Di suatu kafe tempat biasanya beberapa anak muda datang untuk menongkrong tengah terdapat pesta kecil-kecilan. Sekelompok siswa-siswi merayakan kelulusan mereka dan berbincang apa yang mereka lakukan setelahnya.
"Ana, kalau kau mau masuk?" tanya seorang pria tiba-tiba mengatakan pada seorang gadis yang termenung. Ana itulah namanya, gadis itu tampak melamun dan sama sekali tak berminat untuk bercerita.
"A-aku.. belum tahu apa yang akan aku lakukan. Kalian tahu bahwa orang tuaku orang yang susah dan aku mengerti kalau mungkin saja aku tak akan sama seperti kalian melanjutkan pendidikan sekolah." jawab Ana panjang lebar dengan raut wajah kesedihan.
Teman-teman ikut bersimpati mendengar cerita Ana. "Jangan sedih Ana, kami yakin kok kalau kamu punya kemauan pasti ada jalan. Orang tuamu juga pasti tahu kalau kau mau melanjutkan pendidikan dan mereka pasti akan melakukan sesuatu demi kau." hibur Sania, sahabat Ana.
Tentu saja Ana langsung mengucapkan terima kasih meski dirinya masih tak tenang. Apa terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya?
****
Suasana dalam rumah kediaman Erickson begitulah mencekam. Baik di dinding mau pun lantai terdapat darah yang masih segar mengalir. Tergeletak pula mayat seorang wanita yang terluka di bagian dada. Dia meninggal akibat kehilangan banyak darah. Tak jauh dari mayat tersebut, seorang pria yang juga terluka dibagian kepala dan perut tengah merangkak dengan sisa tenaga.
Dia tak peduli dengan keadaannya atau pun lantai kotor akibat darah yang senantiasa keluar dari tubuh. Pria paruh baya itu tampak lebih tertuju pada seorang anak kecil yang menangis dalam rangkulan seorang pria yang tersenyum sinis ke arahnya sembari menodong sebilah pisau tajam pada si anak perempuan.
Si pria adalah kepala keluarga Erickson, sedang yang terbunuh adalah istrinya sendiri. Mereka sedang berada dalam masalah yang sangat mengerikan. "Ayah.." ucap si anak perempuan, ketakutan.
"Lepaskan anakku, tidakkah kau puas telah melayangkan nyawa istriku?! Jika kau mau menyerang, serang saja aku kenapa kau harus membantai keluargaku!" Pembunuh tersebut tertawa terbahak-bahak.
"Aku tak peduli! Jika perlu semua keluargamu akan kubantai walau semua ini kulakukan untuk bersenang!" Pisau mendarat di leher anak kecil itu.
Dengan keji, si pria menggores sayatan besar leher anak kecil. "Lina!" Si anak kecil jatuh dengan leher yang mengeluarkan banyak darah dari lukanya. Tubuhnya gemetaran dengan hebat sedang napasnya megap-megap.
Boom!
Asal ledakan itu keluar dari dapur, api pun menyebar dari dapur ke ruang keluarga tempat mereka berada sekarang. Walter Erickson menghampiri anak bungsunya yang bernama Lina itu. "Lina, bertahanlah! Jangan pernah tertidur!"
Si pembunuh tampak tertawa jahat sedang Walter mengambil mayat sang istri untuk membopong keluar beserta Lina. Sementara pria pembunuh tetap di rumah membiarkan dirinya lebur bersama rumah kediaman Erickson yang ludes terbakar.
Walter tampak kelelahan karena menggunakan sisa tenaga yang berlari demi menghindari jilatan yang api besar atau pun berteriak minta tolong. Demikian juga kala dia harus menggendong dua orang menyebabkan tubuhnya sangat kepayahan hingga akhirnya jatuh tersungkur ke tanah lalu pingsan.
****
TV di setel menyala. Tampaklah seorang penyiar berita melaporkan suatu kejadian di TKP. Ana terlihat makin khawatir sedang salah satu temannya yang bergabung dengan mereka tampak memperhatikan baik.
Awalnya tak ada yang aneh namun begitu melihat rumah yang terbakar alisnya langsung mengerut. Dia seperti mengenal rumah tersebut. "Ana bukankah itu rumahmu?"
Gadis yang berusia 18 tahun tersebut mematung. Dirinya menoleh ke arah TV dan benar saja rumah yang di lalap api itu adalah rumahnya. Dia segera berdiri dan berjalan cepat hendak keluar. "Tunggu aku ikut!" ujar seorang siswa yang bernama Tom.
"Aku akan mengantarmu sampai pulang." Ana pun hanya mengangguk dengan raut cemas. Tom mengambil kunci motor sedang Ana telah keluar dari kafe secara terburu-buru. Karena dia tak berhati-hati, Ana menabrak seorang pria yang umurnya jauh lebih dewasa dari dia.
"Maafkan aku Om, aku terburu-buru." ucap Ana.
"Oh tidak apa-apa.." Pria itu memperhatikan Ana yang masih dibalutin seragam SMA. Dirinya yang masih remaja, tetapi tubuhnya layak wanita dewasa yang mampu membangkitkan libido seorang pria.
"Ini kartu namaku. Jika kau ingin pekerjaan datanglah." Pria itu berjalan masuk dan Tom telah menaiki motor. "Ayo Ana!" Teriakan Tom menyadarkan Ana yang segera mengenakan helm pemberian sahabat dan naik untuk ke rumahnya.
Di sana, dia melihat pemadam kebakaran sedang berjuang mematikan api. Tetapi ketiga anggota keluarga tak terlihat batang hidungnya. "Bibi Dian," panggil Ana mendekat pada seorang wanita yang dia kenal.
"Ana." Dian, wanita yang paruh baya itu langsung memeluk Ana dan juga menangis.
"Bibi kenapa rumahku terbakar? Di mana Ayah Ibu, juga Lina?" tanya Ana meminta jawaban.
"Ibumu Ana.. dia sudah tak ada lagi." Bagai petir menyambar, berita itu mengejutkan Ana. "Dia tergeletak tak bernyawa, ketika kami menemukan mereka terbaring di depan rumahmu. Ayahmu dan Lina juga terluka, sekarang mereka berdua dilarikan ke rumah sakit."
"Rumah sakit mana Bibi?" tanya Ana. Dian pun menjawab. Ana segera lekas pergi meninggalkan Dian menuju Rumah Sakit dengan bantuan Tom. Selama perjalanan Ana hanya diam karena bersedih kehilangan sang Ibu, namun dia harus memastikan kedua anggota yang masih hidup bisa selamat.
Catatan Author :
Hai semuanya. Perkenalkan aku penulis baru di sini dan juga amatir. Aku harap kalian menyukai karyaku.
Ketika sampai di rumah sakit, Ana lantas bergerak ke tempat administrasi. "Permisi saya mau tanya di mana korban kebakaran yang baru saja tiba?"
"Apa kau keluarga dari kedua pasien?" Si perawat balik bertanya.
"Iya saya keluarganya."
"Kedua pasien tengah berada di dalam UGD, silakan menunggu." Ana pun mau tak mau harus berjalan lemas ke ruang tunggu di depan UGD. Tom, sahabat yang ikut bersamanya turut simpati dan menghibur.
"Yang sabar Ana." Ana mengangguk lemah dan menutup wajahnya dalam-dalam di kedua telapak tangan. Menunggu dengan frustasi sampai dokter datang bersama raut wajah lelah yang tampak.
"Dokter ...." Si dokter berhenti dan menoleh pada Ana. "Apa dokter yang menangani Ayah dan adik saya?" tanya Ana dengan mimik muka cemas.
"Anda keluarga dari kedua pasien?" Ana mengangguk. Si dokter mengembuskan napas berat. "Maaf kami berusaha semaksimal mungkin tetapi Ayah anda tak bisa kami selamatkan. Sekarang dia tengah sekarat dan menginginkan kau menemui secepatnya."
"Lalu bagaimana dengan Lina, adik saya?"
"Dia terluka cukup parah di bagian leher. Kondisinya kritis dan perlu di operasi." jawab si dokter.
"Operasi?" Hendak menjawab tiba-tiba ponsel si dokter berbunyi. Si dokter itu pun sesudah mengangkat telepon, berjalan meninggalkan Ana beserta Tom tanpa membalas perkataan.
Lantas Ana masuk dan menemukan Ayahnya tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ana ...." suaranya bahkan terdengar sangat lemah membuat Ana miris. Didekatinya pria itu dan menggenggam tangan ketika Walter berusaha menjangkaunya.
"Anaku sayang, maafkan Ayah tak bisa menyelamatkan Ibu dan adikmu. Ayah pun harus meninggalkanmu meski sebenarnya Ayah tak ingin. Apa yang akan terjadi padamu dan juga adikmu jika Ayah tak ada, Ayah pun tak bisa membayangkan." Gadis itu hanya diam tetapi air mata tetap menetes di pipi.
"Ana, kau sudah dewasa meski belum sepenuhnya. Jaga adikmu, Ayah yakin kau pasti bisa melakukannya karena kau bertanggung jawab. Kau bisa, 'kan memenuhi permintaan Ayah?"
"I-iya Ayah pasti.. aku a-akan terus menjaga Lina dan membuatnya bahagia ... Aku sayang Ayah." Walter tersenyum lemah. Dengan sisa tenaga Walter membuka kedua lengan dan tanpa berkata Ana merebahkan tubuhnya di atas sang Ayah, memeluk Walter untuk terakhir kalinya.
"Ayah juga sayang padamu Ana." Dalam pelukan sang putri sulung, Walter mengembuskan napas yang terakhir. Goyahlah pertahanan Ana yang tak mampu membendung kesedihan.
Perawat pun mengambil alih dan membuka semua alat yang membantu Walter sebelum akhirnya mereka menutup jenazah dengan kain. Kaki Ana yang lemas keluar beserta dengan mayat Ayah yang berpindah menuju kamar mayat.
Meski larut dalam kesedihan, pikiran Ana melayang bagaimana caranya mendapatkan uang yang begitu banyak untuk operasi sang adik sedang Lina harus secepatnya operasi.
"Permisi ...." Sepasang mata Ana mendarat pada seorang dokter wanita yang menghampiri. Kedua matanya menatap tepat pada Ana sedang tangannya memegang sebuah dokumen.
"Apa kau wali dari Lina Erickson? gadis yang terluka dengan sayatan di leher?" tanyanya dengan sedikit melirik pada dokumen tersebut.
"Iya, saya kakaknya."
"Aku dokter Aikara, aku akan mengoperasi adikmu jadi aku minta--"
"Tapi aku tak punya uang sedang aku baru saja kehilangan rumah dan kedua orang kami juga telah meninggal," potong Ana bernada sendu.
"Itu tak penting sekarang kau perlu tanda tangan dokumen ini. Nyawa adikmu lebih penting." kata Aikara sembari memberikan dokumen yang dipegangnya. Ana memandang dokumen yang disodorkan dan Aikara secara bergiliran.
"Apa dokter serius mau menyelamatkan adik saya tanpa uang?" tanya Ana masih tak percaya dengan Aikara. Aikara membuang napas kasar.
"Aku ini seorang dokter, aku berusaha menyelamatkan nyawa pasien bukan untuk menyusahkan mereka. Tanda tangan dan aku akan sebisa mungkin menyelamatkan adikmu." Gadis itu segera menandatangi dokumen dengan tangan bergetar. Dia tak tahu harus melakukan apa selain percaya pada dokter Aikara.
"Tolong selamatkan adikku ya dok." Dokter pun hanya mengangguk dan menyuruh beberapa perawat yang mengikutinya agar cepat membawa Lina ke ruang operasi.
Ana merasa sedikit lega dan duduk kembali di kursi yang disediakan. Tangannya lalu terulur mengambil sebuah kartu nama di saku. Ditatapnya lama sambil mengingat perkataan si pria yang menginginkan Ana untuk bekerja. Ini adalah kesempatan Ana, membayar biaya rumah sakit! Dia harus ke tempat pria itu!
"Tom, bisakah kau menunggu di sini. Aku akan pergi ke suatu tempat untuk meminjam uang." Terlihat raut wajah Tom tidak enak.
"Sebenarnya aku tak bisa berlama-lama, jadi bisa tidak kau menghubungi tetangga yang dekat dengan kalian untuk menemani Lina?" usul Tom.
"Baiklah. Aku akan menghubungi Bibi Dian agar datang ke sini." Menghubungi Bibi Dian, wanita itu bersedia dan pergi selekas mungkin ke rumah sakit.
Dia lagi-lagi meminta bantuan Tom untuk menuju alamat kerja si pria yang tak dia kenal itu. Tom pun menurutinya dengan mengantarnya dan begitu sampai mereka sama-sama terdiam karena alamat yang mereka bawa adalah sebuah club.
"Kau yakin ingin masuk? Aku rasa pria yang memberikan kartu ini bukan orang baik terbukti alamat ini sebuah klub." kata Tom meminta Ana untuk memikirkan dua kali tentang dirinya meminjam pada si pria.
"Tapi aku tak punya pilihan hanya ini saja yang bisa aku lakukan demi adikku." Tom membuang napas berat.
"Baiklah aku mengerti. Jaga dirimu baik-baik." Sesudah mengucapkan selamat tinggal, Tom pun pergi meninggalkan Ana sendirian. Dengan keberanian, Ana berjalan mendekati penjaga yang sedang memeriksa beberapa orang yang hendak masuk.
"Permisi, aku mau bertemu dengan pemilik kartu ini." Salah satu penjaga mengambil dan melihat kartu nama tersebut sebelum melihat lagi pada Ana dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ayo ikuti aku." Tentu saja Ana langsung mengikuti dan begitu masuk telinganya di sapa dengan musik yang memekakan telinga. Begitu banyak orang. Ada yang menari di lantai dansa, ada yang mengobrol dan lain-lain.
Masuk ke dalam lagi. Ana melihat beberapa pasangan tengah bercumbu bahkan melakukan sesuatu yang lebih membuat suasana menjadi tak enak terutama saat beberapa pria yang sedang bercinta memandangnya dengan tatapan tajam.
"Bos, ada yang ingin bertemu denganmu." Perkataan si penjaga menyadarkan Ana dan sepasang mata Ana melihat pria yang baru dia kenal tengah bertelanjang dada duduk bersama beberapa wanita yang mencumbu tubuhnya.
"Oh ternyata kau, wah cepat sekali kau menghubungiku. Katakan kau tertarik dengan pekerjaan yang aku tawarkan?" tanyanya dengan senyuman smirk.
Ana menunduk. "Ya, aku mau dan aku meminta bantuanmu. Adikku sedang di operasi dan aku butuh uang secepatnya jadi aku ..."
"Kau ingin aku membayar operasinya? Itu gampang asal kau mau--"
"Berapa uang yang kau butuhkan?" suara seorang pria menginterupsi cepat. Ana menoleh ke sumber suara dan menemukan sosok pria yang memandangnya dingin. Tangannya menggenggam segelas yang masih terisi penuh bir.
Sama seperti pria di sebelahnya, pria itu mempunyai beberapa wanita yang menggodanya tetapi dia tak menggubris.
"Mm, aku masih belum tahu karena adikku sedang di operasi dan pihak rumah sakit belum memberikan tagihannya." kata Ana dengan kepala yang menunduk, sungguh Ana merasa sangat terintimidasi dengan pandangan si pria yang baru bertanya itu.
Ana makin ketakutan mendengar beberapa langkah mendekat dan tiba-tiba saja kepalanya terangkat memandang si pria yang saat ini tengah mencengkram wajahnya dengan satu tangan.
"Aku akan membayar semua pengobatan adikmu asal kau harus tinggal bersamaku, bagaimana?" Pandangan si pria begitu menusuk pada Ana sehingga gadis itu hanya bisa mematung.
"Samuel!" Si pria itu memandang tajam pada pria yang awalnya dimintai bantuan oleh Ana. "Apa-apaan kau ini?! Dia meminta bantuan padaku bukan padamu!" lanjutnya dengan nada penuh amarah.
"Kau belum membayarnya jadi aku masih punya kesempatan untuk membuat penawaran." Tentu saja si pria meradang dan bangkit. "Samuel?!"
"Ingatlah aku juga salah satu investor dari club ini jika kau mau bisnis gelapmu masih selamat maka jangan ikut campur, mengerti?" Si pria yang masih belum diketahui namanya itu tak bisa berbuat apa-apa selain memandang mereka berdua bergerak keluar dari club.
Ana tak bisa berkata-kata dan terus mengikuti pria yang bernama Samuel itu sampai ke dalam mobil. "Katakan di mana rumah sakit tempat adikmu di rawat?" Sebenarnya Ana terperanjat mendengar perkataan pria yang tak dia kenal itu namun kemudian mengatakan nama rumah sakit yang dituju.
"Tuan, apa anda serius mau membantu biaya operasi dan bayarannya hanya tinggal bersama anda?" Bukannya menjawab Ana dilemparkan pandangan tajam yang langsung menusuk ulu hati gadis itu. Ana langsung merunduk tak berani menatap Samuel.
"Sebenarnya aku tak perlu menjelaskan dua kali tapi baiklah aku memaafkanmu asal jangan melakukan hal ini sekali lagi. Aku benci seseorang yang menanggapi sesuatu dengan lambat." penuturan Samuel membuat tubuh Ana merinding tetapi dia masih berani membalas.
"Ma-maafkan saya Tuan. Ta-tapi bagaimana dengan adik saya? Apa dia akan mengikuti saya juga? Saya tak tega jika meninggalkan adik saya yang kondisinya buruk." Samuel melirik lama pada Ana lalu beralih ke jalan raya.
"Soal itu, kau tak usah cemas nanti aku akan memberikan salah satu anak buah kepercayaanku menjaga adikmu. Siapa nama adikmu?" Tentu saja Ana gelagapan.
"Namanya Lina Erickson." Mobil mendadak berhenti bersyukur Ana memakai sabuk pengaman jika tidak mungkin dia akan terjengkang. Tunggu sebentar ... kapan dia memakai sabuk pengaman?
Sebelum bisa menjawab pertanyaan yang berada di kepalanya sendiri Ana segera melepas sabuk tersebut dan keluar lantaran Samuel telah mendahuluinya. Saat Samuel berjalan di bagian administrasi, Ana langsung menuju ruang operasi di mana Bibi Dian menunggu dengan gusar.
"Bibi!" Dian otomatis menoleh ke arah Ana dan betapa bahagianya melihat Ana. "Ya ampun sayang, kau dari mana saja Bibi cemas dari tadi?"
"Maaf Bibi, aku harus mencari pinjaman untuk uang operasi Lina. Bagaimana dengan kondisinya apa dia telah selesai di operasi?" Dian menggeleng lemah.
"Kenapa kau tak bilang bahwa kau butuh uang Bibi bisa.."
"Tak perlu Bibi, ada seorang pria baik yang mau menolongku." potong Ana dengan senyuman tipis.
"Kalau begitu syukurlah." Tak jauh dari mereka sekelompok orang menunggu dengan gusar. Sepertinya ada keluarga mereka yang juga dioperasi. Sama seperti Ana dan Bibi Dian, mereka pun berharap bahwa anggota keluarga mereka baik-baik saja. Tetapi ada perbedaan yang terlihat sangat jelas dari baju mereka yang dikenakan, begitu rapi dan mewah tanda mereka itu adalah orang kaya.
Pintu ruang operasi terbuka menampakkan dokter Aikara yang baru saja keluar dengan baju khusus operasi. Buru-buru mereka mendekati Aikara. "Dok bagaimana keadaan putra saya dok? Apa dia.."
"Maaf bukan saya yang mengoperasi putra anda." potong Aikara. Dia lalu bergerak mendekati Ana dan Bibi Dian. Pandangan mata mereka tampak berharap. Sedang dari tempatnya berdiri datanglah sesosok pria yang tampak gugup berdiri bersama orang-orang kaya yang mencemaskan keadaan putra mereka.
Pada mulanya Aikara memasang wajah datar namun kemudian tersenyum tipis. "Operasinya berjalan lancar, adik Nona selamat hanya saja saya tak bisa memperbaiki pita suaranya yang rusak akibat tusukan benda tajam. Dia kehilangan suaranya."
Ana menampakkan raut wajah bahagia meski ada berita buruk tetapi tak mengapa. Adiknya masih hidup itu jauh lebih penting. "Tidak! Itu tak mungkin!" Ketiga orang yang masih berbahagia lantas menoleh ke sumber suara menemukan pria yang sempat bertanya pada Aikara menarik kerah si pria yang gugup sedari tadi.
"Bagaimana bisa kau kehilangan putraku?! Aku telah membayar semua dokter di sini agar menyelamatkan putraku tapi kalian malah menghilangkan nyawanya!" Tiba-tiba seorang pria yang lebih tua melerai dan berbicara sesuatu yang tak jelas. Namun Ana tahu Aikara tiba-tiba ditunjuk oleh si pria tua yang juga berprofesi sebagai dokter itu.
"Apa yang kau katakan? Aku menolak?! Asal kau tahu saja ya aku tak mengambil uang pria ini bukan karena tamak tapi aku secara sukarela mau membantu tetapi ketika aku menawarkan bantuan kau malah mengejekku dengan mengatakan apakah pantas seorang dokter yang mengalami amnesia parsial berada di meja operasi! Secara jelas kau telah menghina kemampuanku sebagai seorang dokter bedah Dokter Marco jadi bertanggung jawablah atas perbuatanmu."
Setelahnya, pintu ruang operasi terbuka lebar dan diranjang terdapat Lina yang masih menutup matanya. Terdapat perban yang menutupi jenjang leher. Aikara pergi sedang Ana dan Bibi Dian mengikuti Lina dari belakang.
Ternyata Lina dibawa di ruang inap paviliun. Ruangan yang khusus untuk orang berduit. Ana dan Dian tentu saja terkagum-kagum dengan hal tersebut. "Bagaimana keadaan adikmu?" Ana menoleh dan tersenyum pada Samuel.
"Dia selamat. Terima kasih karena sudah mau membantuku Tuan."
"Yah sama-sama. Perkenalkan orang yang dibelakangku, dia adalah kepala bodyguard-ku namanya Dariel, dia akan menjaga adikmu selagi kau tinggal bersamaku untuk membayar hutang." Tak sadar Ana menatap nanar pada pria berbadan kekar itu.
Agak kurang percaya sih pada Dariel apakah dia mampu merawat adiknya? "Waktumu tinggal beberapa menit lagi Ana, aku beri waktu untuk mengucapkan salam perpisahan pada adikmu." kata Samuel sembari memandang jam tangan miliknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!