Di penghujung tahun, ketika musim dingin membentang dalam detak waktu, aku selalu berkunjung ke Hokkaido. Menikmati keindahan mankai dan tentu saja berkunjung ke makam ibu.
Siang itu, kubawakan buket bunga mawar saat pergi ke makam ibu. Mawar warna putih, merah, dan ungu. Tiga warna mawar kesukaan ibu, begitu yang dikatakan kakek padaku ketika aku mulai bisa memahami bahwa aku telah ditinggalkan ibu semenjak aku terlahir ke dunia ini. Di taman belakang rumah, memang ketiga warna mawar itu yang paling banyak tumbuh. Karena itu, aku percaya pada apa yang dikatakan kakek. Lagi pula, tidak ada alasan bagi kakek untuk berbohong padaku.
Aku sedikit terkejut ketika kulihat seseorang berada di depan makam ibuku. Seorang gadis berambut panjang. Dia terlihat termenung memandangi makam ibuku. Sementara itu, di atas pusara ibu tergeletak setangkai mawar putih dan seikat bunga sakura. Kurasa dia yang menaruhnya.
"Oh, maaf..." katanya seraya berdiri ketika menyadari keberadaanku.
Melihatku yang keheranan, diapun lantas tersenyum dan berujar, "Kau pasti Kak Zianeta 'kan? Bagaimana kabarmu?"
"Siapa kamu? Dan bagaimana kamu tahu namaku?"
"Siapa lagi yang akan berkunjung ke makam ini dan membawakan buket mawar yang cantik jika bukan anaknya?" Senyumnya kembali merekah. Senyum yang tampak tidak asing bagiku.
Aku mengernyitkan keningku. Tampaknya dia tahu benar jika mawar adalah bunga kesukaan ibuku.
"Sepertinya Kak Zi lupa padaku. Kita memang sudah sangat lama tidak bertemu. Sudah sepuluh tahun jika aku tidak salah ingat. Sepuluh tahun yang lalu, saat itu sakura juga sedang bermekaran seperti hari ini. Kau dan kakekmu juga datang ke sini membawa buket mawar bukan?"
Aku mendengarkan ucapannya sambil meletakkan buket mawar di atas pusara ibu. Kupandangi nisannya, sementara ingatanku mencoba merangkai memori sepuluh tahun silam. Samar-samar, dan semakin jelas aku mengingat kenangan itu. Sepuluh tahun yang lalu, aku bertemu seorang gadis kecil dengan senyum cantiknya di sini. Dia dan kedua orang tuanya datang ke sini. Kata kakek, orang tuanya adalah teman baik ayah dari kecil.
Waktu itu, ditangannya tergenggam beberapa bunga sakura. Kemudian dari mulut mungilnya dia mulai berkata-kata pada makam ibuku.
"Bibi, ini bunga kesukaanku. Kata ayah, bunga ini juga bunga kesukaan suamimu. Ini aku bawakan untukmu, anggap ini dari suamimu, Bibi. Cantik 'kan? Bunga ini secantik Bibi. Kelak jika aku sudah besar, aku juga ingin seperti bibi dan bunga sakura yang cantik."
Mendengar perkataannya, kakek dan kedua orang tuanya tertawa. Gadis kecil itu pun tersenyum.
"Cing, bagaimana kamu tahu jika anak kakek secantik bunga sakura? Kau kan belum pernah bertemu dengannya?" tanya kakek.
"Aku punya fotonya Kek. Ayah dan ibu memajang foto bibi dan paman di ruang keluarga kami. Ayah sering cerita, paman adalah sahabat terbaik ayah, dan bibi adalah sahabat terbaik ibu," katanya dengan penuh semangat. "Apa ini cucu Kakek?" tanyanya kemudian saat perhatiannya tiba-tiba tertuju padaku.
"Hahaha.... Cing, kau memang anak yang cerdas dan cantik. Kelak kau pasti akan secantik bunga sakura. Ini memang cucu Kakek. Seperti orang tua kalian, pasti nanti kalian juga bisa berteman dekat."
Gadis kecil itu memandangku kemudian tersenyum, "Aku Lu Cing Er. Kakak bisa memanggilku Cing."
Dia mengulurkan tangan padaku. Aku memandangnya. Aku memang terlihat lebih tua darinya. Pantas jika dia memanggilku kakak. Sejenak kemudian aku menjabat tangannya.
"Zianeta Rose," jawabku singkat.
Begitulah pertemuan kami sepuluh tahun yang lalu.
\*
Hari semakin siang. Aku dan Cing memutuskan pergi makan siang bersama selepas berkunjung dari makam ibu. Kami berbincang banyak hal.
Aku katakan padanya bahwa kakek sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Cing kemudian juga bercerita tentang maksud kedatangannya ke Jepang. Katanya hanya ingin berlibur menikmati bunga sakura yang bermekaran sebelum dia meneruskan studinya di Perancis.
"Aku ingin menjadi seorang desainer, Kak?" ucapnya.
"Itu bagus. Dunia fashion tidak akan pernah mati dan terus berkembang. Wujudkan mimpi-mimpimu meski harus bersusah payah agar tidak menyesal kelak".
"Tentu saja. Bagaimana dengan Kak Zi?"
"Aku sedang menyelesaikan studiku, tinggal satu semester lagi. Aku harap aku bisa menyesuaikannya tepat waktu."
"Kak Zi pasti bisa. Aku percaya itu."
"Paman dan bibi tidak ikut berlibur?"
"Tidak, Kak. Mereka sibuk dengan bisnis mereka. Tapi aku beruntung, ayah tidak pernah memaksaku terjun ke dunia bisnis sepertinya. Dia memberiku kebebasan untuk melakukan semua yang aku sukai."
"Kata kakek, ayahmu memang seorang yang sangat baik dan pengertian. Ayahku sangat suka berteman dengan ayahmu. Oh ya, kamu tinggal di mana?"
"Aku menginap di hotel dekat sini, Kak."
"Kenapa menginap di hotel? Tinggal di rumahku saja. Atau karena kamu suka bunga sakura, kamu tinggal di kastil punya keluargaku saja. Kata Kakek, ayah juga sangat menyukai bunga sakura. Lalu dia membangun kastil membuat taman sakura di dalamnya. Hingga ketika meninggal, ayah juga ingin dimakamkan di taman itu." Aku hanya mampu mengenang kata-kata Kakek. Ibu meninggal saat melahirkanku sementara ayah meninggal tiga tahun kemudian dalam sebuah kecelakaan.
"Aku turut berduka atas kematian paman."
"Terima kasih Cing. Umur adalah rahasia Tuhan, kita tak pernah tahu sampai berapa umur seseorang. Juga tidak akan bisa menolak datangnya kematian... Sudahlah, jadi bagaimana? Kamu mau tinggal di kastil atau di rumahku saja? Percayalah, bunga sakura di kastil ayah sangat bangus. Aku juga suka melihat bunga sakura bermekaran di sana."
"Baiklah, Kak Zi. Aku akan tinggal di sana saja. Sekalian aku berkunjung ke makam paman."
"Oke. Aku akan mengantarmu nanti dan menemanimu jalan-jalan?"
"Terima kasih, Kak. Maaf, aku merepotkan."
"Tidak. Kau tidak perlu sungkan seperti itu. Orang tua kita bersahabat baik, jadi kita juga bisa seperti itu kan? Anggap saja aku kakakmu sendiri," aku tersenyum pada Cing. Sepertinya dia anak yang menyenangkan.
"Baiklah. Aku senang sekali jika punya kakak sepertimu. Jika ada waktu Kak Zi juga harus pergi ke Cina. Ayah dan Ibu pasti akan sangat senang."
"Iya, tentu saja." Kami tersenyum bersama sambil menghabiskan makan siang kami.
Begitulah pertemuanku kembali dengan Cing. Kami menjadi sangat akrab dalam sekejap. Senang rasanya punya teman sepertinya. Tampaknya, kami akan benar-benar seperti saudara...
"Cing, anggap saja ini rumahmu sendiri. Tidak perlu sungkan. Aku sudah memberitahu Bibi Rin untuk melayanimu selama kau berada di sini."
"Iya, Kak. Terima kasih. Maaf aku telah merepotkanmu."
"Tidak masalah. Kapan pun kau berkunjung ke Hokkaido, kau bisa tinggal di sini," aku tersenyum pada Cing, begitu pun sebaliknya.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu untuk hari ini. Tapi besok aku akan ke sini lagi dan mengajakmu jalan-jalan," janjiku pada Cing.
"Benarkah? Kalau begitu besok aku akan menunggu kedatangan Kak Zi," Cing terlihat sangat bahagia.
"Tentu saja. Baiklah, aku pergi dulu. Jangan lupa nanti menghubungiku. Ini nomorku," aku memberikan kartu namaku pada Cing. Tadi kami belum sempat bertukar nomor telepon.
"Baiklah, Kak. Terima kasih."
"Sama-sama," aku tersenyum dan melambaikan tangan.
Sayang sekali sore ini aku sudah ada janji. Jika tidak aku bisa menemani Cing jalan-jalan. Itu pasti menyenangkan. Pikirku.
\*
Pukul tiga sore. Kata paman Haruto seseorang ingin menemuiku di sini. Tapi sampai sekarang orangnya belum juga datang.
Aku memandangi kebun bunga peninggalan keluargaku. Disini ditanam berbagai jenis bunga, tapi yang paling banyak ditanam adalah bunga mawar. Bunga kesukan ibu. Selain rumah yang kutinggali, sebuah kastil, dan kebun bunga ini, aku sudah tidak memiliki apapun. Setelah kakek meninggal, banyak aset keluarga yang kujual atau kuhibahkan untuk kegiatan sosial, selain menyimpan beberapa untuk tabungan.
Beberapa tahun terakhir ini, aku menggantungkan hidupku dari hasil kebun bunga. Hasil dari pembibitan bunga dan bunga potong di sini lumayan. Cukup untuk biaya hidup. Kata Paman Haruto, sore ini seseorang ingin menawarkan kerjasama denganku. Dari proposal yang ditawarkan, ini lumayan menguntungkan.
"Nona, orang yang ingin bertemu Anda sudah datang," Paman Haruto memberitahuku.
"Ajak saja ke sini, Paman, bukankah dia ingin melihat kebunnya secara langsung?"
"Baik, Nona."
Paman Haruto pergi meninggalkanku. Tak berapa lama kemudian dia kembali lagi bersama dua orang asing.
"Nona, ini Tuan Rain yang ingin bertemu Anda."
"Terima kasih, Paman. Anda boleh meninggalkan kami."
"Baik, Nona. Permisi Tuan."
"Selamat datang di kebun bunga kami, Tuan Rain. Saya Zianeta."
"Senang bertemu dengan Anda, Nona." Laki-laki itu tersenyum padaku. "Kebun ini lumayan luas, bagaimana jika Anda menjualnya sebagian pada kami, akan kami berikan harga tinggi untuk ini."
Aku terkejut. Dalam proposal itu berisi penawaran kerjasama pembibitan bunga, bukan penjualan lahan.
"Maaf, Tuan. Tapi kami tidak ingin menjual kebun ini. Lagi pula, dalam proposal Anda tertulis kerjasama pembibitan bunga, bukan penawaran lahan!" Aku sedikit marah.
Rain tersenyum, "Maaf, Nona jika saya menyingung Anda. Tapi setelah melihat langsung kebun ini, rasanya saya jadi ingin memilikinya. Lagi pula, Anda masih punya sebuah taman bunga mawar yang cukup luas lagi di belakang rumah, bukan?"
"Bagaimana Anda bisa tahu itu, Tuan? Siapa sebenarnya Anda?"
"Tidak hanya tentang taman di belakang rumah Anda, saya juga tahu bahwa Anda mahir bermain katana dan juga seorang instruktur bela diri. Anda menguasai kungfu dengan cukup baik seperti kakek Anda yang berdarah Cina. Selain itu, memiliki IQ di atas rata-rata. Anda bahkan mengambil studi di beberapa jurusan yang berbeda untuk tahun yang sama. Bukankah tahun kemarin Anda juga harus bolak-balik ke Inggris karena menyelesaikan studi Anda? Anda...."
"Cukup, Tuan. Sepertinya Anda telah memata-matai saya!"
"Hahaha... Tidak, Nona, bukan seperti itu. Saya hanya terbiasa mencari data tentang orang-orang yang ingin saya ajak berkerja sama."
"Jika kerja sama yang Anda maksudkan adalah untuk membeli lahan ini, maaf Tuan, Anda harus kecewa. Saya tidak akan menjual lahan ini."
"Tampaknya Anda sangat sensitif, Nona... Hemmm... Paman Gao, kemarikan berkasnya!" Rain memanggil laki-laki paruh baya yang ikut dengannya.
"Ini, Tuan Muda."
"Bisakah kita bicara lebih santai dan duduk di kursi bawah pohon itu? Tenang saja, aku tidak akan membeli lahanmu." Rain memberikan sebuah map padaku dan nyelonong menuju kursi panjang di bawah pohon. Kursi tempatku dan kakek biasa duduk dadulu kala saat mengawasi pekerja.
Aku membaca berkas yang dia berikan. "Jadi Anda bermaksud untuk membangun sebuah taman bunga untuk tujuan wisata?" tanyaku setelah kami duduk bersama.
"Apa bisa kita berteman dan bicara lebih santai?"
"Tapi kita sedang bicara bisnis bukan? Apa masih ada pertemanan dalam bisnis?"
"Hahaha... Kemampuanmu memang berbeda dari yang lain. Tapi kali ini mari kita berteman dalam bisnis ini dan aku akan menjadi donatur tetap untuk kegiatan sosialmu. Bagaimana?"
Apa? Dia juga tahu tentang hal itu? Siapa sebenarnya laki-laki ini? Aku bertanya dalam hati.
"Seorang yang tulus berteman tidak akan merahasiakan jati dirinya. Bagaimana mungkin Anda bisa berkata untuk berteman sementara Anda merahasiakan jati diri Anda?"
"Hai, apa pekerja Anda tidak memberitahu bahwa saya dari bagian perencanaan di perusahaan Phoenix Group? Anda pasti mengenal perusahan itu bukan?"
"Cih... Seorang pegawai perusahaan kata Anda? Sebesar apapun Phoenix Group, rasanya tidak mungkin jika pegawai bagian perencanaan memiliki seorang asisten pribadi dan bahkan pengawal khusus." Aku mengarahkan pandanganku pada beberapa orang berpakaian hitam yang berdiri cukup jauh dari tapi masih dalam jangkauan jika ingin mengamati apa yang kami lakukan.
"Hahaha... Anda memang sangat jeli Nona. Baiklah, saya percaya pada Anda dan Anda pasti bisa menyimpan sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia."
"Seorang teman yang tulus tidak akan menjadi pengkhianat."
"Baiklah. Aku pegang ucapanmu." Rain kemudian mendekat, setengah berbisik di telingaku dia mengatakan jati dirinya padaku.
Aku terkejut. Antara percaya dan tidak dengan apa yang dia ucapkan. Para petinggi di perusahaan itu memang kabarnya dirahasiakan jati dirinya. Tapi apa mungkin laki-laki di dekatku ini memiliki posisi setinggi itu? Hanya saja jika dilihat dari pengawal-pengawal itu sepertinya dia memang tidak berbohong.
" aku tahu kamu tidak menipuku?"
"Haish... Meyakinkan orang sepertimu memang sulit. Lihat ini!" Rain mengeluarkan sebuah tanda pengenal dan brooch. Lambang Phoenix Group. Aku rasa dia memang tidak berbohong.
"Baiklah... jadi apa yang harus kulakukan untukmu?"
"Cukup gunakan kemampuanmu. Buatkan desain tamannya dan siapkan bibit-bibit bunganya. Besok Paman Gao akan mengirim kontrak resminya padamu. Nanti malam akan kukirim drafnya, kau bisa membacanya dulu dan mengajukan perubahan jika ada hal yang tidak sesuai. Bagaimana, setuju?"
"Boleh, tapi kau harus memanggilku kakak." Aku tersenyum licik.
"Nona, mohon Anda jangan keterlaluan!" Asisten Rain tidak terima dengan ucapanku.
"Saya tidak keterlaluan, dia ingin berteman denganku tadi, jadi tidak ada masalah bukan jika dia memanggilku kakak?"
"Nona, Anda...."
"Paman Gao, tenanglah... Dari data yang kudapat, usiamu memang satu bulan lebih tua dariku, jadi aku terima syaratmu, Kak Zi!" Rain mengulurkan tangan padaku.
"Baiklah, Rain. Mulai hari ini kita berteman sekaligus berbisnis." Aku menjabat tangannya.
"Oke, karena kita sudah berteman, aku akan menghubungimu nanti dengan nomor pribadiku. Jangan lupa menyimpannya! Aku pergi..." Rain sudah meninggalkan tempat duduknya. Berjalan menjauh sambil melambaikan tangan tanpa menoleh.
"Saya permisi, Nona." Ucap asisten Rain.
"Silahkan, Paman."
Kulihat kebun bungaku usai mereka pergi. Kebun yang membuatku merasa hangat. Seperti ada kehadiran kakek di sini dan bercerita tentang ibu dan ayah padaku. Aku mendengarkan cerita kakek dengan khusyuk sambil menikmati senja.
Hari ini aku mendapat dua orang teman baru meski dengan suasana yang berbeda. Entah kenapa, firasatku berkata bahwa kelak mereka akan sangat penting untukku. Mungkin suatu hari nanti aku harus mengenalkan Cing pada Rain, dan kami bertiga bisa menikmati senja yang indah bersama.
Pagi buta. Matahari masih bersembunyi dalam peraduannya di ujung timur. Mataku masih malas terbuka, tetapi telingaku menangkap bunyi ponsel yang mengusik ketenangan mimpi. Memaksaku mengumpulkan kesadaran, meraih ponsel dan menerima panggilan.
"Akhirnya kau angkat juga teleponku! Apa kau tahu, sudah berapa kali aku berusaha menghubungimu?" Rain mengoceh menumpahkan kekesalan.
"Hai, Tuan Muda! Anda sudah mengganggu tidur saya di pagi buta. Bagaimana Anda malah memarahi saya? Bukankah seharusnya saya yang marah?"
"Haish... Kemarin kita sudah sepakat untuk berteman, tapi kau tidak menjawab panggilanku dan tidak membalas pesanku, apa itu yang disebut teman?"
"Dasar kekanakan! Kau juga sudah sepakat memanggilku kakak, jadi seperti ini sikapmu pada seorang kakak?"
"Sudah, sudah. Tidak perlu diperpanjang lagi. Apa kau sudah mengecek email yang kukirim?"
"Iya, aku sudah melihat dan membaca penawaranmu tadi malam."
"Lalu kenapa kau tidak membalasnya? Apa kau sudah setuju dengan semua isinya? Jika sudah setuju, Paman Gao akan mengantarnya ke tempatmu pagi ini dan kau bisa menandatanganinya."
"Tidak, ada hal yang ingin kubicarakan langsung sebelum kutandatangani kontraknya."
"Tapi aku sudah meninggalkan Hokkaido, tidak bisa jika harus bertemu hari ini."
"Besok aku berencana pulang ke Yamanashi, aku rasa tidak masalah jika sebelum pulang aku mampir dulu ke Chiba lalu ke Yokohama. Biar aku lihat dulu lokasinya, setelah aku tentukan lokasi yang sesuai, baru kita bicarakan kontraknya."
"Baiklah, akan kuberi tahu paman Gao untuk menemanimu melihat lokasi. Apa kau sudah memesan tiket untuk besok?"
"Belum, rencananya baru nanti akan kupesan."
"Kalau begitu biar Paman Gao sekalian yang memesan untukmu. Biar diatur untuk penerbangan pertama. Kalian ke Chiba dulu, aku juga akan atur jadwal agar sore kita bisa bertemu di Yokohama."
"Baiklah, terserah kau saja."
"Oke, sampai ketemu besok." Rain menutup teleponnya.
Anak ini mengganggu saja. Masih sepagi ini, sudah membicarakan pekerjaan. Sepertinya dia akan merepotkan ke depannya, tetapi akan memberi banyak keuntungan juga. Apa kau sependapat dengan pemikiranku? Aku melihat cermin dan berbicara dengan bayanganku sendiri.
Sudahlah, pikirkan saja besok. Sekarang karena sudah bangun lebih baik aku berkeliling kebun dan menikmati udara pagi sebentar. Setelah itu aku akan segera bersiap menemui Cing. Aku sudah berjanji mengajaknya jalan-jalan hari ini.
* * *
Hokkaido, pulau ini menyimpan banyak kenangan dimasa kecil sebelum akhirya kakek membawaku pindah ke Prefektur Yamanashi. Tempat ini adalah tempat yang selalu kurindukan, sebuah kampung halaman dan juga tempat ayah dan ibu dimakamkan.
"Kak Zi, aku sudah menunggumu..." Cing anak kecil yang kegirangan saat melihat kedatanganku.
"Sepertinya kau sudah tidak sabar untuk jalan-jalan."
"Tentu saja, aku sampai sulit tidur semalam karena membanyangkan tempat indah yang akan kita kunjugi." Cing tersenyum ceria. Ekspresinya terlihat sangat polos.
"Memang kau tahu aku akan mengajakmu ke mana?"
"Hehehe... Aku tidak tahu, Kak. Tapi pasti ke tempat yang indah kan?"
"Tentu saja... Ayo cepat naik dan pakai sabuk pengamanmu, kita berangkat sekarang. Hari ini kita harus menyenangkan diri. Anggap saja ini perayaan untuk pertemuan dan persaudaraan kita?"
"Tentu saja. Ini memang pantas dirayakan." Cing sudah memasang sabuk pengaman. Aku mulai memacu mobil.
"Tadi malam Kak Zi menginap di mana?"
"Oh, aku pergi ke kebun bunga peninggalan keluargaku. Di sana ada rumah kecil yang juga ditempati oleh penjaga kebun. Jika di Hokkaido aku lebih suka menginap di rumah itu."
"Heemm... Lain kali Kak Zi juga harus mengajakku ke sana." Cing bicara sambil melihat pemandangan di tepi jalan.
"Tentu saja. Jika ada kesempatan lagi aku akan mengajakmu. Tapi besok aku harus kembali Yamanashi, apa kau mau ikut atau masih ingin di sini?"
"Sepertinya aku masih ingin keliling Hokkaido, besok lusa aku juga harus pulang Kak."
"Baiklah, besok aku akan menyuruh orang untuk menemanimu berkeliling."
"Terima kasih, Kak Zi. Maaf, aku merepotkan."
"Kenapa kau masih sungkan, jika kau menggapku kakak maka kau tidak perlu sungkan padaku. Rumahku akan menjadi rumahmu juga dan kau bisa berkunjung setiap waktu. Nanti aku juga akan memberitahumu alamatku di Yamanashi. Suatu saat kamu harus ke sana."
"Tentu saja, aku pasti akan datang. Tapi sekarang kita akan ke mana, Kak?"
"Sayang sekali ini akhir tahun, jika kau datang diakhir musim semi aku akan mengajakmu melihat hamparan bungan phlox yang bermekaran atau melihat festival bunga matahari saat musim panas. Tapi karena ini musim dingin, maka kita pergi ke danau saja..." Aku tersenyum melihat Cing.
"Danau? Tapi apa air danau tidak membeku?" Cing tampak heran.
"Kita lihat saja nanti," aku kembali tersenyum yang membuat Cing semakin penasaran.
Akhirnya setelah sekian lama menempuh perjalanan, kami sampai juga di lokasi tujuan.
"Selamat datang di Danau Toya." Ucapku pada Cing begitu berada di tepi danau.
Cing terpukau oleh keindahan danau ini. Danau Toya memang indah. Selain itu air danau ini tidak akan membeku meski dimusim dingin.
"Kak, ini sangat indah."
"Kau suka?"
Cing mengangguk.
"Kalau begitu kau harus bersiap-siap untuk sesuatu yang lebih indah lagi."
"Ada yang lebih indah dari ini?"
"Ikut aku." Aku menarik tangan Cing.
Aku mengajak Cing menaiki kereta gantung. Kami menuju puncak Gunung Usu.
"Kak, ini sangat cantik, suasana alam yang indah. Apa lagi ini tidak begitu ramai pengunjung, mungkin karena sekarang musim dingin, jadi bisa mengambil foto sesuka hati tanpa terganggu pengunjung lain...hehehe... Tapi suatu saat nanti Kak Zi harus mengajakku lagi ke sini saat musim panas atau musim semi, pasti akan terlihat berbeda suasananya," kata Cing begitu sampai di puncak.
Aku tersenyum. Dari sini kami bisa melihat keindahan Danau Toya secara keseluruhan. Meski udara dingin dan aku tidak menyukainya, tapi tidak apa-apa, demi menemani Cing dan membuatnya bahagia. Cing terlihat sangat menikmati suasana dan ingin mengambil beberapa foto lagi.
"Sepertinya akan lebih bagus jika fotonya diambilkan dari sana, Kak."
"Baiklah, aku akan ke sana untuk memotretkan. Buatlah pose yang bagus di sini."
"Terima kasih, Kak."
Aku mengambilkan beberapa foto dengan berbagai gaya dan ekspresi yang dilakukan Cing. Melihat Cing bahagia aku juga merasa bahagia. Aku berharap bisa bersabat baik dengan Cing seperti cerita kakek tentang persahabatan orang tua kami dulu.
"Kak, ayo ke sini. Di sini juga indah."
"Iya, sebentar." Aku kurang hati-hati saat berjalan dan terpeleset. Aku hampir terjatuh tapi seseorang menolongku.
"Nona tidak apa-apa?"
"Terima kasih, Tuan. Saya baik-baik saja."
"Kak, sini. Cepatlah..." Cing memanggilku lagi.
"Permisi, Tuan. Sekali lagi terima kasih untuk bantuan Anda." Aku segera menuju tempat Cing.
"Kak, ayo ke sebelah sana... Sepertinya akan dapat foto lebih bagus di sana." Cing menarik tanganku dengan semangat.
Kami mengambil banyak foto hingga lelah dan akhirnya memutuskan untuk pulang. Kami bersenang-senang hari ini. Lain waktu, kami harus membuat agenda yang terenca dengan baik agar bisa lebih menyenangkan diri dan menghabiskan wantu bersama. Memiliki sahabat dekat itu memang membahagiakan.
* * *
Flash back
Seorang wanita terpeleset karena kurang hati-hati saat berjalan. Dia hampir jatuh tapi aku menolongnya.
"Nona tidak apa-apa?"
"Terima kasih, Tuan. Saya baik-baik saja."
"Kak, sini. Cepatlah..." Seseorang memanggilnya.
"Permisi, Tuan. Sekali lagi terima kasih untuk bantuan Anda." Dia terburu-buru meninggalkanku.
"Tunggu, Nona. Apa saya bisa tahu nama Anda?" tanyaku lirih dan dia tidak mendengarnya.
"Tuan Adam, apa perlu saya menghampiri mereka dan menanyakannya?"
"Tidak perlu, Bryan. Suatu saat nanti aku pasti bertemu lagi dengannya."
Aku diam-diam mengambil fotonya dari kejauhan. Dia terlihat sangat cantik, seperti bunga yang merekah diantara hamparan salju, sangat menawan hati yang memandang...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!