Mentari sore mulai meredup, menyapa langit Jakarta dengan warna jingga lembut. Naureen, mahasiswi berhijab cantik dengan senyuman manis, bergegas keluar dari kampus. Hari ini, ia dan sahabatnya, Salsa, punya janji untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah Salsa.
"Halo, Bunda," sapa Naureen, suara lembutnya terdengar di seberang telepon. "Maaf ya, aku minta izin pulang telat. Aku harus kerja kelompok di rumah Salsa."
"Iya, sayang. Kamu hati-hati ya nanti pas pulang dari rumah Salsa. Bunda sangat cemas dengan keadaanmu," ucap Bunda dengan suara sedikit khawatir.
"Iya, Bunda. Insyaallah, aku akan menjaga diri dengan baik saat pulang. Nanti aku minta abang Naufal untuk menjemput, supaya Bunda tidak perlu khawatir," jawab Naureen, menenangkan hati Bunda.
"Iya, sayang. Bunda juga cinta banget sama kamu. Pulanglah dengan selamat ya," Bunda mengakhiri percakapan dengan penuh kasih.
Setelah meletakkan telepon, Naureen kembali ke taman kampus, tempat Salsa menunggunya. Salsa, gadis ceria dengan rambut panjang terurai, melambaikan tangan ke arah Naureen.
"Ayo, Naureen, kita pulang," ajak Salsa sambil berjalan menuju mobil.
"Iya, sa. Kita pulang ke rumahmu sebelum terlalu sore. Takut nanti kesiangan sampai di rumahmu, dan aku juga takut pulang terlalu malam," jawab Naureen, sedikit cemas.
"Tenang aja, Naureen. Kita mampir dulu ke supermarket, ya," kata Salsa kepada Pak Budi, sopir mereka, sambil tersenyum.
"Baik, non. Sepertinya ada supermarket di depan kita, saya akan berhenti sebentar," jawab Pak Budi ramah.
"Baik, Pak Budi. Kami turun dulu untuk membeli cemilan, untuk kita kerja kelompok," ucap Salsa.
Mereka turun dari mobil dan bergegas masuk ke supermarket. Naureen memperhatikan Salsa yang bersemangat memilih aneka cemilan.
"Kamu mau beli ini?" tanya Salsa, menunjukkan sebuah bungkus biskuit.
"Wah, nggak usah beli banyak-banyak, sa. Nanti nggak habis," ucap Naureen sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa, Naureen. Lebih baik banyak daripada kurang. Biar rame kerja kelompoknya," jawab Salsa sambil cengengesan.
Setelah selesai berbelanja, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju rumah Salsa.
Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Salsa. Orang tua Salsa menyambut mereka dengan hangat.
"Assalamualaikum, Pak, Bu," ucap Naureen dan Salsa serentak.
"Waalaikumsalam. Masuk, nak," jawab orang tua Salsa dengan senyum ramah.
Mereka pun masuk dan langsung menuju ruang kerja. Salsa sangat fokus dengan tugasnya, hingga tak terasa waktu sudah hampir magrib.
"Salsa, aku pulang dulu ya, sudah malam," ucap Naureen, sambil mengemasi buku-bukunya.
"Tapi dengan siapa kamu pulang, Naureen? Kamu tidak bisa pulang sendirian, sudah terlalu malam," jawab Salsa, sedikit khawatir.
"Aku mencoba menelepon abang, tapi tidak ada jawaban," ucap Naureen, sedikit kecewa.
"Mungkin abang Naufal sedang dalam perjalanan pulang dari mengaji," ucap Salsa, menenangkan Naureen.
"Yaudah, aku pulang dulu, Salsa. Kamu bisa ikut ngobrol dengan bapak dan ibumu. Nanti ceritain aja besok di sekolah," ucap Naureen, sambil beranjak dari kursi.
Naureen menunggu di depan rumah, berharap abangnya segera datang. Namun, waktu terus berlalu, dan langit semakin gelap. Ia memutuskan untuk berjalan kaki, sambil menelepon abangnya.
"Halo, Bang. Aku masih di rumah Salsa. Kok, kamu belum sampai juga?" tanya Naureen dengan suara sedikit khawatir.
"Maaf, Naureen. Aku sedang dalam perjalanan pulang dari mengaji. Kamu tunggu di sana saja, ya. Aku akan segera sampai," jawab Naufal, terdengar dari suara abangnya, ia sedang dalam perjalanan.
"Iya, Bang. Aku tunggu di sini saja."
Naureen mencoba untuk tenang. Namun, seiring dengan semakin gelapnya langit, perasaan takut mulai merayap dalam dirinya. Ia berjalan kaki dengan hati-hati di sepanjang jalan raya yang sepi.
Tiba-tiba, hujan turun dengan deras. Naureen berlari mencari tempat berteduh. Ia melihat sebuah toko kecil yang sudah tutup. Ia berteduh di sana, merapatkan tubuhnya untuk menghalau dinginnya hujan.
Naureen yang basah kuyup, merapatkan tubuhnya di sudut toko. Ia merasakan dinginnya hujan menembus pakaiannya. Rambutnya yang terurai basah dan menempel di wajahnya. Ia memeluk erat kakinya, mencoba menghalau dingin yang menusuk tulang. Perlahan, Naureen merasakan tubuhnya lemah dan menggigil.
Di tengah hujan yang semakin deras, sebuah mobil melaju di jalan raya. Sopir mobil tersebut, Muhammad Azmi Al-Huda, seorang pemuda tampan dengan hidung mancung, melihat sesosok tubuh yang menggering di bawah teras toko.
Gus Azmi, begitu ia biasa disapa, mengerutkan keningnya. Ia menghentikan mobil di pinggir jalan, dan melangkah mendekati Naureen.
Gus Azmi terkejut melihat seorang gadis dengan cadar yang terkulai lemas di sudut toko. "Astaghfirullah," gumam Gus Azmi sambil melihat kondisi Naureen.
Gus Azmi bingung. Ia tidak mungkin membiarkan gadis itu terlantar di tengah hujan. Namun, ia juga tidak berani mendekati gadis itu karena ia bukan mahramnya.
"Apa yang harus kulakukan?" batin Gus Azmi gelisah.
Gus Azmi menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk berpikir jernih. Ia melihat sekeliling, tapi tidak ada orang lain yang lewat. Akhirnya, Gus Azmi memutuskan untuk mendekati Naureen.
"Astaghfirullah," gumam Gus Azmi lagi sambil mendekati Naureen dengan hati-hati.
"Permisi, Mbak. Apa Mbak baik-baik saja?" tanya Gus Azmi dengan suara lembut.
Naureen terkejut mendengar suara Gus Azmi. Ia mencoba untuk bangun, tapi tubuhnya terasa sangat lemah.
"Saya tidak apa-apa," jawab Naureen dengan suara yang terbata-bata.
Gus Azmi melihat kondisi Naureen yang lemah dan basah kuyup. Ia merasa kasihan padanya. Ia mencoba untuk membantu Naureen.
"Mbak, silakan naik ke mobil saya. Saya akan membawa Mbak ke tempat yang aman," ajak Gus Azmi dengan tulus.
Naureen mencoba untuk menolak, tapi tubuhnya terasa semakin lemah. Akhirnya, ia menyerah dan mengizinkan Gus Azmi untuk membantunya.
Gus Azmi membantu Naureen untuk naik ke mobilnya. Ia merasa lega ketika Naureen sudah aman di dalam mobilnya. Ia kemudian memperhatikan Naureen yang menggelilingi tubuhnya dengan selimut yang terletak di kursi belakang.
"Mbak, nama Mbak siapa?" tanya Gus Azmi sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Naureen," jawab Naureen dengan suara yang lemah.
"Naureen, Mbak tinggal di mana?" tanya Gus Azmi lagi.
"Di dekat pesantren Nurul Huda," jawab Naureen.
Gus Azmi mengangguk. Ia kemudian menyalakan lampu mobilnya dan memperhatikan jalan yang licin karena hujan. Ia berhati-hati dalam mengemudi agar Naureen tidak terkejut.
"Mbak, saya akan membawa Mbak ke pesantren Nurul Huda. Di sana, Mbak bisa mendapatkan pertolongan," ucap Gus Azmi.
"Terima kasih," jawab Naureen dengan suara yang lemah.
Gus Azmi tersenyum tipis. "Sama-sama, Naureen. Jangan khawatir, sebentar lagi kita sampai."
Mobil Gus Azmi melaju perlahan di tengah hujan deras. Naureen menatap luar jendela, menyaksikan tetesan hujan yang membasahi jalanan. Ia terkenang pertemuannya dengan Gus Azmi yang tak terduga ini.
"Mas, sebenarnya saya mau menelepon abang saya. Tapi, handphone saya kehabisan baterai," ucap Naureen sambil mencoba mencari charger handphonenya di dalam tas.
"Oh, ya? Seharusnya saya tanya dulu," jawab Gus Azmi sambil mengangguk mengerti.
Gus Azmi mencoba mencari charger handphone di dalam mobilnya. "Mbak mau minum air hangat?" tanya Gus Azmi sambil mencari botol air di dalam tasnya.
"Terima kasih, Mas. Saya mau," jawab Naureen dengan suara lemah.
Gus Azmi menyerahkan botol air hangat kepada Naureen. "Silakan diminum," ucap Gus Azmi dengan santun.
Naureen menerima botol air itu dengan tangan gemetar. Ia mencoba untuk minum, tapi tubuhnya masih terasa sangat lemah.
"Mbak Naureen kelihatannya demam," ucap Gus Azmi dengan prihatin. Ia memperhatikan wajah Naureen yang tampak merah dan keringatan.
Naureen mengangguk lemah. "Saya rasa begitu, Mas."
"Sebentar lagi kita sampai di pesantren," ucap Gus Azmi, mencoba menenangkan Naureen.
"Terima kasih, Mas," jawab Naureen dengan suara yang sangat lemah.
Mobil Gus Azmi terus melaju menuju pesantren Nurul Huda. Hujan deras menyertai perjalanan mereka. Gus Azmi berdoa dalam hati agar Naureen segera mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan.
Tak lama kemudian, mobil Gus Azmi sampai di depan gerbang pesantren Nurul Huda. Gus Azmi menghentikan mobilnya di depan gerbang dan turun dari mobil. Ia kemudian membantu Naureen untuk turun dari mobil.
"Mbak Naureen, silakan bersandar pada saya," ucap Gus Azmi sambil menopang tubuh Naureen.
Gus Azmi menuntun Naureen menuju pintu masuk pesantren. Ia melihat seorang pria berjanggut tebal yang sedang berdiri di dekat pintu masuk.
"Assalamualaikum, Abi," sapa Gus Azmi sambil menuntun Naureen masuk.
"Waalaikumsalam," jawab pria berjanggut tebal itu. "Gus, siapa gadis ini?" tanya pria itu dengan suara yang tegas.
"Ini Naureen, Abi. Dia terjatuh di jalan dan pingsan. Saya menolongnya, Abi," jawab Gus Azmi dengan jelas.
"Kalian kenapa datang malam-malam begini? Dan, mengapa kamu menolong gadis ini?" tanya pria itu dengan suara yang semakin tegas. "Kamu tahu kalau gadis ini bukan mahram kamu?"
Gus Azmi terkejut mendengar pertanyaan tegas ayahnya. Ia menatap ayah dan ibunya yang berdiri di depannya dengan wajah khawatir. "Abi, Umi, saya hanya menolongnya karena dia terlihat sangat lemah," ucap Gus Azmi dengan suara gemetar.
"Ya, tapi kamu tahu bahwa menolong gadis yang bukan mahrammu bisa menimbulkan fitnah?" tegas Kiyai Rahman, ayah Gus Azmi, dengan nada yang keras.
Gus Azmi menunduk. Ia tak bisa menjawab pertanyaan ayahnya. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan. "Abi, saya sungguh tak bermaksud menimbulkan fitnah," ucap Gus Azmi dengan penuh penyesalan.
Ummi Maryam, ibu Gus Azmi, mendekati Naureen yang terlihat lemah dan menggering. "Ayo, Nak. Masuk dulu. Ummi akan mengganti pakaianmu yang basah," ucap Ummi Maryam dengan lembut.
Naureen mengangguk lemah. Ia terlihat sangat lelah dan tak berdaya. Gus Azmi membantu Naureen untuk berjalan menuju kamar tamu.
"Gus, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu," ucap Kiyai Rahman dengan suara yang tegas.
Gus Azmi terkejut mendengar perkataan ayahnya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan yang bingung. "Maksud Abi apa?" tanya Gus Azmi dengan suara gemetar.
"Kamu harus menikahi dia," ucap Kiyai Rahman dengan nada yang tegas.
Gus Azmi terkejut mendengar perkataan ayahnya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan yang tak percaya. "Apa?" tanya Gus Azmi dengan suara yang gemetar.
"Ya, Gus. Kamu harus menikahi gadis ini karena kamu telah menyentuhnya tanpa muhrim," jelas Kiyai Rahman dengan jelas.
Gus Azmi terdiam sejenak. Ia merasa terkejut dan bingung dengan situasi ini. Ia tak menyangka bahwa ia harus menikah dengan gadis yang baru ia kenal ini.
"Abi, tapi saya..." ucap Gus Azmi dengan suara yang terbata-bata.
"Tidak ada tapi-tapian, Gus. Ini adalah kewajibanmu sebagai seorang muslim," tegas Kiyai Rahman.
Gus Azmi menunduk. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa bingung dan takut. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan dihadapkan pada situasi yang sulit ini.
"Abi, biarkan saya berbicara dengan gadis ini terlebih dahulu," ucap Gus Azmi dengan suara yang gemetar.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama," jawab Kiyai Rahman.
Gus Azmi mengangguk dan kemudian berjalan menuju kamar tamu. Ia merasa takut dan takut untuk bertemu dengan Naureen. Ia tak menyangka bahwa kejadian ini akan merubah hidupnya sepenuhnya.
Gus Azmi mengetuk pintu kamar tamu. "Assalamualaikum," ucap Gus Azmi dengan suara pelan, sedikit gugup.
"Waalaikumsalam," jawab Naureen dari dalam kamar.
Gus Azmi ragu sejenak sebelum membuka pintu. Ia melihat Naureen sedang duduk di tepi ranjang, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Wajahnya terlihat pucat, tapi matanya memandang Gus Azmi dengan tatapan yang agak takut.
"Naureen," ucap Gus Azmi dengan suara lembut. "Maaf, aku mengganggu."
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Naureen dengan suara yang lemah.
Gus Azmi mendekati Naureen dan duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang. Ia memperhatikan Naureen yang terlihat sangat lemah.
"Naureen, aku ingin bertanya sesuatu," ucap Gus Azmi dengan suara yang lembut.
"Ya, Mas," jawab Naureen dengan suara yang sedikit gemetar.
"Abi mengatakan bahwa aku harus bertanggung jawab atas perbuatan ku dengan menikah denganmu. Apakah kamu setuju?" tanya Gus Azmi dengan suara yang gemetar. Ia takut mendengar jawaban Naureen.
Naureen terdiam sejenak. Ia menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca. "Saya tidak tahu, Mas," jawab Naureen dengan suara yang sedikit bergetar. "Saya bingung."
"Aku mengerti, Naureen," ucap Gus Azmi sambil mengangguk. "Aku juga takut dan bingung dengan situasi ini. Tapi, aku harus bertanggung jawab atas perbuatan ku. Apakah kamu mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya kepadamu?" tanya Gus Azmi dengan suara yang lembut.
Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk mencerna semua yang terjadi. "Saya ingin berbicara dengan bundaku terlebih dahulu," jawab Naureen dengan suara yang lemah.
"Aku mengerti," ucap Gus Azmi. "Silakan hubungi bundamu. Aku akan menunggu di sini."
Naureen mengangguk dan kemudian mengambil handphone yang terletak di atas meja. Ia mencoba untuk menyalakannya, tapi baterainya masih kosong.
"Maaf, Mas. Handphone saya masih kosong," ucap Naureen dengan wajah sedikit cemas.
"Tidak apa-apa," ucap Gus Azmi. "Aku akan membantu mencarikan charger."
Gus Azmi berdiri dan kemudian keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ruang tamu untuk mencari charger handphone di rumah orang tuanya.
Naureen tersenyum sedikit. Ia merasa sedikit lega karena Gus Azmi tampak ingin menolongnya. Ia harap bundanya bisa memberikan solusi terbaik untuk situasi sulit yang ia hadapi ini.
Sambil menunggu Gus Azmi kembali, Naureen mencoba untuk menenangkan diri. Ia harus tetap kuat dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan baru ini. Ia berdoa agar semuanya akan berjalan dengan baik.
Gus Azmi kembali ke kamar tamu dengan charger handphone di tangan. Ia terlihat sedikit lega karena berhasil menemukan charger yang sesuai dengan handphone Naureen.
"Naureen, ini chargernya," ucap Gus Azmi sambil menyerahkan charger kepada Naureen.
Naureen menerima charger itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, Mas," ucap Naureen sambil mencoba menghubungkan charger ke handphonenya.
"Semoga baterainya cepat penuh," ucap Gus Azmi sambil memperhatikan Naureen yang terlihat lelah.
"Insyaallah," jawab Naureen sambil menekan tombol power handphonenya.
Naureen mencoba menghubungi bundanya. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol panggilan. Ia takut mendengar jawaban bundanya.
"Assalamualaikum," ucap Bunda Naureen di seberang telepon.
"Waalaikumsalam, Bun. Maaf, Bun. Handphone Naureen kehabisan baterai," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Kenapa kamu baru menelepon? Bunda khawatir kamu," ucap Bunda Naureen dengan nada khawatir.
"Naureen sedang di pesantren Nurul Huda, Bun," jawab Naureen dengan suara yang makin gemetar.
Bunda Naureen terkejut mendengar jawaban Naureen. "Kenapa kamu ada di pesantren Nurul Huda? Terjadi apa?" tanya Bunda Naureen dengan nada yang cemas.
"Naureen terjatuh di jalan dan pingsan, Bun. Untungnya, Gus Azmi, putra Kiyai Rahman menolong Naureen," jelas Naureen dengan suara gemetar.
Bunda Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk mencerna semua yang terjadi. "Bagaimana kondisi mu sekarang, Naureen?" tanya Bunda Naureen dengan nada khawatir.
"Alhamdulillah, Naureen sudah membaik, Bun. Tapi, Gus Azmi dan ayahnya mengatakan bahwa Gus Azmi harus bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikah dengan Naureen, Bun," jelas Naureen dengan suara yang gemetar.
Bunda Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk menahan air matanya. Ia tak menyangka bahwa Naureen akan dihadapkan pada situasi yang sulit ini. "Naureen, kamu tidak perlu takut. Bunda akan datang ke pesantren Nurul Huda," ucap Bunda Naureen dengan suara yang tetap kuat.
"Bunda akan membicarakan hal ini dengan Kiyai Rahman dan Ummi Maryam," lanjut Bunda Naureen.
"Terima kasih, Bun," ucap Naureen dengan suara yang gemetar. Ia merasa lega karena Bunda akan membantunya.
"Kamu jangan khawatir, Naureen. Bunda akan menemani kamu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang penuh kasih.
Naureen mengangguk lemah. Ia merasa sedikit tenang karena Bunda akan membantunya. Ia kemudian memberi tahu Bunda tentang lokasi kamar tamu yang ia tempati.
"Naureen, kamu jangan khawatir. Bunda akan segera sampai," ucap Bunda Naureen sambil menutup telepon.
Naureen melepaskan handphone dari telinganya. Ia terlihat lelah dan sedikit menangis. Gus Azmi yang sedang duduk di kursi, menatap Naureen dengan tatapan yang penuh simpati.
"Naureen, kamu baik-baik saja?" tanya Gus Azmi dengan suara lembut.
Naureen menggeleng lemah. "Aku sedikit takut, Mas," jawab Naureen dengan suara yang bergetar.
Gus Azmi mendekati Naureen dan duduk di sisi ranjang. "Jangan takut, Naureen. Bunda mu akan segera datang. Dan, aku berjanji akan menjagamu," ucap Gus Azmi sambil menatap Naureen dengan tatapan yang menenangkan.
Naureen terdiam sejenak. Ia menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca. "Mas, aku bingung," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi. "Aku juga bingung. Tapi, aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu. Aku tidak bermaksud untuk menimbulkan masalah atau fitnah. Aku hanya ingin menolongmu."
Gus Azmi mencoba menjelaskan situasinya kepada Naureen. Ia menceritakan bagaimana ia menemukan Naureen di jalan dan melihat kondisi Naureen yang sangat lemah. Ia takut menyerahkan Naureen pada orang lain karena takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Aku tidak bermaksud untuk menyentuhmu tanpa ijin," jelas Gus Azmi. "Aku hanya ingin membantu kamu. Dan, ketika Abi mengatakan bahwa aku harus menikah denganmu, aku terkejut. Aku takut kehilanganmu dan aku takut melakukan sesuatu yang salah."
Naureen mendengarkan penjelasan Gus Azmi dengan hati-hati. Ia mencoba untuk mengerti situasi yang ia hadapi. Ia melihat ketulusan di mata Gus Azmi.
"Mas," ucap Naureen dengan suara yang lemah. "Aku takut jika Bundaku tak setuju dengan pernikahan ini."
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi. "Tapi, aku berharap Bunda mu bisa memahami situasinya. Aku berjanji akan menjagamu dan menyayangimu."
Naureen menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca. Ia merasa terbebani dengan situasi yang ia hadapi. Ia harus membuat keputusan yang sangat berat.
"Aku ingin berbicara dengan Bundaku terlebih dahulu," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi. "Aku akan menunggu di sini."
Naureen mengangguk lemah. Ia merasa lelah dan ingin segera bertemu dengan Bundanya. Ia harap Bundanya bisa memberikan solusi terbaik untuk situasi sulit yang ia hadapi ini.
Gus Azmi menatap Naureen dengan tatapan yang penuh simpati. Ia berharap semuanya akan berjalan dengan baik. Ia berjanji akan menjaga Naureen, walaupun hatinya masih dipenuhi kebingungan dan ketakutan.
"Naureen, aku akan menunggu di sini. Aku akan menemanimu sampai Bunda mu datang," ucap Gus Azmi sambil menyerahkan selimut kepadanya. "Kamu sepertinya masih kedinginan."
Naureen menerima selimut itu dengan senyum kecil. Ia merasa lega karena Gus Azmi terlihat sangat peduli padanya.
"Terima kasih, Mas," jawab Naureen dengan suara yang lemah.
Gus Azmi mengangguk dan kemudian berdiri. Ia mendekati jendela dan melihat hujan yang masih turun dengan deras. "Semoga Bunda mu segera sampai," gumam Gus Azmi dalam hati.
Gus Azmi berharap segalanya akan berjalan dengan baik. Ia takut kehilangan Naureen, walaupun baru mengenalnya beberapa jam yang lalu. Ia ingin menjaganya, menyayanginya, dan membuatnya bahagia.
Naureen menatap Gus Azmi yang sedang berdiri di dekat jendela. Ia mencoba untuk menenangkan diri dan mencoba untuk berharap semuanya akan berjalan dengan baik.
"Mas, aku takut," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi sambil berbalik menghadap Naureen. Ia mendekati Naureen dan duduk di sisi ranjang lagi.
"Aku takut jika Bundaku tak setuju dengan pernikahan ini," jelas Naureen dengan suara yang bergetar.
"Aku mengerti ketakutanmu, Naureen," jawab Gus Azmi dengan suara yang lembut. "Tapi, aku berharap Bunda mu bisa memahami situasinya. Aku berjanji akan menjagamu dan menyayangimu."
Gus Azmi menatap Naureen dengan tatapan yang penuh ketulusan. Ia berharap Naureen bisa percaya padanya.
Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk mencerna semua yang terjadi. "Mas, aku harus berbicara dengan Bundaku terlebih dahulu," ucap Naureen dengan suara yang lemah.
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi. "Aku akan menunggu di sini."
Naureen mengangguk lemah. Ia merasa lelah dan ingin segera bertemu dengan Bundanya. Ia harap Bundanya bisa memberikan solusi terbaik untuk situasi sulit yang ia hadapi ini.
Gus Azmi menatap Naureen dengan tatapan yang penuh simpati. Ia berharap semuanya akan berjalan dengan baik. Ia berjanji akan menjaga Naureen dan membuatnya bahagia. Ia akan berusaha untuk memperoleh restu Bunda Naureen agar hubungan mereka bisa berjalan dengan lancar.
Hujan semakin reda, menyerahkan tempatnya pada langit senja yang terlihat lembut dan menenangkan. Naureen duduk di pinggir ranjang, menunggu kedatangan Bundanya dengan hati yang berdebar. Gus Azmi duduk di kursi dekat ranjang, menatap Naureen dengan tatapan yang penuh kasih.
"Naureen, kamu takut ya dengan keputusan yang harus kamu ambil?" tanya Gus Azmi dengan suara lembut.
Naureen menggeleng lemah. "Aku takut mengecewakan Bundaku, Mas," jawab Naureen dengan suara yang bergetar.
"Aku mengerti, Naureen," jawab Gus Azmi. "Tapi, aku berharap Bunda mu bisa memahami situasinya. Aku berjanji akan menjagamu dan menyayangimu sepanjang hidupku."
Gus Azmi menatap Naureen dengan tatapan yang penuh ketulusan. Ia berharap Naureen bisa percaya padanya.
"Mas, aku takut jika Bundaku tak setuju dengan pernikahan ini," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Aku mengerti ketakutanmu, Naureen," jawab Gus Azmi dengan suara yang lembut. "Tapi, aku berharap Bunda mu bisa memahami situasinya. Aku berjanji akan menjagamu dan menyayangimu."
Gus Azmi menatap Naureen dengan tatapan yang penuh ketulusan. Ia berharap Naureen bisa percaya padanya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Bunda Naureen masuk dengan wajah yang penuh kekhawatiran. "Naureen, sayang," ucap Bunda Naureen sambil mendekat ke Naureen dan memeluknya.
"Bunda," ucap Naureen dengan suara yang bergetar. Ia menangis di pelukan Bundanya.
Gus Azmi berdiri dan menatap Bunda Naureen dengan tatapan yang penuh hormat. "Assalamualaikum, Bu," ucap Gus Azmi dengan suara yang lembut.
"Waalaikumsalam," jawab Bunda Naureen. "Silakan duduk, Mas."
Gus Azmi mengangguk dan kemudian duduk di kursi dekat ranjang. Bunda Naureen melepaskan pelukannya dari Naureen dan menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca.
"Mas, Bunda ingin bertanya sesuatu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang tegas.
"Silakan, Bu," jawab Gus Azmi.
"Bagaimana kisah mu dan Naureen sebenarnya?" tanya Bunda Naureen dengan suara yang tegas.
Gus Azmi menjelaskan segalanya kepada Bunda Naureen dengan jujur. Ia menceritakan bagaimana ia menemukan Naureen di jalan dan melihat kondisi Naureen yang sangat lemah. Ia takut menyerahkan Naureen pada orang lain karena takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Aku tidak bermaksud untuk menyentuh Naureen tanpa ijin, Bu," jelas Gus Azmi. "Aku hanya ingin membantu Naureen. Dan, ketika Abi mengatakan bahwa aku harus menikah dengan Naureen, aku terkejut. Aku takut melakukan sesuatu yang salah."
Bunda Naureen mendengarkan penjelasan Gus Azmi dengan hati-hati. Ia melihat ketulusan di mata Gus Azmi. "Mas, Bunda tahu bahwa kamu tidak bermaksud buruk," ucap Bunda Naureen dengan suara yang lembut. "Tapi, Bunda harus mempertimbangkan keputusan ini dengan baik."
"Bunda ingin berbicara dengan Naureen terlebih dahulu," lanjut Bunda Naureen.
Gus Azmi mengangguk. Ia menunggu Bunda Naureen berbicara dengan Naureen dengan hati yang deg-degan. Ia berharap Bunda Naureen bisa memahami situasinya.
Bunda Naureen mendekat ke Naureen dan memeluknya. "Sayang, Bunda ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang lembut.
"Ya, Bun," jawab Naureen dengan suara yang gemetar.
"Apakah kamu ingin menikah dengan Gus Azmi?" tanya Bunda Naureen dengan suara yang tegas.
Naureen terdiam sejenak. Ia menatap Gus Azmi yang sedang menunggunya dengan tatapan yang penuh harapan. "Bun, aku takut," jawab Naureen dengan suara yang gemetar.
"Takut apa, sayang?" tanya Bunda Naureen dengan suara yang lembut.
"Aku takut mengecewakan Bunda," jawab Naureen dengan suara yang bergetar. "Aku takut jika Bunda tak setuju dengan pernikahan ini."
Bunda Naureen memeluk Naureen erat. "Sayang, Bunda tidak akan pernah mengecewakanmu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang penuh kasih. "Bunda akan selalu mendukung keputusanmu."
Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk menenangkan diri dan mencoba untuk berharap semuanya akan berjalan dengan baik."bun, aku takut, kalau kami menikah nanti ada yang tersakiti. soalnya aku lihat di walpaper Gus Azmi Poto wanita cantik. "
"Aku takut Bun, tapi aku serahkan kepada Bunda dan Kiyai."
Bunda Naureen menatap Naureen dengan tatapan yang penuh kasih. Ia mengerti ketakutan Naureen. "Sayang, Bunda mengerti ketakutan mu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang lembut. "Tapi, Bunda ingin kamu tahu bahwa setiap keputusan yang kamu ambil, Bunda akan selalu mendukungmu. Bunda akan selalu ada untukmu."
Bunda Naureen kemudian menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca. "Mas, Bunda ingin bertanya sesuatu," ucap Bunda Naureen dengan suara yang tegas.
"Silakan, Bu," jawab Gus Azmi.
"Apakah kamu memang mencintai Naureen?" tanya Bunda Naureen dengan suara yang tegas.
Gus Azmi terdiam sejenak. Ia menatap Naureen dengan tatapan yang penuh kasih. "Bu, aku takut melakukan sesuatu yang salah. Tapi, aku jujur, aku merasa terikat dengan Naureen sejak pertama kali melihatnya. Aku ingin menjaganya, menyayanginya, dan membuatnya bahagia. "
Bunda Naureen menatap Gus Azmi dengan tatapan yang tak terbaca. Ia mencoba untuk mencari kebenaran dalam kata-kata Gus Azmi. "Baiklah, Mas. Bunda merestui pernikahan kalian," ucap Bunda Naureen dengan suara yang tegas. "Tapi, Dek kamu telepon Kak Faiz yah, yang bertugas di Korea, dan Kak Bayu, Bunda sudah hubungin Abang Naufal."
Naureen terkejut mendengar keputusan Bundanya. Ia tak menyangka bahwa Bundanya akan merestui pernikahannya dengan Gus Azmi secepat ini.
"Tapi, Bun...," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Tidak ada tapi-tapian, Naureen," jawab Bunda Naureen dengan suara yang tegas. "Bunda percaya pada keputusan mu. Dan, Bunda yakin bahwa Gus Azmi akan menjagamu dengan baik."
Naureen terdiam sejenak. Ia mencoba untuk menahan air matanya. Ia merasa lega dan sedikit takut dengan keputusan Bundanya.
"Terima kasih, Bun," ucap Naureen dengan suara yang gemetar.
"Sama-sama, Sayang," jawab Bunda Naureen sambil memeluk Naureen. "Bunda akan selalu mendukungmu."
Gus Azmi menatap Naureen dan Bunda Naureen dengan tatapan yang penuh kasih. Ia merasa lega karena Bunda Naureen merestui pernikahannya dengan Naureen.
"Terima kasih, Bu," ucap Gus Azmi dengan suara yang gemetar.
"Sama-sama, Mas," jawab Bunda Naureen. "Semoga Allah SWT memberkahi hubungan kalian."
Naureen dan Gus Azmi menatap Bunda Naureen dengan tatapan yang penuh harapan. Mereka berharap bahwa pernikahan mereka akan berjalan dengan lancar dan diberkahi oleh Allah SWT.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!