Pagi hari di salah satu bandara Internasional yang berada di Negara Indonesia, seorang wanita cantik berpakaian casual tampak sedang menunggu seseorang dengan banyak barang yang dibawanya.
Ia mengernyit, mengotak-ngatik benda segi empat yang dipegangnya.
Tampaknya ia sedang kesal karena suatu hal.
'Yang benar saja, apa tidak ada seorang pun yang menjemputku?' Tanya wanita yang kesal itu dalam hatinya.
Sudah 30 menit dia menunggu dan tidak ada seorang pun yang menjemputnya. Padahal ia sudah mengabari tentang kepulangannya pada sang Ayah.
'Apa aku telepon Pak Karman saja ya?' Tanyanya dalam hati.
Pak Karman tak lain adalah sopir pribadinya.
Sebenarnya ia ragu apakah boleh merepotkan pria tua itu? Terakhir kali mereka bertemu, Pak Karman sudah sakit-sakitan.
Ia mana tega memanggil Pak Karman datang sepagi ini untuk menjemputnya.
Tetapi tak lama kemudian,
Tin Tinnn—
Bunyi sebuah klakson mobil terdengar.
Disha melihat ke arah mobil itu, dan betapa leganya ia saat melihat seseorang yang amat dirindukannya sedang tersenyum lebar menyambutnya.
"Halo Disha, apa kabarmu?" Tanya Pria itu.
Pria itu mematikan mesin mobilnya sejenak, lalu turun untuk menyambut wanita cantik yang sepertinya sudah lama menunggu.
Setelah pria itu turun, Disha berlari kecil ke arah pria itu dan memeluknya dengan hangat.
"Kabarku baik Paman. Paman apa kabar?"
"Seperti yang kau lihat, aku baik."
Setelah itu, mereka melepas pelukan itu untuk lanjut berbincang.
"Belvina?"
"Yah, bocah itu baik-baik saja."
"Lalu, Ibu?"
Saat menanyakan itu, raut wajah Disha yang tadinya cerah bahagia berubah sendu.
"Seperti kabar yang kau dengar, ia sudah mulai membaik. Tenang saja, takkan ada hal buruk terjadi padanya." Ucap pria itu menenangkan keponakannya.
Mendengar itu, Disha mengangguk sambil tersenyum.
"Oh ya Paman, apa Paman tidak sibuk? Kenapa Paman yang menjemputku?"
"Yah, kebetulan aku habis dari mansion Ayahmu dan mendengar kabar kepulanganmu. Jadi kupikir sekalian saja aku yang menjemput."
Disha mengangguk.
Setelah perbincangan kecil itu, mereka pun membereskan segalanya untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Kau mau Paman antar langsung ke rumahmu?" Tanya pria itu sambil fokus mengendarai mobilnya.
"Tidak, kita ke mansion Paman saja. Aku rindu Belvy." Jawab Disha yang duduk di samping Pamannya.
"Baiklah."
...🥀🥀🥀...
Cukup lama berkendara, pria itu kemudian memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket.
"Tunggu sebentar ya, ada yang mau Paman beli." Ucap pria itu.
"Baik Paman, jangan lama-lama ya."
"Oke."
Karena Disha merasa akan bosan jika menunggu di dalam, jadi dia memilih untuk menunggu di luar.
Ia duduk di bangku yang terdapat di depan minimarket itu.
Saat menunggu dan melihat-lihat area sekitar, matanya menangkap seorang nenek yang tampak sedang menjual gantungan-gantungan kunci.
Nenek itu berjualan dengan duduk di kaki lima. Ia tampak kurus dan menyedihkan.
Dari tadi memperhatikan, tak ada seorang pun yang membeli jualannya, bahkan hanya untuk sekedar melihat.
Itu wajar, karena gantungan kunci yang dijual nenek itu memang biasa saja.
Tidak ada yang istimewa.
Namun hati kecil Disha tergerak oleh belas kasihan. Jadi ia berniat untuk memborong seluruh jualan si nenek.
"Permisi nek, harga gantungan kunci ini satunya berapa?" Tanya Disha sambil tersenyum ramah.
Sungguh, hati Disha terenyuh saat melihat ekspresi nenek itu yang tersenyum sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Seribuan aja nak." Jawab nenek itu.
"Ah, kalau gitu aku beli semuanya ya nek."
"Benar nak?"
"Iya nek."
"Wahh terimakasih ya nakk... Akhirnya Nenek bisa makan hari ini..." Ucap nenek itu penuh syukur sambil meneteskan air mata penuh haru.
"Iya nek, sama-sama. Semuanya berapa nek?"
"Lima puluh ribu nak."
Disha pun mengeluarkan selembar uang merah dari dompetnya, lalu memberikannya pada nenek itu.
"Gak ada uang pas, nak? Nenek gak punya kembalian."
"Ga usah nek, kembaliannya untuk nenek aja."
"Terimakasihh yaa."
"Iya nek."
Nenek itu kemudian memberikan semua barang belian Disha.
Karena Disha tak kunjung melihat pamannya keluar dari minimarket itu, jadi ia memutuskan untuk menemani si nenek berbincang sambil membantunya beberes untuk pulang.
"Nak, apa kamu percaya sama ramalan garis tangan?" Tanya Nenek itu sambil beberes.
"Emmm... Mungkin... Sedikit?"
Nenek itu tersenyum mendengarnya.
"Apa kamu mau nenek bacakan? Hitung-hitung kamu udah baik sekali sama nenek. Nenek juga pandai baca garis tangan loh." Tawar sang nenek.
Sebenarnya Disha ingin menolaknya, tapi ia takut menyakiti perasaan nenek itu.
'Yasudahlah, toh aku juga gak percaya yang beginian.' Ucapnya dalam hati.
"Boleh..." Jawab Disha sambil mengulurkan tangan kanannya.
Nenek itu meraih tangan Disha, lalu mengelus telapak tangannya.
"Apa kamu yakin mau mendengarnya?" Tanya nenek itu memastikan.
'Ada apa? Kenapa suasananya menakutkan begini? Apa masa depanku jelek?' Pikir Disha.
"Yakin Nek." Ucap Disha tersenyum canggung.
Nenek itu pun mulai membacanya.
"Nenek lihat, kamu akan mengalami masa-masa yang berat. Kamu akan kehilangan beberapa orang yang kamu cintai. Satu untuk selamanya, dan sisanya kemungkinan akan kembali ke sisimu."
Degg—
Perkataan itu seolah menendang keras jantung Disha.
Meski tidak mempercayai ramalan, entah kenapa kalimat itu mengusiknya.
"Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Nenek lihat, kamu akan bertemu dengan seseorang yang jauh lebih berharga dari yang lain. Pertemuanmu dengannya akan menyelamatkan banyak orang. Dan kamu—"
"Cukup." Potong Disha sambil menarik tangannya dari nenek itu.
Sadar dengan sikapnya yang tidak sopan, Disha menunduk dan meminta maaf.
"Sepertinya Pamanku sudah kembali. Kalau begitu aku pamit nek. Terimakasih, dan semoga nenek bahagia selalu."
Disha pergi begitu saja, sementara nenek itu diam dan tersenyum menatapnya.
Di mobil, Disha mendengus kesal, "Inilah kenapa aku benci diramal-ramal, buat overthingking aja!"
Tidak lama kemudian, sang paman kembali, dan mereka pun pergi dari tempat itu.
"Aku tidak sabar melihat akhir dari kisahmu nak. Kamu akan menolong orang itu. Kamu akan menariknya dari kegelapan terdalam. Tolong selamatkanlah dia."
Ucap nenek itu sambil menatap kepergian Disha dengan pandangan yang sulit diartikan.
...Jangan berhenti ketika kamu lelah. Berhentilah ketika kamu sudah selesai....
...-Donzello...
.......
.......
...***...
...-Kota X, Indonesia-...
...***...
"Pembunuhan misterius dilaporkan terjadi ketika perayaan ulang tahun Dinata Group berlangsung kemarin, tepatnya hari selasa 19 Januari 20xx, pukul 11 malam. Suasana ricuh ketika proses evakuasi berlangsung. Dilaporkan, ada 2 orang korban dalam peristiwa ini. Hingga kini, pihak berwajib masih merahasiakan korban dari pembunuhan misterius itu ..."
"Ini gila, kenapa dalam bulan ini hanya berita orang mati yang kudengar?"
Ucap wanita dengan ikatan cepol itu menatap heran pada layar TV 60 inch di hadapannya.
"Hah... mana kutahu? Cari saja channel yang lain." Balas Disha, wanita dengan rambut panjang berkuncir kuda.
Disha masih sibuk mengompres wajahnya yang terasa panas dengan kaleng minuman soda di tangannya.
"Masalahnya, semua channel pasti membahas hal serupa. Lihat ini..."
Wanita berambut cepol itu mengangkat remote TV di tangannya, dan mulai menekan tombol berbentuk ujung panah yang ada di remote itu.
Dan benar saja, semua channel TV membahas tentang tragedi yang tengah menimpa Dinata Group saat ini.
"Tau ah, aku capek." Ucap Disha memilih tak ingin terlalu memusingkannya.
Kedua wanita itu baru saja selesai berlatih mengasah hobi mereka, dan saat ini mereka tengah menikmati waktu istirahat dengan menonton TV.
Niatnya untuk mendapat hiburan sebagai pengganti rasa lelah, malah berita kematian yang mereka jumpai hampir di seluruh channel TV.
Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi, dalam sebulan ini berita kematian dari keluarga-keluarga ternama terus saja menghiasi layar kaca itu.
Anehnya lagi, kasus pemecahannya tak pernah diberitakan. Bahkan, mengenai siapa pelaku pembunuhannya pun tidak pernah diberitakan media. Berita itu tenggelam, seolah tak pernah terjadi.
'Kira-kira apa tanggapan kakek tentang ini ya?' Batin Disha melamun menatap layar kaca itu.
Beberapa saat kemudian, seseorang datang memasuki ruangan yang sama.
"Ladies, ayo kita lanjutkan latihannya..." Ucap orang itu antusias.
Orang itu tak lain adalah pamannya Disha, Marco Mataya.
Pria itu tampak hanya mengenakan atasan singlet putih dan celana pendek sebatas lutut, sehingga menunjukkan betapa jelas oto-otot bugar itu terlihat.
Janggut dan kumis pria itu sungguh menambah kesan maskulin pada dirinya, apalagi dengan wajah khas Eropa itu, membuatnya terlihat sangat sempurna di mata Ayudisha. Bukan hanya tampang pria itu yang dikagumi Disha, melainkan sifatnya yang gentleman.
Dalam benaknya, Disha mulai membandingkan sosok Ayahnya dengan Pamannya itu. Mereka sangat berbeda, baik dari segi penampilan, maupun sifatnya.
"Hey Disha, melamun terus... ada apa?" Tanya Belvina, si wanita berambut cepol.
"Apa ada masalah Disha?" Sambung Marco menaruh khawatir.
"Dad, mungkin Disha sudah kelelahan. Besok saja kita sambung latihannya. Lagian..." Belvina terdiam sesaat memikirkan sebuah alasan, "Lagian diluar sudah sangat panas Dad..." Tambahnya lagi agar bisa kabur dari latihan yang melelahkan itu.
"Daddy gak tanya kamu."
"Aduh, gak apa-apa kok Paman." Balas Disha dengan senyuman canggungnya.
Kan tidak mungkin Disha terang-terangan mengatakan alasannya melamun karena ia sibuk mengagumi paman kandungnya sendiri.
Bisa-bisa ia disuruh Belvina untuk menjadi Ibu tirinya.
"Yasudah kalau gitu, ayo kita sambung. Masih ada setengah jam lagi sebelum Paman pergi meeting." Ucap pria itu sambil menelisik jam yang melingkar di tangannya.
"Dad... mending kita lanjutkan lain kali saja. Lihat, wajah Disha kelelahan..." Bujuk Belvina lagi membawa-bawa nama Disha. Entah kenapa meski hobi, kali ini Belvina enggan melanjutkan kegiatan mereka yang sempat ditunda tadi.
"Belvina, berhenti membujuk Daddy. Ayo cepat bangunn..." Perintah pria itu sambil jemarinya bergerak merapikan sarung tangan hitam yang dikenakannya.
Melihat sepupunya sudah tak niat untuk melanjutkan latihan, Disha merasa sedikit kasihan.
Disha tahu, jika sahabatnya itu sudah tak niat, maka latihan mereka akan jadi kacau. Atau lebih tepatnya, akan membahayakan nyawa Disha, Belvina sendiri, dan juga Daddynya.
Kemudian terpikirkan suatu ide di kepala Disha. Ia berpura-pura susah bangun dari sofa empuk itu, lalu memasang ekspresi menahan sakit.
"Paman, sepertinya aku kram otot nih. Lebih baik kita tunda dulu. Apa boleh kita sambung besok saja?" Pinta Disha sambil memijit-mijit bisepnya yang sebenarnya tidak kenapa-napa itu.
Pria paruh baya itu hanya menatap putri dan keponakannya dengan tatapan datar.
Dia tahu bahwa itu hanya alasan yang dibuat keponakannya untuk menyelamatkan putri jahilnya itu.
"Yah, baiklah. Kalau begitu, Paman pergi dulu untuk bersiap-siap."
"Ck, giliran Disha yang minta, diturutin. Siapa sih sebenarnya anak Daddy?!" Omel Belvina setengah berteriak sambil cemberut imut.
Daddynya yang mendengar itu, hanya mengedikkan bahunya seolah menyatakan tak pedulinya, lalu pergi meninggalkan mereka.
Disha tertawa geli melihat tingkah sepupunya yang masih cemberut menatap sang Paman.
Disha selalu suka pemandangan dan suasana ini, dimana sepupu dan pamannya selalu saling menjahili.
Suasana ini sangat berbeda dengan suasana yang dirasakan Disha setiap harinya, di tempat yang disebutnya "rumah".
...🥀🥀🥀...
...***...
...-Milan, Italia-...
...***...
(Dialog bercetak miring adalah percakapan dalam Bahasa Italia.)
Sementara itu di tempat lain, dua orang pria bertubuh tegap tengah berdiri di balkon apartemen mewah di kota itu. Mereka tampak membicarakan hal serius, terlihat jelas dari pandangan tajam dan ekspresi tegang dari keduanya. Pria yang satu berdiri sambil menghisap rokoknya, dan yang satunya lagi berdiri dengan segelas alkohol di tangannya.
"Jadi ini belum berakhir?"
"Huhft... entahlah, aku mulai lelah. Sebenarnya siapa dalang dibalik semua ini?" Ucap Pria perokok itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Sepertinya lawan kita bukan orang biasa."
"Sudah jelas kan? Kita tidak pernah merasa kerepotan menangani apa pun sejauh ini."
Kedua pria dengan stelan jas berwarna hitam itu, menunjukkan wajah lesu mereka. Mereka tidak tahu harus berbuat apa setelah ini. Mereka pikir, ini adalah akhir dari segala penantian mereka. Akhir dari rasa sakit dan pengkhianatan, akhir dari kegelapan yang sudah mereka pelihara selama belasan tahun lamanya.
Namun kenyataannya, sampai saat ini mereka tak kunjung menemukan ujung dari cerita yang panjang ini. Seolah terjebak dalam labirin yang sangat rumit dan luas.
"Jadi apa yang akan kau katakan pada Tuan?" Tanya pria dengan segelas alkohol di tangannya itu.
Pria perokok yang berdiri di sebelahnya, menghela napasnya kasar, lalu berkata, "Entahlah Laiv Kurasa tanpa harus memberitahunya pun, dia sudah tahu sekarang."
"Tapi kau tetap harus melapor, kan Romano?" Ucap pria yang dipanggil Laiv itu sambil menunjukkan senyum tipisnya.
Romano menjatuhkan rokok yang sudah kelihatan memendek itu dari mulutnya, lalu diinjaknya rokok itu dengan ujung sepatunya. Setelah rokok itu padam, pria bertubuh tegap dan berwajah tampan itu melangkah pergi meninggalkan Laiv sendirian.
"Kau mau kemana?" Tanya Laiv dengan setengah berteriak karena Romano sudah lumayan jauh darinya.
"Menjemput ajalku." Jawab Romano dengan entengnya.
.
.
...Hidup pada dasarnya berisiko. Hanya ada satu risiko besar yang harus kamu hindari dengan cara apa pun, yaitu risiko tidak melakukan apa pun....
...-LN...
.......
.......
...***...
(Dialog dan monolog bercetak miring adalah percakapan dalam Bahasa Italia.)
Romano berulang kali terdengar mendengus sambil berjalan meninggalkan balkon. Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
Tetapi karena ini tugasnya, Ia harus bersabar dan menekan rasa takutnya, karena bukan sekali dua kali Ia menghadapi kemarahan tiran seperti tuannya itu.
Tok Tok Tok
Romano mengetuk saat telah sampai di depan ruangan yang ditujunya. Di depan pintu besar berwarna hitam itu, Ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menghadapi sosok tiran di balik pintu itu.
"Permisi Tuan, Ini saya Romano." Katanya.
"Masuklah."
Terdengar samar suara dari balik pintu itu yang menyuruh Romano untuk masuk. Tak ingin membuat Tuannya menunggu lama, Romano pun masuk.
Glek...
Tanpa sadar, Romano tertegun di ambang pintu ruangan yang tampak temaram itu.
Kacau,
Seisi ruangan itu benar-benar seperti kapal pecah sekarang. Pecahan kaca, berkas, dokumen, buku, semuanya berserakan kesana-kemari.
Pasti pria yang tengah berdiri membelakanginya itu, adalah penyebab semua kekacauan ini. Begitulah pikir Romano.
Untuk sesaat, Romano merasa lega karena ia tak harus menyaksikan kekacauan ini secara langsung beberapa waktu yang lalu.
Namun ia tetap harus waspada pada sahabatnya yang tampak sedang tidak baik-baik saja itu.
...
"Kukira ini adalah penyamaran terakhirku."
Pria yang masih menatap pemandangan di balik dinding kaca itu akhirnya bersuara memecah keheningan.
Pria itu tampak mengenakan kemeja putih dengan lengan kemeja yang digulung sebatas sikunya, sehingga memperlihatkan otot serta guratan urat di tangannya.
Betapa kokohnya tangan itu. Tangan yang membuat ruangan yang cukup luas itu kini tampak sangat kacau.
"Laporkan apa yang kau temukan." Perintah pria itu.
Romano kemudian berjalan dengan hati-hati mendekati meja tuannya itu, lalu mengeluarkan benda segi empat dari balik jasnya.
"Semua laporannya sudah saya muat dalam berkas ini Tuan. Intinya, mereka kemungkinan sama kuatnya seperti kita. Melihat pergerakan mereka yang tersusun rapih selama belasan tahun ini, dan segala keberhasilan mereka dalam menghindari rencana kita, saya rasa itu bukan sekedar kebetulan saja. Saya curiga ada pengkhianat yang membocorkan segala pergerakan kita." Jelas Romano dengan wajah yang benar-benar serius. Tidak terlihat rasa takut lagi di wajahnya itu.
Perasaan geram akan kemungkinan adanya seorang pengkhianat di antara mereka, membuatnya lupa akan rasa takutnya pada tuannya itu.
"Lalu usaha kita yang sampai menanamkan microchip, semua itu sia-sia?" Tanya pria itu tak terima.
Ia berjalan mendekat ke arah Romano agar bisa menjangkau berkas yang isinya lumayan banyak itu.
"Tidak, sepertinya bukan dari para anggota. Karena microchip itu dirancang dengan teknologi terbaik, jadi tidak mungkin ada cacat produksi. Dan sejauh ini, teknologi jenis ini hanya digunakan oleh kita." Jelas Romano dengan tatapan yakin.
Ucapan Romano bukanlah omong kosong belaka. Sudah sejak lama mereka menyepakati peraturan penanaman microchip pada bagian tubuh setiap orang yang mengabdikan dirinya pada sang pemimpin. Bisa dibilang itu adalah tradisi mereka.
Dengan adanya microchip itu, maka akan sangat mudah untuk mengendalikan, melacak, dan merekam setiap aktivitas para anggota.
Karena kecanggihannya, maka tak heran proses pembuatan teknologi itu pun memakan uang yang tak sedikit, sehingga sangat jarang ada orang yang mampu menggunakannya.
"Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati setelah ini. Ada beberapa orang yang tidak termasuk anggota yang sering berkunjung satu tahun terakhir ini, Iya kan?" Ucap pria itu memastikan.
Romano kemudian menganggukkan kepalanya, lalu berkata, "Anda benar sekali Tuan."
"Baiklah, akan kita bicarakan di rapat yang akan datang."
Pria berkemeja putih itu kemudian melangkah menuju tempat duduknya. Sambil menghisap cerutu, ia lagi-lagi memandang keramaian kota itu dari balik dinding kaca.
Terangnya lampu jalan dan Gedung-gedung kota seolah mengalahkan kilauan bintang di langit malam kota Milan, hingga pria itu bahkan enggan menatap langit.
"Oh ya Tuan, saya rasa Anda sudah tahu ini. Ini mengenai kematian pewaris Dimian Group. Perkataan pria itu memang benar, mereka tak ada hubungan apa pun. Saya dan yang lainnya sudah memeriksa latar belakang Dimian." Ucap Romano Kembali bersuara.
'****, pria ini malah mengingatkanku lagi.' Batin pria itu.
Pria itu menghela napasnya kasar, lalu memijit-mijit pangkal hidungnya yang mancung itu.
"Aku tahu Ano, Pewaris Dimian Group itu hanya umpan. Dan aku hampir saja terbunuh karenanya. Kalau si pewaris kita tangkap pun, dia tetap akan dibunuh untuk membuat kita menjadi tersangka pembunuhan." Balas pria itu.
'Ano?' Apa ini saatnya peranku sebagai sahabat dibutuhkan?' Tanya Romano pada dirinya sendiri.
Tap Tap Tap
Romano melangkah mendekati Tuannya yang masih duduk sambil menyemburkan asap cerutu dari mulutnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Tuannya itu, seperti akan meminta sesuatu.
Pria yang tengah menghisap cerutu itu mengangkat alisnya melihat tingkah Romano yang membingungkan.
"Kau tak mau membagi cerutumu Ello?" Tanya Romano dengan santainya.
"Hah, kukira kau mau meminta uang setelah kegagalan yang terjadi." Ucap pria yang dipanggil Ello itu sambil tertawa sinis pada Romano. Meski begitu, Romano tidak tersinggung atau sakit hati. Ia malah tersenyum menyeringai.
"Bukankah kau harus berhenti merokok? Aku kasihan melihat istrimu nanti, yang belum apa-apa akan ditinggal suaminya karna cepat mati." Sarkas Ello. Namun ia tetap menyodorkan cerutu mahal miliknya, dan tak lupa pemantiknya juga.
"Jadi kau mendoakan aku? Khawatirkanlah dirimu yang terus memukuli barang di sekitarmu saat sedang emosi. Aku khawatir kau dan istrimu lama-kelamaan akan jatuh miskin."
"Aku tidak akan menikah, sialan." Sanggah Ello. Ia tidak suka setiap kali sahabatnya itu menyinggung soal wanita, istri, dan pernikahan. Menurutnya itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukannya sampai ia mati.
"Yah, terserah kau saja... Aku yang pertama kali akan menertawakanmu ketika kau tiba-tiba memutuskan untuk menikah." Romano kembali menggoda Ello sambil menunjukkan ekspresi jahilnya.
Huufftt...
Tanpa aba-aba, Ello menghembuskan asap dari mulutnya ke wajah Romano. Asap cerutu itu sangat banyak menyambar wajah Romano, sehingga membuatnya terbatuk-batuk karena tidak sempat menghindar.
"Kalau begitu, tertawalah dalam kuburmu." Ucap Ello sesaat ketika menyemburkan asap cerutu dari mulutnya tadi. Ia pun kemudian melangkah menuju pintu keluar tanpa menghiraukan sahabatnya yang sudah terbatuk-batuk, akibat ulahnya.
'Brengsek! Sialan! Uhuk... Di-dia gila.'
Romano merutuki Ello yang sengaja melakukan hal itu padanya. Dan lagi pria itu malah langsung meninggalkannya sendirian dengan kondisi ruangan yang sangat kacau itu.
Apa dirinya juga yang harus membereskan ini? Pikirnya begitu.
Romano sesekali masih terbatuk dan mengibas-ngibaskan tangannya di udara untuk menghalau asap cerutu yang masih tersisa.
Ia heran kenapa asapnya begitu banyak, seberapa lama Ello mengumpulkan asap-asap ini dalam mulutnya tadi? Ia pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
.
.
.
"Ya Tuan? Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang wanita dari balik telepon intercom.
"Tolong bereskan ruangan kerja nomor satu milik Tuan Ello. Waktumu hanya 30 menit, mengerti?" Ucap Romano dengan tegas.
"Me-mengerti Tuan, saya akan ti—"
TUTT—
Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, Romano langsung memutuskan panggilan itu.
"Membuang waktu saja, menjawab begitu sudah memakan waktu satu menit. Dasar tak berguna." Gumamnya kesal.
Sebelum pergi meninggalkan ruangan itu, tak lupa Romano mengambil berkas laporannya tadi, dan beberapa berkas penting lainnya di ruangan itu.
Ia harus memastikan agar ruangan itu benar-benar "bersih", tak meninggalkan jejak sedikit pun sebelum para pelayan itu tiba.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!