NovelToon NovelToon

Imperfect Love

Chapter 1

2008

Pukul 07.15 pagi, seorang gadis berlari tergopoh-gopoh melewati lorong sekolah yang sudah tampak sepi. Tentu saja, jam masuk sekolah adalah pukul 07.00 dan ia untuk kesekian kalinya kembali terlambat.

Untung saja hari ini Pak Salim, satpam sekolah yang terkenal killer itu tidak masuk, dan digantikan oleh Pak Windu, satpam baru yang masih bisa diajak kompromi untuk membukakan gerbang sekolah bagi siswa yang terlambat.

Dengan nafas yang memburu, Sena sampai di dalam kelas XII IPA 1 yang ternyata masih belum ada guru. Ia menarik nafas lega dan berjalan gontai menuju bangkunya.

Teman-teman kelas yang melihat kedatangan Sena tampak sudah paham dengan kebiasaan gadis berambut sebahu itu sebagi ratunya terlambat. Tidak ada hari tanpa kata “terlambat” bagi Sena. Mendapatkan “ceramah pagi” dari pak Salim, mendapatkan hukuman dari guru piket, sampai pengurangan poin kedisiplinan merupakan makanan setiap pagi Sena, dan hal itu sama sekali tidak membuatnya kapok.

“Hah… Untung aja Bu Hafsah belum masuk,” ucapnya seraya meletakkan tas di meja dan duduk di bangkunya sambil kembali mengatur nafas yang terasa hampir habis setelah “maraton” pagi.

Resta yang merupakan teman sebangkunya hanya bisa memandang takjub pada sahabatnya itu. Sena, dengan segala kecuekannya dan sikapnya yang asal dan ceplas-ceplos merupakan paket combo langka yang dimiliki oleh seorang gadis.

Tifani yang duduk tepat di depan bangku Sena dan Resta segera memutar duduknya, menghadap kedua sahabatnya itu sambil tertawa cekikikan melihat Sena yang tengah berkipas ria menggunakan buku tulisnya.

“Olahraga lagi non? Haha…” Ledek Tifani yang melihat Sena tampak kepanasan.

“Brisik lo, gue lagi kepanasan nih, jangan sampai buku ini mendarat di muka lo!” Sungutnya galak pada Tifani yang masih mentertawakan kelakuannya.

Resta yang dari tadi hanya memperhatikan tingkah laku ajaib sahabat sebangkunya itu akhirnya angkat bicara juga. “Lo tuh ya tiap hari kerjaannya telat melulu, sekarang alasannya apa lagi?” Tanya Resta menelisik.

Sena membetulkan arah duduknya yang kini menghadap ke arah Resta, “gue abis begadang nonton pertandingan Real Madrid lawan Barca, gilaa seru banget sumpah,” jawab Sena dengan menggebu-gebu mengingat kembali pertandingan sepak bola favoritnya semalam.

Resta dan Tifani yang mendengar jawaban itu langsung menepuk jidat mereka secara bersamaan. Betapa tidak habis pikirnya mereka berdua memiliki sahabat seperti Sena yang terlambat datang ke sekolah hanya karena samalam begadang menonton acara pertandingan sepak bola.

“Gila banget lo ya, bisa banget lo begadang demi nonton acara bola,” sungut Resta sambil menoyor kepala sahabatnya itu. Sebenarnya Resta ingin sekali membenturkan kepala gadis disampingnya itu, mungkin saja ada saraf di otaknya yang sedikit salah tempat.

“Otak dia kan udah konslet Res, haha….” Timpal Tifani yang tawanya semakin terbahak.

“Lo semua sih cupu pada gak ngerti sepak bola,” bela Sena pada dirinya sendiri.

“Eh… Fan, si Una lagi apa sih sibuk banget dari tadi gue liatin. Nulis apaan tuh bocah?” Tanya Sena penasaran setelah menyadari jika Una, salah satu sahabatnya yang duduk sebangku dengan Tifani tidak ikut bergabung dengan obrolan mereka sejak tadi. Una tampak sibuk menulis sesuatu, sampai-sampai gadis itu tetap bergeming di mejanya tanpa terpengaruh dengan obrolan sahabat-sahabatnya.

Tifani melirik Una sekilas, “dia lagi nyalin tugas Biologi soalnya buku tugasnya ketinggalan di rumah. Lo udah ngerjain belum? Jangan-jangan gara-gara keasikan mantengin Lionel Messi lo lupa lagi belum ngerjain tugas Biologi.”

“Sorry guys…. Biar sering telat masuk sekolah, gue bukan tipe orang yang mengabaikan tugas Negara,” jawab Sena menyombongkan diri dan ditanggapi kedua sahabatnya dengan tawa bersamaan, “gendeng banget sih nih bocah,” celetuk Tifani disela-sela tawanya.

Suasana kelas XII IPA 1 masih ramai bak “pasar tumpah” sampai akhirnya seorang guru wanita paruh baya masuk kedalam kelas sambil membawa setumpukan kertas berwarna putih di tangannya. Kelas mendadak sunyi saat Bu Hafsah, guru Matematika mereka itu masuk. Beberapa siswa mulai cemas dengan apa yang akan dilakukan Bu Hafsah dengan kertas-kertas itu.

“Selamat pagi anak-anak. Maafkan ibu karena terlambat masuk kelas. Sebelum pelajaran dimulai ada hal yang ingin ibu sampaikan terkait hasil rapat yang tadi diadakan oleh bapak kepala sekolah,” jelas Bu Hafsah kepada para siswa yang tampak serius mendengarkan.

“Jadi mulai minggu depan, bagi siapapun yang datang terlambat ke sekolah sampai tiga kali dalam satu bulan tanpa ada alasan yang jelas dan kuat, maka poin kedisiplinan akan dikurangi 100%, itu artinya bersiaplah untuk mendapatkan hukuman skorsing selama tiga hari. Dan tidak hanya itu, nilai semua mata pelajaran kalian juga akan mendapatkan pengurangan 15%. Jadi ibu harap mulai besok dan seterusnya berusahalah untuk disiplin,” pungkas Bu Hafsah yang bagai sambaran petir di siang bolong bagi para siswa, terutama Sena yang memang selalu rajin terlambat.

Kasak-kusuk itu kini mulai terdengar nyaring dan membuat keriuhan di dalam kelas. Sebagian ada yang biasa saja, dan sebagian lagi mulai tampak panik. Begitupun Sena yang dibuat kalang kabut mendengarkan pengumuman itu.

“Sial banget sih kenapa pake ada peraturan kejam kayak gitu,” rutuk Sena kesal dengan nada suara yang pelan setengah berbisik kepada Resta.

“Makannya mulai besok lo jangan sampe telat. Pasang tuh alarm deket telinga lo, kalau perlu pasang lima alarm sekaligus biar lo bangun,” Resta berusaha menasehati dan memberikan solusi pada sahabatnya yang mulai uring-uringan.

Kegaduhan semakin menjadi, Bu Hafsah hanya diam memperhatikan kegaduhan itu sampai para siswa yang merasa tengah diperhatikan oleh tatapan tajam Bu Hafsah menghentikan kegaduhan mereka dengan sendirinya. Kelas kembali sunyi, semua siswa kembali diam. Cara Bu Hafsah mengkondisikan kelas memang selalu ampuh, tidak perlu dengan marah-marah atau gebrak-gebruk meja dan papan tulis kelas. Beliau hanya perlu diam dengan sorotan tajamnya dan dengan sendirinya anak-anak itu akan menghentikan kegaduhannya.

“Sudah ributnya?!” Tanya Bu Hafsah saat kelas kembali sunyi.

Tidak ada siswa yang berani menjawab pertanyaan itu, karena memang sebenarnya itu hanyalah sebuah pertanyaan retoris. Kali ini Bu Hafsah kembali kemejanya, mengambil setumpukan kertas putih yang dibawanya tadi. Para siswa kembali tegang saat Bu Hafsah mulai mengambil kertas tersebut.

“Baiklah, sekarang kita mulai pelajaran. Masukan semua buku Matematika kalian kedalam tas. Kita ulangan harian dimensi tiga hari ini.”

Semua tanda tanya yang sejak tadi memenuhi kepala para siswa terjawab sudah. Prasangka buruk itu akhirnya menjadi kenyataan. Suara riuh kembali membahana di kelas XII IPA 1 itu. Wajah mereka penuh kepanikan. Bu Hafsah tidak memperdulikan kepanikan para siswa, beliau tetap membagikan kertas ujian tersebut.

“Sudah dapat semua kertas ujiannya? Baiklah sekarang mulai kerjakan waktunya satu jam,” perintah Bu Hafsah segera dilaksanakan oleh para siswa yang masih mengerutkan keningnya tanda masih kebingungan dengan apa yang akan mereka lakukan dengan soal-soal Matematika itu.

...***...

“Gila banget ulangan Matematika tadi, gue sama sekali gak ngerti jawab apaan coba,” cerocos Una sambil mengaduk-aduk jus alpukat miliknya.

Ujian Matematika di jam pertama tadi benar-benar mempengaruhi suasa hati para siswa XII IPA 1. Bahkan pelajaran di jam ke dua, yaitu Bahasa Indonesia yang memiliki guru menyenangkanpun menjadi tidak menarik. Pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan soal-soal Matematika milik Bu Hafsah yang bagaikan mimpi buruk di pagi hari.

“Gak lo doang yang frustasi, anak-anak lain juga kejang-kejang ngeliat tuh soal,” timpal Tifani yang masih asik makan coklat sebagi

“obat penenang” yang ampuh untuknya.

“Tau tuh guru, bisa gak sih kalau kasih ujian bilang-bilang kek, biar kita ada persiapan. Kalau kayak gini gimana nilai Matematika kita bisa bagus. Ancur lagi ini sih nilai Matermatika gue,” kali ini Resta yang mengomel sambil menelungkupkan tangannya di atas meja. Gadis blasteran Indo-Belgia itu sama sekali tidak berminat untuk makan apapun di jam istirahat gara-gara ujian Matematika dadakan tadi.

Diantara ketiga anak itu hanya Sena yang tampak tidak terlalu khawatir dengan ujian Matematika. Dia jauh lebih mengkhawatirkan pengumuman dari Bu Hafsah mengenai sanksi keterlambatan masuk sekolah.

“Eh lo semua kenapa malah mikirin ujian Matematika sih, yang udah berlalu gak usah dipikirin lagi. It’s a good decision to take the past is in the past, you know,” ucap Sena kepada ketiga sahabatnya yang masih tampak murung gara-gara syok terapi dari Bu Hafsah.

“Ada hal yang lebih mengancam dibandingkan ujian Matematika tadi. Lo gak ngerasa terintimidasi dengan kebijakan sekolah yang men-skorsing siswanya yang terlambat masuk sekolah. Pake ada acara potong-potongan nilai segala lagi. Gila kan? Mereka seenaknya aja motong-motong nilai kita kayak diskon baju lebaran. Kebijakan macam apa coba itu,” omel Sena panjang lebar.

“Makannya lo jangan kebo dong kalo tidur,” cetus Resta yang masih dengan mood buruknya.

“Tau nih, gue heran banget bisa ya ada orang yang konsisten telat tiap pagi. Gak ada kapok-kapoknya kena omel satpam galak sampe dihukum tiap hari,” tambah Tifani sambil menatap Sena yang tetap asik dengan batagornya.

“Guwe, buwkan Kebwo, guwe cuma gak bisa bangun pagi,” kelak Sena dengan mulut penuh batagor.

Dengan gerakan kompak ketiga sahabatnya secara bersamaan menjitak kepala Sena gemas, “aww…. Gila lo pada, sakit tau!!!” Teriak Sena terkejut saat tiga jitakan mendarat di kepalanya tanpa ampun.

Saat keributan masih berlangsung diantara ke empat sahabat itu, seseorang berjalan melewati meja mereka. Sena yang memang sejak tadi hendak mencari orang tersebut segera berteriak memanggil orang itu, tanpa memperdulikan kini mulutnya tengah penuh dengan batagor.

“Twaa… woy!!” Pekik Sena memanggil seseorang yang membuat sosok itu menghentikan langkahnya dan berbalik memastikan jika yang terdengar itu memang namanya tadi.

Ketiga sahabatnya yang lain secara kompak melihat ke arah sosok yang Sena panggil dengan wajah menganga. Arthaditya Mahesa, ketua OSIS yang akan lengser sebentar lagi, sekaligus laki-laki yang masuk dalam jajaran the most wanted man di sekolah karena kepintarannya dan juga wajah tampan blasteran perpaduan Timur Tengah dan Eropa yang menurut kasak kusuk menurun dari ibunya, berhidung mancung, dan memiliki mata tajam membuat Artha menjadi kegilaan para perempuan di sekolah.

Tapi sayangnya itu tidak berlaku bagi Sena. Gadis bar-bar itu tidak pernah menunjukkan sikap manis layaknya perempuan, bahkan dihadapan laki-laki setampan Artha sekalipun. Terbukti bagaimana tadi Sena memanggil laki-laki itu dengan nada premannya yang membuat syok ketiga sahabatnya saat melihat sosok Artha lah yang dipanggil gadis itu.

“Lo panggil gue?” Tanya Artha memastikan.

Sena mengangguk, suaranya tercekat akibat kunyahan batagor yang penuh dimulutnya. Ia segera menyambar gelas es teh manisnya dan meneguknya pelan, melonggarkan tenggorokannya.

“Kenapa?” Tanya Artha yang kini sudah berada di depan meja Sena dan ketiga sahabatnya.

“Ta gue mau ngomong penting. Lo udah denger kan pengumuman baru dari sekolah tentang sanksi keterlambatan?” Tanya Sena membuka percakapan mereka. Artha mengangguk.

“Lo kan ketua OSIS, gak bisa gitu usul sama kepala sekolah buat ganti peraturannya. Jangan pake skorsing sama pengurangan nilai gitu dong. Itu terlalu kejam dan berlebihan. Gue rela deh hukumannya diganti jadi lari-lari keliling lapangan 10 kali. Usul dong Ta,” ucap Sena seenaknya dengan wajah yang terlihat serius.

Ketiga sahabatnya yang mendengar usulan bodoh Sena tersebut langsung memasang wajah emosi.

“Gila lo, udah niat aja buat kesiangan tiap hari, sampe minta hukumannya diganti jadi lari segala,” murka Tifani tidak percaya dengan permintaan Sena barusan.

Artha masih diam belum memberikan respon apa-apa selain tertawa kecil saat mendengar permintaan Sena yang tidak lain adalah sekretarisnya di OSIS.

“Lo kan tahu gue gak bisa bangun pagi, segala cara udah gue coba tapi tetep gak bisa. Makannya Ta gue minta tolong,” Sena masih bertahan pada pendiriannya untuk meminta Artha mengusulkan usulnya tersebut kepada pihak sekolah.

“Gue rasa peraturan tersebut sudah sangat pas diterapkan di sekolah. Jadi gak perlu ada yang harus dipertimbangkan lagi. Lagi pula usulan keberatan pada sebuah peraturan tidak bisa hanya dari satu orang, dan sayangnya sejauh ini tidak ada siswa lain yang mengajukan keberatan tentang peraturan tersebut, kecuali lo,” jelas Artha yang seolah menghempaskan harapan Sena begitu saja.

Mendengar hal tersebut kini wajah Sena tampak memberengut, gadis itu memasang wajah kesal saat menatap Artha.

“Well, kalau gak ada hal lain gue pergi. Dan lo Sen, belajar disiplin mulai sekarang, jangan manja,” seloroh Artha kalem tapi berhasil membuat hati Sena memanas mendengar ucapan menohok Artha tersebut.

“Brisik lo! Pergi sana!!!” Geram Sena dengan intonasi suara yang tinggi membuat orang-orang yang tengah berada di kantin tersebut sontak menatap ke arahnya.

Artha hanya tersenyum simpul mendengar gadis itu meneriakinya dengan nada yang penuh amarah. Ia sudah sangat memahami tabiat Sena yang mudah meledak-ledak jika ada hal yang membuatnya tidak suka.

Laki-laki itu kemudian berlalu meninggalkan meja keempat gadis itu.

Sena kini masih diliputi perasaan emosi akibat ucapan Artha yang mengatainya manja.

“Sialan gue dikatain manja sama tuh kampret satu,” sungutnya kesal.

Ketiga sahabatnya hanya bisa saling tatap dan menggelengkan kepala mereka tanda mereka sudah tidak tahu lagi harus menghadapi sahabat ajaibnya itu seperti apa. Jika ada pilihan dapat melambaikan tangan ke kamera, mungkin ketiganya sudah sejak tadi ingin melakukan hal tersebut saat menghadapi kelabilan Sena.

...***...

Chapter 2

Hari masih sangat pagi, namun sepertinya mentari masih enggan menampakkan wajahnya. Langit dihiasi oleh gulungan awan kelabu. Wanita itu tampak berdiri termenung, matanya menatap ke arah luar jendela dengan tatapan sendu. Sesekali nafas beratnya ia hembuskan, berharap mampu meredakan perasaan sesak di hatinya pagi ini. Tanpa ia sadari, dari balik pintu kamarnya yang terbuka, seorang gadis berdiri mematung menatap punggung wanita itu yang seperti tidak menyadari keberadaan seseorang dibelakangnya. Gadis itu merasakan rasa sakit yang sama seperti yang wanita itu rasakan. Perasaan sakit yang ia sendiri tidak tahu harus bagaimana untuk dapat berdamai setelahnya.

Bulir bening air matanya sudah luruh sejak tadi. Ingin rasanya ia berjalan mendekat, memeluk wanita yang terlihat begitu tegar namun ia tahu bahwa hatinya telah hancur tak berbentuk. Tapi niatnya ia urungkan. Ia teringat kembali perdebatannya seminggu yang lalu sebelum semua keadaan ini terjadi. Bagaimana wanita itu dengan tegarnya mengatakan bahwa ia tidak masalah dengan keputusan suaminya untuk menikah lagi. Dan ia berbesar hati mengizinkannya.

Davina mungkin dapat berbesar hati walau entah apa alasannya, tapi tidak dengan dirinya yang sampai kapanpun tidak akan pernah mau merestui pernikahan kedua ayahnya itu. Baginya apa yang telah dilakukan ayahnya, tidak hanya melukai perasaan ibunya, tetapi juga telah menghancurkan hati Sena.

Pagi itu ia membiarkan ibunya menyendiri. Ia biarkan hati wanita itu menangis sepuasnya. Hatinya sedang tidak menentu, sungguh sejujurnya ia tidak ingin pergi ke sekolah. Tapi ia bingung akan pergi kemana jika tidak pergi ke sekolah. Ia tidak memiliki tujuan. Baginya pergi kemanapun dalam kondisi hati yang kacau tetap tidak akan terasa menyenangkan. Setidaknya di sekolah ia memiliki ketiga sahabat terbaiknya. Sahabat yang selalu mampu mewarnai hari-harinya.

Sena telah sampai di depan gerbang sekolahnya pukul 06.40, sebuah prestasi yang membanggakan bagi seorang Sena yang sudah mendapatkan predikat si “Ratu Telat.” Ia sendiri merasa takjub atas prestasinya pagi ini untuk tidak terlambat masuk sekolah.

Ia berjalan dengan santai memasuki area sekolah. Hari ini ternyata Pak Salim yang bertugas di pos satpam.

“Pagi Pak Salim,” sapa Sena yang pagi itu sengaja mampir ke pos satpam. Tujuannya adalah untuk menyombongkan diri dihadapan pak Salim yang selama ini selalu memberikan ceramah pagi pada dirinya.

Pak Salim yang melihat kedatangan Sena segera melirik jam yang tergantung di dinding pos, memastikan kembali jika jarum jam menunjukkan waktu yang benar. Dengan wajah heran pak Salim menatap gadis itu kembali.

“Wah tumben sekali kamu berangkat pagi. Bapak sampai nyaris tidak percaya. Syukurlah satu minggu bapak cuti kamu sudah insaf sekarang,” ucap Pak Salim dengan suara baritonya.

“Iya nih pak saya tadi pagi dapet hidayah soalnya. Mungkin karena tadi malam sebelum tidur saya doa dulu, biasanya suka lupa pak,” jawab Sena asal.

“Kamu ini, anak sekolah itu memang harusnya rajin bangun pagi, jangan malas, jangan tidak disiplin seperti kamu itu kemarin-kemarin. Mau jadi apa Negara kita kalau anak mudanya pada malas, hobi jam karet, tidak disiplin. Kamu tahu Negara kita ini merdeka berkat perjuangan para anak mudanya yang senantiasa disiplin,” jelas Pak Salim dengan semangat 45 memberikan orasi pagi kepada Sena.

Gadis itu sudah terbiasa mendengarkan ceramah dari pak Salim setiap pagi. Telinganya bahkan mungkin sudah kebal dengan rentetan kata-kata itu.

“Siap! mengerti Pak!” Jawab Sena sambil memberi hormat pada pak Salim layaknya prajurit kepada komandannya.

Pak Salim hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah Sena yang sudah sangat dihafalnya.

Setelah obrolan kecilnya dengan pak Salim, Sena segera bergegas menuju kelasnya. Ia yakin jika ketiga sahabatnyapun akan terkejut saat melihat kedatangannya. Langkah kecilnya berjalan dengan raut wajah yang cerah membayangkan wajah sahabat-sahabatnya nanti saat melihat dirinya hari ini tidak terlambat.

“Pagiii…. Mi amor….”

Suara ceria Sena yang baru saja memasuki kelas membuat ketiga sahabatnya yang saat itu tengah mengobrol seketika menjeda obrolan mereka. Ketiganya kompak menatap wajah sahabatnya yang baru saja duduk dibangkunya dengan wajah sumringah.

Mereka kompak memperlihatkan wajah terkejutnya. Pasalnya, sudah hampir tiga tahun mereka bersama dan entah keajaiban macam apa yang membuat mereka selalu berada di satu kelas yang sama. Namun, ini adalah untuk pertama kalinya seorang Sena Zaahirah—si ratu telat, kali ini benar-benar datang sangat awal, bahkan saat bel masuk sekolah masih kurang dari 10 menit lagi untuk berdering.

“Kenapa lo pada?” Tanya Sena basa-basi.

“Lo lagi kesambet setan rajin dari mana bisa masuk tepat waktu gini? Apa jangan-jangan lo gak tidur semalaman ya takut telat dan kena skors?” Cerocos Tifani dengan begitu penasaran.

Sena hanya mencebbikan bibirnya mendengar ocehan Tifani. Sedangkan kedua sahabatnya yang lain masih belum berkomentar apa-apa, kecuali Resta yang tiba-tiba meletakkan telapak tangannya ke kening Sena.

“Apaan sih lo, Res. Lo kira gue lagi demam apa?!” Ucap Sena seraya menampik pelan tangan sahabatnya itu.

“Ya ampun Sen, sumpah ya gue sebagai sahabat lo bangga banget nih, akhirnya si ratu telat sekolah udah tobat. Guys, kayaknya kita harus ngadain syukuran tujuh hari tujuh malam nih buat Sena,” seloroh Una yang membuat mereka berempat tertawa.

Dan disinilah Sena benar-benar dapat sejenak melupakan seluruh perasaan sedihnya. Sesaat semua perasaan sakit di hatinya seolah teralihkan saat ia sampai di sekolah dan bertemu dengan ketiga sahabatnya itu.

...***...

Bel pulang sekolah sudah berdering sejak 15 menit yang lalu. Sena dan sahabat-sahabatnya kini masih berada di dalam kelas. Mereka masih terlalu syok karena baru saja nilai ulangan harian matematika kemarin dibagikan oleh ketua kelas. Wajah muram kini tengah menyelimuti Resta, dan Una. Sedangkan Sena dan Tifani tengah berusaha memberikan semangat kepada kedua sahabatnya itu. Memang, diantara mereka berempat, nilai Sena dan Tifani adalah yang tertinggi, bahkan diantara teman-teman kelas yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika Sena dan Tifani adalah dua orang manusia yang mungkin dianugerahi otak yang encer. Bahkan jikapun mereka dihadapkan pada ujian dadakan seperti kemarin, tidak ada yang menyangsikan jika keduanya pasti akan selalu mendapatkan nilai yang bagus diantara yang lain.

“Gimana dong cara kita buat ngehibur kalian?” Tanya Tifani kepada kedua sahabatnya yang masih murung.

Sedangkan Sena hanya berusaha menenangkan dengan menggenggam tangan kedua sahabatnya itu. Jujur saja, dalam posisi seperti ini Sena memang tidak pandai menenangkan perasaan orang lain. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan agar kedua sahabatnya yang tengah bersedih ini dapat kembali ceria.

“Nilai matematika gue ancur banget, semester lalu nilai gue juga jelek banget di matematika. Sedih gue, bokap gue bisa ngamuk lagi kalau nanti pas bagi rapot nilai matematika gue ancur lagi,” jelas Una yang masih menatap kertas ulangannya dengan nanar, melihat angka 50 terpampang dengan besar di sana.

“Udahlah percuma juga gue nangis darah, ini nilai gak akan berubah juga. Cape juga gue sedih, ngapain. Toh orang tua gue juga gak peduli sama nilai-nilai sekolah gue, peduli sama sekolah gue aja enggak,” cetus Resta setelah menangis untuk sesaat. Gadis itu segera menyeka air matanya. Menatap Una dan memberikan kekuatan kepada sahabatnya itu.

Sena dan Tifani menatap Resta dengan tatapan ironis. Keduanya kompak terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Sena memecah kesunyian itu.

“Nah gitu dong semangat lagi. Nilai matematika kita bukan penentu masa depan kita, yang penting kita berjuang aja sebaik yang kita bisa, buat mimpi-mimpi kita, buat masa depan kita, ya gak?”

“Kalian enak orang tua kalian gak nuntut macem-macem, lah bokap gue, dia dosen matematika. Dan bokap gue dari gue kecil benci banget kalau ngeliat nilai matematika anaknya ancur. Semester lalu gue harus dikurung di rumah buat belajar matematika, kalau semester ini nilai gue ancur lagi, gue gak tahu bokap gue akan kayak gimana marahnya, gue takut,” jelas Una dengan wajah yang semakin murung jika mengingat betapa keras ayahnya dalam mendidiknya dan juga kakak-kakaknya.

“Harusnya bokap lo paham, kalau potensi anaknya itu pasti beda-beda. Lo mungkin gak sejenius bokap dan kakak-kakak lo dalam bidak eksak. Tapi gue yakin lo punya potensi lain yang juga gak kalah hebatnya. Heran deh sama orang tua yang kayak gitu,” sungut Tifani yang selalu saja emosi jika mendengar ada orang tua yang terlalu memaksakan kehendak kepada anak mereka tanpa melihat kesanggupan dari anak-anak tersebut.

Semua hening kembali. Mereka tengah sibuk dengan fikiran masing-masing. Sena kini menyadari, bahwa sahabat-sahabatnya ternyata memiliki masalahnya sendiri-sendiri.

Awalnya ia ingin bercerita tentang masalah yang tengah dihadapinya saat ini kepada sahabat-sahabatnya tersebut. Tapi melihat bagaimana mereka sekarang, ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin semakin membebani fikiran sahabat-sahabatnya.

“Ya udah yuk pulang, udah sepi sekolah juga. Gue harus balik naik angkot nih,” ucap Sena kepada sahabat-sahabatnya yang masih terdiam.

Mendengar ucapan Sena, mereka semua segera bangkit dari tempat duduk dan bersiap untuk pulang. Sena kini berjalan seorang diri setelah berpisah dari sahabat-sahabatnya. Niat hatinya yang ingin segera pulang ia urungkan. Ia sedang enggan untuk buru-buru pulang.

Gerimis kecil tiba-tiba turun yang membuat gadis itu harus memacu langkahnya, mencari tempat untuk berteduh. Sebuah toko kue yang berada di sisi jalan tempatnya berjalan menjadi pilihan. Gadis itu segera masuk ke dalam. Bunyi lonceng pintu toko tersebut terdengar saat Sena membuka pintunya. Aroma lezat nan menggeletik indra penciuman itu segera menyambut kedatangan Sena yang saat ini perutnya memang tengah meronta-ronta meminta untuk diisi. Sebuah toko kue kecil yang terlihat bersih dan nyaman. Hanya ada beberapa meja dan kursi di sana, tidak banyak. Sebagian besar dekorasi dan warna cat tembok toko tersebut didominasi dengan warna pastel. Cantik sekali, begitulah kesan pertama yang diperlihatkan oleh toko kue itu.

Sena berjalan menuju etalase yang memamerkan berbagai macam kue. Gadis itu akhirnya memilih cheese cake yang terlihat sangat menggoda dan tidak lupa ia meminta cappuccino panas sebagai teman makan kuenya. Seorang pelayan kini tengah menyiapkan pesanannya yang tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama untuk menyiapkan. Sena hanya tinggal membayar dan gadis itu segera membawa pesanannya yang berada pada nampan menuju tempat duduk. Pilihan duduknya jatuh pada sebuah meja yang terletak dekat kaca jendela toko tersebut. Dari sana ia bisa memandang langsung gerimis yang mulai mengganas. Hujan deras.

Gadis itu kini tengah menikmati kuenya sambil melihat ruas jalan yang tengah diguyur hujan. Suasana hatinya seolah kembali kelabu kala tatapan matanya melihat seorang ibu yang tengah berteduh di seberang jalan mendekap tubuh anaknya agar tidak kedinginan. Sena kembali teringat akan kondisi ibunya saat ini. Mungkin ibunya masih menangis di kamar, atau kini tengah merasakan kesepian seorang diri di rumah. Sena merutuki dirinya sendiri yang dirasa begitu egois dengan memilih untuk menghindar dan kini malah tengah duduk di sebuah kedai kue. Bulir jernih itu seolah mengalir tanpa permisi membasahi pipinya. Sesaat ia membiarkan air mata itu menetes, mungkin dengan begini ia dapat merasakan sedikit saja sebuah persaan lega. Toh, kedai kue ini juga terlihat sepi, hanya ada dirinya seorang.

“Sena?!” Seru seseorang yang tanpa Sena sadari kehadirannya.

Sepasang mata itu saling menemukan saat Sena mengalihkan pandangannya ke arah seseorang yang memanggil namanya. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat kini Artha sudah berdiri dihadapan meja tempatnya duduk.

Tatapan mata laki-laki itu seolah tengah menelisik. Dan menyadari jika masih ada sisa air mata, Sena segera menyeka air mata itu dengan gerakan cepat menggunakan telapak tangannya. Perasaan kikuk kini tengah menghinggapi gadis itu, seolah ia baru saja tertangkap basah melakukan sebuah perbuatan yang memalukan.

Tanpa meminta persetujuan dari gadis dihadapannya, Artha segera meletakkan nampan yang terisi beberapa kue dan minuman coklat panasnya di atas meja tempat Sena kini duduk.

“Lo kenapa?” Tanpa basa-basi Artha langsung menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat Sena kalang kabut.

Gadis itu bingung harus menjawab apa. Ini untuk pertama kalinya ia ketahuan menangis oleh seseorang selain keluarga dan ketiga sahabatnya. Sungguh hal yang sangat memalukan bagi Sena.

“Kenapa? Gue gak kenapa-kenapa. Lo sendiri lagi ngapain di sini?” Jawabnya mengelak seraya mengalihkan pembicaraan.

Artha hanya mendengus mendengar jawaban klise tersebut. Ia tahu itu adalah sebuah jawaban yang penuh kebohongan dari seorang makhluk bernama perempuan. Tapi sudahlah, ia tidak ingin dicap sebagai orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain.

“Gue mau beli lem aibon,” jawab Artha seraya menyuap potongan brownis kedalam mulutnya.

“Dasar sinting!” Cerca Sena saat mendengar jawaban Artha yang menjengkelkan.

Artha tersenyum ditengah kunyahannya, “ya lagian lo pake tanya ngapain gue di sini. Udah tahu ini toko kue, masa gue mau beli lem aibon,” ucap Artha sembari tertawa kecil melihat wajah Sena yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tajam yang siap membunuh.

Sena enggan menimpali ucapan Artha. Ia lebih memilih kembali khusyu dengan potongan cheese cake-nya yang sempat ia abaikan.

“Ada yang pernah bilang, kalau kita sedih maka menangislah sekuat tenaga, maka kesedihanmu akan sirna,” ucap Artha tiba-tiba yang kini tengah terfokus menatap Sena.

Mendengar ucapan Artha tersebut membuat Sena yang hendak memotong kue miliknya seketika menghentikan geraknya. Wajahnya kini terangkat lurus menatap wajah Artha yang juga sedang menatap ke arahnya.

“Maksud lo?” Tanya Sena meminta penejelasan dari kata-kata yang baru saja ia dengar.

Artha menghembuskan nafasnya kasar, “gue rasa lo gak bodoh untuk mengerti maksud dari ucapan gue tadi,” timpal Artha kemudian sebelum keduanya kini kembali diliputi senyap.

Sena menundukkan pandangannya, ucapan Artha seolah berhasil membuat pertahanan dirinya kembali runtuh. Tanpa bisa untuk ditahan lagi, ia kini kembali menangis, sebuah tangisan yang memilukan. Air matanya jatuh tak terbendung. Artha hanya diam menatap gadis di hadapannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan gadis itu menumpahkan semua kesedihannya.

...*** ...

Chapter 3

Sayup-sayup suara kicau burung terdengar dari balik jendela kamar yang masih tertutup rapat. Sang pemilik kamar masih damai tertidur pulas dengan balutan selimut hangat yang melekat rapat ditubuhnya. Bunyi alarm sahut-menyahut membangunakan sang pemiliknya yang masih bergeming. Pintu kamar tersebut dibuka perlahan oleh Davina. Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya, mematikan AC dan membuka jendela kamar, membiarkan serbuan udara segar yang sejak tadi tertahan di luar berdesakan dengan bebas masuk ke dalam kamar.

"Sena, ayo bangun, nak," Davina menyibak selimut putrinya.

Gadis yang masih bergelung pada tempat tidur itu perlahan menggeliat saat tubuhnya tersapu udara dingin pagi hari. Sena membuka matanya yang masih sangat berat, kesadarannya belum sepenuhnya hadir.

“Ayo bangun, katanya mau berangkat sekolah tepat waktu,” Davina masih duduk di samping tempat tidur putrinya seraya mengusap lembut kepala Sena.

Sena bangkit, dengan gerakan spontan gadis itu memluk Davina. Untuk sesaat gadis itu menenggelamkan dirinya dalam pelukan ibunya yang terasa begitu menghangatkan.

“Ma, are you ok?” Tanya Sena lirih.

Mendengar pertanyaan putrinya itu, Davina terdiam. Tentu saja saat ini perasaannya tidaklah baik. Dan ia sadar betul jika putrinya mengetahui itu.

Sena melepaskan pelukannya, ditatapnya wajah ibunya yang kini tengah tersenyum mentapnya, “ma, kalau hati mama sakit lebih baik mama lepaskan papa. You deserve to be happy,” ucap Sena dengan mata yang sudah berlinang air mata saat melihat sorot mata ibunya yang tampak jelas menyiratkan kepedihan.

Davina mengelus lembut wajah putrinya, “papa itu adalah pria yang baik. Dia sayang sama kamu dan juga sama mama. Mama percaya sama papa, jadi mama harap, kamu juga harus percaya sama papa,” jelas Davina penuh dengan kepercayaan.

Sena kembali dibuat tidak berkutik akan kebesaran hati ibunya. Jika saja ayahnya tahu, wanita yang dinikahinya itu adalah wanita yang luar biasa besar cinta dan kepercayaannya kepada keluarganya. Apakah ayahnya masih tega menduakan ibunya tersebut?

Setelah ini, rasanya ia sudah tidak dapat lagi bersikap sama seperti sebelumnya kepada sang ayah. Perasaan sakit itu telah membuat rasa cintanya kepada ayahnya seolah terkikis secara perlahan. Ia sendiri tidak bisa menjamin, apakah suatu hari nanti hatinya masih dapat meninggalkan sedikit cinta untuk ayahnya? Atau pada akhirnya hatinya akan benar-benar mati rasa untuk mencintai ayahnya? Entahlah, Sena membiarkan waktu yang dapat menjawab semua pertanyaannya tersebut.

Sena kembali memeluk ibunya, hati Davina kini tampak jauh lebih baik merasakan bagaimana putrinya begitu mencintai dirinya.

“Sena akan selalu ada buat mama sampai kapanpun. Sena janji akan jadi putri terhebat buat mama. Mama punya Sena dan Sena punya mama,” ucap Sena dalam pelukan bundanya.

“Mama percaya sama Sena, kalau Sena mau jadi putri terhebat mama, harusnya Sena siap-siap berangkat sekolah. Ini udah makin siang loh, jangan sampai putri terhebat mama ini kena skors gara-gara sering terlambat masuk sekolah,” Gurau Davina disela pelukannya dengan sang putri.

Mendengar ucapan tersebut Sena segera melepaskan pelukan itu. Wajahnya sigap menatap jarum jam di dinding kamar. Betapa terkejutnya ia saat melihat kini jarum jam telah menunjukkan pukul 06.15 pagi.

“Oh no….!!!” Pekiknya histeris.

Gadis itu segera melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Bahaya kalau sampai ia terlambat masuk sekolah lagi. Davina hanya tertawa kecil melihat bagaimana tingkah putrinya itu.

...*** ...

Siang itu seusai jam sekolah selesai Sena bergegas pergi menuju ruang OSIS yang terletak satu gedung dengan perpustakaan. Hanya saja ruang OSIS berada di lantai ketiga, sedangkan lantai pertama dan kedua diperuntukkan untuk perpustakaan sekolah.

Hari ini adalah rapat OSIS terakhirnya sebelum pemilihan ketua OSIS baru minggu depan. Rasanya Sena sudah tidak sabar untuk segera mempurnakan jabatannya sebagai sekretaris OSIS. Sebetulnya Sena bukanlah tipe orang yang senang mengikuti organisasi-organisasi yang dirasanya terlalu kaku, seperti OSIS ini. Tapi ia terpaksa mengikutinya karena paksaan dari wali kelasnya.

Saat itu setiap kelas diwajibkan mengirimkan kandidatnya dalam pemilihan ketua OSIS. Dan sialnya, ia terpaksa dipilih karena dihari deadline pengiriman nama kandidat, kelasnya belum juga ada yang bersedia untuk diikut sertakan. Dan Sena yang datang terlambat saat itu menjadi sasaran empuk bagi teman-teman sekelasnya, begitupun wali kelasnya untuk mengikutsertakan Sena secara paksa dalam pemilihan ketua OSIS.

Beruntung Sena tidak terpilih menjadi ketua OSIS meski pada akhirnya ia tetap dipilih untuk menjabat sebagai sekretaris yang tugasnya ternyata cukup memusingkan. Terlebih Artha adalah seorang ketua yang menurutnya sangat merepotkan dan menyebalkan. Sifat perfeksionis yang Artha miliki merupakan hal yang paling Sena kutuk selama ia menjabat sebagai sekretaris.

Ia tidak suka sesuatu yang bertele-tele dan ribet, ia memiliki metodenya sendiri dalam bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya, yang pasti secara cepat dan menyenangkan menurutnya. Tapi Artha selalu menginginkan semua dilakukan secara terstruktur, rapih, dan sempurna membuat Sena dan Artha kerap adu argumen dalam berbagai situasi selama mereka bekerja. Meski Sena lah yang akhirnya harus mengikuti ritme dan metode kerja Artha selama ini.

Saat langkahnya telah sampai di depan pintu ruang OSIS ternyata pintu tersebut masih terkunci bahkan belum ada seorangpun yang ia lihat. Sena akhirnya memutuskan untuk menunggu. Ia duduk seorang diri di bangku kayu panjang yang terletak berjejer di sepanjang koridor menghadap ke arah langit siang itu yang terlihat begitu cerah, atau mungkin bisa dikatakan terik. Tak terasa ia larut dalam sebuah lamunan kosong. Suasana yang senyap ternyata sangat menyenangkan baginya untuk sejenak menjernihkan fikiran.

"Hei..!!!"

Gadis itu melirik sekilas pada seseorang yang baru saja datang dan mengacaukan waktu sendirinya.

“Lo lagi,” gerutu Sena saat melihat Artha kini sudah duduk di sampingnya.

“Ngapain lo ngelamun disini? Ayo cepet masuk beres-beres dulu sebelum rapat,” ucap Artha sedikit dengan nada memerintah.

“Ta—“ Panggil Sena.

“Kenapa?”

Pandangan mata Sena kini beralih menghadap Artha, ditatapnya laki-laki yang duduk disampingnya itu, “lo janji ya sama gue, jangan bilang siapa-siapa tentang apapun yang gue ceritain sama lo kemarin,” pinta Sena.

Ya, kejadian tempo hari, kala ia menangis seperti orang gila dihadapan Artha membuat dirinya hilang kendali. Saat itu mulutnya tanpa permisi mengeluarkan segala unek-unek permasalahan hidupnya kepada seseorang yang bahkan tidak dapat dikatakan dekat dengannya. Sena merasa mungkin dirinya saat itu tengah mabuk. Walaupun ia tidak yakin apakah seseorang dapat mabuk tanpa meminum alkohol. Tapi sore itu ia dengan lancar mengoarkan semua perasaan sesaknya dihadapan Artha. Bodoh, begitulah ia merutuki dirinya sendiri setelahnya.

“Lo udah nanyain itu dari kemarin berkali-kali dan gue juga udah jawab berkali-kali, dan sekarang lo masih tanyain itu lagi. Apa gue keliatan kayak cowok mulut ember?” Jawab Artha yang membuat Sena memberengkut.

“Ya bukan gitu, gue kan butuh diyakinkan, Ta,” timpal Sena.

“Terus cara meyakinkan lo itu harus selalu ditanyain tiap hari? Dan gue harus jawab hal yang sama tiap hari?” Tanya Artha yang membuat Sena kali ini tertawa mendengarnya.

“Iya iya gue percaya sama lo,” ucap Sena akhirnya.

“Ya udah cepetan masuk mumpung lo udah dateng bantuin gue beresin ruangan sama beberapa file,” ajak Artha seraya bangkit dari tempat duduknya yang diikuti oleh Sena.

Rapat berjalan cukup lancar tanpa banyak interupsi dari Artha. Biasanya rapat akan memakan waktu lebih dari dua jam dikarenakan banyak hal yang Artha koreksi. Tapi kali ini sepertinya Artha lebih santai dalam memimpin rapat. Mungkin karena mereka akan segera purna dan memang tidak terlalu banyak hal yang dibahas juga dalam rapat kali ini kecuali tentang pemilihan ketua OSIS baru minggu depan.

Rapat selesai hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Sebuah hal yang luar biasa yang Sena dan anggota lainnya rasakan. Dan yang paling penting, rapat kali ini tidak ada drama perdebatan antara dirinya dan Artha. Setelah rapat usai mereka semua segera bubar, kecuali Sena. Gadis itu masih harus menuliskan beberapa surat untuk diberikan kepada pembina OSIS dan kepala sekolah mengenai pemilihan ketua OSIS baru minggu depan. Padahal Sena sudah meminta pada Artha agar dapat mengerjakan surat tersebut dirumah, tapi Artha menolak. Artha menginginkan agar surat itu jadi hari ini juga. Sena sebenarnya sudah sangat paham salah satu sifat Artha yang lain, tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Bertolak belakang dengan dirinya yang hobi sekali menunda dan mengulur-ulur pekerjaan apalagi jika deadlinenya masih sangat lama.

“Udah cepetan jangan banyak protes, lagian bikin surat begitu 15 menit selesai kalau lo gak banyak ngeluh,” ucap Artha pada Sena yang kini masih mengomel.

Sena tidak lagi protes, dari pada ia harus berdebat dengan Artha lebih baik ia selesaikan pekerjaannya sesegera mungkin.

Suasana kembali hening hanya sura keyboard yang tengah beradu dengan jari-jemari Sena yang siang itu memenuhi ruangan tersebut. Sesekali mata Sena melirik Artha yang duduk tidak jauh dari dirinya berada. Artha tampak tengah fokus menatap layar laptopnya.

“Ta?!“ Panggil Sena disela ia masih mengetik surat.

“Hm…. Udah selesai?” Jawab Artha yang fokusnya masih belum teralihkan.

Sena kembali menatap Artha, “lo lagi ngapain sih serius amat? Lagi nonton video enggak-enggak ya lo?” Celoteh Sena asal.

Artha yang mendengar pertanyaan menggelikan Sena akhirnya mengalihkan fokusnya menatap gadis itu. Ia memperlihatkan layar laptopnya pada Sena tanpa mengatakan apapun.

“Oh…. Lo lagi liat-liat Universitas,” ucap Sena saat ia melihat apa yang sedang laki-laki itu kerjakan sejak tadi.

“Emang lo mau ambil apa Ta?” Lanjut Sena.

Artha kembali membenahi posisi laptopnya untuk menghadapnya kembali. “Kedokteran,” jawabnya singkat dan pasti.

Sena manggut-manggut. Banyak temannya yang kini sudah mulai mencari univeristas yang ingin mereka tuju dan program studi yang mereka inginkan untuk diambil. Sedangkan ia sendiri masih belum menentukan hal itu, bahkan Sena belum mimikirkannya sama sekali.

“Lo sendiri?” Tanya Artha kemudian.

Mendengar pertanyaan itu Sena yang tengah mengetik, kembali terdiam. Apa yang mau ia jawab, ia sendiri tidak tahu.

“Gue? Em…. gak tahu deh,” jawabnya jujur.

Artha kembali menatap ke arah Sena dengan tatapan penuh pertanyaan, “lo belum nentuin mau kemana dan masuk apa? Kita sebentar lagi lulus loh, dan sebentar lagi kita harus mulai mempersiapkan tes masuk universitas dan lo masih santainya jawab gak tau?” Cerocos Artha saat mendengar jawaban Sena yang tampak santai tanpa beban.

Sena menghembuskan nafas kasar, “emang kenapa kalau kita sebentar lagi lulus dan gue belum tahu harus masuk univ mana dan ambil jurusan apa? Bahkan gue sendiri gak tau gue pengen jadi apa? Atau cita-cita gue apa?” Jelas Sena dengan perasaan hampa dan kosong diwaktu bersamaan.

Artha ironis mendengar jawaban Sena. Meski ia tahu jika gadis itu memang sering tidak disiplin dan kerap mendapat hukuman karena terlambat datang ke sekolah setiap paginya. Tapi Artha tahu, Sena seorang gadis yang mengagumkan dengan berbagai prestasi yang selama ini kerap ia peroleh. Sudah dua kali gadis itu mewakili sekolah dalam olimpiade biologi tingkat nasional. Belum lagi prestasi lainnya dalam menulis berbagai essay tentang lingkungan yang kerap dimuat dibeberapa redaksi ternama. Sungguh di luar dugaan jika seorang gadis semengagumkan Sena bahkan tidak tahu arah dan tujuan hidupnya.

“Mungkin lo harus mulai mencari tahu apa yang ingin lo lakukan di masa depan, siapa tahu dengan begitu lo bisa tahu apa yang sebenarnya lo inginkan. Satu hal yang pasti, hidup kita itu bukan hanya tentang kita atau keluarga kita, tapi juga tentang bagaimana kita bisa memberikan manfaat buat orang lain,” jelas Artha sedikit memberikan saran kepada Sena.

Gadis itu hanya diam mendengar ucapan tersebut. Sena bukan tidak tahu apa yang ia inginkan, hanya saja saat ini ia tengah terpuruk. Semangatnya seolah hancur lebur. Bayang-bayang masa depan seolah menjadi buram baginya. Masalah yang datang dalam keluarganya nyatanya benar-benar mempengaruhi mentalnya saat ini. Meski ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak terlalu memikirkannya, menganggap semuanya baik-baik saja seperti apa yang selalu ibunya katakan, tapi nyatanya memang tidak semudah itu.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!