Pembisik.-whisperer. Itulah julukan yang disematkan pada Ranjun Sigh, pemuda berusia enam belas tahun berambut cokelat dengan kulit putih. Panggilan itu tidak salah, mengingat kemampuannya memang berkaitan dengan bisikan. Ranjun, siswa Akademi Diora, sekolah khusus anak-anak berbakat, memang memiliki kemampuan mendengar bisikan arwah.
Seingat Jun, panggilan akrab pemuda itu, ia memang sudah bisa mendengar bisikan-bisikan aneh sejak kecil. Mulanya ia tidak tahu bahwa makhluk-makhluk yang sering berbisik padanya itu adalah roh, atau spirit, atau arwah –ketiganya adalah entitas yang berbeda, percayalah–.
Awalnya, Jun kira semua orang juga bisa melakukannya. Karena itulah ia tidak pernah membicarakan tentang kemampuan itu pada siapa pun, termasuk orang tuanya. Meski begitu, Jun memang merasa bahwa orang-orang di sekitarnya selalu memperlakukannya dengan aneh, seolah dia tidak waras. Bahkan orang tuanya juga selalu mengucilkan pemuda itu tanpa sebab, dan hanya menyayangi kakak sulungnya saja. Ibunya bahkan pernah mengancam Jun agar tidak melakukan tindakan aneh seperti itu lagi.
Belakangan, Jun baru tahu alasannya. Rupanya ibunya adalah seorang pemilik kekuatan yang menikah dengan orang biasa. Beliau menyembunyikan identitasnya dan berpura-pura seolah tidak memiliki kemampuan spesial. Hal itu dilakukan karena kemampuan ibunya yang memang cukup berbahaya: kutukan.
Sejak saat itulah ibunya tidak mengizinkan Jun untuk memperlihatkan bakat khusus tersebut karena khawatir sang ayah akan meninggalkan keluarga mereka. Hingga akhirnya, tepat ketika Jun berusia sebelas tahun, seorang pria yang mengaku pengajar dari Akademi Diora mengetuk pintu rumah mereka. Akademi Diora adalah sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki kekuatan. Kedatangan pengajar tersebut rupanya bertujuan untuk merekrut Jun sebagai salah satu siswa di sekolah tersebut.
Begitulah akhirnya Jun memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan menjadi siswa di Akademi selama hampir lima tahun. Dan selama itu pula Jun tidak pernah pulang ke rumah untuk bertemu keluarganya. Kini, Jun yang sudah berada di tahun terakhir sekolahnya, mulai berpikir bahwa kekuatan pembisiknya mungkin tidak cukup kuat untuk menjaminnya mendapat pekerjaan sebagai pemilik kekuatan. Jun mungkin akan berakhir menjadi karyawan kantoran biasa dan harus kembali bergaul dengan orang-orang normal yang selalu mengucilkannya saat kecil.
Tidak. Jun tidak ingin mengalami hal buruk itu lagi. Sebelum lulus, dia bertekat untuk meningkatkan kemampuannya agar nantinya bisa bekerja menggunakan identitasnya sebagai pemilik kekuatan. Atas alasan itulah Jun akhirnya memutuskan untuk menyelinap kabur dari asrama sekolah.
Saat itu adalah jadwal liburan musim panas. Sebagian besar anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Jun adalah penghuni tetap di asrama selama empat tahun terakhir. Namun, tahun ini, Jun memutuskan untuk keluar dari asrama. Berbekal bantuan dari roh-roh kenalannya, Jun pun mulai berkelana seorang diri menuju tempat yang sering disebut dalam buku sejarah sihir: Oglyt.
Kota antah berantah yang tidak tercantum dalam peta itu konon menyimpan artefak sihir yang sangat kuat. Jun berambisi untuk bisa mendapatkannya, meski kisah itu hanya mitos belaka. Ia pergi hingga ke perbatasan Siderland, bahkan menyeberangi lautan dan menuju benua yang asing di luar batas wilayah.
Di sinilah akhirnya Jun berada sekarang. Setelah satu bulan penuh melakukan perjalanan, pemuda itu pun sampai di sebuah dataran tandus yang hanya ditumbuhi pepohonan kaktus dan beberapa tanaman perdu meranggas. Terik matahari membakar kulitnya yang terbungkus jaket katun tipis. Topi baseball-nya yang berwarna putih gading kini telah berubah menjadi krem kecokelatan karena debu perjalanan.
"Kau yakin tempatnya di sekitar sini?" tanya Jun saat berteduh di bawah pohon perdu meranggas yang daunnya hanya segelintir. Cahaya matahari masih bisa menembus celah-celah perdu itu, membuat kulit Jun tetap diterpa oleh panasnya cuaca yang tidak bersahabat.
"Itu yang kudengar dari hantu-hantu pengembara yang gentayangan di padang gurun ini," jawab sesosok makhluk semi transparan berwujud pria tua berturban. Tubuhnya melayang-layang setinggi dua puluh sentimeter dari atas tanah, dengan kaki yang mirip seperti asap.
"Memangnya hantu pengembara itu bisa dipercaya? Bukannya hantu pengembara itu biasanya tidak waras? Mereka saja melupakan jati diri mereka dan mengembara tanpa arah di dunia," Jun kembali bertanya, napasnya berat dan peluh membasahi seluruh tubuhnya. Cadangan airnya sudah menipis, sementara kota terdekat jaraknya mungkin sekitar sepuluh mil dari tempat itu.
"Hei, tidak ada hantu waras yang berani mendekati daerah ini. Seperti ada selubung kekuatan menyeramkan yang memenuhi padang gurun, terutama kalau kau berjalan lebih jauh lagi. Karena itulah banyak hantu pengembara di daerah sini. Kurasa itu karena mereka nekat mendekati pusat padang gurun. Kabarnya di sana ada reruntuhan yang bahkan manusia pun tidak berani mendekat," ungkap sang hantu berturban.
Jun merenung sejenak, mengamati hamparan pasir yang membentang di segala sisi. Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gunungan-gunungan pasir saja, tanpa ada tanda-tanda reruntuhan yang dibicarakan si hantu berturban.
"Kurasa itu bukan karena manusia tidak berani mendekat, tapi karena mereka tidak bisa melihat tempat yang kau bicarakan itu. Reruntuhan itu mungkin hanya bisa dilihat oleh para hantu," komentar Jun menerka-nerka.
Sang hantu berturban tampak terganggu. "Aku menolak kalau kau memaksaku ikut menjelajah lebih dari ini," tukasnya sampai pada kesimpulan yang dia pikirkan sendiri.
Jun meliriknya, lantas mendengkus kecil. "Pergilah, pergilah. Aku juga tidak butuh hantu penakut sepertimu," ujarnya sebal.
Hantu berturban itu balas mendesis kesal. Ia lantas melayang terbang menjauhi Jun sambil marah-marah dengan aksen timur-tengah. Jun, sementara itu, memilih untuk melanjutkan perjalanannya setelah minum beberapa teguk air dari botol plastiknya. Ia mungkin harus bermalam di gurun jika tidak bisa menemukan reruntuhan itu siang ini.
Meski begitu, Jun tidak gentar. Ini adalah pilihannya sendiri. Dan entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa ia sudah berada di tempat yang tepat. Mungkin, Oglyt, kota kuno misterius yang hanya legenda itu, sebenarnya sudah ada di depan matanya. Ia sudah tinggal selangkah lagi menuju akhir dari pencariannya.
Sambil menetapkan hati, pemuda itu pun melanjutkan langkahnya. Namun, belum sampai lima langkah ia meninggalkan pohon perdu meranggas tempatnya berteduh tadi, mendadak tubuhnya seperti dialiri listrik statis. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi sensasi aneh yang dirasakan oleh tubuh Jun benar-benar membuatnya tersentak kaget.
"Apa itu tadi?" serunya sambil menghentikan langkah. Pemuda itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak menemukan keanehan apa pun. Padang gurun itu tetap sama kosongnya seperti sebelumnya. Hanya desau angin dan aroma matahari yang menyengat.
Jun pun mencoba mengulurkan tangannya ke tempat yang barusan dia lewati. Dan benar saja, sensasi aliran listrik statis itu kembali terasa menggelitik telapak tangannya, diikuti rasa dingin seperti melewati dinding es transparan.
"Whoa ... ini selubung sihir," gumamnya antusias. "Sepertinya aku memang sudah berada di tempat yang benar." Jun tersenyum puas lantas kembali melanjutkan perjalanannya.
Suasana di dalam selubung sihir tidak jauh berbeda dengan area padang gurun pada umumnya. Tetap gersang, terik dan berdebu. Meski begitu, di kejauhan, Jun akhirnya menangkap pemandangan yang sudah dia cari-cari selama ini: sebuah reruntuhan bangunan tanah liat yang menyerupai kuil dan beberapa piramida yang sudah rusak sebagian.
Jun mempercepat langkahnya, berusaha agar bisa segera sampai di tujuan. Namun, semakin lama ia berjalan, reruntuhan itu justru terasa semakin jauh. Beberapa kali Jun berpapasan dengan hantu-hantu pengembara yang berseliweran tanpa arah di tengah padang gurun. Mereka terbang dengan tatapan kosong dan menggumam tak jelas.
"Benar kata si turban tadi. Bahkan hantu pun menjadi gila kalau masuk ke area ini," desis Jun yang juga sudah nyaris kehilangan kewarasan.
Pemuda itu kelelahan dan sudah kehabisan air minum sejak tadi. Namun, letak reruntuhan tetap saja bergerak menjauh. "Sialan! Bagaimana cara sampai ke tempat itu," umpatnya sembari merebahkan tubuhnya di atas pasir gurun yang panas.
Matahari sudah condong ke barat, menandakan waktu yang cukup lama sejak Jun berjalan membelah padang gurun. Rasanya sudah berjam-jam yang lalu pemuda itu melewati selubung sihir. Akan tetapi ia tidak juga sampai di tujuan.
Rasanya ia ingin menyerah. Setelah satu bulan penuh perjalanannya membelah benua, meninggalkan semua kenyamanan di Akademi dan menantang diri hingga sampai di sini, Jun benar-benar tidak ingin berhenti begitu saja. Namun, rasa lelah, haus, dan kelaparan memancing segala bentuk emosi negatif dalam dirinya.
"Apa aku akan berakhir di sini?" gumamnya pada diri sendiri. Ia merebahkan tubuhnya di atas pasir, menatap arak-arakan awan di langit senja. Matahari tidak sepanas seperti sebelumnya. Angin malam yang dingin menggigit mulai berhembus sepoi-sepoi.
Mungkin Jun akan berakhir menjadi hantu pengembara. "Tapi itu lebih baik dari pada harus kembali ke Akademi dengan kekuatan lemah seperti ini," gerutu pemuda itu menimpali pikiran buruknya sendiri.
Jun menarik napas panjang, bersiap untuk menyerah pada takdirnya. Perlahan-lahan ia menutup mata, membiarkan tubuhnya mongering di tengah padang pasir. Namun, mendadak ia merasakan sensasi aneh seperti tersedot dari dua sisi. Tubuhnya rasanya seolah ditarik ke atas dan ke bawah. Jun mencoba membuka mata, tetapi pandangannya justru memburam. Hanya cercah-cercah cahaya kecokelatan yang berkelebat di matanya. Sisanya gelap.
Jun mencoba berontak, bergerak sekuat tenaga untuk bangun dari atas pasir. Akan tetapi, tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Ia lantas mencoba berteriak, mengerang, atau apa pun yang menimbulkan suara. Sia-sia. Teriakannya teredam, erangannya hanya berupa bunyi desis yang sangat pelan.
Apa yang terjadi? Kenapa ia mengalami sensasi aneh ini tiba-tiba? Apakah Jun akan mati? Beginikah rasanya ajal? Seperti jiwa yang sedang disedot keluar dari tubuh? Beragam pertanyaan dan pikiran buruk memenuhi benak Jun. Peristiwa itu terjadi selama beberapa menit, tetapi bagi Jun, rasanya sangat lama.
Setelah pergulatan yang seolah tak berujung, tiba-tiba tubuh Jun seperti dilemparkan ke sebuah permukaan lantai batu yang keras. Seperti kemunculannya yang mendadak, sensasi tersedot yang aneh itu pun juga menghilang sama cepatnya. Kini pemuda itu sudah bisa menggerakkan tubuhnya, mengerang, serta merasakan rasa nyeri di bagian punggung yang membentur lantai batu dingin.
"Apa yang terjadi ...," rintih Jun membuka mata.
Gelap. Jun mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim. Matanya harus beradaptasi selama beberapa menit sebelum akhirnya pemuda itu bisa mengidentifikasi area. Lantainya jelas terbuat dari batu granit yang berdebu. Tak jauh dari tempatnya jatuh, Jun bisa melihat sebuah pilar raksasa yang menjulang tinggi hingga tak terlihat ujungnya. Jelas tempat itu adalah sebuah ruangan dengan langit-langit yang tinggi.
Jun bangkit berdiri sambil mengerang pelan menahan sakit punggungnya yang mulai mengganggu. Tiba-tiba tak jauh dari sana, ia juga mendengar suara-suara erangan lain, termasuk umpatan dan sumpah serapah yang terasa familiar.
"Sial! Tempat apa ini? Kenapa kita justru terbawa ke sini? Lagi pula kenapa si brengsek itu harus puny aide pergi ke tempat terkutuk seperti ini," seru suara pemuda penuh sumpah serapah.
"Lana? Kau baik-baik saja? Brithon? Di mana kalian?" sahut suara pemuda lain yang juga dienali oleh Jun.
"Aku baik-baik saja, Alex. Maaf karena aku gagal menarik energi Ranjun, dan justru membuat kita terbawa ke tempat ini." Kini suara seorang gadis yang menjawab.
Setelah itu bunyi kasak-kusuk pun terdengar. Ketiga orang itu sepertinya mulai berdiri dan berkumpul bersama. Sejenak Jun ragu, apakah ia hanya berhalusinasi tentang kedatangan tiga orang rekannya? Atau memang mereka bertiga, Brithon, Alex dan Lana, betul-betul datang kemari untuk mencarinya? Karena tidak yakin, akhirnya Jun mencoba memanggil nama teman-teman dari Akademinya itu.
"Brithon? Alex? Lana? Apa itu kalian?" seru Jun mencoba mendekat ke arah suara kasak-kusuk.
"Jun? Ranjun? Itu kau kan? Kau di mana?" Lana menyahut, terdengar lega.
Jun pun mulai melangkah cepat mendekati sumber suara gadis itu dan setelah beberapa meter, ia akhirnya menemukan sosok ketiga temannya. Brithon, pemuda bertubuh tinggi besar dengan jaket baseball. Ia dan Jun adalah teman satu tim di eskul baseball. Alex adalah teman seasrama Jun. Kamar mereka berdekatan dank arena itulah keduanya menjadi akrab. Sementara Lana, gadis berkekuatan energy tracking, adalah teman sekelasnya selama empat tahun terakhir. Mereka juga lumayan akrab.
Jun menghampiri ketiga temannya itu dengan antusias. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa mereka benar-benar ada di hadapannya saat ini, di tengah gurun antah berantah.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Jun yang meski kelelahan, kehausan, kelaparan dan kesakitan, tetap merasa lebih bersemangat setelah melihat teman-temannya.
"Mencarimu, Bodoh! Apa yang kau pikirkan sampai pergi sendirian ke tempat semacam ini?" sembur Brithon memukul pelan kepala Jun, sikap lumrah si pemuda ringan tangan itu untuk menunjukkan perhatian.
Jun memekik pelan, pura-pura kesakitan lalu mengusap kepalanya sambil meringis. "Ini, kan liburan musim panas. Memangnya aku tidak boleh jalan-jalan?" sahut pemuda itu ringan.
"Jalan-jalan, Kepalamu! Memangnya tempat ini semacam obyek wisata, menurutmu?" sergah Brithon masih mengomel.
"Sudah, sudah. Yang penting sekarang kita sudah menemukan Jun. Sekarang, kita bisa kembali ke Akademi," Alex, pemuda berambut sebahu yang diikat ke belakang, mencoba menengahi.
"Whoa ... tunggu kawan-kawan. Aku tidak bisa kembali sekarang. Setelah susah payah sampai ke tempat ini, ada sesuatu yang harus kutemukan lebih dulu," sahut Jun buru-buru.
"Dasar anak ini ...." Brithon hendak menjitak Jun sekali lagi, tetapi dicegah oleh Alex.
"Kurasa, kita memang belum bisa kembali sekarang, teman-teman. Ada energi aneh di tempat ini yang membuat kekuatanku melemah. Saat melakukan tracking energi Jun tadi, kekuatan dari tempat ini juga justru menarik kita alih-alih membawa Jun keluar. Kurasa kita harus menemukan sumber kekuatan aneh itu dulu sebelum bisa meninggalkan tempat ini," terang Lana serius.
"Argh! Benar-benar ...," geram Brithon kemudian.
Meski begitu, dalam hati Jun mendesah lega. Setidaknya, ia punya waktu untuk mencari artefak tersembunyi di reruntuhan ini. Selain itu, ia juga punya teman perjalanan sekarang.
"Maafkan aku, teman-teman," ujar Jun yang dalam hati merasa bersalah.
Keempat anak itu pun mulai menyusuri kegelapan. Berbekal senter yang dibawa oleh Brithon dan Lana, mereka pun mulai menjelajah. Menilik dari konstruksinya, Jun yakin kalau dia kini sudah berada di tengah reruntuhan yang terlihat di tengah padang gurun. Namun, bagaimana ia bisa tiba-tiba berada di sana, sementara sebelumnya, tempat itu seolah mustahil dicapai karena semakin menjauh setiap Jun melangkahkan kakinya.
"Apa kalian tidak merasa aneh? Bukannya tadi masih sore saat terakhir kali kita melacak jejak Jun. Tapi tiba-tiba keadaan menjadi gelap. Dan tempat apa pula ini? Aku yakin sekali kalau tadi kita hanya melihat hamparan padang pasir," tanya Alex sembari menyorotkan senternya ke segala arah.
"Reruntuhan Oglyt," jawab Jun yang mengamati keadaan sekitar. Aneh. Biasanya dia bisa melihat roh-roh gentayangan di mana pun ia berada. Entah itu di jalanan, rumah, atau bahkan pasar yang ramai. Akan tetapi, tempat ini jauh lebih sepi dari pemakaman. Tidak ada satu pun roh gentayangan yang melintas.
"Reruntuhan ... apa?" Brithon menyahut penasaran.
"Situs kuno. Menurut legenda, Oglyt adalah sebuah kerajaan makmur di masa lalu. Tapi kerajaan itu hancur karena kekuatan misterius. Kabarnya ada artefak kuat yang tersembunyi di reruntuhannya. Tidak semua orang bisa melihat tempat ini, dan kurasa, karena kemampuanku melihat dan berkomunikasi dengan spirit, maka aku bisa sampai di sini," terang Jun.
"Jadi itu alasannya kau kabur dari asrama?" Brithon menyela. "Karena ingin mengambil artefak itu?" lanjutnya dengan nada menuduh.
Jun menghela napas pendek. "Aku hanya mencoba peruntungan," jawabnya ringan.
"Dasar konyol! Tidak bisakah kau melihat betapa berbahayanya tindakanmu itu. Kita bahkan tidak tahu apa yang harus dihadapi setelah ini," sergah Brithon keras.
"Maafkan aku. Aku tidak menyangka kalau kalian akan mencariku seperti ini. Apa Profesor Grayson yang mengirim kalian?" tanya Jun kemudian.
"Tidak disuruh pun aku tetap akan mencarimu, Bodoh. Seharusnya sejak awal kau memberitahu kami, jadi kau tidak perlu menderita sendirian," tukas Brithon serius.
"Aku benar-benar tidak ingin merepotkan kalian. Seperti yang sudah diketahui, kemampuanku tidak sekuat anak-anak lain. Jadi sebelum lulus, aku berharap agar bisa sedikit meningkatkan kemampuanku," ujar Brithon penuh penyesalan.
"Siapa bilang kau lemah? Memangnya bicara dengan hantu itu kemampuan yang sepele. Tidak semua orang punya keberanian sepertimu, Ranjun Sigh. Seharusnya kau bangga pada dirimu sendiri," ujar Brithon menepuk punggung pemuda itu.
"Brithon benar. Dalam banyak misi pun kau juga sangat berguna, Jun. Tanpamu, kita tidak bisa mendapat informasi mendetail dengan mudah. Peranmu cukup besar dalam tim." Alex menambahkan.
"Tapi tetap saja ... aku tidak punya kemampuan serangan sama sekali," desah Jun lemah.
Lana sontak mengarahkan senternya ke wajah Jun, membuat pemuda itu terbutakan selama beberapa detik. Jun mengangkat tangannya secara reflek untuk menutupi kesilauan cahaya senter.
"Memangnya itu penting? Kekuatanku juga tidak bisa digunakan untuk menyerang, tapi aku sudah cukup puas dengan itu. Setiap orang punya perannya sendiri-sendiri, Jun," ujar Lana tampak serius.
Jun menggaruk kepalanya yang tidak gatal, meringis penuh sesal. "Baik, baik. Maafkan aku. Ini memang hanya ambisi pribadiku," ujarnya.
"Jadi kita bisa segera pulang saja kan, meski kau tidak menemukan artefak entah apa itu?" tanya Brithon kemudian.
Sedikit kecewa, Jun dengan berat hati pun menjawab. "Bai–"
Belum sampai Jun menyelesaikan kata-katanya, mendadak tanah tempat mereka berpijak mulai bergetar. Suara gemuruh terdengar dari segala penjuru, diikuti jatuhnya debu-debu tipis dan beberapa reruntuhan batu halus.
"Apa yang–" Kalimat Brithon terputus oleh lesatan selusin anak panah ke arah mereka.
Alex dengan sigap mengangkat kedua tangannya, lantas menciptakan semacam perisai pelindung semi transparan di hadapan mereka. Anak-anak panah itu pun berhasil dipantulkan hingga patah dan jatuh ke tanah. Namun, masalah tidak berhenti sampai di sana. Dari sisi yang lain, serbuan anak panah kembali datang. Alex langsung membuat perisai baru berbentuk kubus yang melingkupi mereka semua. Seluruh terpaan anak panah pun berhasil ditangkis.
"Apa ini? Semacam jebakan?" tanya Brithon memastikan.
"Sepertinya begitu. Mungkin kita tanpa sengaja menginjak lantai yang salah, atau melewati batas aman sehingga mengaktifkan jebakan anak panah," kata Jun menimpali.
"Kau sudah belajar banyak rupanya. Apa ada semacam manual untuk turis yang mengunjungi reruntuhan kuno ini?" sindir Brithon sarkastik.
"Sudah, jangan bertengkar. Anak-anak panah ini tidak ada habisnya. Aku juga tidak bisa selamanya membuat perisai pelindung. Sebaiknya kita mulai berjalan pelan-pelan, dan jangan ada yang keluar dari kubus perisaiku," perintah Alex kemudian. Pemuda itu sudah menjatuhkan senternya karena buru-buru membuat perisai dengan kedua tangan. Benda itu rusak dan tidak bisa menyala lagi. Alhasil satu-satunya pencahayaan yang tersisa hanya berasal dari senter milik Lana.
Karena keadaan tak terduga itu, semuanya akhirnya menurut pada perintah Alex. mereka berjalan beriringan dalam dua baris menyusuri ruangan yang semakin sempit. Sepertinya mereka memasuki sebuah lorong. Cahaya senter tidak bisa menjangkau jarak yang terlalu jauh. Pandangan mereka hanya bisa melihat sepanjang dua sampai tiga meter ke depan.
"Apa ruangan jebakan anak panah ini masih panjang?" tanya Brithon yang berdiri di barisan belakang bersama Jun. Alex dan Lana memandu jalan di depan mereka.
"Seharusnya tidak. Tapi aku lebih khawatir pada jebakan-jebakan lain di tempat ini. Semoga kita tidak perlu menghadapi monster berbahaya," tukas Jun.
"Jangan mengatakan jinx seperti itu! Kalau kau membicarakannya, hal buruk itu justru akan terjadi!" seru Lana memperingatkan.
Brithon mendengkus. "Kau percaya hal semacam itu?" tanyanya mencela.
"Itu memang benar. Jadi berhenti membicarakan hal-hal buruk," pinta Lana menggenggam senternya erat-erat.
"Hei, anak-anak panahnya berhenti," potong Alex bersiap untuk menghilangkan perisai transparannya.
"Syukurlah. Di mana kita sekarang?" tanya Lana kemudian.
Di hadapan mereka, kini menjulang sebuah patung tanah liat setinggi lima meter. Patung itu berwujud perempuan dengan pakaian mesir kuno. Kepalanya berupa singa betina, dengan mahkota cakram matahari dan Uraeus berlapis emas.
"Sekhmet ... ini ruang pemujaan Dewi Pembalasan Dendam. Kita tidak seharusnya berada di sini. Ayo cepat pergi dari sini," gumam Jun mulai panik.
Sayangnya, belum sempat anak-anak itu beranjak, mendadak kepala singa patung raksasa itu bergerak menoleh ke arah mereka, menciptakan bunyi derak mengerikan. Keberadaan mereka sudah diketahui!
Uareus: kobra Mesir, simbol kedaulatan, keningratan, dietas, dan otoritas ilahi Mesir Kuno.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!