Perjalanan cinta kami begitu sangat besar. Bahkan ketika cita-cita kami ketika lulus sekolah adalah berjuang sama-sama demi cita-cita kita. Walaupun kita memiliki sesuatu hal yang berbeda, tapi kita selalu menjadi seseorang yang saling menguatkan satu sama lain. Ketika SMA kita sadar kita akan lulus nanti kedepannya. Aku kalau misalkan Abrar memiliki latar atau ekonomi yang jauh lebih besar atau yang jauh lebih berlevel daripada keluargaku yang sangat sederhana. Ketika awal ia mendekatiku awalnya aku menolak karena aku tahu ketika aku jatuh terlalu dalam aku sulit untuk keluar dari sesuatu hal yang terdalam itu. Tapi Abrar selalu meyakinkanku kalau cinta tidak memandang jenjang sosial tapi melainkan kenyamanan masing-masing diantara keduanya. Saling menerima satu sama lain dan saling menyayangi bahkan paham di antara keduanya kalau misalkan hidup itu pasti ada yang namanya kekurangan dan kelebihan otomatis harus diterima dan Abel mengatakan itu kepadaku enggak aku pada akhirnya waktu itu mengiyakan ke jenjang hubungan yang berstatus. Aku ingat sekali kita akan sama-sama berjuang untuk menjalani hubungan ini ke jenjang serius tidak hubungan yang main-main saja ya kalau misalkan diibaratkan sekarang adalah pacaran tapi tidak terasa hubungan itu terjalin 4 tahun dari sekarang ketika aku tepat kelas 2 SMA dan ketika aku sudah lulus sekolah 2 tahun setelahnya. Perubahan stigma pacaran kami berbeda karena mungkin pola pikir dan lingkungan juga yang membuat kami semakin hari semakin dewasa memikirkan hal-hal baik dan memikirkan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat dan positif untuk kita lakukan setiap harinya dalam kegiatan apapun di dalam personal kita masing-masing. Ajakan Abrar ke rumahnya membuatku menjadi tegang, dikarenakan kedua orang tua dan rumahnya yang begitu megah sekali karena selama ini ia tidak berani membawa aku kesana karena mungkin terlalu mudah untuk menjalin suatu hubungan apalagi SMA dan ketika kita sama-sama matang ketika dua tahun setelahnya matang dalam artian berpikir maka Abrar membandingkan diri untuk mengajakku ke sana. Aku bingung apa yang harus aku lakukan aku hanya bisa tersenyum dan hanya bisa duduk manis di sofa yang sangat besar di ruang tamu. Rumahnya berbeda jauh dengan rumahku sebenarnya aku sudah pernah melintas ke rumahnya bersama bapak waktu itu tapi aku hanya bisa melihat dari luar karena tembok besar dari depan menutupi keindahan rumah di belakang dari tembok tersebut.
"Kamu masuk ke dalam kamu tunggu di sini," ucapnya menyuruhku untuk duduk di ruang tamu. Aku senang sekali disambut hangat dia walaupun yang menyambut orang spesial yaitu Abrar.
Ketika lulus SMA tabrakan menyuruhku dengan julukan 'mas' di depannya. Aku bingung banget kenapa tiba-tiba dia menyuruhku untuk memanggil dengan julukan mas depannya. Tapi setelah kupikir-pikir rasanya memanggil dengan julukan tersebut lebih sopan, mungkin awalnya sedikit rada canggung dan rada aneh, tapi berjalannya semua itu tidak ada canggung lagi dan sudah terbiasa. Tiba-tiba mama dan papahnya datang dengan begitu modusnya. Aku langsung saja berdiri untuk bersalaman kepada mama dan papahnya namun ketika aku ingin bersalaman kepada papanya, namanya langsung menepis begitu saja agar aku tak bersalaman dengan papahnya. Kalau ditanya tersinggung sama sekali enggak tersenyum sama sekali mungkin alasannya adalah simple walaupun aku tidak tahu apa tujuannya seperti itu. Aku tetap tersenyum walaupun diperlakukan seperti itu oleh mama dan papahnya.
"Abrar mana?"
Belum sempat aku menjawab Abrar pun datang, "Eh mama dan papa udah datang mama udah kenalan sama----" Belum sempat menjawab mama langsung saja mengajak papah untuk masuk ke kamarnya mengganti pakaian mereka. Abrar menatap ke arahku. Dia tersenyum dan menyuruhku untuk duduk karena ia sudah membawakan minuman yang ia buat kan tadi di dapur.
"Maaf banget ya tadi aku lama."
"Ya nggak papa kok."
"Oh iya kamu udah kenalan sama mama dan papa tadi."
"Ya sudah kok." Aku yang tak mau panjang lebar karena aku yakin Abrar bakalan menanyakan kenapa aku belum berkenalan kepada orang tuanya aku tidak mau repot-repot dengan pertanyaan-pertanyaan yang gak penting yang membuat undangan pikiran Abrar semakin kesana kemari.
Terlintas di pikiranku untuk menanyakan apa tujuan Abrar mengajakku ke sini padahal selama ini ia tidak pernah mengajakku ke sini. "Sebenarnya kamu tuh ngapain sih ngajakin aku ke sini?" Raut wajahku sudah berubah menjadi bete dan nggak mood karena sikap kedua orang tuanya seperti tadi sebenarnya ini nggak ada masalah sama sekali tapi mungkin aku lagi PMS kali ya.
"Loh kamu kok ngomongnya gitu kita kan pengen ke jenjang serius otomatis aku pengen kenalan kamu sama kedua orang tuaku dan pengen kamu nanti ke keluarga besar aku nantinya. Kayak kamu kenalin aku ke keluarganya kamu?"
"Emang apa sih yang dilakukan mama dan papah tadi sama kamu? Mereka ngelakuin apa tadi?"
"Mereka nggak ngelakuin apa-apa kok cuma kenalan sama aku udah nanya kamu di mana terus mereka langsung aja masuk ke kamar." Sahutku yang apa adanya.
"Oh aku pikir kayak gimana." Aku hanya bisa menggeleng.
Tak berapa lama kakaknya Abrar pun datang. Dia adalah Ema. Jadi di keluarga Abrar mereka itu dua bersaudara Ema adalah anak pertama dan Abrar adalah anak kedua. Jadi selama ini aku cuma mendengar nama Ema dan tidak pernah tahu wajah kakaknya Abrar itu kayak gimana tapi aku pernah melihat fotonya dari galeri ponselnya. "Kak kenalin Ini Alya yang sering aku ceritain kakak," ucapnya kepada kakaknya yang baru saja pulang dari dinas kerja.
"Hai salam kenal, aku kakaknya Abrar."
"Halo kak aku Alya. Salam kenal juga!" Sahabatku yang sangat terlihat canggung sekali.
Terlihat sekali kalau misalkan kakaknya Abrar seorang dokter. Ia pun masuk dan melangkahkan kaki menuju kearah kamarnya. "Jadi kakak aku tuh dokter sebenernya kayaknya aku udah pernah cerita deh sama kamu tapi ini adalah pertemuan kalian yang pertama kalinya ya kan?"
"Kan aku pernah melihat dari hp kamu kalau misalkan orang yang ada di HP kamu itu di foto itu kakak kamu yang namanya kak Ema? Ya benar ini pertemuan aku pertama kali sama kakak."
"Oh ya nanti kakak aku bakalan menikah sebentar lagi ya sekitaran berapa bulan lagi deh sama pasangannya gitu, kalau nggak salah calon itu dokter juga soalnya ya kayak cinta lokasi gitu. Sama deh kurang lebih kayak kita kita kan juga cinta lokasi dulu di sekolah inget gak kamu dulu?"
"Inget banget aku pertama kali kamu deketin aku."
"Tapi kamu suka duluan kan sama aku? Kamu ngaku sama aku kalau misalkan kamu suka duluan kan sama aku?"
"PD banget kalau misalkan aku suka duluan sama kamu? Kamu duluan yang suka sama aku!" Aku yang tak mau kalah kepada Abrar.
"Ya udah deh aku ngalah sama kamu, pokoknya kamu aku ajak sering ke sini biar mama dan papa lagi akrab aja gitu sama kamu nggak ada canggung-canggung lagi. Kamu mau kan kalau misalkan aku ajak sering ke sini?"
"Tapi apa aku nggak ngerepotin terus kalau aku misalkan ke sini? Jangan terlalu sering juga ngajak mau ke sini?" ucapku yang tak enak hati.
"Iya santai aja kok."
"Oh iya besok mau nggak temenin aku buat buat ke pesta ulang tahun keponakan aku? Cewek sih ponakannya kayaknya kamu cocok deh buat milihin kado buat dia."
"Ya udah deh boleh nanti besok ya. Kayaknya aku harus pulang deh sekarang soalnya udah sore banget aku juga belum sholat ashar nih di rumah."
Abrar pun mengantarkanku pulang ke rumah.
Abrar sengaja mengajakku untuk membeli hadiah untuk keponakannya di pesta ulang tahun nanti. Dia membukakan pintu mobil seperti biasanya aku diperlakukan seperti seseorang yang spesial setiap jalan dengan dia. "Kira-kira hari ini kita bakalan kasih apa ya. Menurut kamu barang yang cocok untuk kita kasih ke dia apa?"
"Emang dia sukanya apa? Biasanya sih kalau anak kecil sukanya Barbie atau boneka-bonekaan tapi bisa juga kayak masak-masakan gitu."
"Gimana kalau misalkan kita kasih masak-masakan aja kayaknya dia suka deh yang berbau alat masak gitu." Sahutnya yang langsung saja melontarkan idenya kepadaku.
Kami pun langsung saja membeli ke toko mainan yang berjualan alat-alat masak untuk anak kecil sebagai hadiah hari ini. Tercetuklah ucapan dari Abrar. "Nanti kalau misalkan kita menikah bakalan kayak gini juga nggak sih repot sama anak-anak?"
"Emang kita berdua bakalan berjodoh?"
Abrar menatapku begitu tajam sekali seolah-olah tidak suka dengan apa yang aku ucapkan kali ini. "Kok kamu ngomongnya kayak gitu sih ucapan itu adalah sebuah do'a jangan ngomong kayak gitu kalau misalkan diijabah sama Allah kayak gimana do'a kamu ucapan kamu?" Aku pun terdiam dengan ucapan Abrar, bener juga kalau misalkan aku terus-terusan meyakini kalau misalnya Abrar bukan jodohku maka suatu saat akan terkabul dengan ucapan aku itu menjadi bumerang sendiri untuk kedepannya aku dan Abrar.
"Makanya kamu jangan ngomong kayak gitu lagi dong do'ain yang baik-baik semoga kita tuh berjodoh."' Abrar merupakan laki-laki yang sangat peka sekali dengan apa yang aku ekspresikan walaupun aku sama sekali tak mengatakan kepadanya.
Lanjut.
Sampailah kami di toko mainan yang menyediakan mainan apapun dari laki-laki atau mainan perempuan. Abrar langsung saja menuju ke area alat-alat masak mainan yang akan diberikan nantinya. Mainan-mainan yang ada di sini adalah berwarna merah muda atau pink. Aku pun juga memilih mainan masak-masakan yang cocok untuk diberikan kepada keponakan Abrar.
Sekitar 30 menitan akhirnya kita sampai juga dengan pilihan kita karena banyak sekali pilihan yang ada di toko mainan ini jadi bingung mau pilih hadiah yang mana yang akan diberikan nanti. "Kayaknya yang ini aja deh yang cocok buat kita kasih nanti hadiah. Gimana menurut kamu udah cocok belum?"
"Ya udah deh yang ini aja kayaknya cocok buat anak kecil biar nanti dia pintar!" Kesepakatan kami berdua pun jatuhnya kepada masak-masakan yang simple tapi banyak sekali manfaatnya dan Abrar langsung saja membawanya ke kasir untuk membayar dan langsung saja mengadokan juga.
Sebelum kita akan ke pesta ulang tahun hari ini Abrar mengajakku untuk membeli baju yang akan aku kenakan nanti ke pesta ulang tahun ponakannya. Soalnya aku bingung kenapa aku diajak untuk membeli baju untukku padahal aku banyak sekali baju-baju yang aku kenakan nantinya yang sudah tersedia di lemari walaupun baju-baju yang ada di lemari itu adalah baju-baju yang lama.
"Kok kamu ngajakin aku beli baju sih? Kan aku udah ada baju di rumah kenapa ngajakin aku beli baju?" Ia seperti bingung menjawab harus seperti apa dengan pertanyaanku yang aneh ini. Ia menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali tapi ia selalu aja meyakinkanku kalau yang ia lakukan adalah tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang aku pikirkan.
"Kamu jangan salah paham ya aku pasti ini nggak ada maksud apa-apa kok pengen ngeliat kamu lebih cantik aja."
Akupun mengangguk dan masuk akal dari ucapan Abrar tersebut. Ia pun memilih kan baju yang paling bagus untuk aku kenakan nanti.
***
Di pesta ulang tahun,
Banyak sekali dari segala macam usia datang ke pesta ulang tahun keponakannya yaitu Chilla, gadis kecil yang begitu cantik dan manis. Langsung saja memeluk Abrar karena mungkin mereka saling dekat satu sama lain ketika Chilla masih kecil. Abrar pun mendekat dan mengajakku untuk memberikan hadiah kepada Chilla. "Selamat ulang tahun keponakan Om yang paling cantik semoga kamu tambah cantik dan tambah pinter ya sayang!" Logatnya yang begitu seperti laki-laki yang sudah memiliki seorang anak dan sudah pantas untuk memilikinya. Chilla pun cium tangan kanan omnya yang memberikan hadiah kepadanya dengan suara anak kecil yang begitu lucu sekali.
"Makasih banyak ya Om udah kasih Chilla hadiah hari ini aku seneng banget Om!" Abrar mengacak-ngacak atau mengusap puncak kepala Chilla dengan begitu gemasnya.
Seperti pesta-pesta ulang tahun pada umumnya. Lagu-lagu anak-anak kecil pun diperdengarkan kepada mereka mereka atau tamu undangan yang seusianya aku seperti bernostalgia kembali seperti dulu walaupun aku sama sekali belum pernah merayakan ulang tahun sebelumnya. Tapi walaupun aku tidak pernah merasakan ulang tahun seperti keponakan Abrar tapi aku selalu bahagia dengan orang tuaku yang selalu mengajarkan aku untuk menjadi manusia yang terus bersyukur dengan keadaan apapun itu. Karena aku yakin setiap manusia punya jalannya masing-masing dalam hidup dan setiap manusia pasti ada cara untuk bahagia nya bagaimana cara kita untuk menjemputnya dan menikmatinya sendiri. Aku melihat mamanya Abrar sedang mengobrol di seberang sana aku mencoba untuk mendekatkan diri agar aku lebih akrab karena itu saran dari Abrar sendiri.
"Hallo tante. Ini pertemuan kita yang kedua ya?" ucapku yang seperti itu. Bukannya malah menjawab beliau malah menatapku begitu sinis dan malah beliau pergi meninggalkanku mengajak teman-temannya yang berdiri tadi. Rasa kesal pun sebenarnya tidak ada apa lagi tersinggung tapi aku merasa aneh kenapa tanggapan beliau seperti itu kepadaku.
Datanglah kakak Abrar yang menghampiriku yaitu Ema yang aku temui waktu itu ketika aku mampir ketemu Abrar di rumahnya. "Hai kamu apa kabar Abrar nya mana?"
"Tadi Abrarnya ke toilet sebentar kak." Kakaknya Abrar begitu cantik dan elegan sekali dengan penampilannya berbanding terbalik ketika aku bersanding disampingnya seperti langit dan bumi. Aku hanyalah perempuan biasa yang beruntung mendapatkan pangeran seperti Abrar. Sampai detik ini aku masih tidak percaya aku bisa mendapatkan seorang laki-laki yang tulus kepadaku yang tidak pernah memandang dari sisi perekonomian. Dia selalu bilang kalau misalkan jadi manusia harus bersyukur dan harus menikmati apapun yang terjadi di dalam hidup.
"Udah kalau gitu aku kesana dulu Ya nggak papa kan kamu sendiri disini! Aku udah lapar banget nih!" Akupun mengangguk ucapan dari kak Ema.
Aku pun mendekatkan diri kepada kedua orang tua Abrar. Seakan-akan aku merasa diriku asing di antara mereka tapi aku berusaha untuk tetap berpositif thinking mungkin ini adalah acara yang besar dan acara yang tidak harus dianggap serius untuk menanggapi ucapan mereka yang seperti itu.
"Kamu pacarnya Abrar ya?"
"Iya aku pacarnya Abrar? Kenapa?"
"Penampilannya sederhana banget sih mewah kayak kita?"
"Emang salah ya sama pakaian yang aku kenakan ini?" Menurutku tidak ada yang salah hanya saja baju yang aku kenakan sangat sederhana yang tidak gemerlap seperti mereka yang kelihatan sekali mahalnya terpampang.
Abrar pun menghampiri kita. Dan ternyata sepupunya Abrar tiba-tiba menjauh begitu saja. "Mereka nyamperin kamu ya? Ngobrolin apa aja tadi gitu dong saling kenal biar akrab!"
"Nggak aku ngobrol yang biasa-biasa aja. Ini acaranya sampai jam berapa sih sebenernya?"
"Mereka ngomong apa sama kamu tadi? Kok muka kamu kayak bete gitu?"
"Nggak kok mereka nggak ngomong apa-apa."
Aku tak boleh lagi seperti dulu yang dikit-dikit ngambek dan tiba-tiba baper aku sudah dewasa yang harus bisa lebih sabar dan harus bisa menerima apapun yang orang komentari tidak suka terhadapku. "Ya udah kita makan aja yuk kayaknya laper deh."
Akupun mengangguk.
Makanan pun tersedia di meja makan saatnya untuk disantap keluarga besar yang sudah pakai komplit melengkapi bangku bangku yang kosong. Abrar tak sabar lagi untuk menyantapnya. Obrolan-obrolan ringan pun berubah menjadi obrolin yang sedikit berat. "Cie sekarang bentar lagi bakalan jadi ibu rumah tangga."
"Iya nih mah bentar lagi jadi ibu rumah tangga. Siap-siap harus siap siaga sama suami dan siap-siap juga buat nanti punya anak," ucap Ema yang berbeda sekali ketika beberapa tahun kebelakang yang masih manja dan masih kekanak-kanakan kini berubah menjadi sosok yang keibuan dan dewasa. Semakin berjalannya waktu akan seperti itu manusia akan berubah ketika di waktu yang tepat.
"Rencananya kalian akan menikah kan di bulan akhir? Emang jadikan?" tanya mama kepada Ema kakak pertama Abrar. Kebetulan mereka sedang duduk di meja makan.
"Iya mah, kayaknya sebulan lagi, persiapan sudah hampir selesai kok. Ya kali mah kalau enggak jadi mah ribet mau cari cowok yang kayak gimana lagi kan mantan-mantan aku semuanya enggak mama setujuin kecuali sama mas Benny? Akhirnya aku dapat restu juga dari mama."
"Bagus dong. Pokoknya kamu harus jadi istri yang baik ya bagi suami kamu. Bukannya mama pilih-pilih ya karena pengen anak mama bisa nemuin orang yang bener-bener sayang sama dia dan bisa ngejagain anak kesayangan mama yang lama rawat selama ini dari kecil sampai sekarang."
"Iya dong mah, pastinya," sahut Ema yang begitu santai sekali menjawab ucapan mama.
"Pada kita dan keluarga dia menjadi keluarga bersama kamu sebagai anak harus menjaga harkat dan martabat keluarga kita dan kamu harus jadi istri yang penurut kepada suami kamu sendiri nantinya."
Oke sekarang giliran Abrar.
"Abrar," panggilnya di hadapan warga yang lain.
"Iya mah?"
"Kamu masih saja ya pacaran sama perempuan itu? Kenapa gak kapok juga sih buat jalanin hubungan? Kenapa kamu berani sekali ajak dia ke sini kemarin? Kenapa kamu bawa dia ke pesta Chilla?"
"Mah, mama kan tau kalau misalnya aku cinta dan sayang dia dengan tulus dan kita juga udah lama juga kok saling kenalnya." Ema hanya bisa menatap kedua mata adiknya yang begitu fokus sekali menjawab.
"Kamu contoh kakak kamu, apakah kamu bisa cari yang sepadan dan dia. Masa kamu nggak bisa sih?"
"Mah semua orang tuh punya cerita dengan masing-masing orang itu punya caranya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Jadi nggak bisa disamaratakan mah semua orang itu beda-beda. Mama dan papa aja beda iya kan?"
"Kamu jangan cantik itu ngomong sama mama ya udah berani sekarang?"
"Udah-udah di meja makan nggak boleh ngomong kayak gitu."
Abrar merasa tak terima apabila mama menjelek-jelekkan Alya, karena Alya tidak seperti apa yang dibilang. Alya adalah gadis sederhana dan baik yang selama ini tidak pernah seperti orang-orang pikir. Tak berapa lama Benny pun datang, dia adalah calon suami Ema yang sudah direstui hubungannya mereka berdua oleh mama dan papah karena mereka sama-sama berprofesi sebagai dokter. Benny salim kepada kedua orang tua yang duduk mengapit Ema kanan dan kiri. "Hallo tante hallo om assalamua'laikum."
"Waa'laikumsalam."
"Maaf banget ya aku telat datangnya tadi kebetulan di jalan ada macet jadi terpaksa deh buru-buru datang ke sini takut telat soalnya."
"Jangan buru-buru juga ntar kalau misalkan ada apa-apa kayak gimana jangan ngebut ya!"
Kedekatan antara Benny dan mama begitu dekat sekali. Diantara pacar-pacar Ema yang lain hanya Benny yang direstui oleh mama dan papah, karena selain berprofesi yang sama dengan anaknya dia juga memiliki paras yang ganteng yang bisa sepadan dengan Ema.
"Kamu lapar? Ya udah yuk makan?"
"Nggak usah tante nggak papa kok aku udah kenyang tadi di rumah udah makan juga. Aku kesini cuma pengen silaturahmi aja pengen deket sama keluarga yang ada di sini. Abrar kamu kenapa?"
Abrar hanya menggeleng pertanyaan dari Benny. Ia sudah galau dengan pertanyaan dan ocehan mama tadi. "Nggak papa nggak papa kok." Karena Abrar adalah status adik dari Ema maka ia tidak terlalu menanyakan sesuatu yang terlalu berlebihan.
Ema pun berbisik kepada Benny. "Biasa dia lagi galau jadi gitu deh mukanya dan raut wajahnya nggak bisa ditebak sama sekali." Benny mengangguk dengan paham ucapan dari Ema tersebut.
"Oh iya rencananya kamu mau kenalin temen kamu sama Abrar kan? Kapan?"
"Hah?"
Abrar langsung saja menatap kedua mata Ema dengan tatapan yang begitu sangat tajam seolah-olah ia berharap agar kakaknya tak menyambut pertanyaan dari mama. "Nggak tau juga mah nanti deh aku urus lagi."
"Mampus gue bisa-bisa gue di musuh yang sama Abrar!" Gumamnya dalam hati yang memposisikan ketika ia ditanya seperti itu oleh mama.
"Mau ke mana kamu Abrar?" Abrar sudah merasa tak nyaman dia pun memundurkan bangku yang ia duduki di sedari tadi, permisi untuk ke kamarnya kalau punya percakapan hanya dengan gerak-gerik mereka pun tahu maksud dan tujuan Abrar tersebut.
"Abrar ngantuk kali mah."
"Masih ngantuk udah jam segini? Biasa juga larut malam?" Geleng mama dengan singkat. Abrar melangkahkan kaki menuju ke arah kamar ia langsung saja mengunci kamarnya dengan cepat. Ia bete banget ketika mama bersikap seperti itu. Seharusnya mama tidak perlu ikut campur karena ia merasa dirinya sudah dewasa tidak perlu diatur-atur seperti anak kecil lagi ya sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk kedepannya nanti. Perkara baik atau tidaknya itu balik lagi ke konsekuensi yang dipilih oleh Abrar sebagai seorang anak.
***
Abrar masuk ke dalam kamarnya. Ini sama sekali tak terima dengan ucapan mama tadi di ruang tamu. "Kenapa sih mama kayak gitu banget menilai Alya. Padahal kan yang dinilai itu hatinya. Apa besok gua ajakin dia buat ketemu mama lagi ya atau ajakin ke mall biar mereka bisa saling mengenal satu sama lain lebih jauh?" Sepertinya ide yang bagus Abrar pun mengirimkan pesan teks kepada Alya kalau misalkan besok dia akan mempertemukan ibu dan calon yang Insya Allah akan di nikahnya nanti.
Ia berinisiatif untuk menelpon Alya.
Alya
"Hallo, tumben kamu nelfon aku?"
"Kamu lagi ngapain? Besok kamu ada waktu nggak aku pengen ngajakin kamu ke rumah?"
Alya
Ekspresinya begitu terkejut sekali ketika mendengar ajakan untuk rumah kedua kali. "Ngapain aku ke rumah kamu lagi bukannya udah kemarin?" Pertanyaan macam apa ini seharusnya Alya merasa senang ketika ia sering untuk diajak ke rumah Abrar pacarnya itu tandanya Abrar serius.
"Kok kamu ngomongnya kayak gitu sih aku pengen kenalin kamu sama mama lebih jauh lagi biar mama tuh nggak salah sangka sama kamu."
Alya
"Salah sangka?"
"Enggak maksud aku, aku pengen kamu kenal lebih jauh aja sama mama biar lebih akrab dan lebih kenal aja satu sama lain. Kamu jangan salah paham dulu kamu mau kan nanti ke rumah?"
Alya
"Ya udah deh kalau gitu nanti aku ke rumah kamu ya."
"Ya udah kalau gitu. Kamu kalau misalkan pengen tidur jangan lupa berdoa ya semoga doa kamu diijabah sama Allah dan semoga tidur nyenyak dan mimpiin aku di tidur kamu yang indah itu."
Alya
"Apaan sih kamu suka banget gombal dari dulu nggak pernah berubah sama sekali."
"Hahaha ya iyalah aku nggak akan pernah berubah kan cintanya aku cuma kamu." Entah tahu kenapa ketika Abrar teleponan dengan Alya mood yang awalnya rusak dan nggak mood sama sekali berubah menjadi mood bahagia dengan cara yang sangat sederhana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!