"Akhirnya selesai juga!"
Aku merenggangkan otot-ototku dengan mengangkat kedua lenganku ke atas dengan posisi tubuh miring. Seluruh otot di tubuhku terasa lebih nyaman seketika. Aku memejamkan kedua mataku menikmati nikmatnya merenggangkan otot dengan posisi seperti ini.
Buku-buku pelajaran saling menimpa satu sama lain saking berantakannya di atas meja tepat di hadapanku. Suhu ruangan meningkat karena malam. Earphone milikku yang sedang bersuara lagu yang sebelumnya menempel di kedua telingaku, kini terlepas satu—per—satu. Kaki dan bokongku terasa berkeringat dan lembab. Ini memang selalu terjadi ketika aku sedang berada di ruangan ber-AC sambil duduk di kursi dalam waktu yang lama.
Akhirnya aku telah menyelesaikan tugas untuk hari esok. Sebenarnya tugas ini dikumpulkan lusa. Akan tetapi, aku memutuskan untuk mengerjakan secepatnya.
Mumpung lagi rajin.
"Wes main game lah!" Dengan bersemangat, aku langsung membuka gadgetku. Muncullah layar bergambar salah satu karakter anime favoritku yang sedang dalam posisi menyerang musuh dan setelah itu menghilang dari layar dan berganti menjadi tulisan, 'Masukkan kata sandi Anda'.
Setelah selesai memasukkan kata sandi rahasia, aku menggeser layar gadgetku dengan jari-jemariku yang kecil ini. Kulihat sedikit game di sana, hanya sekitar dua aplikasi game karena memorinya tidak cukup untuk memuat banyak game.
Sad girl.
Aku langsung mengetuk logo orang yang sedang menyerang musuh menggunakan senjata. Seperti biasa, loading screen-nya cukup lama. Ya, ini adalah game jenis battle royale, di mana kau harus bertahan hidup di suatu pulau dari seratus orang banyaknya untuk memperoleh kemenangan.
Sambil menunggu, aku melepaskan earphone-ku yang sebelumnya terpasang di kedua telingaku dan meletakkan gadgetku di atas kasur empuk dan segera merapikan alat-alat tulis serta buku-buku yang membuatku stres itu dan membawanya keluar dari kamar, juga sebuah kursi putih yang kugunakan untuk belajar.
"Rika, ayo makan malam!" seru Kak Evi, menyuruhku untuk segera makan malam. Dirinya terduduk sambil memperhatikanku yang sedang membawa sebuah kursi beserta beberapa buku dan alat tulis di atasnya dari kamarku.
"Nanti, Kak, Rika masih eneg," jawabku sambil menoleh ke arahnya, lalu kembali fokus merapikan buku-buku dan perlengkapan lain yang akan kubawa ke sekolah besok.
"Sakit perut kamu entar."
"Tadi sore udah makan mie dua bungkus."
"Santuy tengah malam Rika bakal makan lagi sambil nonton anime," lanjutku sambil memasukkan buku cetak Sosiologi ke dalam tas coklat.
"Dek, peluk dong!" kata Kak Evi tiba-tiba.
Dia selalu seperti itu di saat dirinya sedang menganggur. Ekspresi wajahnya menyerupai anak bebek yang butuh dipeluk induknya.
"Gak, Kakak bau!" Aku pun langsung lari kembali ke kamarku dari dirinya yang siap menerkamku dari sorot kedua matanya yang menyalang. Dia terdengar sedang menggerutu dari luar kamar. Akan tetapi, aku tetap tidak memperdulikannya dan menutup pintu kamar serta menguncinya.
Kulihat gadgetku yang tergeletak di atas kasur.
Lah udah masuk aja.
Ternyata aku sudah masuk ke dalam home game-nya. Tiba-tiba muncul sebuah pemberitahuan mengenai mystery box. Aku langsung mengetuk tanda 'batalkan' , karena aku tahu itu pasti bayar.
Menjebak sekali!
Setelah pemberitahuan tersebut hilang dari layar, tampak latar yang penuh bunga-bunga dan rerumputan hijau di sana. Karakterku yang sudah kumodifikasikan sebagus mungkin dengan memakai pakaian hoodie yang kudapatkan dari salah satu event musim semi, terlihat sedang melirik kesana-kemari.
Daftar teman yang kian terus bertambah dari beberapa pemain yang sebelumnya pernah bermain denganku, kini hanya tiga pemain saja yang online saat ini. Namun, mereka sedang mengadakan party dengan teman mereka, dimana sudah berlangsung selama 20 menit lamanya.
"Gas lah!"
Game adalah kegiatan sampinganku setelah belajar. Entah kenapa aku suka sekali permainan jenis ini selain permainan bergenre MOBA. Karena jiwa baku hantamku itu on seketika.
"Welcome!" sahut suara laki-laki setiap kali aku masuk ke dalam permainan. Suara itu selalu menyapa para pemain ketika mulai memasuki area match-making. Suara itu mulai muncul sejak update terbaru dua hari yang lalu.
Terlihat jelas dari layar gadgetku bahwa pertandingan akan dimulai 30 detik lagi dalam Bahasa Inggris dan waktu tersebut mundur detik—demi—detik. Orang-orang yang sudah masuk ke area match-making mulai baku hantam satu sama lain. Mereka mulai gabut dengan menonjok orang-orang di sekitarnya.
Langit biru nan indah menyinari pulau tersebut. Tetapi, langit tersebut tidak akan bertahan lama indahnya, sebab beberapa detik lagi orang-orang akan saling membunuh satu sama lain.
Waspadalah!
Kulihat para pemain yang satu tim denganku, tidak menunjukkan bendera asli negaranya dan mereka memakai bendera in-game yang sudah tersedia di dalam permainannya. Nama penggunanya juga terlihat asing bagiku.
Mereka tidak memasukkan nama, alhasil di kolom nama menjadi kosong.
Bodo amat aku mau main!
Aku tidak memperdulikan akan hal tersebut dan lanjut bermain.
Menanglah! Bosen top–ten mulu.
Jantungku berdebar-debar. Kedua tanganku mulai berkeringat dingin, ditambah dengan suhu ruangan yang mulai dingin, beda dari sebelumnya. Ini seperti di tengah badai es dan seketika suasana mulai mencekam.
Aneh.
Aku menggeser layar gadgetku ke bawah untuk mengganti lagu yang lebih bersemangat.
"Mantep, nih!" Semangatku sangat membara untuk menembak tiap orang di pulau terkutuk itu.
Aku kembali geser ke atas dan tiba-tiba sudah masuk ke dalam sebuah pesawat jenis Hercules dan bersiap-siap untuk turun di sebuah pulau. Dari berjumlah 100 pemain, berkurang menjadi 80 pemain yang masih berada di dalam pesawat. Para pemain turun bersama timnya, ada pula yang berpencar.
Aku memberi sebuah tanda lokasi di peta.
Tiba-tiba dengan otomatis, aku mengikuti pemain nomor tiga dan kami semua mengikutinya turun. Dia menandakan lokasinya di sebuah kota bernama Shiza.
Oke tidak terlalu ramai disana.
Biasanya tempat yang paling ramai dikunjungi para pemain adalah Military Base, Kleriv, Sina, dan Green Park. Maka dari itu, jangan nekat turun sendirian ke tempat-tempat yang sudah kusebutkan atau kau akan mendapatkan gelar "Terlalu awal?!"
Kalau aku masuk dunia survival game seru kali, ya, nembak-nembak orang pake senapan terus lempar granat ke orang.
Setelah batinku mengatakan seperti itu, seketika aku merasakan keanehan sekitarku.
Baiklah, aku salah.
Sebaiknya aku tidak menyatakan begitu.
Ini tidak sebaik dan seseru apa yang selama ini kukira,
Here we go, hell.
Hening
Suara burung berkicauan
Langkah kaki
Suara tembakan
Tidak mungkin!
Suara tembakan semakin jelas terdengar oleh kedua telingaku. Aku langsung membuka kedua mata dan mendapati diriku di tempat yang asing.
Di rumah?
Seketika pikiranku bercampur-aduk antara bingung, ketakutan, dan sedih.
Aku melihat sekitarku.
Terdapat sofa dan jendela serta karpet yang berdebu. Dinding yang dilapis wallpaper bergaris biru–putih terpapar oleh cahaya sinar matahari yang terik.
Aku mulai berpikir keras.
Kulihat apa yang sedang kupegang saat ini.
"Senapan serbu M-16?! " Aku spontan terkejut dan melempar senapan serbu tersebut menjauh dariku sehingga bunyinya cukup kencang ketika badannya menyentuh ubin lantai.
Helm level 2?
Tas level 3?
"Lah?!" Aku langsung berdiri dan melihat pakaianku yang kukenakan.
Aku masuk ke dalam game!!
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dengan sangat jelas dari arah lantai bawah.
Dengan perasaan panik yang menyelimuti seluruh diriku, aku langsung mengambil senapan serbu jenis M-16 yang baru saja kulempar. Otakku benar-benar sudah tidak sinkron lagi. Panik menguasai seluruh tubuhku yang disertai gemetaran hebat. Aku kembali dengan posisi duduk menyudut ke sisi tembok yang menghadap langsung ke arah turunan tangga. Bersiap-siap untuk menarik pelatuk ke arah target.
Seketika suasana menjadi panas sehingga membuatku banjir keringat seperti sedang mandi.
Tiba-tiba dengan gerakan yang cepat, orang tersebut muncul tepat di hadapanku sambil membawa senapan serbu. Aku langsung menarik pelatuknya dan menembak diri orang tersebut sebisaku.
DOR DOR DOR
Darahnya bercucuran kemana-mana sampai mengenai objek di sekitarnya. Dia akhirnya tumbang dengan penuh darah. Aku benar-benar telah melakukan kesalahan fatal dalam diriku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
Astaga apa tadi?
Aku bunuh orang ....
"Pertama kali."
Terasa nyeri sekali di dadaku. Jantungku terasa berhenti seketika. Panik menjalar ke segala area tubuhku. Keringat dingin bercururan deras. Kedua tanganku gemetaran sekali dalam posisi masih menodongkan senapan serbu M-16 ke arah orang itu yang sudah tumbang tidak bernyawa.
"AKU TARIK KATA-KATAKU!!!!" teriakku. Melampiaskan segala ketakutan dan kebingungan melalui suara. Aku tidak tahu harus berbuat bagaimana lagi semestinya di situasi yang seperti ini.
Seketika menjadi hening.
Beep
"Hah?"
Tiba-tiba terdengar bunyi beep dari lengan kiriku.
Terdapat jam tangan hitam tetapi bukanlah jam tangan biasa, melainkan jam ini bisa melacak teman satu tim kita sendiri. Kulihat satu orang tewas dengan nomor berwarna hitam, tepat dekat denganku jaraknya. dua orang lagi sekitar 568km jauhnya dariku dengan nomor berwarna jingga dan merah, yang menandakan bahwa mereka masih hidup.
"PANIK PANIK PANIK!!!!!" Kepalaku terasa ingin pecah dan meledak. Aku langsung bergegas mungkin menuju arah teman satu timku berada. Langsung segera kuambil lagi senapan serbuku. Sebelum aku keluar dari rumah ini, aku memutuskan untuk memeriksa setiap ruangan, juga barang bawaan orang itu agar aku bisa mengambil beberapa barang berguna dari orang yang sudah tidak bernyawa itu.
Setelah beberapa menit, aku menemukan 5 bungkus perban, sebuah suntikan anti-infeksi, sekaleng minuman penambah energi, dan 85 peluru untuk senapan serbu M-16 yang sudah kudapatkan dari hasil penelusuranku ke seluruh ruangan di rumah ini. Aku langsung memasukkan benda-benda berguna tersebut ke dalam tasku yang cukup besar dan bergegas keluar dari rumah ini. Aku berusaha untuk tidak melewati tubuh orang itu yang terbaring penuh darah. Akan tetapi, tetap saja aku menginjak tangannya.
"Maaf, Bang!"
Tiba di luar rumah, aku mendapati suasana yang hening, sepi, seperti kota hantu tepatnya. Banyak rumah tetapi tidak berpenghuni. Cahaya matahari yang terik menyilaukan pandanganku. Rerumputan hijau terpapar luas, juga bukit-bukit tinggi menjulang dari setiap sisi pulau.
Kulihat posisiku saat ini di jam tangan 'canggih' ini. Ternyata diriku masih berada di posisi aman, dimana masih berada di dalam zona aman. Zona berbahaya muncul dari arah Barat Daya.
"Fokus! fokus!" Aku berusaha untuk berkonsentrasi agar aku tidak panik dan tergoyahkan.
Aku terus berlari.
Tiba-tiba aku melihat sebuah kendaraan menyerupai mobil untuk dua orang. Karena lokasi 'mobil' itu tidak jauh dari posisiku saat ini, maka aku langsung bergegas menuju kendaraan tersebut.
"Gimana ini nyetirnya?!" kataku sambil mengamati kendaraan tersebut. Bila diamati sekali lagi, kendaraan tersebut berbeda dari mobil sebab tidak ada pedal dan kopling di sana.
Sepertinya ini sengaja didesain lebih mudah untuk dikendarai, gak kayak mobil pada umumnya,
"GAK PEDULI, LANGSUNG AJA LAH!" Tekadku membulat demi menemui teman satu timku yang kemungkinan besar sedang dalam bahaya. Aku langsung mulai menyetir kendaraan yang mirip dengan 'mobil' ini menuju arah satu teman timku berada, berdasarkan location tag di jam. Ya tidak terlalu sulit rupanya mengendarainya, hanya butuh kehati-hatian saja. Tak jarang aku menabrak batu besar dan pohon sehingga kendaraan ini menjadi putar balik atau berlawanan arah tepatnya.
Susah-susah gampang, sih.
Terdengar suara-suara tembakan di sekelilingku ketika dalam perjalanan. Sampai seorang musuh berhasil menembak salah satu ban 'mobil' yang kukendarai ini. Akan tetapi, aku tetap berusaha untuk bersikap tidak peduli dan terus melaju. Daripada aku terbunuh.
--
Tiba di lokasi kedua teman satu timku,
"Buruan cover kami!" pekik seorang laki-laki dengan posisi terduduk di balik pohon. "Ada musuh!"
Aku langsung bergegas keluar menuju kedua teman setim yang sedang kesusahan. Banyak sekali granat asap mengelilingi mereka sehingga membutakan pandanganku untuk melihat sekitar.
"Itu napa dah?" tanyaku sambil melihat salah satu dari mereka berdua mengalami luka parah tepat di area dadanya. Darahnya bercucuran banyak sehingga memenuhi tangan teman satunya lagi yang sedang berusaha untuk memberhentikan pendarahan temannya.
"Dia terkena AWM," jelasnya panik. "Aku berusaha untuk mengobatinya, tetapi lukanya terlalu dalam dan beresiko."
Terdengar suara tembakan lagi dari balik pohon. Segerombolan musuh kini membuat kami bertiga masuk ke dalam perangkapnya.
"Gan, coba dulu nih aku ada perban sama suntikan anti-infeksi," kataku sambil mengambil beberapa bungkus perban yang sudah kudapatkan di rumah tadi dan sebuah suntikan anti-infeksi dari dalam tasku dan menyerahkan langsung kepada lelaki tersebut.
"Ini sudah sangat parah dan harus segera dioperasi oleh dokter langsung!" jelasnya.
"Masalahnya kita gak bisa berlama-lama disini!" jelasku.
"Biarkan aku sendiri di sini. Selamatkan diri kalian!" kata teman lelaki itu dalam keadaan sekarat. Dia menyuruh kami berdua pergi meninggalkannya. Tampak raut wajahnya yang sedang menahan sakit yang amat perih dan tak lama kemudian denyut nadi dan nafasnya terhenti dan menandakan ia tewas dalam peperangan ini. Lelaki itu menutup matanya dengan raut wajah sedih.
"Maaf banget kawan!" bisiknya sambil menggenggam tangannya dan meletakkan tubuh temannya di atas rerumputan dengan posisi terlentang dan tangan di atas perut.
Asap granat perlahan-lahan mulai pudar dan wujud kami pun tampak oleh musuh. Sekitar 4 orang musuh menodongkan senapan serbunya tepat ke arah kita yang berada di balik pohon besar.
"Ayo kita habiskan para brengsek itu!" ujarnya dengan bersemangat sekali.
Aku pun hanya mengangguk.
Kemudian tangannya mulai melemparkan granat ke arah musuh. Dalam hitungan mundur,
DUAAAARRRR
Suara keras itu cukup memekakkan kedua telingaku. Kami pun mulai menembak mereka sampai mereka tewas di tempat.
"Asli panik pake banget!" kataku. Tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Mayat-mayat mulai bergelimpangan tepat di depan mataku dengan penuh darah. Tiba-tiba aku merasakan sakit di bagian betis kanan.
Aku tertembak.
"Ah sakit sekali!" ucapku. Tanpa sadar aku langsung menjatuhkan tubuhku sambil menahan sakit yang luar biasa ini. Kedua mataku cukup mengeluarkan banyak air mata gara-gara ini.
"Gan, yok pergi sebelum musuh selanjutnya menemui kita," ucapku. "Gawat ni!"
Aku berusaha bangkit. Tetapi betisku tidak mendukungku untuk bergerak.
"Kau harus diperban dulu!" jawab lelaki itu sambil melihat keadaanku.
"Kita sekarang harus cepat cari rumah terdekat," tegasku. "Bantu aku berdiri!"
Ia pun langsung membantuku bangkit pelan-pelan. Aku harus menggigit bibirku karena rasa sakit ini seperti di tusuk pisau.
'Mobil' sebelumnya yang aku kendarai meledak di tembak musuh. Jadi, kami berdua terpaksa harus berjalan kaki untuk menemukan sebuah rumah untuk berlindung sementara waktu. Tidak ada cara lain.
Langit yang awalnya indah berubah menjadi langit penuh kematian.
Cara jalanku pincang sambil dibantu olehnya. Tampak sedikit luka bakar di wajahnya. Rambut coklatnya tertutup helm level 2.
"Oh ya, namaku Oliver!" ucap lelaki itu tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dan berkata, "Oh, namaku Rika."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"T—terima kasih sudah menolongku. Maaf ya ngerepotin banget."
"Tidak apa-apa!" jawabnya sambil tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat jelas di wajahnya.
Selang beberapa menit, kami pun akhirnya tiba di sebuah rumah yang cukup kecil.
"Ya tidak apa-apa lah kecil selagi masih bisa buat berlin—"
DOR
Suara tembakan tersebut memekakkan kedua telingaku sekaligus mengagetkanku yang sedang fokus berbicara dengan Oliver.
Tunggu dulu,
"OLIVER! TIDAK!!"
Oliver tiba-tiba tumbang tepat di depanku dengan sebuah bolongan kecil bekas peluru di dahinya saat dirinya menarik pegangan pintu. Darahnya pun mulai mengalir dari pola bolongan tersebut tepat di tengah dahinya, bahkan dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Kini hanya aku seorang diri yang satu-satunya masih selamat dalam timku. Tubuhku gemetaran hebat menyaksikan kejadian ini. Jantungku mulai berdebar sangat kencang. Aku langsung berlari dengan kondisi betisku yang tidak stabil.
Sebisa mungkin aku harus kabur dari mereka!
Aku tidak sempat melihat berapa musuh yang sedang berusaha membunuhku sekarang.
MATI AKU!
Dengan tekad yang bulat, aku langsung mengarahkan senapan serbu M-16 kepada mereka yang sedang mengejarku dan menembak mereka secara acak.
Dua orang musuh tewas akibat tembakanku.
Aku berlari sebisa dan sejauh mungkin sambil menembak mereka. Akan tetapi, tiba-tiba aku tersandung sebuah ranting kayu sehingga menyulitkanku sekali untuk mengimbangi tubuhku yang pincang.
Perasaanku mulai kacau-balau. Keringat bercucuran deras. Aku harus menahan rasa sakit yang sulit dikatakan karena betisku yang terkena peluru menghantam tanah dengan keras dan terkena bagian tajam dari kayu itu.
Aku menoleh dan mengamati sekitar, apakah ada seseorang yang masih berusaha mengejarku sampai sejauh ini. "Tolonglah jangan ke sini!"
Tiba-tiba seorang musuh dengan memakai topeng menyeramkan menutupi wajahnya, berhasil menemukanku dan menatap diriku yang terkulai tidak berdaya seorang diri. Kini wujudnya tepat di depanku. Pandangan matanya menatap kosong ke arahku dan mematung.
Sial! Dia mulai membidik ke arahku!
Seorang iblis,
"Selamat tinggal, sayang!" lirihnya. Pelatuknya mulai didorong.
"CEPAT TEMBAK SAJA!!" teriakku, menyuruhnya untuk tidak berlama-lama lagi karena aku sudah menyerah total sekarang. Tak lama kemudian, suara tembakan tepat dan jelas terdengar oleh kedua telingaku. Aku memejamkan mataku sambil menikmati hembusan angin dari alam serta peluru yang bersarang di dalam tubuhku.
Kosong,
Aku pasrah,
Pasrah sudah dengan hidup ini.
Aku terbangun dari mimpi yang panjang.
Kedua pandanganku terasa kabur. Hanya bisa melihat langit-langit kamar yang terpapar oleh terangnya cahaya matahari.
Hening sekali.
Aku berusaha untuk mengingat mimpi tadi. Akan tetapi, usahaku nihil. Yang ada malah pusing. Nafasku seperti sehabis melakukan lari marathon.
Tiba-tiba aku mendengar suara pintu kayu terbuka. Terdengar sekali suara yang dihasilkan oleh bahan pintu tersebut ketika mengenai lantai kayu yang memiliki permukaan halus. Aku tidak bisa menoleh sebab leherku terasa kaku sekali yang diimbangi dengan tubuhku yang terasa lemas. Kuyakin ini karena mimpiku yang terlalu dalam sehingga sekujur tubuhku menjadi lelah tanpa sebab.
Aroma kayu manis dan roti panggang tercium oleh indra penciumanku.
Aku di mana?
"Kau rupanya sudah bangun?" sahut suara wanita mengejutkanku. Aku langsung menoleh ke arah perempuan tersebut yang menghampiriku. Leherku yang awalnya kaku menjadi bisa digerakkan.
Siapa ini?
Wanita itu tiba-tiba terduduk di sisi ranjang dan menatap mataku lalu tersenyum.
Suara burung saling berkicauan di luar.
Hawa sejuk menyelimuti ruangan ini. Kehadiran perempuan ini membuat otakku bertanya-tanya.
Ini siapa woi?
Wanita itu tiba-tiba menyentuh rambutku dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang.
"Bangunlah! Aku sudah mempersiapkan sarapan untukmu," ucapnya sambil menatapku. Suaranya halus sekali.
Gak boleh, nih! Aku harus tanya siapa dia.
Tunggu dulu,
"Tangan ini," Aku merasakan tangan perempuan itu di rambutku.
Halus sekali.
Matanya yang berwarna coklat hazelnut menatap kedua mataku dengan perasaan lembut. Rambut coklat ponytail-nya terkena sinar matahari sehingga mengubah warnanya menjadi coklat muda.
Cukup lama dalam situasi seperti ini.
"Terima kasih s—saya akan segera ke sana!" jawabku sambil membalas senyumannya walau sebenarnya aku tidak tahu wanita di hadapanku ini. Seketika perasaan kesalku atas dirinya yang sudah berani mengelusku perlahan-lahan memudar.
"Baiklah. Cepatlah karena aku ingin mengajakmu jalan-jalan.Teman-temanmu sudah menunggumu diruang makan!" Dia bangkit dan keluar dari kamar. Keberadaannya pun lenyap dari pandanganku.
Teman-teman?
Aku terdiam sejenak. Aku bahkan tidak mengetahui siapa dia. Namun berdasarkan pengamatanku dari segi pakaiannya, wanita itu tampak seperti seorang dokter.
Aku juga tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Rasa mimpi tadi pun terasa nyata sekali bahkan aku dapat merasakan feel-nya yang kuat.
Aku bangkit dari tempat tidur. Kedua kakiku menyentuh lantai kayu dengan permukaan halus. Kuamati tiap lukisan indah yang ada di setiap sisi ruang kamar ini dan semuanya terpapar oleh cahaya sinar matahari. Tanpa sadar aku melewati cermin. Aku melihat diriku yang berambut pendek–ikal berwarna kemerahan, kulit putih–kemerahan, dan memiliki tinggi sekitar 165cm kurang lebih berdasarkan perkiraanku dengan memakai pakaian gaun tidur berwarna biru muda sepanjang lutut. Bahkan aku tidak percaya bahwa warna kedua mataku bewarna hijau daun dan aku dapat merasakan pandanganku jernih sekali.
"Ini aku, kah?" Aku meraba wajahku di depan cermin dan mencubitnya.
Iya ini aku!
Tiba-tiba aku teringat perkataan wanita tadi,
"Cepatlah karena aku ingin mengajakmu jalan-jalan."
"Eh, iya!" Aku langsung bergegas keluar dari kamar dan menuju ruang makan seperti yang telah diperintahkan oleh wanita itu.
Aku harus menuruni anak tangga yang cukup berlika-liku untuk menuju ke ruang makan karena ruang makan terletak di lantai dasar.
"Ini bukan, sih, ruang makannya?" gumamku sambil berjalan dan melihat sekitar di lantai dasar.
Tampak sebuah meja panjang dan kursi berjejeran di ruangan ini. Suara berisik akan suara anak kecil menyelimuti ruangan ini. Banyak makanan lezat yang sudah hadir di atas meja sehingga tercium aroma-aroma lezat yang telah memekakkan saraf hidungku.
"NICA!" teriak seorang anak kecil perempuan berambut pirang ponytail memelukku dari belakang tiba-tiba. Disusul dengan yang lainnya. Kini, ada tiga anak kecil memelukku dari berbagai arah.
Mereka sangat imut!
"KAMI MENANTIMU!" teriak anak kecil satunya dengan suara imutnya yang sedang memelukku.
Eh?
Mereka memelukku terlalu kuat. Aku pun membalas pelukan mereka dan memberikan mereka senyuman lebar walau sebenarnya aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Mereka tampak mengkhawatirkanku sekali dari sorot pandangan matanya. Hatiku merasa tersentuh melihat sifat mereka. Tetapi ada satu hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku.
Namaku Nica?
"Selamat pagi, Nica!" Tiba-tiba seorang lelaki berkacamata dan tampaknya seusiaku, menepuk pundakku dan berjalan melewatiku. Lelaki tersebut memberikan senyuman sambil membawa banyak piring, gelas, serta garpu dan pisau yang bertumpuk, menuju meja panjang itu. Rambut birunya terpancar oleh sinar matahari pagi.
"P—pagi!" jawabku sambil membalas senyumannya sebisa mungkin.
Siapa lagi ini woy?!
Banyak sekali orang-orang yang tidak kukenal di sini.
Anak-anak yang memeluk erat tubuhku kemudian berlari ke arah lelaki itu.
"Eh—hee!" Lelaki itu bermain bersama anak-anak kecil itu sambil tersenyum bahagia. Mereka tampak akrab sekali satu sama lain. Lalu, anak-anak kecil tersebut langsung mencari tempat duduk mereka untuk bersiap-siap menyantap sarapan pagi.
"Tampaknya kau sudah akrab dengan Annie, Leo, dan Theo, ya."
Aku pun terkejut mendengar perkataannya.
Oh, jadi anak-anak kecil tadi namanya Annie, Leo, dan Theo. Baiklah!
Lalu aku melihat lelaki itu sedang kesusahan membawa alat-alat makan dari dapur.
"Sini biar aku bantu!" Aku menawarkan bantuan kepada lelaki itu untuk menyusun piring, gelas serta peralatan makan seperti pisau dan garpu di masing-masing meja.
Dia pun tersenyum menatapku lalu menjawab, "Terima kasih!"
Aku pun membantunya menyusun peralatan makan di setiap sisi meja. Anak-anak kecil saling berlarian satu sama lain di ruang makan dan tiba-tiba menabrakku.
"Jangan lari-larian di ruang makan!" ucapku. Untung saja aku tidak sampai terjatuh padahal aku sedang membawa dua piring sekaligus!
"Jangan khawatir, mereka tidak akan senakal itu," ucap lelaki itu. "Akhirnya selesai juga!"
Akhirnya kami berdua selesai merapikan meja dan menata piring serta peralatan makan lainnya di setiap sisi meja.
"Siang ini kau akan berjalan dengan Mama Mathilda, ya?" tanyanya.
"Mungkin, cuman ya gak yakin juga, sih." jawabku ragu.
Aku pun duduk berhadapan dengan lelaki itu.
"Kok kau tahu?"
"Dia memberitahuku," jawabnya singkat.
Oh, jadi wanita yang berpakaian seperti dokter bernama Mathilda.
"Oh ya, namaku Louis Meinhardt. Aku satu-satunya anak tertua disini," jelasnya. Akhirnya dia menjawab pertanyaanku yang sedari tadi mengelilingi pikiranku.
Makan pagi pun dimulai, diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Louis. Wanita yang bernama Mama Mathilda itu tidak tampak oleh mataku saat kami menyantap makan pagi. Hanya ada aku, Louis, dan keempat anak lainnya.
Tetapi, hal terpentingnya adalah satu persatu misteri terjawab. Ini pertama kalinya aku menyantap makan pagi bersama-sama orang yang belum kukenal sepenuhnya. Tetapi dari sinilah aku mulai mengenal, berinteraksi dengan mereka semua di rumah ini.
--
Pukul 09.00
Jam berdenting kencang, menandakan waktu makan pagi telah usai.
Kami semua pun diberi waktu bebas. Diriku seketika diajak oleh anak-anak ke halaman belakang rumah yang dipenuhi oleh taman-taman indah untuk bermain bersama.
"Nica! Kau jaga!"
"Hah, aku?"
"Iya, kau kalah dan sekarang kau harus menangkap kami!"
"Oh, oke why not?"
Aku pun menghitung dari satu sampai tiga dan langsung berlari ke arah mereka yang berpencar dan bersembunyi. Satu persatu dari mereka berhasil tertangkap olehku. Kami pun tertawa bersama.
"Kena, lo!"
"AMPUN, TIDAK!!!"
Louis hanya melihat kami bermain dari tangga halaman belakang rumah sambil membaca buku. Aku sudah beberapa kali mengajaknya ikut bermain tetapi dia menolaknya dengan alasan, "Aku tidak pandai bermain."
Alasan klasik.
"Gak asik lo!" jawabku.
Dia pun hanya tersenyum saja dan lanjut membaca. Kini, ia hanya membaca buku seorang diri di tangga halaman belakang rumah seperti seorang kutu buku. Tiba-tiba Mama Mathilda memanggil Louis dari balik pintu sebuah ruangan.
Sepertinya panggilan penting.
Aku memerhatikan dari kejauhan. Anak-anak terus menarik gaun tidurku untuk mengajakku kembali bermain. Namun, aku sudah lelah sekali sebab mereka larinya kencang sekali.
"Aku nyerah aja deh!" kataku sambil memegang lututku yang mulai nyeri dan pegal.
Mereka sepertinya keturunan dewa apa gimana, sih, larinya cepet banget!
Keringat bercucuran hebat seperti orang habis mandi. Wajahku memerah seperti kepiting rebus. Raut wajah mereka tampak sedih dan kecewa dengan kalimat yang kubilang barusan.
"Yaudah kita istirahat dulu, ya, nanti habis itu baru kita lanjut lagi. Oke?" ujarku kepada mereka. Akhirnya wajah mereka kembali senang.
"OKE!" teriak mereka. Suara mereka nyaring sekali.
Aku mengelus kepala salah satu anak tercepat dan terlincah bernama Matthias. Dia adalah anak yang paling aktif selama kami bermain. Kenapa tidak?
Anak itu berlari dengan cepat sekali dan bahkan aku tidak kuat mengejarnya.
Aku bergegas kembali ke dalam rumah dan mengambil segelas air mineral di dapur. Aku meneguk dengan cepat sampai air yang awalnya penuh di gelas tiba-tiba habis dalam sekejap. Nafasku berat sekali. Wajahku masih tampak memerah serta keringatku masih bercucuran, tetapi tidak separah tadi. Aku pun terduduk di lantai saking lelahnya setelah bermain dengan anak-anak di luar. Tubuhku bersandar di dekat wastafel sambil memegang sebuah gelas yang sudah kuteguk airnya. Tiba-tiba Louis datang. Dirinya tampak terkejut melihatku duduk terkapar di lantai dengan ekspresi aneh seperti zombie.
"Eh?" Hanya satu kata terlepas dari mulutnya saat dirinya melihatku. Kedua matanya membulat menatapku.
Aku pun langsung berdiri setelah melihat kehadiran Louis tepat di depanku. "Maaf maaf aku gak sengaja. Aku capek banget soalnya."
"Sini!" Louis mengajakku ke ruang makan.
"Duduklah!" Dia menyuruhku duduk di salah satu kursi di ruang makan.
Aku pun menuruti perintahnya.
"Lain kali jangan duduk di lantai, ya. Masih ada kursi kok!" Nasihatnya kepadaku layaknya seorang emak-emak.
"Iya. Maaf," ucapku. "Kau tidak duduk?"
"Tidak," jawabnya. Singkat, padat, tepat, dan jelas. Dia membetulkan kacamatanya yang miring sambil dengan posisi berdiri di hadapanku yang sedang terduduk.
Duh, marah kali ya, Louis. Jadi gak enak.
"Tadi aku dipanggil sama Mama Mathilda. Dia tidak bisa mengajakmu jalan-jalan karena ia ada urusan penting. Dia kedatangan pasien dalam kondisi kritis," jelasnya sambil melipat tangan di dada.
"Jadi aku yang akan menggantikan Mama dan mengajakmu keluar."
Matanya beralih menatapku.
"Dia juga berpesan kepadaku untuk membeli kentang, ubi, jeruk, telur, roti, dan daging sapi asap di pasar untuk makan malam kita nanti."
"Oh yaudah," jawabku. "Jadi, Mama Mathilda tuh dokter?"
Louis mengangguk. "Iya, tepatnya dokter umum yang banyak membantu orang-orang kurang mampu di kota ini. Dia cukup terkenal di kalangan masyarakat."
"Lagipula aku senang jika ada yang menemaniku berbelanja," lanjutnya.
Aku pun jelas terkejut mendengar ucapannya.
"Baiklah kita harus bersiap-siap!" ucapnya yang bersemangat. "Tapi apa kau masih capek?"
"Oh gak kok gak, santai aja, sih, aku. Tapi sebelumnya aku bilang dulu ke anak-anak ya. Sepertinya mereka sedang menungguku," jawabku sambil senyum. "Kau juga bersiap-siap."
Aku hanya melihat dirinya tersenyum dari kejauhan dan meninggalkannya sendirian di ruang makan.
Louis gini orangnya.
Tiba di halaman belakang rumah.
"Gaes!" panggilku. Seketika pandangan mereka tertuju padaku.
"Maaf banget aku tidak bisa melanjutkan permainan kita untuk hari ini. Aku harus pergi untuk berbelanja makan malam kita!" jelasku kepada mereka.
"Bersamaku!" Tiba-tiba Louis hadir di sebelahku. Aku terkejut oleh kehadirannya tepat di sampingku.
"Ih, kayak hantu aja tiba-tiba muncul!" gerutuku. Dia pun hanya tersenyum.
"YAH!!" Mereka memasang wajah sedih seakan-akan aku dan Louis akan kabur dari rumah. Aku melebarkan kedua tanganku kepada mereka untuk membiarkan mereka memelukku. Mereka pun langsung memelukku dengan erat. Bahkan, Louis pun juga dipeluk.
Sumpah ini mereka udah kecil, lucu lagi, pingin aku makan.
Dari fisiknya saja, tampaknya mereka tidak jauh dari umur 4 sampai 6 tahun.
Kami berdua pun berpamitan kepada anak-anak dan langsung bersiap-siap keluar rumah.
"LOUIS! NICA!" teriak Mama Mathilda tiba-tiba dari dalam rumah. Aku dan Louis yang sudah terlanjur keluar rumah, kemudian mendengar panggilan Mama Mathilda dan kami pun kembali ke rumah.
"Nak, apakah kalian melupakan sesuatu?" tanya Mama Mathilda kepada Louis dan aku.
Louis dengan raut wajah bingung sambil mengingat sesuatu.
"Oh iya!" Tiba-tiba Louis langsung melepaskan kembali sepatunya dan berlari ke kamar. Dia juga memberikanku syarat untuk tunggu sebentar.
Kini hanya ada aku dan Mama Mathilda. Sebuah kecanggungan terjadi antara kami berdua.
"Nica," panggil Mama Mathilda.
"Aku ingin kau membawa ini," lanjutnya sambil memberikanku sebuah senapan serbu jenis AK-47 dengan sebuah ukiran kalimat di bagian badannya, tetapi tidak begitu jelas.
Aku pun termenung menatap senapan serbu itu. "Tapi ...."
"Kau bisa menggunakannya. Percayalah padaku!" ucapnya sambil tersenyum menatapku dan mengelus rambutku.
"Baiklah!" jawabku sambil menghela nafas dan mengambil benda itu dari tangan Mama Mathilda. Jujur senapan serbu tersebut cukup berat di tanganku.
Louis akhirnya kembali dengan sebuah pisau belati yang masih berada di dalam sarung beserta sepasang sarung tangan hitam yang sudah dipakainya. Dia juga tak lupa membawa sebuah keranjang anyaman untuk berbelanja. Kemudian Mama Mathilda memeluk kami berdua sebelum kami pergi.
"Kalian tetap berhati-hati, ya. Baliklah dengan selamat!" kata Mama Mathilda menyimpan harapan kepada kami berdua.
"Dah!" Dirinya pun menyudahi pelukan ini dan melambaikan tangan kepada kami.
"Dah, Mama!" kata Louis sambil membalas lambaian tangan Mama dari dalam rumah.
Aku hanya melambaikan tangan dan memberikannya senyuman tipis. Kami pun keluar dari rumah, melaksanakan misi yang diberi oleh Mama Mathilda.
"Kau setiap hari bawa keranjang sama senjatamu, kah?" tanyaku penasaran sambil mengamati barang bawaannya.
"Ya kalau keranjang, sih, kalau mau belanja aja. Tapi kalau senjata itu setiap hari aku harus bawa," jawabnya. "Omong-omong ini pasarnya tidak terlalu jauh kok dari lokasi rumah jadi cukup jalan kaki saja."
"Oh oke!" jawabku singkat. Kami langsung menuju ke pasar.
Suasana ramai akan orang-orang berlalu-lalang di jalan mewarnai setiap sudut kota ini, mulai dari anak kecil sampai orangtua. Saking banyak orang berjalan kaki sehingga membuat kondisi jalanan menjadi padat dan sesak.
--
Tiba di pasar.
Padat sekali disini.
Banyak sekali pengunjung yang berdatangan di masing-masing gerai toko. Suara berisik menyelimuti suasana lingkungan aktivitas manusia. Panas matahari mulai terik. Kami pun mulai mengunjungi berbagai gerai untuk membeli bahan-bahan makanan yang sudah tertulis di kertas oleh Mama Mathilda. Aku sambil membawa keranjang anyaman sembari Louis yang aktif tawar-menawar kepada penjual. Banyak dari mereka telah mengenal Louis bahkan tak sedikitpun dari mereka berhasil menebak apa yang akan dibeli oleh Louis.
"Hey, Nak!" kata seorang pria tua menyapaku.
"Iya, Pak!" Aku tersenyum saja karena bingung harus membalasnya bagaimana lagi. Lebih tepatnya senyum kaku.
"Namamu siapa?"
"Ni—"
Siapa sih? Duh, lupa lagi nama sendiri.
"Nica, Pak!" sahut Louis menyelamatkanku.
Louis menatapku bingung. "Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa untuk menahan malu. Aku kembali menatap pria tua itu dan untung saja dari pandangan pria tua itu tidak mempermasalahkannya. Otomatis nafasku yang tertahan akhirnya kembali lega.
Panik sekali!
"Oh nama yang bagus sesuai dengan wajahmu!" jawabnya sambil tertawa. Aku hanya mengulas senyuman sebab tiba-tiba aku mulai merasa ngeri dengan sikap pria tua itu.
"Baiklah, ambilah!" Tiba-tiba pria tua itu memberi kami berdua apel merah segar. "Untuk kalian, Nak"
"Serius nih, Pak?" tanyaku heran. Tidak menyangka kami berdua diberi apel merah gratis.
"Ya, ini gratis khusus untuk kalian, kalian terlihat capek. Istirahatlah terlebih dahulu dan makanlah apel ini, asli langsung dari kebunnya."
"Wah terima kasih banyak, Pak!" Kami mengucapkan terima kasih dengan raut wajah gembira. Kami pun mengambil apel merah tersebut dari tangan pria tua itu. Ternyata di balik itu, pria tua itu memiliki hati yang baik.
Lumayan apel gratis.
Setelah beberapa jam kemudian, kami akhirnya selesai berbelanja untuk kebutuhan hidup. Canda-tawa antara kami berdua tidak luput dari kegiatan belanja tadi sehingga lelah dan panas tidak terasa pada kami. Hubungan antara aku dan Louis semakin dekat walau baru dalam hitungan jam berkenalan.
Tiba-tiba keranjang yang awalnya kupegang, ditarik oleh Louis.
"Biar aku saja. Kau bawa rotinya!" perintahnya sambil menarik keranjang anyaman dari tanganku dan menyerahkan dua buah roti panjang Perancis kepadaku. Memang aku akui keranjang anyamannya berat sekali setelah diisi barang-barang di dalamnya.
"Eh gak apa-apa, nih? Berat lho!"
"Iya. Anak perempuan jangan bawa yang berat biar yang laki-laki saja," jelasnya disertai dengan seulas senyuman di wajahnya.
"M—makasih!" jawabku gugup. Aku tidak percaya Louis sebaik ini walaupun gayanya yang kutu buku dan raut wajahnya yang dingin.
"Istirahat dulu, yuk, di pinggir danau!" ucap Louis sambil menunjuk ke arah pinggir danau yang indah, dikelilingi oleh rerumputan hijau segar.
Danau ini cukup besar dan asri disertai dengan sebuah jembatan yang membelah danau ini. Sekumpulan angsa sedang berenang bersama-sama. Cukup banyak orang yang duduk di pinggir danau ini, bahkan ada yang sedang asik memberi roti kepada sekumpulan angsa sambil melewati jembatan yang membelah danau nan indah itu.
Kami memutuskan untuk duduk tepat di pinggir danau sehingga kami bisa menikmati suasana danau yang indah ini sambil beristirahat sejenak.
Ini danaunya indah. kayak dimana, ya?
Aku berusaha berpikir lebih jelas di benakku. Aku merasakan aku pernah melihat danau seperti ini sebelumnya tetapi aku tidak bisa mengingatnya. Bukannya berhasil mengingat, melainkan menjadi kembali pusing.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengamati tindakanku yang tiba-tiba memegang kepala.
"Iya. Tiba-tiba pusing saat aku mengingat suatu hal," jelasku.
"Makanlah apel ini. Apel ini bisa meringankan sakit kepalamu!" katanya sambil memberikanku apel dari dalam keranjang anyaman. "Apel dari bapak penjual tadi manjur untuk menyembuhkan sakit kepala."
Aku mengambil apel tersebut dari genggaman tangannya. Bila dipikir-pikir juga ini merupakan waktu yang tepat untuk menyantap apel gratis sambil menikmati indahnya danau yang membentang di hadapanku.
"Apakah kau selalu merasakan pusing ketika kau mengingat sesuatu?" tanyanya sambil mengunyah apel.
"Entahlah. Mungkin aku hanya kelelahan saja," jelasku sambil melihat danau.
"Aku harap pusingmu hilang secepat mungkin!" katanya dengan penuh yakin.
.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Tentu saja!" jawabnya.
"Kenapa kau sering membawa senjata setiap kali kau bepergian?" Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal privasinya yang sejak tadi mengitari otakku.
"Karena di luar sangat berbahaya," jawabnya.
"Apa? Berbahaya gimana?"
"Mama pernah bilang padaku bahwa ada iblis yang menyerupai kita dan kita harus mewaspadai hal itu."
"Waduh, memangnya udah pernah ketemu?"
"Pernah. Tapi dengan inilah aku bisa mengalahkan mereka," jawabnya sambil menunjukkan pisau belati miliknya yang masih terbungkus sarung.
"Gila, sih," jawabku. Aku pun kembali menatap pemandangan alam.
"Jujur aku belum pernah menggunakan senapan serbu ini, tapi ya mau gimana lagi. Disuruh sama Mama Mathilda," jelasku. "Katanya, sih, buat jaga-jaga doang. Yaudahlah."
Tiba-tiba Louis tertawa kecil dan membuatku bingung seketika dan menatapnya heran.
"Rupanya kau lucu juga, ya."
Apa, sih?
"Dih, biasa aja kali!" jawabku.
Kami berdua pun mengobrol tentang kegiatan belanja tadi, ketawa bersama, bercanda hal yang tidak perlu ditertawakan sebenarnya alias 'receh bareng' selama setengah jam lamanya.
"Eh balik yuk, Nica!" katanya tiba-tiba. "Nanti Mama khawatir, lho!"
"Oke oke!" jawabku. Aku pun bangkit dari posisi duduk yang sudah terlanjur nyaman. Namun, keadaan dan situasional menyuruh kami untuk segera pulang.
Tiba-tiba suasana menjadi sepi di sekitar kami tanpa kami sadari dan ada seseorang terdiam mematung menghadap danau.
"Louis," sapaku.
"Liat, deh!" kataku sambil menunjuk orang aneh tersebut.
"Itu orang kenapa diam aja? Diamnya gak wajar gitu. Apa kita harus selamatin dia?"
Louis sepertinya menyadari ada yang tidak beres.
"Ada yang tidak wajar disini. Sebaiknya kita harus segera pergi!" jawabnya sambil membawa keranjang. Aku pun menuruti perkataannya.
Karena ketakutan mulai memuncak dari dalam diriku, aku langsung mengambil senapan serbu AK-47 yang diberikan oleh Mama yang kukalungkan di punggungku.
Sembari kami berjalan, kami melihat sekeliling kami dan benar sekali! Orang-orang di sini tidak bergerak sedikitpun. Pandangan mereka kosong seperti sedang dikendalikan jiwanya.
"Biasanya tidak seperti ini, lho!" ucap Louis heran.
"Kita harus cepat balik ke rumah!" kataku.
Kami langsung berlarian kembali ke rumah yang tidak terlalu jauh dari lokasi danau. Ketakutan dan panik bercampur menjadi satu di dalam diriku. Tiba-tiba muncul sosok iblis menyeramkan dan cukup besar, bahkan saking seram rupanya membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Makhluk jelek itu muncul tepat di hadapan kami. Makhluk itu berteriak dan langsung berlari menyerang kami. Dengan sigap dan cepat, Louis langsung merobek dada iblis itu dengan pisau belati miliknya. Makhluk itu akhirnya tumbang tidak bernyawa. Louis langsung menarik tanganku dan kami berlari dengan cepat.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi setelah melihat kejadian yang baru saja menimpa kami berdua. Wujud makhluk itu masih jelas berputar di kepalaku.
Aku panik sekali!
Sungguh panik!
Musuh yang dimaksud Louis?
"Aku gak bisa!" Aku pesimis akan hal ini.
"Kau pasti bisa, Nica! Kau bisa! Kita harus melawan mereka!" katanya sambil menyemangatiku. Rambut birunya tertiup angin sepoi-sepoi. Bekas percikan darah iblis tadi mewarnai wajahnya yang ikut panik.
Setelah akhirnya posisi kami mendekati lokasi rumah, tiba-tiba kami melihat beberapa makhluk seperti yang kami temukan tadi. Tampaknya mereka adalah para petinggi iblis beserta anak-anak buahnya yang mendampinginya. Mereka masuk ke dalam rumah kami. Aku dan Louis langsung bersembunyi di balik dinding sebuah bangunan tidak jauh dari lokasi iblis-iblis itu berada.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka! Ada Mama Mathilda dan anak-anak di sana dan kita harus menyelamatkan mereka segera!" kataku kepada Louis dan langsung bergegas menuju rumah itu. Namun, Louis langsung menarik tanganku.
"Jangan nyari mati!" katanya. "Kita harus sembunyi dulu!"
Tiba-tiba sekumpulan iblis dengan suara beratnya yang besar itu sambil menyeret seorang wanita dari dalam rumah. Kulihat dirinya yang menangis dengan kondisi tubuhnya yang penuh luka. Iblis itu sepertinya mengatakan sesuatu. Akan tetapi tidak jelas.
Mama Mathilda?
Mama Mathilda wujudnya berubah menjadi sosok iblis. Akan tetapi, wajahnya tetap mulus sebagaimana berbeda daripada iblis-iblis lainnya.
Jadi … Mama Mathilda termasuk bagian dari 'mereka' ?
Seketika otakku penuh dengan banyak pertanyaan.
Sebuah benda berupa tombak panjang ditusuk ke dada Mama Mathilda, tepat di jantungnya. Darah merah pun seketika keluar banyak dari diri Mama Mathilda. Wanita itu tampak mengerang kesakitan yang disertai dengan banyaknya liter darah yang keluar. Mama Mathilda tewas seketika.
"Mama," Tiba-tiba kalimat itu seketika keluar dari mulut Louis. "Iblis."
Aku tidak sanggup melihat penyiksaan yang dilancarkan kepada seorang wanita yang baru kukenal hari ini dan seketika dirinya tewas. Pikiranku berkecamuk oleh ketakutan sehingga aku tidak bisa berpikir jernih.
"Louis, biarkan aku mati! Aku tak sanggup melihat semua ini!" ucapku. Air mata ini semakin deras.
"Nica! Tenanglah! Aku tidak akan membiarkan kau mati. Aku yakin kita bisa melewati ini semua, percayalah!" Louis langsung memelukku. Air mataku seketika membasahi baju kemejanya yang berwarna biru tua. Aku menyadari bahwa Louis juga sama sedihnya denganku tetapi dia harus tetap tegar dan senyum di kala aku sedang menangis dan putus asa.
Ketiga iblis itu akhirnya meninggalkan Mama Mathilda yang tidak bernyawa dan penuh dengan darah, disusul oleh sosok iblis lagi dari dalam rumah dengan mulut penuh darah. Mereka kemudian berkamuflase menjadi manusia seperti manusia pada umumnya.
Mereka semua mulai menjauh dari rumah. Untung saja mereka tidak menyadari bahwa ada kami yang tidak jauh dari mereka. Karena kondisi sepertinya sudah aman, kami langsung bergegas menuju rumah. Louis menghampiri Mama Mathilda yang terbaring tewas dan menatapnya dengan pandangan kosong. Menatap wajah Mama Mathilda yang beralih wujud menjadi sosok iblis yang dibencinya.
Seketika sebuah pikiran terbesit di otakku.
Anak-anak.
"Louis, aku cek yang lain!" ucapku sambil langsung bergegas masuk dan memeriksa setiap sudut ruangan di rumah. Kulihat penuh darah serta gemercik darah di dinding rumah.
"ANNIE! LEO! MATT! THEO!" teriakku sambil berlari mencari mereka. Tetapi aku tidak mendengar suara mereka ataupun menemukan mereka.
Tolong jangan bilang mereka udah mati!
Aku berjalan dari ruangan satu ke ruangan lainnya.
"JAWABLAH AKU BUTUH SUARA KALIAN!!" Tiba-tiba aku mendengar suara berisik dari arah dapur. Aku langsung mendekati sumber suara tersebut sambil menodongkan senapan serbu AK-47 dengan kondisi tangan yang gemetaran.
Aku mendapati sosok iblis berbadan besar sedang memakan tubuh manusia.
Iblis itu makan ....
"Annie?!"
Kedua mataku membulat melihat korban itu adalah Annie yang sedang dimakan oleh iblis ganas. Organ-organ dari dalam tubuh Annie diseluruput oleh iblis menyeramkan itu. Aku diam mematung melihat aksi iblis jelek tersebut yang sedang menyantap tubuh Annie di depan mata kepalaku.
Annie! Tidak! Annie!!
Aku sungguh tidak tahan melihat adegan ini. Aku langsung membidik tepat dimana iblis itu berada. Seluruh tubuhku gemetaran hebat. Tiba-tiba iblis itu sadar atas kehadiranku di dekatnya. Aksi makannya terhenti seketika dan kepalanya berputar 360 derajat.
Demi serem banget!
Mukannya hancur dan sangat menyeramkan. Aku berusaha untuk tidak teriak dan mengalahkan segala ketakutan yang ada dalam diriku. Hatiku sakit sekali melihat keluarga baruku dimakan seperti ini. Makhluk itu mulai berteriak dan langsung menyerangku.
ANDA PIKIR SAYA TAKUT?!
Aku menembaknya random berkali-kali sampai ia benar-benar tumbang. Makhluk itu tampak berusaha melawanku tetapi dia mulai tidak bisa bergerak karena aku menembak kedua kakinya. Gemercik darahnya mengenai wajahku. Walaupun aku tahu bahwa iblis tersebut telah tumbang tetapi belum mati, aku tidak akan membiarkannya hidup. Aku langsung menginjak-injak kepalanya sampai hancur untuk melampiaskan rasa kekesalanku kepada mereka yang telah membunuh orang-orang yang kusayangi.
"MATI KAU SIALAN!" teriakku sambil meluapkan amarahku. Semakin banyak darah keluar dari otaknya mengenai pakaianku.
Jijik sekali!
"Nica, sudah! Hentikan! " Louis tiba-tiba menghampiriku dan menghentikan aksiku.
"Mereka sudah membunuh anak-anak. Aku menyesal tadi gak kutolong," Aku kembali menangis di hadapan Louis. Seluruh tubuhku lemas terkulai sehingga aku menjatuhkan diriku di lantai yang penuh darah.
"Percuma juga kalau kita tolong, mereka terlalu overpower! Kebetulan ini bawahannya alias seperti anjingnya iblis dan masih bisa dibunuh dengan mudah karena tidak punya akal," jelasnya sambil menunjuk iblis yang sudah tewas mengenaskan tergeletak di atas lantai dengan wujudnya yang hancur. "Tapi kalau yang seperti tadi kita lihat yang tiga iblis itu, mereka punya akal dan sangat berbahaya!"
"Astaga, Annie." ucap Louis sambil menatap Annie yang terlihat semua organ dalam tubuhnya. Lehernya setengah putus karena gigitan iblis.
"Annie dimakan."
Aku yakin dia pasti ingin menangis tetapi dia memaksakan dirinya untuk tidak melakukannya dan berusaha untuk berlapang dada menerima semua ini.
Kami kehilangan semuanya.
Aku kehilangan keluarga baruku.
Umat manusia seluruhnya sudah diburu iblis di kota ini.
"Kita harus segera mengambil barang-barang yang penting untuk dibawa lalu kita harus pergi secepatnya sebelum para iblis selanjutnya menemukan kita!" seru Louis. Aku langsung bangkit dari lantai tetapi lututku masih sangat lemas sehingga aku tak kuat untuk berdiri sendiri. Perasaan shock masih menyelimuti diriku.
Louis bergegas membantuku untuk berdiri.
"M—makasih. Aku bisa sendiri, lepaskan aku!"
"Kau duduk saja, biar aku yang mengambil barang-barangnya," Dia menyuruhku untuk duduk di kursi terdekat sambil menunggu dirinya mengambil barang-barang penting untuk keluar dari kota ini.
Kedua kakiku masih terasa lemas. Perasaan shock ini tidak kunjung hilang. Kepalaku terasa berat seperti ditimpa oleh sesuatu. Kulihat sekitarku yang sudah berubah menjadi lebih suram. Darah berceceran dimana-mana. Tubuh Annie tergeletak di lantai dan menatapku dengan kedua mata yang melotot. Bau busuk mulai menyebar di setiap sudut rumah.
Apakah ini mimpi?
Aku mencoba untuk menampar pipiku berulang kali.
Ini bukan mimpi.
Beberapa menit yang lalu, aku telah membunuh sosok iblis sehingga sepatu yang kukenakan penuh dengan organ-organnya yang hancur.
Ya, aku melakukannya!
Sebuah ingatan terbesit di otakku. Namun, tidak jelas. Aku berusaha untuk mengingatnya lebih dalam. Akan tetapi, yang ada adalah pusing.
Pusing sekali!
Aku benar-benar pernah melakukan aksi tembak-menembak sebelumnya tetapi aku tidak tahu kapan dan apa yang terjadi.
"Gini amat!" gerutuku.
"Nica, aku sudah membawa beberapa perlengkapan sekaligus kebutuhan makanan untuk kita!" Tiba-tiba Louis menghampiriku sambil membawa dua tas di kedua tangannya. Ia langsung melemparkan satu tas kepadaku.
"Berat banget. Isinya apaan aja?"
"Ya kebutuhan kita nanti," jawabnya. "Pastikan kau bisa menghemat pelurumu karena aku tidak menemukan peluru AK-47."
"Ya," jawabku singkat. Kami pun langsung segera pergi dari rumah ini, bahkan kami terpaksa harus meninggalkan kota ini. Kota ini sangatlah terpencil yang dikelilingi oleh gunung dan alam lainnya. Alam yang indah berubah menjadi alam penuh kesuraman.
--
Langit senja kemerah-merahan menyelimuti kota ini. Kami akhirnya tiba di sebuah stasiun kecil kereta api. Terdapat papan kayu dengan bertuliskan,
"WELCOME TO RAINVILLE!"
Sepi sekali.
Tidak ada orang sama sekali. Hanya kami berdua.
Kami memutuskan untuk beristirahat sementara di sini sampai waktunya tiba. Tiba-tiba suatu hal menyita perhatianku. Aku melihat sebuah pengumuman di sebuah papan mading.
"Louis, sini!" ajakku, menyuruhnya ke sini. Dia langsung menghampiriku.
"Sebuah akademi pahlawan di Courtfeig?" heranku. Sebuah kertas dalam kondisi cukup rusak dengan sobekan di pinggirannya dengan bertulisan berita tentang akademi pahlawan di Courtfeig.
"Courtfeig dimana?" tanyaku kepada Louis. Dirinya menemukan sebuah peta dan langsung membuka peta tersebut sampai dirinya kesusahan membukanya saking besarnya.
"Di Utara Steich," jawab Louis.
"Hmm, cukup jauh dari Rainville," katanya sambil mengamati isi peta. Jarinya pun tak jarang menunjuk setiap kota di dalam peta itu.
"Steich?" tanyaku bingung.
"Iya, pulau yang kau tinggal saat ini."
"Lah, baru tahu aku!" Aku lanjut membaca pengumuman tentang sebuah akademi pahlawan di mading dan memahami setiap kalimatnya di sana.
"Oh ya," Suatu hal terbesit di pikiranku secara tiba-tiba. "Siapa yang mengendalikan kereta kalau masinisnya pun tidak ada?"
Louis langsung mengamati stasiun ini dan meratapi peta secara bergantian.
"Kereta api ini tidak memerlukan masinis karena sistem jalannya otomatis ke daerah tujuan," jelasnya. "Kita bisa menuju Courtfeig hari ini juga!"
"Tunggu dulu. Tapi aku khawatir kalau para iblis sudah ke sana dan mungkin orang-orang di sana juga sudah diburu, mungkin?"
"Tidak, kota itu penjaganya sangat ketat dan tingkat keamanannya terjamin," jawabnya penuh yakin.
"Lho, pernah ke sana?" tanyaku heran.
"Tidak, aku baca di koran pagi langgananku."
Aku pun memanggut perkataannya dan berusaha untuk memercayainya. Tetapi sebenarnya aku sangat khawatir.
"Tunggu!" Louis tiba-tiba pergi ke arah sebuah papan yang berisi jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta. "Kita bisa menggunakan kereta ke Lhëin lalu, dari situ kita bisa langsung ke Courtfeig."
"Waktu keberangkatan satu jam lagi." lanjutnya.
"Sip."
Aku langsung mengambil kertas itu dari papan mading. Sembari kami menunggu kedatangan kereta, kami duduk di kursi kayu panjang sambil menatap hidup yang mengerikan. Louis mengenggam tanganku dan memberikanku senyuman yang tulus di kala situasi yang sedang bahaya. Aku terkejut dengan perlakuannya kepadaku, tapi aku tetap membalas senyumannya. Senyumannya menyejukkan hatiku yang sedang dilanda oleh kekhawatiran.
"Jujur aku masih shock kalau wanita itu bagian dari mereka."
Louis terdiam. Lalu berkata, "Aku tidak tahu."
Tiba-tiba air mata keluar dari kedua mata Louis dan membasahi wajahnya. Kedua tangannya dikepalkan seperti sedang menyimpan emosi yang terpendam di jiwanya.
"Aku sudah lelah dengan dunia ini!" ucapnya sambil menahan isak tangisnya. Aku memeluknya, berusaha untuk menenangkannya yang sedang berada di lautan kesedihan.
"Aku mengerti apa yang kau alami, " ucapku.
Lalu aku berkata, "Aku yakin kita pasti bisa melewati semua ini. Seperti yang kau bilang kepadaku tadi, kita pasti bisa!"
Louis tersenyum menatapku. Pandangan kami saling bersahutan. Hatiku justru menjadi sangat sedih melihat kondisi yang berbeda dari kata damai di dunia ini.
"Dengan ini," lanjutku sambil menunjukkan secarik kertas yang kuambil dari papan mading. "Ini salah satunya jalan yang harus kita ambil untuk mengetahui misteri di balik kejamnya dunia."
"Ya! Ayo kita gabung Akademi Pahlawan untuk membasmi para sialan dengan memberi mereka pelajaran!" seru Louis yang kembali bersemangat, berusaha untuk menghilangkan perasaan sedihnya. Aku tersenyum melihatnya. Ternyata perjalanan kami akan dimulai sebentar lagi,
Perjalanan yang sesungguhnya untuk mengetahui kebenaran dari segala misteri di dunia ini.
Kali ini,
Sebuah peluang yang harus kami ambil untuk memusnahkan para iblis. Kami harus bertahan hidup di dunia yang kejam ini.
Kalian para iblis, ini belum berakhir sobat!
Sampai jumpa!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!