagi Demian setiap kali dia menanyakan 'ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?' atau 'ada lagi yang bisa saya bantu?' agar dia tidak harus bolak-balik ke hadapan bos-nya itu. Namun laki-laki itu seakan menolak untuk mengerti dan tetap mengulanginya hingga saat ini.

"Keperluanku ke Surabaya nanti sudah lengkap?"

Benar kan? Pertanyaan ini bahkan bisa dia tanyakan nanti di sela-sela jam santai kerja. Misalnya saat sedang dalam perjalanan menuju restoran. Meskipun demikian, ingatan Sarah tetap saja melayang dengan cepat ke sebuah koper besar yang ada di dalam kamar pribadi Demian yang ada di ruangan ini. Perlengkapan pribadi dan keperluan pekerjaan selama tiga hari di Surabaya, semuanya sudah tersusun rapi. Tinggal bawa saja.

"Semua sudah beres, Pak. Tinggal diangkut saja," Sarah membuat huruf 'O' dari jari jempol dan telunjuknya. Tidak lupa senyum kecilnya dipasang sebagaimana biasanya.

"Baiklah. Aku tidak perlu meragukanmu. Oh ya, Grasian tadi meneleponku," Demian memberitahu sambil memangku kedua tangannya di dada, lalu menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. Sorot matanya tidak lepas dari sosok Sarah yang tidak jauh dari dirinya. Mendengar nama kekasihnya disebut, membuat gadis itu sedikit kaget. Jarang-jarang Demian membahas urusan personal di kantor.

"O ... oh? Menelepon Bapak? Seharian ini dia belum menelepon saya. Bapak pasti berbohong kan?"

"Ohya? Kalian sedang ada masalah?" celetuk Demian santai sambil meluruskan tangan kanannya untuk meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Mengutak-atiknya sebentar, lalu menyerahkannya kepada Sarah.

Sarah menerima benda itu dengan sopan. Demian sudah membuka log panggilan teleponnya. Nama Grasian tertera dengan history panggilan masuk berdurasi sepuluh menit. Demian tidak berbohong dan itu membuat Sarah sedikit gemas. Apa yang mereka bicarakan? Apakah tentang dirinya? Apa wajar jika dia bertanya kepada Demian tanpa membuat dirinya terkesan ingin tahu urusan orang lain?

"Oh ..." Sarah menyerahkan kembali ponsel itu kepada Demian. Sebisa mungkin dia menahan perubahan ekspresi di wajahnya. Kalau tidak, Demian akan mendapat jawaban atas pertanyaannya barusan, yang 'kalian sedang ada masalah?'. Tentu saja ada.

"Kau tida bertanya apa yang kami bicarakan sampai sepuluh menit lamanya?"

Sarah cepat-cepat menggeleng. Membuat tawa kecil keluar dari bibir seksi pria itu.

"Oh, padahal aku ingin memberitahunya," balas Demian lagi sambil mengusap-usap dagunya yang dipenuhi janggut tipis. Biasanya dia tidak tertarik dengan urusan orang lain, tapi mendengar curhatan Grasian tadi, dia jadi ingin mendengar penjelasan versi sekretarisnya itu.

"Tidak usah, Pak. Terimakasih. Saya masih punya banyak pekerjaan di depan. Permisi."

Sarah membalikkan tubuhnya dengan cepat dan buru-buru membuka pintu lalu menghilang dari hadapan Demian yang hanya bisa menganga. Berani sekali Sarah meninggalkannya tanpa permisi.

"Sarah, aku belum selesai. Ke sini!" dia memanggil Sarah lagi dengan intercom -nya. Membuat Sarah yang baru saja menempelkan bokongnya di kursi mengeluh dan mengepalkan tangannya. Kalau itu mengganggu privasinya kan dia berhak untuk tidak menjawab?

"Maaf, Pak. Saya harus mempersiapkan berkas untuk jam sebelas. Sebaiknya anda juga bersiap-siap karena ini sudah pukul sepuluh lebih," Sarah melirik jam analognya sebentar, "dua puluh menit," lanjutnya.

Sarah mematikan sambungan intercom tanpa menunggu jawaban Demian. Biarlah dia dikira tidak sopan. Tapi dia juga tidak bersedia membahas urusan pribadinya dengan direkturnya itu. Meskipun Demian adalah teman kakaknya, Sarah tetap saja menganggapnya sebagai atasannya. Tidak lucu kan kalau kau dan bos-mu mengobrol perihal hubungan asmaramu sendiri? Tapi kenapa Demian begitu ingin menceritakan isi pembicaraannya dengan Grasian? Apa benar mereka membicarakan Sarah?

Demian tersenyum kecil mendengar warning dari Sarah. Dia pun menggelengkan kepalanya guna menghilangkan niat usil tadi dari kepalanya. Lalu dia memperbaiki posisinya dan kembali melihat layar Mac Book. Dia kembali melanjutkan analisanya terhadap perusahaan Joseph. Hm ... haruskah dia menyetujui permohonan itu? Sepertinya tidak akan merugikan siapa pun.

*****

Demian dan Sarah sudah berada di dalam mobil yang akan mengantarkan mereka menuju restoran Cina tempat mereka akan bertemu dengan klien besar mereka. Sarah yang duduk di sebelah Demian di kursi belakang kembali menjelaskan secara singkat profil perusahaan Gottardo Group dan tender yang akan mereka bicarakan.

"Yang akan bertemu dengan kita siang ini adalah direktur utama Gottardo Group, Bapak Halim Subagio. Beliau sangat tertarik untuk menjadikan kita sebagai salah satu kandidat dalam tender yang mereka buat karena peluang profit yang cukup besar. Berdasarkan pembicaraan saya dengan perwakilan Pak Halim, beliau ingin bertemu dengan Pak Demian secara langsung karena Pak Halim adalah putra dari Bapak Hendry Subagio, rekan bisnis ayah anda puluhan tahun yang lalu. Jadi beliau ingin lebih cepat akrab dengan Bapak," jelas Sarah sebentar. Lalu dia membolak-balik lagi kertas yang ada di dalam map yang ia pegang.

"Adapun tender yang akan kita bahas siang ini adalah tender pembangunan Gottardo Hospital yang akan diadakan serentak di limapuluh kota besar. Berdasarkan info dari perwakilan Pak Halim juga, saya mengetahui jika Bapak Halim sebetulnya sangat ingin memberikan kontrak ini secara langsung kepada kita, namun karena ada satu syarat yang jadi kendalanya, mau tidak mau Pak Halim terpaksa membuka tender ini untuk umum."

"Satu syarat? Apa itu? Apa yang tidak kita punya?" harga diri Demian sedikit terluka karena perusahaannya yang nyaris sempurna ini ternyata memiliki satu kekurangan di mata Halim Subagio yang berpotensi membuat sebuah tender besar akan melayang begitu saja. Lagian, dari sekian banyak tender dan kontrak kerja, Demian selalu bisa memenangkannya karena dia dan perusahaannya tidak memiliki cacat apa pun. Lalu mengapa kali ini Gottardo Group seakan-akan menemukan satu kelemahannya?

"Ehm ... itu," Sarah tidak melanjutkan kata-katanya. Dia justru tergelak kecil sambil menutup mulutnya dengan map, membuat Demian mengerutkan kening. Jika Sarah saja masih mampu tertawa karena syarat itu, berarti itu bukan sesuatu yang krusial, batinnya. Lantas apa?

"Katakan, Sarah!" bentak Demian tidak sabaran.

"Bapak baca saja sendiri, saya tidak tega," Sarah menyodorkan lembaran penting itu ke hadapan Demian sembari masih menahan tawa.

Demian menaikkan satu alisnya melihat tingkah Sarah. Dia semakin penasaran dengan syarat misterius itu. Cepat-cepat dia meraih lembaran itu dan membacanya dari atas.

Tuk ... tuk ...

Sarah mengetuk kertas itu tepat di poin penting yang harus Demian baca, sehingga pria itu tidak perlu membuang waktu untuk membaca keseluruhan dari awal.

Seperti dugaan Sarah, Demian marah besar. Pria itu meremas kertas itu dan melemparnya dengan keras ke lantai mobil. Caci maki keluar dari mulutnya karena lagi-lagi harga dirinya seperti diinjak-injak. Sarah hanya bisa diam sambil menyembunyikan tawanya, menunggu sampai kekesalan Demian reda.

"Br*ngsek! Apa yang salah dengan pria single, hah?" Sarah bahkan menjadi tempat pelampiasan amukan Demian. Namun karena ini bukan yang pertama kalinya, Sarah tidak perlu memasukkannya ke hati. Dia hanya harus menahan diri supaya jantungnya tidak copot mendengar suara Demian yang meledak-ledak.

"Batalkan pertemuan ini. Aku sudah tidak mood," perintah Demian kemudian sambil memperbaiki jasnya, bersandar lalu menyilangkan kaki. Raut wajahnya sudah tidak bersahabat. Sarah sangat paham arti raut wajah itu.

"Tapi Pak Halim sudah dalam perjalanan menuju restoran, Pak. Apa tidak lebih baik kita bertemu saja dulu? Barangkali perbincangan kalian menemukan titik cerah," saran Sarah dengan suara yang begitu lembut. Begitu pengertian.

"Tidak perlu. Biarkan dia mencari orang lain," sanggah Demian cepat. Matanya menatap tajam ke luar jendela. Peraturan yang sangat tidak masuk akal. Seakan-akan pria single tidak akan se-kompeten pria yang sudah berkeluarga dalam mengelola sebuah proyek. Sungguh menyebalkan.

"Tapi saya penasaran loh, Pak. Kalau saja tender itu jatuh di tangan kita, itu juga menjadi sebuah peluang besar untuk kita bisa mengembangkan sayap ke seluruh pelosok negeri," Sarah masih belum ingin menyerah. Cukup beberapa kalimat lagi Demian juga akan menyerah seperti biasanya.

"Kau saja yang turun, Sar. Aku tunggu di mobil ..."

Sedikit lagi, Sarah. Ayo pikirkan kata-kata apapun itu! Batin Sarah.

"Ehm ... tapi tadi saya sudah mengkonfirmasi kalau Bapak juga ikut. Bapak nggak takut dicap tidak profesional?"

"Hal seperti itu sudah biasa dalam dunia bisnis. Pak Halim pasti akan mengerti," Demian pun masih teguh pada pendiriannya. Jika Sarah bersikuku ingin tetap bertemu dengan orang tidak jelas itu, maka dia tidak akan melarang. Hitung-hitung dia akan tetap mendapat informasi dari Sarah tanpa harus turun tangan.

"Hmm ... ya sudah, saya akan menemui beliau sendiri. Tapi tolong handphone Bapak stand by ya. Saya takut nanti terjadi sesuatu diluar perhitungan saya."

Wajah Demian berbalik dengan cepat ke arah Sarah. Mengapa dia bisa lupa kalau sekretarisnya itu selalu menjadi pusat perhatian semua tamu-tamunya? Tidak jarang calon klien mereka memujinya secara terang-terangan dan mengajaknya kencan dengan berkedok urusan bisnis. Meskipun Sarah risih dengan perkataan frontal pria-pria dewasa itu, dia biasanya mampu bersikap santai dan tidak terpengaruh. Oleh karena itu jugalah Demian tidak pernah membiarkannya bertemu klien laki-laki sendirian. Seperti halnya hari ini. Hampir saja Demian lupa.

"Ya sudah, aku ikut masuk," putus Demian kesal. Dia membuang napasnya kasar sambil merapikan kembali posisi duduknya. Dia kalah lagi!

Sarah tersenyum penuh kemenangan. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok mobil yang empuk. Menyilangkan kedua kakinya dan memeluk tangan di dada. Persis meniru gaya duduk Demian. Meskipun Demian galak, tapi dia selalu menepati janjinya pada Yonathan, kakak Sarah. Demian berjanji akan menjaga Sarah selama gadis itu bekerja di perusahaannya. Ah, kali ini dia harus berterimakasih pada Yonathan. Sungguh, Sarah sangat ingin tender besar itu jatuh ke tangan Demian.

*****

NB : Jangan lupa dukungannya lewat like, comment dan vote yah. I love you 🥰🥰

Kandidat terbaik.

Mobil Demian berhenti tepat di pekarangan rumah besar yang tidak lain adalah milik orangtuanya. Dari luar dia bisa melihat suasana di dalam rumah masih terang benderang. Itu artinya orangtuanya belum tidur. Demian melirik jam tangannya, sudah jam sepuluh malam. Demi membicarakan hal yang katanya sangat penting dengannya itu, kedua orang tua paruh baya itu bela-belain belum masuk ke kamarnya.

Demian turun dari mobilnya. Menekan tombol remote dan berjalan menuju pintu utama dengan langkah sedang. Sudah satu bulan dia tidak pulang ke rumah besar ini. Pekerjaannya yang banyak membuatnya lebih suka menetap di apartemen fasilitas perusahaan. Kebetulan apartemen itu cukup dekat dengan kantor, jadi saat dia lembur tidak terlalu masalah karena dia tidak perlu pulang jauh-jauh.

Demian tidak perlu menunggu lama sesudah dia menekan bel karena seorang asisten rumah tangga sudah langsung membukakan pintu besar itu untuknya. Demian menyapa ramah orang itu sambil menanyakan keberadaan orangtuanya.

"Demian!" tahu-tahu yang ditanya sudah muncul di hadapannya dan meneriakinya seperti anak yang hilang bertahun-tahun lamanya. Mariana, ibunya, langsung menghambur memeluknya.

"Bisa mama kurangi kebiasaan berteriak seperti itu? Nanti orang mengira ada apa-apa di rumah ini," protes Demian sambil balas memeluk mamanya. Wanita tua itu masih tetap cantik meskipun usianya sudah hampir menginjak enam puluh tahun.

"Memang ada apa-apa kan? Anak kandung mana yang lupa pulang ke rumah selama satu bulan lamanya??" balas Mariana sengit sambil menggamit lengan anak lajangnya itu menuju ruangan keluarga. Disana suaminya, Gilbert, sudah menunggu Demian.

"Sepertinya memang topik pembicaraan kita sangat penting sampai-sampai pria tua ini pun belum tidur, padahal sudah jam segini," canda Demian sambil memeluk papanya. Tidak ada sedetik kepalanya sudah dapat jitakan dari orang yang disebutnya 'pria tua' itu. Namun begitulah cara mereka bercanda. Demian dan Gilbert memang cukup dekat dan saling menyayangi sebagaimana hubungan ayah dan anak yang harmonis.

"Tentu saja penting. Ini genting, Dem! Duduk dulu," Gilbert mempersilahkan Demian duduk. Mariana pun ikut ambil posisi di sebelah Demian. Seorang asisten rumah tangga meletakkan minuman dan cemilan di hadapan Demian.

"Kata Hendry tadi kau bertemu anaknya, Halim. Betul?" Gilbert memulai dan langsung to the point. Dia menyebutkan nama sahabatnya, Hendry Subagio yang merupakan owner Gottardo Group.

"Oh si kam*ret itu?" respon Demian cepat. Dia masih kesal mengingat hasil pertemuan mereka tadi siang. Halim sama sekali tidak mengizinkan Demian menawar persyaratannya supaya bisa berpartisipasi dalam proyek besar itu dengan status single-nya.

"Hus! Jaga bahasamu, Demian! Halim itu masih jauh lebih tua dari kamu!" Gilbert sedikit terkejut mendapat reaksi kasar dari Demian.

"Papa pasti tahulah kenapa aku kesal," balas Demian acuh. Sudah pasti papanya tahu perihal tender dan syarat mutlaknya itu. Kalau tidak, papanya tidak mungkin sampai memanggilnya ke rumah segala. Biasanya juga bisa lewat telepon.

"Iya, papa dan mama tahu. Pasti kau kesal karena tidak bisa ikut tender itu kan?"

Benar kan? Mereka sudah tahu. Lalu apa tujuan mereka sekarang? Pikir Demian penasaran.

"Jelas kesal dong, Pa, Ma. Baru kali ini ada proyek tender yang punya peraturan aneh seperti itu. Kalau bukan karena Sarah, tadinya aku malas bertemu dengan mereka."

Gilbert dan Mariana saling bertukar pandang. Demian memang sangat sensitif jika menyangkut status pernikahan. Di usianya yang ke-tiga-puluh-tiga tahun sekarang pun dia masih suka kebakaran jenggot jika ditanya kapan menikah. Orangtuanya saja sampai menyerah dan membiarkan Demian membuat keputusannya sendiri.

"Tapi apa kamu nggak ngerasa sayang kehilangan kesempatan besar itu, Nak?" Mariana bertanya lembut lagi. Sejujurnya dia dan suaminya sangat ingin Demian bisa memegang proyek itu. Kesempatan yang seperti itu jarang sekali ada dan sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja.

"Ya sayang dong, Ma. Tapi pak Halim nggak mau merubah persyaratannya. Padahal aku sudah membuat penawaran bagus jika dia mau memakai kita. Apa Om Hendry nggak mau bantuin, Pa?" kini Demian berharap sahabat papa nya itu bisa membantunya. Setidaknya beliau mau bicara dengan Halim.

"Sebenarnya justru Hendry pun tidak bisa mengganggu gugat persyaratan Halim. Tadi juga dia menelepon karena sangat kesal dengan perbuatan anaknya. Tapi tadi Hendry mengusulkan kalau kamu menikah saja sekarang. Katanya Halim masih memberi toleransi untuk itu," jelas Gilbert mengulangi isi pembicaraannya dengan Hendry. Entah apa tujuan Halim membuat syarat terakhir pemegang tender itu adalah seseorang yang sudah berkeluarga, Hendry juga tidak mengerti. Dia juga setuju jika proyek itu dikerjakan oleh Demian.

"Hah?? Menikah sekarang?? Papa bercanda??"

"Tidak sama sekali. Kau kan sudah lama berpacaran dengan Amber. Kenapa tidak disahkan saja sekalian?"

"Amber kan sedang bertugas di Papua, Pa. Bagaimana mungkin aku menyuruhnya pulang hanya untuk menikah? Dateline tendernya juga besok lusa. Amber mana mau disuruh pulang dadakan begitu," Demian jelas sangat tahu karakter kekasihnya. Apalagi profesi Amber sebagai Dokter yang sedang diperbantukan di sana, sangat tidak memungkinkan untuk gadis itu bisa ada di sini besok.

"Kau bisa meneleponnya malam ini, memberitahu duduk persoalannya, lalu memintanya untuk mengambil penerbangan paling pagi besok," lanjut Mariana mengusulkan. Wanita itu sangat antusias. Jika pernikahan dadakan itu bisa membuat Demian memenangkan tender sekaligus membuat anak itu segera melepaskan masa lajangnya kan bagus, batin Mariana.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku akan memikirkannya malam ini. Jika menurutku tender itu layak untuk diperjuangakan, besok aku akan menikah. Mungkin dengan gadis di pinggir jalan sekalian. Tapi kalau setelah aku memikirkannya dan ternyata itu tidak terlalu penting, aku akan melepasnya."

Putusan Demian tidak bisa diganggu gugat. Gilbert dan Mariana hanya bisa menyetujui.

"Tapi kalau kau benar-benar ingin menikah besok, Papa punya banyak kenalan yang punya anak gadis cantik yang bisa mendampingimu. Jangan sembarang caplok perempuan di pinggir jalan," pesan Gilbert sebelum Demian pergi.

"Terimakasih, Pa. Tapi tenang saja, untuk itu aku sudah punya kandidatku sendiri," jawabnya dengan wajah misterius seraya hilang di balik pintu utama.

*****

Sementara itu, di tempat lain di kota yang sama. Sarah sedang berusaha menghubungi Grasian lewat telepon genggamnya. Sedari tadi pria itu tidak mengangkat panggilan WhatsApp -nya padah statusnya selalu online. Sarah masih penasaran isi obrolan kekasihnya itu dengan Demian. Mengapa Demian sebegitu antusiasnya memamerkan log panggilannya kepada Sarah, bahkan begitu inginnya menceritakan isi obrolan mereka berdua. Sarah sangat yakin itu mengenai dirinya.

Tutttt ... tuuuttt ... tutttt ...

Percobaan yang ke enam kalinya pun tidak membuahkan hasil. Chat yang ia kirimkan juga belum dibaca oleh pria di seberang sana.

Sarah mendengus kesal. Padahal kalau Grasian yang perlu, Sarah paling cepat mengangkat teleponnya atau membalas pesannya. Bahkan gadis itu rela menghampiri Grasian jika pria itu ingin bertemu pada jam malam sekali pun. Selama empat tahun mereka bersama, baru kali ini Grasian mengabaikannya sampai se-lama ini. Ada apa dengan pria itu? Tanya Sarah heran pada dirinya sendiri.

Ponsel yang sudah ia letakkan sembarangan di sebelah bantal tiba-tiba bergetar. Sarah segera menyambarnya dan secepat kilat menggeser tombol hijau di screen, tanpa membaca nama orang yang meneleponnya.

"Gras! Kamu kemana saja? Kenapa mengabaikan teleponku hah?" semburnya cepat tanpa pikir panjang. Kekasihnya itu harus tahu kalau dia sedang marah saat ini. Bisa-bisanya pria itu membuatnya kebingungan.

"Wow ... hold on, Nona. Jadi benar kalian sedang punya masalah?"

Kedua mata Sarah terbuka lebar. Dengan cepat dia melihat layar ponselnya dan menemukan nama 'Pak Demian' tertera di sana. Sarah menepuk jidatnya dalam diam seraya mengumpat dalam hati, mencaci maki dirinya yang begitu ceroboh.

"Pak Demian? Maaf, saya kira Grasian. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara Sarah tiba-tiba sudah berubah lembut dan merdu. Entah kemana perginya amarahnya tadi.

"Hm. Aku ingin memastikan sesuatu padamu," balas Demian pelan. Suara baritonnya terdengar cukup seksi jika didengar lewat telepon.

"Memastikan apa, Pak?"

"Kamu ingin kita memegang tender rumah sakit itu?"

"Oh, jelas, Pak. Saya selalu mendukung Pak Demian. Apalagi ini kesempatan emas bagi perusahaan Bapak," jawab Sarah jujur. Saat di pertemuan dengan Halim Subagio tadi pun dia sebenarnya sangat antusias membahas tender tersebut, tapi Demian justru sebaliknya. Apakah sekarang pria itu sedang memikirkan bagaimana caranya supaya mereka bisa mendapatkan proyek itu?

"Kalau begitu, menikahlah denganku."

"Apa??? Bapak bilang apa???" mata Sarah lagi-lagi membulat. Suaranya yang tadi merendah sekarang kembali tinggi seperti sediakala. Demian pasti sedang mengigau! Batinnya.

"Besok pagi jam sembilan datanglah ke Gereja Santa Maria. Kita akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu kita akan mengurus semua berkas-berkasnya untuk diserahkan kepada Pak Halim besok lusa."

"Tidak, terimakasih, Pak. Saya tidak terlalu terobsesi dengan tender itu kok," jawab Sarah datar sambil menahan napasnya. Sekarang dia tidak tahu siapa yang gila di sini. Demian atau dirinya.

"Bukankah kau ingin menikah? Grasian bilang tante Yola sudah menanyakan kejelasan hubungan kalian berkali-kali," Demian masih berani melanjutkan penawarannya. Kali ini dia bahkan membukakan sedikit isi obrolannya dengan Grasian tadi pagi. Ah iya, Yola itu adalah mamanya Sarah. Demian jelas mengenal orangtua Sarah karena dia adalah teman Yonathan.

"Iya, Pak. Saya mau menikah, tapi dengan Grasian. Bapak benaran cuma mau tanya itu saja? Saya sudahin ya, Pak? Ngantuk."

"Baiklah. Karena kamu yang sangat menginginkan tender itu, terserah kamu saja. Saya menunggu sampai jam sebelas di Gereja yang sudah saya sebutkan tadi."

"Saya nggak mau, Pak. Besok saya kerja." klik!

Sarah mematikan sambungan telepon duluan, lalu cepat-cepat menonaktifkan teleponnya.

"Demian gila! Sembarangan saja kalau bicara!" umpatnya dalam hati. Dengan kasar dia menarik selimut dan menutup dirinya hingga sebatas dada, lalu mencoba untuk tidur.

"Ah, aku kan harus menunggu balasan chat Grasian!" dia tiba-tiba teringat dan langsung menghidupkan ponselnya kembali. Namun chat nya tetap belum dibaca oleh pria itu. Membuat hati Sarah gelisah sedikit bercampur kesal.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!