NovelToon NovelToon

Lutfi Gilang

Bagian Satu

Pelabuhan Istanbul, Turki.

Angin berdesir manja. Mengirimkan aroma musim kemarau kepada setiap insan di hamparan pelabuhan paling megah di negara ini. Selain dedaunan yang berjatuhan, siulan burung-burung, seruan kapal-kapal, gemuruh para pegawai yang menyeret kargo ke gudang-gudang terdekat, ada juga warna-warni dari pantulan cahaya mentari berjajar rapi dan membentuk setengah lingkaran yang tiada kutahu di mana ujung keduanya.

Aku menengadah kepala. Mengirup napas panjang. Berusaha merasakan udara dengan seluruh tubuhku—mungkin sudah kau rasakan beberapa hari sebelum aku tiba di tempat ini. Entahlah, aku tak tahu, pun tidak dapat menebak apapun tentangmu. Setidaknya kukatakan sekarang, kau mungkin lebih aneh dari zaman aku SMA dulu.

Aku ingat, ketika kau memanggilku dengan julukan Raja Tidur, itu cukup memalukan memang. Dan, mereka tidak salah akan hal itu, karena aku memang selalu tertidur setiap pelajaran dimulai, bahkan di luar waktu tersebut. Jadi, aku merasa tidak masalah dengan julukan itu.

Kembali aku memandangi ketujuh warna yang menghiasi langit biru. Sungguh, rasanya aku seperti pernah mendegar sesuatu tentang pelangi darimu. Terus kucoba mengingat kejadian sebelumnya, namun tiada hasil. Yah, entah kenapa laki-laki diciptakan lebih pelupa daripada perempuan.

Perlahan kakiku bergerak menuju sebuah kursi kosong yang menghadapkan tuannya pada pelantaran sang laut. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku duduk bersandar sembari mata tetap tidak beralih pada pelangi.

“Pelangi, yah? Datang dan pergi begitu cepat, tapi dinanti sangat lama.”

Menghembus napas. Kembali otak menampilkan sosok khayalanmu.

“Apakah kau tidak sepertinya, yang hadir dan indahnya hanya sesaat?”

Aku tersentak, setelah mengingat kejadian itu.

🌹🌹🌹

Sembilan tahun lalu.

Ketika aku dan kau duduk berjejer di rawa Situ Bamban sembari aku menikmati segelas es kelapa, tidak denganmu karena kau sedang kedatangan tamu bulanan. Rambutmu yang bergelombang karena diterpa angin sore tak kalah indah dengan pemandangan saat itu. Meski aku yakin, bagimu, aku hanya peduli pada minumanku.

Sekitar lima menit kita terdiam dan menikmati pandangan masing-masing hingga tiba-tiba pelangi muncul.

“Lihat, ada pelangi.” kataku.

Kau hanya mengangguk dan tersenyum tanpa menghadapkan wajah padaku dan itu membuatku tak bisa berkata-kata, setidaknya aku bingung memikirkan topik pembicaraan yang tepat. Dan, aku terlalu terbelenggu di dalamnya hingga membuat suasana kembali hening.

Tak lama, bahkan tidak mencapai sepuluh menit warna-warni itu telah pudar dan kembali seperti sedia kala. Menatapmu, mencoba berkata sesuatu namun kulihat bibirmu bergerak. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan mendengarkan kalimatmu.

“Aku ga mau jadi pelangi.”

“Kenapa?”

“Hadir dan indahnya cuma sesaat.”

“Oooh.... jadi kamu pengin terkenal?”

Kau mendadak memandangku tajam dengan eskpresi jengkel, membuatku berpikir aku kembali melakukan kesalahan. Namun ketika aku mau meminta maaf, kau mendadak berkata: “Aku lebih baik jadi awanmu.”

“Awan?”

Mengangguk kemudian menengadah kepala. “Awan emang ga seindah pelangi, tapi selalu ada.”

“Kaya kamu mau nemenin aku?”

Tak ada jawaban, yang kulihat kau hanya tersenyum. Melihat senyummu itu sungguh membuat jantungku tidak lagi bekerja normal.

Angin kembali berhembus seakan mengiringi nuansa romantis untuk kita, atau hanya bagiku seorang. Entahlah, aku tidak tahu apa-apa tentang perasaan yang disembunyikan. Tapi, sebenarnya aku lagi-lagi terbawa perasaan setelah kau mengatakan kalimat itu.

“Atau jadi angin juga boleh. Mengudara, untuk selalu menemani dan mendampingimu setiap waktu.”

Aku tersentak hebat. Hanya terus terdiam saking bahagianya. Bahkan membiarkanmu melangkang cukup jauh hingga aku menyusulmu dengan motor matic warna merah dan memberimu tumpangan pulang.

🌹🌹🌹

Yah, itu memang kenangan indah. Hanya dengab membayangkannya saja membuatku makin dan semakin menaruh rasa yang teramat besar. Bagaimanapun, diriku ini memang tipe yang tidak akan menyatakan cinta jika orang yang disuka tidak memiliki rasa serupa. Lebih singkatnya, aku takut ditolak.

Ngomong-ngomong soal ditolak, aku jadi makin penasaran dengan semua hal yang terjadi padamu. Aku sungguh tidak menyangka jika kado ulang tahunku adalah buku diarymu. Sebuah harta yang bahkan tidak boleh kudekati bahkan dari jarak sepuluh meter selama sembilan tahun sebelumnya. Tapi, entahlah. Ini pemberianmu, dan aku belum pernah membukanya hingga aku menyusulmu ke Turki, negara yang sangat ingin kau kunjungi.

Tangan merogoh saku atas, meraih hadiahku. Tampak buku kecil berwarna pink khas untuk cewe remaja. Kubuka pengaitnya perlahan dengan 1001 perasaan berkecambuk dalam dada. Di otakku hanya terus mengulang pertanyaan, “Apa ga masalah kalau aku membacanya?” Tapi terus kulakukan hingga buku terbuka pada halaman pertama.

Jantungku makin berdetak hebat ketika kulihat tulisanmu yang begitu rapi nan menawan namun tetap tampak tegas seperti parasmu. “Akhirnya, akan kuungkap sebuah rahasia yang tidak pernah kutahu tentangmu.”

Dermaga besar, 30 Maret 2019

Rizky Gilang Kurniawan

Lelaki yang terus merindukanmu,

Lutfi Nurtika.

1. Aku

i

Namaku Lutfi Nurtika. Jenis kelamin perempuan. Zodiak Cancer. Golongan darah O.

Aku paling suka makan mie pedas. Hobi juga baca koran. Kadang iseng nulis kata-kata yang seringnya sama teman buat bikin status. Senang juga kalau lihat pemandangan, terutama dari bukit atau pantai.

Sebenarnya aku takut sama ombak, dan lebih tepat aku takut sama air, soalnya kebayang ada buaya di sana. Bahkan, aku sering kebayang hewan ganas itu ada di bak kamar mandi. Tapi sekarang, aku sudah mandi.

Orang-orang biasa memanggilku Lutfi, tapi kalau di rumah aku dipanggil Tika. Semua gara-gara tetangga yang terus salah memanggilku dengan sebutan Lupi, atau Lufi, atau Tupi, atau yang lainnya. Jadi, berhubung dulu masih kecil panggilanku diganti biar ga ngubah arti namaku, gitu kata Ayah.

Ya, Ayah adalah orang yang hebat dan sosok yang selalu kukagumi. Bahkan bisa dibilang—meski aku anak pertama dan punya dua adik, Syahid Ibnu Fatah dan Dinda Khairunnisa—aku masih tidak malu untuk bermanja dengannya. Karena beliau selalu sabar dan mengerti aku. Lebih dari itu, beliau sangat peka dan mengerti apa-apa yang kubutuhkan.

Seperti kejadian beberapa tahun sebelumnya, Ayah sudah menungguku satu jam bersama satpam sekolah untuk sekadar mengantar kotak pensil yang ketinggalan sewaktu SMP, karena aku saat itu sedang olahraga dan beliau tidak memberi tahuku sebelumnya. Jadi, yang salah Ayah, kan?

Atau aku?

Oya, nama Ayahku, Chudori. Beliau lahir di Pancurendang, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Ayahku bekerja melayani masyarakat di sekitar tempat tinggal kami. Kadang membuatkan KTP, mencairkan dana BPJS, melarang pembelian tanah warga untuk wisata, memimpin shalat, khutbah, dan banyak lainnya.

Sebenarnya, beliau bukan polisi atau pejabat dan semacamnya, Ayahku hanya sekretaris desa. Aku juga tidak mengerti kenapa seorang sekretaris desa mengerjakan begitu banyak hal seperti beliau.

Selain sibuk bekerja dan berdakwah, Ayah juga sangat senang memelihara hewan. Ada ayam jago, ayam bangkong, ayam mini, ayam haji—serba putih, burung merpati, burung perkutut, ikan mas, ikan lele, dan ikan munjaer. Tapi, tidak perlu kutulis jumlahnya karena cukup banyak dan aku sangat malas kalau harus pulang hanya untuk sekadar mengecek totalnya.

Ibuku, namanya Etik Dwiyanti. Biasa dipanggil Bu Carik oleh orang-orang di sekitar sini. Kalau sama aku dan adik-adikku, beliau dipanggil Mamah.

Sebelum dinikah dan diboyong ke Ajibarang oleh Ayahku, Mamah adalah seorang pelajar yang sangat aktif dalam berbagai organisasi. Mamah juga pernah menjadi bagian PASKIBRAKA sewaktu SMA, vokalis marawis, anggota pencak silat tapak suci, guru ngaji dan banyak lainnya.

Tapi semua kandas setelah beliau menikah. Karena bagaimanapun karir bagi seorang istri adalah menjaga dan mendidik anaknya sekaligus menggantikan posisi seorang ayah sewaktu beliau tidak ada.

Dan itulah yang dilakukan Mamah. Selain mengajarkan membaca, menulis, dan mengaji, beliau juga mengajariku menjadi seorang istri yang baik sepertinya. Mulai dari memasak, menyuci, menjemur, menyetrika, merapikan tempat tidur, dan tentunya menjaga diri agar tetap terlihat cantik.

Semua yang Mamah lakukan, dari kecil pasti kutiru. Jadi sekarang kupikir aku lebih baik darinya, tentunya dari segi usia. Kan, lebih muda, lebih baik. Menurutku sih.

Aku bersemangat tentang semua itu. Mamah sangat mengayomi dan membekali anak-anaknya untuk menghadapi tantangan masa depan mereka.

Beliau membantuku untuk melihat banyak hal dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Menjadi terbuka untuk segala ekspresi.

Ini adalah salah satu hal yang harus dilakukan oleh pasanganku kelak. Aku sangat berharap dipertemukan dengan seseorang yang mengerti aku tanpa aku harus memberitahu padanya bagaimana aku.

🌹🌹🌹

ii

Sejak kecil aku tinggal di Ajibarang, yaitu daerah sekitar balai desa Pancurendang, Jl. Masjid, gerumbul Kalilepa. Awal Juli tahun 2010, aku akhirnya duduk di bangku SMA di Purwokerto. Cukup jauh memang, setidaknya butuh waktu satu jam untuk sampai ke sekolah dari tempat tinggalku, jika menggunakan kendaraan umum.

Bagiku, di sana adalah tempat paling menyusahkan. Selain karena jarak dan kengerian perawan menaiki angkutan umum—kadang sebelum jam enam pagi dan setelah jam enam sore—seorang diri tanpa punya perlindungan. Di sana aku juga mendapat masalah lain, bahkan dapat kukatakan terlalu banyak masalah karena ulah Raja Tidur. Aku akan membahas orang itu nanti.

Tapi, selain menyusahkan, SMAN Purwokerto juga memberikan nuansa romantis dari berbagai bunga yang menghiasi tiap taman, ada juga beberapa gazebo, dan bangunan-bangunan baru—beberapa hanya dicat ulang—tampak menawan karena terjaga.

Di sekitar lapangan rumput tumbuh pohon besar. Cabangnya banyak, daunnya rindang. Tidak sedikit burung-burung kecil singgah di sana atau bahkan membuat sarang.

Memberikan suasana menyejukan di tengah hiruk-piruk keramaian kota. Sangat menentramkan jika dinikmati di sore hari, atau saat sunrice, pas siang juga boleh.

Aku juga dengar, beberapa siswa bilang kalau salah satu dari pohon besar itu berhantu. Aku sih ga takut, kecuali itu hantu buaya.

Selain suasana dan bangunan, seragam sekolah menjadi sesuatu yang juga kusukai dari SMAN Purwokerto. Aku juga yakin, kalangan siswa sekolah lain iri dengan pakaian yang kami kenakan. Kalau ga iri, ya aku ga peduli.

Dulu aku sengaja memasang jadwalnya di depan kamar untuk membuat adik-adikku bersemangat sekolah, dan menyusulku untuk masuk ke SMAN Purwokerto, meski nyatanya mereka justru iri. He he he.

Saat mengingat mengenakan seragam-seragam itu membuatku senang sekaligus tidak menyangka. Aku juga masih belum lupa, bagaimana dulu kutulis jadwalnya di depan pintu kamar.

Jadwal Seragam Sekolah Kakak

Senin : Seragam OSIS + Jaz Abu-abu

Selasa : Seragam OSIS

Rabu : Batik Merah-Putih leres Biru, Rok Hitam

Kamis : Kemeja Putih, Rok Biru Tua + Rompi Kotak kotak Biru Muda

Jumat : Seragam Pramuka Lengkap (Hasduk + Ring Rotan)

Sabtu : Seragam Hitam-Putih + Dasi Hitam

Selain menyusahkan dan romantis, sekolah itu adalah tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan. Terutama menyangkut seseorang yang kucintai, yang pernah dan selalu mengisi hari-hariku dulu, yang malam ini ingin kutulis semua tentang dia.

🌹🌹🌹

iii

Akan kutulis semua yang terjadi, meski aku tidak mengingat detailnya, tapi yang terpenting ialah intinya. Beberapa nama tempat, nama orang sengaja kusamarkan agar tidak merembet pada kisah yang lain.

Semua akan kutulis sesuai cara dia bertindak, memandang dunia dan berbahasa. Seperti apa? Pokoknya cara dia berkata melalui tindakannya—ini baru yang namanya cowo, ga banyak omong buat umbar janji—kalau dia bicara cenderung tanpa nada, kadang kaku dan gemetaran, seringnya tanpa kata.

Tapi itu bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan, ini cuma pandanganku tentang ciri khas dirinya.

🌹🌹🌹

iv

Sebelum aku bercerita tentang kisahku bersama dia, aku juga mau memberi tahumu—pembaca kondisiku sekarang ini. Kini, aku berada di Semarang, tepatnya kamar tamu milik saudara dari ayah, sembari menikmati alunan musik klasik, aku menahan lapar dan segala kerinduan yang terus menggebu di sepertiga malam tanggal 1 Januari 2019.

🌹🌹🌹

Aku di Istanbul.

Tersentak ketika kubaca habis bagian pertama. Air mata tidak dapat lagi kutahan, mengalir begitu saja di pipiku, membuat beberapa orang berhenti dan melontarkan pertanyaan yang sama. “Ada masalah, tuan?”

Jawabanku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum dan berkata, “Tidak, terima kasih.”

Cukup lama aku bergulir dalam rasa pilu dalam dada. Aku sungguh tidak menyangka jika kau benar-benar pergi ke Semarang tepat di tahun kelahiranku yang menuju kali ke-23. Tak ada alasan yang terbesit dalam benakku kenapa kau melakukan semua ini, tapi aku yakin, aku akan menemukan seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku setelah membaca kisahmu ini. Itulah kenapa kau memberiku hadiah buku diary-

mu.

Mengusap air mata. Mengatur napas. Aku kembali membaca.

2. Surat dari RT

i

Pagi itu pada pertengahan bulan Juli, seperti biasa, aku masuk ruang kelas tepat pukul 08:00 WIB atau sekitarnya. Masih, tidak ada bedanya dengan saat MOS. Bukan karena jam pelajaran mulai waktu itu, hanya saja aku telat beberapa menit dan gerbang sudah ditutup. Padahal aku sampai sekolah pukul 07:03 WIB.

Yah, mau tak mau aku harus mendengar omelan guru piket, setelah itu lari-lari muterin lapangan sepak bola sambil gendong tas. Coba bayangin gimana rasanya.

Aku tidak sengaja, bahkan tak pernah kupikirkan untuk datang terlambat. Selain ketinggalan pelajaran dan dapat banyak poin, hukuman merupakan salah satu hal paling utama yang membuatku sangat ingin tidak mengulanginya. Meski aku terus terlambat saat MOS, dan kembali melakukannya empat hari ke depan.

Walau bagaimanapun, aku selalu berusaha agar berangkat lebih awal. Tapi, angkutan umum tidak pasti ada, selagi ada seringnya penuh. Kadang kalau longgar, tidak sampai tujuanku ke Purwokerto. Terlebih rumahku ke sekolah butuh waktu satu jam berkendara.

Memang menunggu angkutan umum itu persis seperti menunggu cinta sejati. Lama, dan tidak kunjung datang.

🌹🌹🌹

ii

Sampai di kelas, aku duduk di kursiku di bagian kiri paling belakang. Mengacuhkan seruan teman-teman yang meledekku.

Sebetulnya aku heran dengan pria yang duduk di sisiku. Aku tidak tahu siapa namanya, aku tak pernah lihat bagaimana mukanya, yang pasti, dia selalu tidur di kelas dan tidak pernah dapat hukuman, membuatku iri.

Dan, saat itu juga tanpa sadar hatiku berharap pelajaran nanti ada guru yang menyuruhnya untuk maju dan mengerjakan soal di depan. Aku yakin, dia akan gelagapan dan akhirnya mendapat hukuman. Semoga ini tidak terhitung sebagai doa yang buruk.

Namun harapanku tak kunjung terwujud hingga bel istirahat berbunyi. Merasa kesal, sembari bangkit, tanpa sadar aku berseru lirih. “Dasar, Raja Tidur!”

🌹🌹🌹

iii

Waktu istirahat. Tadinya aku mau ke kantin, tapi Kelvin, teman sekelas, Ketua Kelas X-11 memintaku untuk pergi ke perpus sebentar soalnya ada yang mau dibahas. Jadi aku menurutinya dan pergi bersama Gyan, teman sekelas yang duduk di depanku.

Di perpustakaan, selain aku, Gyan, ada juga Kelvin, Arya—teman duduk Kelvin, dan pengunjung lainnya yang mencari buku atau membahas sesuatu seperti kami.

Hal yang dibahas adalah keinginan mereka agar aku mengikuti seleksi LCC kelas yang bakal diadain dua minggu lagi. Kata mereka, seleksi ini buat nentuin kandidat paling tepat untuk ikut LCC sekolah bulan depan, dan juga mereka dapat info itu dari ketua OSIS.

Aku sih ga terlalu tertarik sebenarnya, tapi sebagai wujud pertemanan, aku terus menanggapinya dan meminta kejelasan soal apa saja yang akan dikeluarkan.

 

Waktu kami sedang ngobrol, muncul seorang sembari bilang permisi. Kelvin, Arya, dan Gyan, tahu siapa dia.

Orang itu namanya Ateg, singkatan dari Ayu Teguh, nama panjangnya. Dia kelas X-5, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari teman SMP-nya, tapi tidak disebut nama temannya itu dan berlalu begitu saja.

Dengan rasa heran, kubaca surat itu:

“Lutfi, ada kost khusus putri di dekat sini, tiga blok ke Utara dari Masjid Agung. Coba cek dulu. —RT.”

Aku makin kebingungan dibuatnya. Pertama, siapa pengirimnya; kedua, kenapa bisa tahu namaku; ketiga, buat apa ngasih tahu kost khusus putri ke aku; dan terakhir, apa maksudnya RT. Emang itu singkatan dari Rukun Tetangga, mirip seperti pak RT barang kali, atau Ruang Tunggu.

Entahlah, aku tidak mengerti. Hanya muncul ber-bagai jawaban konyol di kepalaku, khususnya tentang pengirim dari RT ini.

Kelvin nanya, ingin tahu isi surat itu, tapi kubilang itu hanya surat iseng. Selanjutnya langsung kumasukan kedalam saku baju, dan kembali menyimak Kelvin yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku sangat membosankan.

Sejak itu, aku sudah tidak bisa konsentrasi dengan percakapan mereka. Otakku, entah gimana, sebagian besar, terus melayang-layang kepada RT.

Apa maksudnya?

🌹🌹🌹

iv

Hari Kamis, pelajaran terakhir.

Aku sangat senang akhirnya Pak Edi, guru fisika menunjuk siswa secara acak untuk mengerjakan soal di papan tulis. Kulihat beberapa teman lain ketakutan karena materi hari ini cukup membingungkan, untuku tentunya, karena aku tidak suka perhitungan.

Sebenarnya jika ada pembagian kelas jurusan sejak kelas X pasti aku akan lebih memilih masuk kelas bahasa.

Di sisi kiriku, seorang pria masih saja tertidur menghadap tembok. Membuatku makin merasa jengkel, meski aku hanya berani melirik ke arahnya. Tapi, setidaknya saat itu, aku sedang semangat-semangatnya berharap Pak Edi akan menunjuk dia untuk mengerjakan latihan soal.

Melihat dia tidak bisa mengerjakan dan akhirnya mendapatkan hukuman. Mungkin, itu cukup adil bagiku yang selalu dihukum cuma gara-gara telat 3 sampai lima menitan.

Satu per satu siswa ditunjuk, kini tersisa soal nomor lima yang kata beliau soal paling susah karena harus menggunakan tiga rumus untuk mendapatkan hasil terakhir.

Aku gemetaran, sungguh menggunakan satu rumus saja tidak bisa kukerjakan.

Kulihat samar, wajah Pak Edi mengarah ke sisi belakang, mungkin sedang memilih siswa yang baginya acuh, atau tidak memerhatikan, atau mungkin juga dianggap tidak bisa. Entahlah aku hanya menebak.

 Dan seketika jarinya menunjuk ke arah tempat dudukku. Untuk sesaat kegembiraan melingkupiku, karena kupikir Pak Edi memilih pria yang terus tidur di kelas. Namun segala rasa itu lenyap seketika setelah beliau berkata: “Ya, kamu siswi yang rambutnya panjang, yang duduk di barisan paling belakang.”

Aku tersentak, menengok-nengok kepala. Barang kali aku salah mengira jika Pak Edi menunjukku. Tapi beliau kembali berkata: “Iya kamu, kerjakan soal terakhir.”

Kaget, takut, bingung, dan kesal bercampur aduk dalam perasaaku. Aku sangat tidak menyangka Pak Edi dan guru-guru lain mengacuhkan pria di sisiku yang terus saja tertidur sepanjang waktu.

Aku bangkit dari dudukku, menatap ke arah pria itu kesal. Lalu menghembuskan napas dan melangkah penuh rasa takut, sedang hatiku memberontak marah. “Untung banget sih kamu Raja Tidur?!”

Mendadak langkahku terhenti, dan kembali memandangnya. Aku tersadar sesuatu. “RT, bisa juga singkatan dari Raja Tidur. Apa dia yang ngirim surat itu?”

“Ada apa? Ayo maju.” ujar pak Edi membuatku syok.

Aku mengambil spidol dari meja guru, kemudian menuju papan tulis. Dan terdiam di sana hingga bel pulang sekolah berbunyi.

 

🌹🌹🌹

v

Dua jam setelah pulang sekolah. Aku sudah berganti pakaian, makan siang, dan menyuci gerabah. Tapi aku masih belum bisa move on dari soal sebelumnya. Terlebih karena Pak Edi memintaku untuk kembali mengerjakannya di pertemuan besok. Lebih parahnya, di hari Jumat, pelajaran fisika berada pada jam pertama.

 

Aduh! Aku pusing memikirkan berbagai cara untuk mengatasinya. Mengingatnya saja membuatku merasa penuh beban.

 

Bagaimanapun dulu, aku hampir semingu sekolah SMA namun selalu masuk kelas sekitar jam delapan. Jadi, selain telat, soal-soal tentang rumus dan perhitungan memberikan masalah lebih untukku.

Dengan berat hati, saat itu aku kembali meraih buku fisika dan bolpoin. Ketika mau membukanya, mendadak ponselku berdering.

Kuambil, dan tampak pada layar Kelvin menelponku. “Hallo,”

“Hai. Kamu lagi ngapain?”

Sungguh aku kesal mendengar pertanyaannya. Memang apa urusan dia bertanya hal tidak penting di kondisi seperti ini? Ah, bikin BT aja.

“Duduk,”

“Oooh.... kamu udah ngerjain soal tadi?” tanyanya.

“Belum,”

“Aduh, terus gimana?”

Terus gimana katamu? Aku tidak habis pikir kenapa Kelvin menelponku hanya untuk itu. Setidaknya, sebagai pria seharusnya menawarkan bantuan meski sendirinya tidak bisa. Tapi, boro-boro dia lakuin.

“Ga tau, tapi mau aku kerjain.” Aku jawab.

“Oooh.... bisa?” Dia nanya.

“Engga,”

“Mau aku bantuin?”

“Caranya?”

“Ya, ga tau sih. He he he.”

Ketawa lagi. Udah deh, bikin aku makin sebel saja.

“Kamu belum ngerjain?” Aku coba memancing. Barangkali aku bisa dapat bantuan.

“Aku sih, udah nyoba, tapi hasilnya kebanyakan. Mungkin salah,”

Aku menghembus napas panjang penuh kekesalan. Makin tidak nyaman dengan percakapan ini. “Ya udah, aku mau ngerjain dulu.”

“Oooh.... iya, semangat ya?”

“Makasih, dah.”

Tuuut.... tuuut.... tuuut. Akhirnya telfon terputus. Aku merasa cukup lega, meski masih tersisa kekesalan yang lain. Jadi, aku beranjak dari meja belajarku dan menuju ruang tengah. Menonton TV.

🌹🌹🌹

vi

Selepas shalat Isya, aku menemui Ayahku yang baru saja duduk dan meletakan kopi di atas meja. Kemudian menyapanya dan meminta beliau membantuku mengerjakan soal fisika. Namun beliau menjawab: “Ayah ya ga bisa fisika. Coba Kakak cari di buku paket, pasti ada contohnya.”

 

Aku merengek namun beliau mengacuhkanku dengan terus mementik jari kepada burung perkututnya.

Sungguh rasanya sangat malas untuk menggarap soal\-soal perhitungan, terlebih fisika yang begitu banyak rumus. Tapi, jika tidak kukerjakan sekarang, entah apa yang akan terjadi padaku besok. Jadi, kuraih buku paket fisika sesuai kata ayah, mungkin ada contoh di sana.

Ketika kubuka beberapa lembar mendadak secarik kertas terjatuh. Meraihnya dan aku terkejut. Kertas itu berisi semua jawaban soal kemarin secara lengkap, mulai dari keterangan, alasan penggunaan rumus, pengolahan rumus, dan keterangan hasil akhirnya. Melihatnya saja, membuatku paham seketika.

Tapi, aku juga heran, setidaknya siapa yang mengerjakan dan menaruhnya di dalam buku paketku. Padahal, Kelvin saja yang terbilang cukup pintar di kelas kebingungan di soal terakhir.

Kubaca kembali tiap tulisannya dengan teliti, dan selain jawaban ada kalimat disana:

“Lutfi, semoga ini bisa membantumu. Tapi besok jangan telat, kalau telat lagi aku bakal menghampirimu. —RT.”

RT lagi? Ini pengirim yang sama?

 

Aku bangkit dan meraih ransel. Mencari surat sebelumnya. Kemudian mencocokkan dengan tulisan di lembar kertas berisi jawaban soal kemarin.

Dan, lagi-lagi aku terkejut setelah tahu tulisan-nya benar-benar sama persis. Jadi, kecurigaanku benar, kalau dia adalah pengirim yang sama. RT.

Sesaat otakku menayangkan pria yang duduk di sisiku dan selalu tidur sepanjang waktu.

“Apa dia yang ngirim ini? Tapi, aku ga liat dia ngerjain soal kemarin. Ah, udah pasti bukan dia orangnya. Dan,”

Mengulang pesan di kertas kedua. ....besok jangan telat, kalau telat lagi aku bakal menghampirimu.... “Sembarangan! Akan kubuktiin kalau besok aku ga telat!” kataku kesal. Lalu menyalin jawaban.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!