Nuri, gadis itu mondar-mandir di dalam kamar kosnya yang sempit. Berkali-kali dia menatap layar ponsel yang dia pengang. Sejak semalam, kekasihnya yang bernama Dennis tak bisa dihubungi. Puluhan chat dia kirim, hasilnya sama, centang satu. Dan saat dia menelepon, hasilnya juga tetap sama, operator yang menjawab.
"Kamu dimana sih Den, jangan buat aku takut kayak gini. Kamu gak sedang ninggalin aku kan?" Nuri bermonolog dengan mata berkaca-kaca.
Gadis itu meraba perutnya, disana ada benih Dennis, dan sekarang, pria itu bak lenyap ditelan bumi.
Dret dret dret
Nuri langsung melihat ponsel di tangannya begitu benda pipih itu bergetar. Seketika dia langsung kecewa saat melihat nama Diana di layar, padahal dia berharap, Dennis yang menghubunginya.
"Hallo, Di," sahut Nuri lemas.
"Dennis Nur, Dennis." Suara Diana terdengar panik.
"Ada apa dengan Dennis?" Nada suara Diana membuat Nuri cemas.
"Dennis kemarin kecelakaan, dia meninggal."
Plug
Ponsel di tangan Nuri sekatika terjatuh. Seluruh tubuhnya terasa lemas, kakinya seperti tak bertulang, hingga beberapa saat kemudian, dia luruh ke lantai.
"Nur, Nuri, kamu denger aku kan?" sayup-sayup masih terdengar suara Diana. "Nuri, kamu baik-baik sajakan?"
Tangis Nuri pecah. Di dalam kamarnya yang sempit, dia meraung-raung sambil memegangi perutnya. Bagaimana dengan hidupnya dan calon anak mereka jika Denis benar-benar telah tiada?
.
.
Nuri menatap nanar makam Dennis yang masih dipadati pelayat. Dia hanya bisa menatap dari kejauhan dengan air mata yang terus mengucur deras. Dia teringat kejadian kemarin siang saat mereka bertemu.
"Gugurkan kandungan itu Nur, aku tak bisa menikahimu."
Ucapan Dennis terdengar seperti petir yang menyambar. Setega itu pria yang telah dia pacari sejak 7 bulan yang lalu menyuruhnya melakukan perbuatan keji tersebut.
Nuri menggeleng cepat. "Aku tidak mau. Aku tak mau melakukan semakin banyak dosa. Kamu harus tanggung jawab, Den." Nuri menarik-narik lengan Dennis.
"Aku tak mungkin menikahimu." Dennis menghempaskan kasar tangan Nuri. "Kamu tahukan, kita masih sama-sama kuliah semester 2, kita belum kerja. Aku belum siap menikah apalagi punya anak. Aku tak mau ibu dan kakakku marah jika mereka tahu aku menghamili anak orang." Dennis meraih kedua tangan Nuri lalu menggenggamnya. "Please Nur, gugurkan janin itu. Saat ini, hanya cara itu yang terbaik untuk kita berdua."
Nuri menarik kasar tangannya dari genggaman Dennis. "Enggak," dia menggeleng cepat dengan air mata bercucuran. "Aku gak akan gugurin kandungan ini." Dia memegang perut dimana sedang tumbuh janin hasil perbuatan dosanya dengan Dennis.
Dennis mengacak rambutnya frustasi sambil membung nafas kasar. Mengambil amplop coklat berisi uang yang ada di saku jaketnya. "Ambil ini, gugurkan janin itu." Dia meletakkan amplop berisi uang tersebut ketangan Nuri.
"Tidak." Nuri membuang uang tersebut. "Aku tidak mau," teriaknya.
"Terserah kalau itu mau kamu," Dennis balas membentak. Dia menatap Nuri tajam lalu pergi begitu saja.
Nuri tak habis pikir dengan kelakuan Dennis. Selama ini, pria itu sangat baik dalam memperlakukannya. Tapi sekarang, tiba-tiba berubah saat tahu dia hamil. Dia seperti bukan Dennis yang dia kenal.
"Dasar bajingan." Teriak Nuri sebelum Dennis benar-benar jauh. "Mau berbuat tapi tak mau tanggung jawab."
Meski mendengar makian Nuri, Dennis tetap melangkah pergi. Bisa habis dirinya kalau sampai ibu dan kakaknya tahu kelakuannya.
"Mati saja kau banggsat! Pecundang sepertimu lebih pantas mati. Semoga Tuhan segera mencabut nyawamu. Aku doakan kau tertabrak mobil dan langsung mati di tempat." Nuri yang sedang emosi jiwa terus meneriaki Dennis dengan sumpah serapahnya.
Nuri masih berada di area pemakaman saat satu persatu orang sudah meninggalkan tempat tersebut. Dan disaat semua orang bahkan keluarga Dennis sudah pergi, dengan langkah gontai, dia mendekati makam Dennis.
Dia menatap nanar nisan bertuliskan nama Dennis. Sumpah demi apapun, dia tak menginginkan ini semua terjadi. Dia tak sungguh-sungguh menyumpahi Dennis agar mati.
Nuri bersimpuh di depan makam yang masih basah. Dia benar-benar bingung sekarang. Pria yang menghamilinya meninggal, pada siapa dia harus minta pertanggung jawaban.
"Kenapa kamu pergi secepat ini, Den, kenapa?" tangis Nuri kembali pecah. Tangannya bergerak menyentuh nisan Dennis. "Tega kamu ninggalin aku dalam keadaan seperti ini."
Nuri makin sesenggukan saat memikirkan seperti apa nasibnya dan anaknya kelak.
"Bangun Den, bangun. Jangan pergi, jangan tinggalin aku. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Aku dan anak dalam kandungan ini membutuhkanmu, Den. Jika kamu pergi, pada siapa aku harus minta pertanggung jawaban?" Nuri memukul-mukul gundukan tanah yang masih basah dihadapannya. "Dennis... aku butuh kamu."
Seorang pria yang berdiri tak jauh dari makan Dennis, kaget mendengar ucapan gadis berpakaian serba putih yang tidak dia kenal tersebut.
"Jangan pergi, Den. Aku dan anak kita butuh kamu," Nuri terus mengiba sambil memeluk nisan Dennis.
"Apa maksud ucapanmu?"
Deg
Nuri kaget saat mendengar suara laki-laki yang berasal dari belakangnya. Dia menoleh dan mendapati seorang pria dengan pakaian serba hitam serta kaca mata hitam berdiri di belakangnya.
Dia adalah Sabda, kakak kandung Dennis. Pria itu kembali kearea pemakaman untuk mencari ponselnya yang kemungkinan terjatuh disana.
"Kau bilang tadi sedang mengandung, apa aku tidak salah dengar? Dan kenapa kamu meminta pertanggung jawaban Dennis?"
"Anda siapa?" Tanya Nuri dengan suara bergetar. Dia takut karena ada yang mengetahui aibnya. Sejauh ini, hanya dia dan alm. Dennis saja yang tahu soal kehamilannya.
"Saya kakaknya Dennis," ujar Sabda sambil melepas kaca mata hitamnya.
Nuri menatap pria dihadapannya tersebut. Dennis sering cerita tentang kakaknya yang menggantikan ayahnya menjadi kepala keluarga setelah ayah mereka meninggal. Wajahnya mirip dengan Dennis.
"Tolong jelaskan maksud perkataanmu tadi. Apa kamu hamil anak....Den-nis?" Sabda sedikit ragu mengatakannya.
Nuri mengangguk. "Ya, saya hamil anak Dennis."
Hari ini, 7 hari setelah kematian Dennis. Sesuai janji Sabda, pria itu menjemput Nuri dikosannya. Nuri hanya gadis kampung yang merantau ke Jakarta. Niat awal kuliah, tapi dia malah terseret dalam pergaulan bebas di ibu kota. Kepolosannya dimanfaatkan oleh Dennis hingga akhirnya, dia hamil diluar nikah.
Nuri gemetaran sejak memasuki mobil Sabda. Dia tak mengenal pria itu, jadi wajar jika dia merasa takut.
"Kita akan kemana?" tanya Nuri dengan suara bergetar.
"Nanti kau akan tahu." Jawab Sabda dengan pandangan tetap lurus kedepan. Selama seminggu ini, dia mencari informasi tentang Nuri. Di sosial media gadis itu, dia mendapati banyak foto Nuri dan adiknya. Dan dari keterangan teman teman Dennis, Nuri memang kekasih Dennis. Selain itu, saat dipemakaman tempo hari, Nuri juga menunjukkan bukti chat antara dia dan Dennis.
"Anda tidak akan menyuruh saya menggugurkan janin ini seperti Dennis kan?" Ujar Nuri sambil menunduk dan menyentuh perutnya.
Sabda menoleh kearah Nuri mendengar itu. "Jadi Dennis menyuruhmu menggugurkan janin itu?" Melihat Nuri mengangguk, Sabda langsung memejamkan mata. Dia tak menyangka jika Dennis yang selalu baik dimatanya, ternyata seorang bajingan. Mau berbuat tapi tak mau bertanggung jawab.
"Jika anda ingin membawa saya ke klinik aborsi, turunkan saya sekarang juga. Saya tidak akan pernah mau melakukan itu. Sudah terlalu banyak dosa yang saya perbuat, dan saya tak mau menambahnya lagi." Nuri menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya. Teringat kembali dosa dosa yang sering dia lakukan bersama Dennis. Tapi menyesalpun tak ada gunanya, sudah terlanjur ada janin didalam perutnya.
"Tenang saja, aku tidak akan membawamu kesana." Sabda meraih tisu lalu menyodorkannya kehadapan Nuri.
"Terimakasih." Nuri meraih tisu tersebut lalu menggunakanya untuk menyeka air mata dan menyusut hidung.
Nuri makin bertanya tanya saat mobil yang dikendarai Sabda masuk kekawasan perumahan elit. Kemanakah kiranya pria itu akan membawanya?
Mobil berhenti didepan rumah mewah dengan pagar yang sangat tinggi. Pagar terbuka secara otomatis, dan saat mobil memasuki halaman, dua orang satpam terlihat menunduk hormat.
Nuri sibuk mengedarkan pandangannya. Rumah siapakah ini? Pria disebelahnya tidak sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanyakan?
"Kau tidak tahu tempat ini?" Tanya Sabda saat melihat Nuri celingukan.
"Tidak." Sahut Nuri sambil menggeleng.
"Ini rumahku. Dan itu artinya, rumah alm. Dennis juga."
Nuri terkejut mendengarnya. Dia memang tahu jika Dennis anak orang kaya, tapi dia tak menyangka jika sekaya ini.
"Bisa bisanya kau tidur dengan pria yang bahkan alamat rumahnya saja kau tak tahu."
Jleb
Kalimat itu bernada sindiran, membuat Nuri langsung menunduk malu. Dennis memang selalu mengalihkan pembicaraan saat Nuri mulai bertanya tentang alamat rumah atau tentang kehidupan pribadinya. Tapi meskipun Dennis tertutup tentang itu, Dennis baik padanya. Selalu ada saat dia membutuhkan. Bahkan Dennis beberapa kali memberinya uang saat dia belum mendapat kiriman dari orang tua dikampung.
Nuri pikir, Dennis tulus. Tapi ternyata, kebaikannya hanya modus untuk membodohi gadis kampung sepertinya.
"Ayo turun, ada yang perlu kita bicarakan." Ucap Sabda sambil melepas seatbeltnya.
Nuri mengangguk, melepas seatbelt lalu turun dan mengikuti langkah Sabda masuk kedalam rumah. Meski sangat mewah, tapi rumah tersebut terkesan begitu sepi.
"Tunggulah disini." Sabda menyuruh pembantu menyediakan minuman untuk Nuri yang sedang menunggu disofa ruang keluarga. Setelah itu dia naik kelantai atas untuk memanggil ibu dan istrinya.
Nuri meneguk orange jus yang baru saja dihidangkan oleh art. Meskipun tampak segar, nyatanya minuman itu tak bisa menyegarkan hati dan pikirannya yang saat ini gelisah.
Sekitar 20 menit kemudian, Sabda turun bersama ibu dan istrinya. Sengaja dia tak memberitahu apapun, hanya meminta mereka untuk turun dan mengatakan jika ada hal yang penting.
"Dia siapa Mas?" Tanya istri Sabda yang bernama Fasya saat melihat seorang gadis duduk di sofa ruang keluarga mereka.
Nuri, gadis itu salah tingkah saat dirinya tiba tiba menjadi pusat perhatian.
"Dia Nuri," jawab Sabda.
"Nuri siapa?" tanya Bu Yulia, ibunda Sabda.
"Kekasih Dennis."
Yulia mengamati penampilan Nuri. Kesederhanaan yang ditampilkan Nuri membuatnya ragu jika Dennis memacari gadis seperti itu.
"Dia hamil anak Dennis."
Mulut Bu Yulia langsung menganga mendengar itu. Tubuhnya sampai limbung, untuk Sabda memeganginya, hingga tak sampai terjatuh.
"Kau yakin Mas?" tanya Fasya sambil menelisik penampilan Nuri dari atas kebawah. Gadis itu memang terlihat cantik natural. Tapi benarkah Dennis menyukai tipe gadis seperti itu?
"Aku sudah mencari tahu semuanya. Dia memang kekasih Dennis. Dan saat ini sedang mengandung anak Dennis."
"Tidak, itu tidak mungkin," Seru Yulia lantang. "Anakku tak mungkin melakukan hal seperti itu. Dennis pria baik baik, tak mungkin dia meniduri wanita yang belum menjadi istrinya. Dia pasti berbohong." Yulia menatap Nuri nyalang.
"Tapi saya tidak berbohong, saya memang hamil anak Dennis." Nuri angkat suara. Dia tak boleh diam saja, dia harus mencari keadilan untuk anaknya.
"Tidak mungkin, kamu pembohong." Yulia menghampiri Nuri lalu menamparnya dengan keras.
PLAK
"Ibu." Pekik Sabda sambil bergerak cepat menghampiri ibunya.
"Jangan percaya pada ucapannya, Sabda." Yulia menunjuk Nuri yang sedang memegangi pipinya yang panas. "Dia tak sepolos penampilannya, dia itu jalangg," makinya.
"Saya tidak seperti itu," sangkal Nuri.
"Tidak seperti itu kata kamu. Jika memang tidak, kamu tidak mungkin hamil diluar nikah. Dasar murahan!"
Nuri menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Benar apa yang dikatakan ibu Dennis, dia murahan. Mau maunya dia ditiduri Dennis yang statusnya hanya pacar, bukan suami.
"Pergi dari rumah ini. Jangan harap bisa mengambil keuntungan dari meninggalnya putraku dengan mengaku ngaku hamil anaknya," hardik Yulia.
Nuri menggeleng. "Tapi saya tidak bohong, saya berani bersumpah, saya hamil anak Dennis."
Sabda bisa melihat kejujuran dimata Nuri. Dia juga sudah menyelidikan semuanya, Nuri benar benar pacar Dennis.
"Sampai matipun, aku tak akan mempercayai mulut sampahmu. Pergi dari sini. Angkat kaki dari rumahku." Yulia mendorong Nuri dengan kasar. Beruntung Sabda berhasil menahan tubuh Nuri sehingga tak sampai terjatuh.
"Tolong jangan seperti ini Bu, gadis ini sedang hamil."
Fasya cemburu melihat suaminya memegangi Nuri. Tak hanya itu, Sabda yang kekeh membela Nuri membuatnya geram. "Lepaskan dia Mas," seru Fasya.
Menyadari kedua tanganya memegang bahu Nuri, buru buru Sabda melepasnya.
"Dia tak akan pergi dari sini. Dia sedang hamil anak Dennis, dan aku tak akan membiarkan keponakanku menderita diluar sana,"
"Apa maksudmu, Sabda? Kamu akan menyuruh gadis ini tinggal disini?" teriak Yulia.
Sabda mengangguk. "Aku akan menggantikan Dennis untuk bertanggung jawab, aku akan menikahinya."
Semua orang yang ada disana langsung terkejut, tak terkecuali Nuri.
"Kau jangan gila Mas." Fasya menghampiri Sabda lalu menarik pria itu menjauhi Nuri.
Sabda membawa Fasya keruang kerja. Berusaha membujuknya agar mengizinkannya menikahi Nuri. Tapi wanita mana yang mau dimadu? Begitupun dengan Fasya, dia tak mau berbagi suami, dengan siapapun itu.
"Aku tidak akan pernah mau dipoligami." Ucap Fasya telak.
Sabda meraih tangan Fasya lalu menggenggamnya. "Kamu satu satunya sayang. Hanya kamu yang aku cintai. Aku menikahinya hanya karena anak dalam kandungannya. Dia anak Dennis, keponakanku. Tolong izinkan aku untuk memiliki anak itu sayang." Sabda memohon dengan sangat. Dia sadar jika keputusannya ini menyakiti hati Fasya, tapi saat ini, dia sunggung sungguh menginginkan bayi itu.
"Kita bisa memiliki bayi sendiri Mas." Fasya hampir menangis saat mengatakannya. Dia sungguh tak rela berbagi suami hanya demi seorang bayi "Bukankah kata dokter, kita berdua sama sama tak ada masalah dengan kesuburan? Itu artinya kita bisa memiliki anak sendiri, anak kandung kita. Anak yang aku lahirnya dari rahimku sendiri."
Keduanya sudah menikah selama 3 tahun tapi belum memiliki momongannya. Sabda terpaksa menyembunyikan fakta pahit jika dia tidak subur alias mandul. Dulu saat mengadakan pemeriksaan bersama, Sabda memanipulasi hasilnya. Dengan sedikit uang, dokter mengubah hasil pemeriksaannya. Sabda sangat mencintai Fasya, dia tak mau wanita itu meninggalkannya jika tahu dia mandul.
Dan saat ini, ketika ada seorang wanita hamil anak Dennis, dia menginginkan bayi itu. Setelah Dennis tiada dan dia mandul, bayi itu satu satunya penerus keluar Abinawa, dan dia tak mau kehilangan bayi tersebut.
Sabda memeluk Fasya dari belakang, meletakkan dagunya dibahu istrinya tersebut.
"Aku mohon, izinkan aku menikahinya. Hanya 9 bulan, hanya sampai bayi itu lahir. Aku berjanji tidak akan ada yang berubah dengan kehidupan kita. Kamu tetap istriku satu satunya. Karena dia hanya akan berstatus istri, tapi tidak menjadi istriku seutuhnya."
Fasya mengepalkan tangannya. Apapun alasannya, berbagi suami jelas dia tak mau.
"Aku tak akan menyentuhnya. Setiap malamku, setiap 24 jam perhari, aku milikmu. Tolong mengertilah sayang, aku hanya menginginkan keponakanku, hanya itu."
Fasya membalikkan badan lalu menyentuh rahang suaminya. "Kau terlalu baik Mas, aku takut wanita itu akan jatuh cinta padamu." Fasya tak mau posisinya dirumah ini sampai tergeser. Dia tahu selain tampan, suaminya itu juga sangat baik. Dia yakin jika wanita manapun akan mudah jatuh cinta padanya.
"Aku tak peduli dengan perasaannya. Setelah dia melahirkan, aku akan menceraikannya."
Dengen berat hati, akhirnya Fasya menganguk..
.
.
Sementara di ruang keluarga, Nuri seperti dikuliti dengan tatapan tajam Yulia. Sejak tadi, keduanya hanya diam sambil menunggu Sabda dan Fasya yang sedang berdiskusi diruang kerja.
Tak lama kemudian, Sabda keluar bersama Fasya. Wanita itu melingkarkan tangannya dilengan Sabda, seolah olah menegaskan pada Nuri jika apapun yang terjadi, Sabda adalah miliknya.
Sabda meletakkan map yang dia bawa diatas meja depan Nuri.
"Aku menawarkan pernikahan 9 bulan padamu."
Yulia langsung melotot mendengar itu. Dia tenang daritadi karena dia pikir, Fasya pasti tidak akan menyetujui ide gila itu.
"Apa apaan ini, ibu tidak setuju," ujar Yulia dengan emosi. "Kamu tak perlu bertanggung jawab karena itu bukan anak Dennis."
"Bu, Sabda mohon, untuk kali ini, tolong jangan mempersulit Sabda." Dia sudah lelah membujuk Fasya. Dan sekarang, dia sudah tak ada tenaga lagi jika harus berdebat dengan ibunya.
Nuri masih diam, dia bingung harus menerima atau tidak.
"Pernikahan bisa menjadi jalan satu satunya untuk menutupi aibmu. Menikahlah denganku. Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai. Dan hak asuhnya akan jatuh ketanganku, ayah sahnya secara hukum. Kita akan menikah secara resmi." Sabda akan menikahi Nuri secara resmi agar kelak anak itu akan tercatat secara hukum sebagai anaknya.
Nuri memegang perutnya. Menyerahkan anak yang telah dikandung selama 9 bulan jelas bukan hal yang mudah. Tapi bertahan dengan kehamilan tanpa suami, itu jelas lebih sulit lagi. Dia tak ubahnya melempar kotoran kewajah kedua orang tuanya.
"Kau jangan khawatir, aku akan memberikan kompensasi atas jasamu mengandung anak Dennis selama 9 bulan. Aku akan memberimu uang yang bisa kau gunakan untuk melanjutkan kuliah atau membuka usaha."
Penawaran yang terdengar sangat menggiurkan. Tapi sekali lagi, mampukah dia berpisah dengan darah dagingnya?
"Jika kau setuju, tanda tangani perjanjian pranikah didepanmu itu. Disana tertulis jika terjadi perceraian, hak asuh anak akan jatuh ketanganku."
Dengan tangan bergetar, Nuri membuka map yang ada dihadapannya. Dia membaca poin poin disana sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan. Mereka keluarga Dennis, dia yakin anaknya akan baik baik saja disini tanpa dia.
.
.
.
Satu minggu kemudian, hari pernikahan itu tiba. Nuri didampingi ibunya yang sejak kemarin tak berhenti menangis. Bagaimana tidak sedih, putri yang meminta izin padanya untuk kuliah dikota, malah berakhir dengan hamil diluar nikah. Tapi beruntung masih ada pria yang mau tanggung jawab.
Ya, Nuri menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya. Dia tak mau menyimpan kebohongan yang akan membuat mereka makin kecewa lagi. Sejak datang ke Jakarta, ayahnya bahkan tak mau bicara dengannya. Pria paruh baya itu terlalu kecewa. Dia menaruh kepercayaan yang besar pada Nuri, tapi putrinya itu, telah secara sadar mengahancurkan kepercayaannya.
"Apa sudah bisa dimulai?" tanya penghulu yang duduk didepan Sabda.
Sabda mengangguk, begitupun ayah Nuri yang hari bertindak sebagai wali nikah. Dibelakang sana Yulia dan Fasya mengepalkan telapak tangan mereka. Meski Fasya telah memberikan izin, tapi dia belum bisa ikhlas.
Aku pastikan kau akan angkat kaki dari sini sebelum 9 bulan.
Sementara Yulia, dia sangat yakin jika anak dalam kandungan Nuri bukanlah anak Dennis. Nuri hanya gadis kampung anak petani miskin, mana mungkin Dennis mau dengannya. Kalaupun itu memang benar anak Dennis, dia tetap tak mau menerima cucu yang lahir dari rahim wanita miskin seperti Nuri.
Sampai kapanpun, aku tak sudi memiliki cucu dari rahim wanita kelas rendah sepertimu. Tak akan kubiarkan bayi itu sampai menatap dunia.
Sementara Fasya dan Yulia sibuk dengan pikirannya, Sabda tengah menjabat tangan ayah Nuri, mengikrarkan ijab kabul dengan sekali tarikan nafas.
"SAH."
Kata itu menggema diruang tamu rumah Sabda. Pernikahan tersebut memang hanya digelar dirumah dan dihadiri sedikit orang saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!