NovelToon NovelToon

Diary Anak Indigo

Prolog

Dalam sebuah ruang yang gelap, sunyi dan hampa.

Lembar demi lembar aku kotori denga tinta usang.

Menuliskan catatan kehidupan yang penuh harapan.

Berharap bebas dari kehidupan yang penuh dengan ancaman.

Hampir setiap malam aku selalu menulis.

Menuliskan setiap perjalananku menjadi seorang indigo.

Tekad dan niatku sangat kuat untuk menulis.

Karena aku tahu, satu-satunya cara aku terbebas dari ancaman yang turun menurun ini dengan menulis.

Belajar dari kesalahan kakekku yang telah lalai memelihara keharmonisan hidup keturunannya.

Memiliki janji dengan sosok mahluk tak kasat mata.

Ketika kakek meninggal beliau belum sempat menceritakan tentang indigo.

Dan akhirnya mahluk itu sendirilah yang mencari keturunan kakek.

Hingga akhirnya merenggut jiwa hampir satu anggota keluarga tanteku*.

Hallo aku Kalista Kusumaningrum Rahardjo. Seorang anak indigo berusia sembilan tahun. Indigo adalah sebuah tantangan baru untukku. Karena dari sinilah aku memaknai sebuah kehidupan yang amat berharga ini. Hidup berdampingan dengan segala ciptaan-Nya baik yang nampak maupun tidak nampak.

Pada usiaku sembilan tahun aku dituntut untuk menyelesaikan masalah keluarga besarku. Yang berawal dari kakekku yang mempunyai ilmu dan memiliki janji dengan sosok yang tak kasat mata. Ketika kakekku meninggal dan saat itu pula kakek belum memberikan wasiat indigo kepada keturunannya.

Akhirnya sosok itu sendiri yang menagih janji kepada keluargaku. Dan sayangnya dari semua keluargaku hanya aku yang dapat melihatnya. Jadilah aku yang harus menyelesaikan masalah ini.

Dalam kondisi mama dan papaku tidak memahami bakat indigo yang ada dalam diriku. Hal itu menjadi tantangan yang berat bagiku. Pasalnya mereka mengiraku gila, bahkan pernah membawaku ke psikiater dan juga ahli agama.

"Nak kamu harus selalu ingat pesan nenek. Bakat indigo bukanlah bakat sembarangan nak." Pesan nenek yang selalu aku ingat.

Beruntungnya aku memiliki nenek yang memahami tentang bakat indigo yang melekat pada diriku ini. Dan nenek yang selalu memberitahu aku mengenai perjanjian kakek dengan mahluk tak kasat mata itu. Selain itu nenek jugalah yang membantu aku menyelesaikan teka-teki kehidupan ini.

"Kalista apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Bang Ganjar ketika aku sadar dari Astral Projection.

Bang Ganjar adalah kakak sepupu aku yang keluarganya menjadi korban perenggangan nyawa oleh mahluk itu. Kini abang tinggal bersama keluargaku. Menjadi anak angkat di keluargaku.

"Aku akan membantu kamu menyelesaikan masalah ini Kalista." Ucap Bang Ganjar.

Meskipun awalnya Bang Ganjar juga tidak percaya bahwa aku seorang indigo. Namun lama kelamaan dia percaya dan membantuku melewati hari demi hari. Hari-hari dimana sosok itu terus mengincar keluargaku.

"Bang Ganjar awas!" Teriakku saat menyelamatkan abang dari pohon yang hampir tumbang tepat di atas kepalanya.

Satu lagi yang ingin aku sampaikan. Sasaran utama makhluk tak kasat mata itu adalah Bang Ganjar. Mahluk itu selalu berusaha merenggut nyawanya dengan beragam usaha.

Setiap malam aku menuliskan diary tentang apa yang aku alami hari ini. Aku tulis tentang perjanjian kakek dan si mahluk itu. Tentang temanku Mike yang tak kasat mata. Tentang hantu-hantu yang ada disekitarku dari yang baik dan jahat. Pokoknya semua aku tuliskan lengkap di diary yang menjadi novel berurutan ini. Kelak diary ini akan aku berikan kepada anak cucuku. Agar tidak terulang kesalahan yang sama kepada keluarga besarku nanti. Karena indigo di keluargaku adalah warisan turun temurun.

Dan untuk kamu yang sudah membaca pembuka ini. Jangan sampai berhenti disini. Kamu harus melanjutkan ceritaku hingga akhir.

Kalau tidak .... Maka ☠️☠️☠️

Semua Bermula

Semburat warna jingga sang mentari perlahan menghilang. Burung-burung berterbangan kembali ke sangkarnya. Hari telah berganti malam.

Suara adzan pun berkumandang.

"Hiks....hiks....hiks.... Anakku...." Kata wanita itu dengan suara lemas.

"Tante minum dulu ya biar lebih tenang." Kata seseorang disebelahnya.

"Gak mau! Kalista mana? Kalista mana?" Tanya wanita itu ditengah isak tangisnya.

"Tante mau mati saja kalau Kalista mati!" Tambahnya.

"Tante. Tante tenang dulu ya. Tim SAR, keluarga, dan warga sekitar sedang mencari Kalista tante."

"Kalista.... Kalista...." Panggil wanita itu dengan sisa tenaganya.

Deburan ombak semakin riuh bergemuruh. Dengan penerangan seadanya, orang-orang itu menyusuri tepi pantai hingga beberapa kilometer ke tengah laut. Beberapa perahu karet dan perahu nelayan dikerahkan untuk melakukan pencarian malam itu. Malam itu laut menjadi ramai karena kasus tenggelamnya seorang anak perempuan berusia sembilan tahun.

"Pak kayaknya tidak bisa ditemukan ini pak." Kata seseorang berseragam orange bertuliskan Search And Rescue (SAR).

"Baiklah. Kita lakukan pencarian satu jam lagi saja. Apabila tidak ketemu. Kita sudahi." Jawab seorang pria lain.

"Saya akan mengabari yang lain." Katanya lagi.

"Kawan-kawan kita lakukan pencarian satu jam lagi. Apabila tidak diketemukan, maka pencarian akan diakhiri." Ucap pria itu melalui HandyTalk (HT).

"Siap pak!" Sahut anggota SAR.

Pencarian dilakukan sejak pukul 15.00 WIB. Kini waktu telah menunjukkan pukul 20.00 WIB dan satu jam lagi pencarian akan dihentikan. Terhitung sudah lima jam pencarian dilakukan, namun belum ada tanda-tanda penemuan korban tenggelam. Sepanjang tepi pantai telah disusuri, beberapa orang telah melakukan penyelaman. Namun, tetap hasilnya nihil. Tak ada sedikitpun tanda-tanda korban ditemukan.

"Pak maaf. Pencarian akan kami lakukan satu jam lagi. Jika belum juga ditemukan dengan terpaksa kami akhiri pencarian ini." Seorang anggota SAR melaporkan pada keluarga korban.

"Pak jangan begitu dong pak! Saya mau pencarian dilakukan sampai anak saya ketemu!" Sahut seorang pria.

"Maaf pak. Ini sesuai prosedur pencarian korban tenggelam. Permisi." Anggota SAR itu meninggal pihak keluarga.

"Papa.... Gimana anak kita pa?" Teriak wanita yang sejak tadi tak henti-hentinya menangis.

"Kita harus ikhlas apapun yang terjadi ma." Kata pria itu sembari memeluk istrinya.

Hening, sunyi, dan mencekam itulah sedikit gambaran suasana pantai malam itu. Deburan ombak, isakan tangis keluarga, dan riuhnya relawan pencarian korban bercampur aduk. Detak jantung keluarga semakin berdebar menanti satu jam terakhir yang sangat berarti untuk mereka.

"Korbannya ada disini." Samar-samar suara teriakan orang dari kejauhan.

"Ma... Mama dengar itu tidak?"

"Iya mama dengar. Ayo pa kita kesana."

Rombongan keluarga yang sedari tadi duduk di emperan sebuah toko. Sontak semua berdiri dan mencari asal suara tersebut.

"Tolong! Korbannya ada disebelah sini." Suara samar-samar itu kembali terdengar.

"Itu disana." Teriak orang yang tak jauh dari posisi rombongan keluarga.

Mereka semua berlari menuju lokasi sumber suara. Dengan penerangan seadanya mereka menuju bibir pantai. Berjalan di atas kadang-kadang. Dan sampailah mereka di balik sebuah karang yang ukurannya lumayan besar.

"Korban masih bisa diselamatkan!" Seru seorang anggota SAR.

"Bawa dia ke ambulance." Perintah anggota yang lain.

"Cepat pak! Cepat! Tolong anak saya." Teriak seorang wanita.

Suara sirine ambulance memecah keheningan malam itu. Ambulance berjalan dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan dengan samping kiri kanannya adalah hutan dan tebing. Sementara mobil keluarga dan beberapa anggota SAR turut membuntuti dari belakang.

Di dalam sebuah mobil pribadi.

Tangan wanita itu mencengkeram erat tangan suaminya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Pikirannya tak terkendalikan dan mulutnya terus-terusan berdoa. Berharap anaknya akan selamat.

"Pa.. gimana Kalista?" Tanya wanita itu perlahan.

"Kalista akan segera mendapatkan penanganan dari dokter ma. Dia pasti akan baik baik saja." Ucap pria itu menenangkan istrinya.

"Pa... Mama takut."

"Mama tenang ya. Kita berdoa buat Kalista ya ma." Katanya sembari memeluk dan mengelus rambut istrinya.

**

Hari ini adalah hari ketiga sepasang suami istri itu menunggu anaknya yang sedang malami koma. Belum ada kabar membaiknya kondisi putri kecilnya itu. Beberapa kali konsultasi dengan dokter dan dokter pun hanya menyuruh keluarga banyak berdoa.

"Dok bagaimana dengan keadaan putri saya?" Tanya wanita itu.

"Kami belum dapat memastikan bu. Saat ini kondisinya masih sama seperti hari-hari sebelumnya." Jawab dokter.

"Lalu gimana dok? Saya mohon lakukan sesuatu dok." Kata wanita itu lagi.

"Kami selalu berusaha melakukan yang terbaik bu"

"Ibu beserta keluarga saya mohon sabar dan banyak berdoa. Semoga mukjizat Tuhan segara datang pada putri ibu." Pesan dokter.

Pasangan suami istri itu pun keluar dari ruang dokter dengan wajah kecewa. Mereka menuju ruang ICU dan menatap iba anaknya yang belum sadar juga. Hati mereka hancur berkeping-keping. Rencana menghabiskan liburan tahun baru ke sebuah pantai di selatan Pulau Jawa harus berakhir tragis.

"Pa.. mama menyesal."

"Jangan sesali keadaan ma. Semua akan baik-baik saja."

"Mama gak tega melihat Kalista seperti ini pa."

"Kita hanya dapat berdoa ma. Kita serahkan semuanya pada Tuhan ya ma. Yakin bahwa rencana Tuhan baik".

**

Hari kelima di ruang ICU.

Keluarga masih setia menunggu di ruang tunggu. Menanti kabar salah seorang saudaranya yang terkena musibah. Wajah mereka sudah pasrah dengan rencana yang sudah digariskan Tuhan.

"Tante... Kalista sadar!" Teriak seorang gadis yang baru saja mengintip dari kaca ruang ICU.

"Suster dan dokter sedang menangani Kalista." Ucapnya lagi.

Para keluarga segera mendekat ke kaca ruang ICU untuk memastikan keadaan Kalista. Benar saja, Kalista sedang dikerumuni para petugas medis. Senyum kecil mulai terpancar di wajah keluarga.

**

Sementara itu di dalam ruang ICU.

Sayup-sayup terdengar dentingan peralatan medis terus bersahutan, tiada hentinya. Perlahan kubuka mataku yang terasa berat ini. Semua terlihat samar-samar. Mungkin karena mataku dan otakku sedang beradaptasi.

Kurasakan beberapa orang berseliweran di dekatku. Meraba tubuhku dan memasang beberapa alat pada tubuhku. Napasku yang awalnya sesak kini perlahan mulai teratur. Terus ku perhatikan orang-orang itu, meski dengan penglihatan sebisanya.

Beberapa menit kemudian mataku tidak lagi buram. Kepalaku tidak lagi pening seperti tadi. Pendengaranku pun sudah kembali normal. Ketika mendengar dokter menanyakan apakah aku masih sesak napas, aku dapat mengelenhkan kepalaku. Hanya saja mulutku masih terasa agak kaku untuk menanyakan "dimana aku saat ini?".

Pikiranku terus berputar memikirkan tempat ini. Sebuah tempat dengan latar berwarna putih. Dengan sekat tiap ruangnya dibatasi gorden. Terdapat ranjang tempat tidur, peralatan medis, dan tentunya bau khas obat-obatan. Tak salah lagi, aku sedang di rumah sakit.

Setelah mendapat jawaban bahwa kini aku di rumah sakit. Aku mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum aku terbaring di tempat ini. Cukup lama aku memaksa pikiranku menjelajahi kejadian-kejadian sebelumnya. Dibayanganku hanya ada luapan air yang sangat banyak. Ya! Aku tenggelam.

Inilah awal cerita sebelum akhirnya kehidupanku berubah. Menjadi seorang yang berbeda dari kebanyakan orang. Panggilan "anak indigo" sudah tak asing lagi bagiku. Yuk mari aku ceritakan semua pengalamanku dalam sebuah tulisan "DIARY ANAK INDIGO"

Ibu Ratu

Liburan akhir tahun itu, aku bersama keluarga besarku liburan bersama. Sebuah kota budaya menjadi tujuan kami liburan saat itu. Dan di kota itu pula nenekku tinggal. Banyak hal yang kami lakukan di kota itu. Mulai dari mengunjungi candi, museum, taman hiburan, pusat perbelanjaan, pegunungan, dan pantai.

Pada hari terakhirku di kota itu, keluargaku mengunjungi sebuah pantai. Berjarak satu jam perjalanan dari pusat kota menuju arah selatan. Sesampainya di pantai, aku dan saudara-saudaraku langsung berlarian menuju bibir pantai. Bermain air, pasir dan berenang.

Aku sangat senang dengan pantai. Karena terlalu terlena dengan pemandangannya. Aku lari agak ketengah laut, memisahkan diri dari saudara-saudaraku. Tepat di balik sebuah karang besar. Aku melihat sebuah cahaya keemasan. Aku pun mendekat, mencari tahu apakah cahaya itu.

"Arghhhhhhhhh." Aku pun berteriak.

Aku berteriak bukan karena aku takut, tetapi aku terkejut. Pasalnya kerumunan ombak itu menarikku ke tengah laut. Kemudian menarikku masuk ke dalam laut. Lebih dalam dan lebih dalam lagi.

"Lho kok aku bisa bernapas normal?" Batinku.

"Ini kan di dalam laut. Kok bisa ya?" Aku pun bingung sendiri.

Masih dalam kebingungan itu. Seorang wanita berparas cantik memegang bahuku. Senyumnya sangat indah menghiasi wajahnya. Dengan mengenakan pakaian kemben berwarna hijau membuatnya terlihat anggun. Dilengkapi selendang berwarna senada dengan pakaiannya. Sebuah mahkota kecil menghiasi kepalanya.

"Kamu siapa?" Tanyaku.

"Kamu tidak perlu tahu siapa namaku. Panggil saja aku nyai." Katanya sembari tersenyum.

"Kalista, ibu ratu menyuruhku membawamu bertemu dengan beliau." Kata wanita itu sembari matanya menatap ke depan.

"Ibu ratu? Siapa dia?" Tanyaku polos.

"Nanti kamu akan bertemu dengannya." Jawabnya masih tetap dengan tatapan lurus ke depan. Namun senyum di wajahnya tak pernah berkurang sedikitpun.

Aku tak berani bertanya lagi. Sebaiknya aku menurut saja. Toh sepertinya dia baik, maka aku akan baik-baik saja. Suasana semakin ke dalam laut semakin hening dan gelap. Tidak tampak lagi sinar matahari.

Setelah itu, kerumunan gelombang air yang aku tumpangi sejak dari bibir pantai tadi berhenti. Ku lihat ada cahaya terang di dasar laut itu. Masih samar-samar aku lihat sebuah bangunan megah yang sangat indah. Awalnya aku tak percaya. Mana mungkin ada bangunan semegah ini di dasar laut, pikirku.

Namun lama kelamaan bangunan itu tampak begitu nyata. Sangat megah dan indah dengan setiap bagiannya terbuat dari emas. Menakjubkan hal ini baru pertama kali aku melihatnya. Benar-benar seperti di dalam mimpi. Tak lama pintu gerbang besar itu terbuka. Orang-orang berpakaian adat Jawa berjajar menyambut kedatangan kami.

"Ayo masuk." Ajak nyai.

"Ibu sudah menunggumu di dalam."

Aku mengekor di belakang nyai. Mataku terus-menerus memandang kesana kemari. Menyaksikan pemandangan menakjubkan yang pertama kali aku lihat. Orang-orang itu tersenyum ramah kepadaku sembari menundukkan kepala seolah memberi salam. Aku pun membalasnya dengan tersenyum.

Karpet merah itu mengantarkan aku dan nyai ke sebuah singgasana. Kulihat seorang wanita cantik yang baru saja berdiri dari singgasananya. Berpakaian serba hijau dengan model kebaya tertutup dan jarik sebagai bawahannya. Mahkota besar dihiasi permata berada di atas kepalanya. Wanita cantik itu tersenyum kepadaku.

"Kalista selamat datang di rumah ibu." Katanya.

"E..e.. Iya bu. Nama saya Kalista bu" Jawabku sembari memperkenalkan diri.

"Ibu senang kamu datang ke rumah ibu."

"Nanti ibu akan mengajakmu berkeliling di rumah ibu."

"Baik bu." Kataku menurut.

"Mari ikuti ibu." Ibu ratu beranjak meninggalkan singgasananya.

Menuntut aku dan nyai berkeliling istana emas itu. Ya, aku menyebutnya istana emas. Karena semua peralatan di dalam istana tersebut terbuat dari emas.

Pertama kami menuju sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat sebuah layar yang menampilkan layaknya film berisi kehidupan sejak awal pembentukan muka bumi. Berlanjut ke ruangan berikutnya yang memuat dimana adanya manusia, evolusi manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan modern, kematian dan hancurnya dunia.

Tak hanya gambaran mengenai evolusi manusia dan lingkungannya. Juga ditampilkan berbagai masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti adanya konflik, permusuhan, hingga peperangan, tindakan kriminal, dan tindak kejahatan lainnya.

Intinya aku dipandu melihat perjalanan kehidupan di bumi dengan beragam masalahnya. Tak lupa ibu juga memberikan wejangan-wejangan buat aku. Dengan senang hati aku belajar banyak dari apa yang telah dijelaskan ibu ratu.

Tak terasa waktu telah habis, rasanya singkat sekali berkeliling di istana ibu ratu. Akhirnya aku dituntut ke sebuah ruang makan. Beragam hidangan lezat sudah ada disana. Dipandu ibu ratu, aku pun duduk di salah satu kursi. Dan mulailah makan bersama kami dengan lahap. Maklum saja sejak pagi aku belum sarapan.

"Kalista. Hari ini ibu senang sekali, karena Kalista main ke rumah ibu." Ibu ratu membuka pembicaraan setelah makan.

"Kalista juga senang dapat berkunjung bu."

"Jika ada kesempatan datang kesini lagi ya nak. Ibu pasti akan senang." Katanya sembari tersenyum.

"Pasti Kalista akan kesini lagi ibu."

"Baik sekarang pulanglah. Keluargamu sedang mencarimu. Ingat semua pesan ibu tadi ya nak."

"Dan jangan lupa, kamu ini anak yang istimewa. Lakukan kebaikan untuk semua mahluk disekitar kamu. Selalu jaga lisan dan tindakan." Pesan ibu ratu panjang lebar.

"Ibu dan Nyai akan selalu ada disamping kamu nak." Tutup ibu seraya memelukku.

Setelah acara makan dan berpamitan usai. Kalista dengan diantarkan nyai kembali ke daratan. Tentu saja kerumunan ombak tadi datang lagi dan membawa kita naik.

"Terimakasih ya Kalista." Kata Nyai.

"Jangan lupa pesan Ibu Ratu ya." Pesannya.

"Terimakasih juga Nyai. Kalista pasti akan kangen Nyai dan Ibu Ratu." Aku pun memeluk Nyai.

Sebelum benar-benar sampai di daratan. Nyai melambaikan tangan kepadaku dengan tersenyum manis. Lama kelamaan Nyai meninggalkan aku. Sejak saat itu aku tersadar aku berada di rumah sakit.

"Kalista sayang, akhirnya kamu sadar juga nak. Mama sangat khawatir." Suara mama terdengar lirih.

"Mama sayang sama Kalista. Jangan tinggalin mama ya nak." Kata mama lagi ditengah isaknya.

"Sudah ma, Kalista baik-baik saja mama jangan menangis. Nanti Kalista-nya sedih. Kita biarkan Kalista istirahat dulu ya ma." Ajak papa sembari memeluk mama.

Saat itu aku hanya bisa tersenyum menatap mama dan papaku. Lidahku masih terasa kaku untuk mengatakan sesuatu. Namun aku daoat membaca dengan jelas kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tuaku.

**

Setelah itu aku dipindahkan ke ruang rawat pasien.

- Ceklek -

Pintu ruang dimana aku dirawat berdecit, pertanda seseorang memasuki ruanganku. Langkah kaki seseorang itu terdengar jelas di telingaku. Dia semakin mendekat ke arah ranjangku. Aku yang masih memejamkan mataku karena rasa pusing di kepala, berharap orang itu akan mengatakan sesuatu. Supaya aku dapat memperkirakan siapa yang datang itu. Tanpa aku harus membuka mata.

Namun orang itu tak kunjung mengatakan sesuatu. Langkah kakinya terus terdengar di telingaku. Tampaknya dia mengelilingi ranjang tempatku terbaring lemah.

"Siapa ya?" Tanyaku karena aku merasa terganggu dengan kehadirannya.

Tidak ada jawaban dari orang tersebut. Langkah itu kaki terus terdengar.

"Siapa itu?" Tanyaku ulang.

Tetap tidak ada jawaban.

"Jangan bercanda dong!" Pintaku.

Masih tidak ada jawaban.

Sontak aku pun membuka mataku. Ku lihat orang itu saat ini berada di dekat jendela dan menghadap keluar. Seorang anak laki-laki kecil yang seumuran denganku. Dari paras tubuhnya dia seperti saudara sepupuku. Aku pun merasa lega.

"Jangan bercanda dong bang!" Kataku.

Anak itu tak menjawab. Tanpa menghadap ke arahku dia berjalan keluar dari kamar.

"Aneh." Gumamku.

**

Beberapa hari kemudian kata mama, aku telah koma selama lima hari. Padahal aku rasa di dalam laut hanya beberapa jam. Oh, ternyata sejauh itu perbedaan waktu di daratan dan di lautan.

"Ah mama yang benar saja ma?" Tanyaku tak percaya.

"Iya sayang, mama khawatir banget. Dokter saja sudah pasrah. Makanya waktu dapat kabar kamu sadar. Mama bahagia sekali."

"Benar dek, tante khawatir banget sama adek. Setiap hari nangis terus." Sahut Ganjar yang baru saja datang.

"Oh ya kak? Perasanku aku pingsan cuma beberapa jam saja." Jawabku.

"Gak dek. Beberapa hari kamu koma." Bantah Ganjar.

"Darimana kamu tahu Ganjar kalau tante nangis terus?" Tanya mama pada Ganjar.

"Orang kamu saja baru kesini sekarang." Tambahnya.

"Dari cerita mama tante. Hehe." Jawab Ganjar cekikikan.

Ganjar adalah saudara sepupuku yang tak lain adalah anak dari Tante Dwi. Kakak kandung mamaku. Aku dan Ganjar hanya terpaut tiga tahun. Ya, saat ini usianya dua belas tahun. Dia lah orang yang hampir setiap hari bermain denganku. Karena rumah kami bersebelahan.

"Oh iya Kalista. Maaf ya Abang baru datang hari ini." Ganjar meminta maaf.

"Lho bang bukannya kemarin abang sudah kesini?" Tanyaku penasaran. Karena kemarin dia melihat Ganjar di dekat jendela kamarnya.

"Lah gak percaya. Orang waktu semua keluarga bawa kamu ke rumah sakit. Aku aja dititipin di rumah nenek kok. Baru balik ke Jakarta hari ini."

"Itu mungkin dalam mimpi waktu kamu koma kali." Sahut mama.

"Lho jadi yang kemarin siapa?" Tanyaku dalam hati.

Hayo kira-kira siapa ya itu?

Lanjut ke bab berikutnya yuk!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!