Kesibukan nampak di sebuah restoran Italia ternama yang ada di kota Bandung. DELIZIOSA, itulah nama restoran ternama tersebut. Bangunan restoran tersebut tidaklah terlalu luas, terkadang pengunjung harus mengantri sampai keluar resto jika meja sudah penuh. Namun begitu, cita rasa masakan yang lezat yang membuat pelanggan terus datang ke sini.
“Meja satu, Risotto! Meja lima, pasta carbonara! Meja enam, Ravioli!”
“Siap, chef!” ujar keempat koki yang bekerja di bawahnya.
Dengan cepat mereka membuatkan pesanan yang disebutkan oleh Antonio, sang pemilik restoran. Di bagian sink, seorang helper tengah sibuk membersihkan peralatan makan dan masak yang baru digunakan. Tiga orang pelayan masuk untuk mengambil pesanan, lalu keluar membawa makanan yang sudah selesai dibuat.
Pada saat jam makan siang dan makan malam, restoran ini memang banyak dijadikan tujuan oleh para pengunjung. Jam operasional restoran dibuka mulai pukul 10 pagi sampai jam sembilan malam. Lewat jam sembilan, mereka sudah tidak menerima tamu lagi. Antonio terjun langsung menjalankan dan mengawasi restoran sejak istrinya meninggal dunia enam tahun lalu.
Antonio atau yang awalnya memiliki nama lengkap Mario Antonio Blanco sudah resmi menjadi warga negara Indonesia sejak lima belas tahun lalu. Pria itu datang ke Indonesia untuk bekerja sebagai eksekutif chef di salah satu hotel bintang lima yang ada di kota Jakarta.
Pria itu lalu bertemu dengan mojang Bandung ketika dirinya berpindah kerja ke Bandung. Aliana, adalah nama sang istri. Seorang mahasiswi cantik yang tengah magang di hotel tempatnya bekerja. Selama Aliana magang, kedekatan keduanya mulai terjalin. Dua tahun setelah Aliana lulus, Antonio memberanikan diri melamar wanita itu setelah memenuhi syarat yang diajukan keluarga Aliana, menjadi mualaf.
Sebelum menikahi Aliana, Antonio berpindah keyakinan dan mengganti namanya. Dia membuang nama Mario dan menggantinya dengan Muhammad. Sejak saat itu, namanya berubah menjadi Muhammad Antonio Blanco. Setelah menikah dengan Aliana, Antonio tidak kembali ke negera asalnya. Dia terus menetap di Indonesia, hingga akhirnya mendapat kewarganegaraan Indonesia.
Sepuluh tahun lalu, dia membuka restoran Italia bersama sang istri. Dimulai dari usaha kecil-kecilan, akhirnya Antonio berhasil mengembangkan restorannya hingga pindah ke tempat yang lebih luas. Enam tahun lalu, Aliana meninggalkan dirinya untuk selamanya. Istri tercinta harus menyerah kalah dari penyakit paru yang dideritanya. Dan sejak saat itu sampai sekarang Antonio tetap hidup menduda.
Dari pernikahannya dengan Aliana, Antonio mendapatkan tiga orang anak, dua anak laki-laki dan seorang perempuan. Anak pertamanya diberi nama Fariz Al-Fatih Blanco, saat ini usianya 28 tahun. Fariz sudah menikah dua tahun lalu, namun sejak delapan bulan lalu sang istri memilih meneruskan karirnya sebagai model di Paris. Larangan Fariz tidak dipedulikan oleh Sera, sang istri. Wanita itu bersikeras untuk terus mengejar karirnya, bahkan dia rela menunda momongan demi ambisinya.
Sama seperti Antonio, Fariz juga mengelola sebuah restoran. Kemampuan memasak Antonio ternyata menurun pada putra sulungnya. Jika Antonio membuka restoran Italia, restoran Fariz menyuguhkan menu western. Fariz mengelola restorannya dengan baik, dan banyak direkomendasikan bagi orang-orang yang menyukai western food.
Anak kedua Antonio adalah perempuan, pria itu memberi nama Karina Najwa Blanco. Usia Karina saat ini 26 tahun, dan dua tahun lalu dia menikah dengan seorang dokter bedah umum. Karina tidak bekerja di kantor, sehari-hari dia membantu Antonio mengelola keuangan restoran, sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang seorang akuntan.
Dari pernikahannya dengan Kaisar, Karina baru memiliki satu orang anak yang berusia satu tahun. Dia sering membawa anaknya ke restoran atau ditinggal bersama ibu mertuanya. Setelah menikah Karina tinggal bersama suaminya di rumah keluarga Kaisar. Berhubung Kaisar adalah anak tunggal, jadi dia tidak diperbolehkan keluar dari rumah. Beruntung Karina memiliki mertua yang baik dan tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
Anak ketiga Antonio saat ini berusia 22 tahun, namanya Evan Rizky Blanco. Evan adalah anak yang pintar, waktu pendidikan yang ditempuhnya tidak sama seperti anak-anak pada umumnya. Sekarang dia baru saja menyelesaikan studi S2 di bidang manajemen. Untuk anak ketiganya ini, Antonio sering dibuat pusing kepala. Tak jarang Evan sering membangkang dan tak menuruti ucapannya. Sehingga Antonio sering menghukum anak bungsunya itu.
Setelah menyelesaikan studinya, Evan tak langsung bekerja. Dia malah berlibur bersama kedua sahabatnya ke Sidney. Yang lebih membuat Antonio pusing, Evan berencana tinggal di kota tersebut dan tak ingin kembali ke Bandung. Pria itu berunding dengan kedua anaknya, mencari jalan terbaik untuk membawa Evan pulang ke tanah air.
Setelah makan siang, kesibukan di restoran sedikit berkurang. Para pegawai bisa beristirahat dan makan siang. Antonio kembali ke ruangannya. Dia membuka chef jaketnya lalu mengenakan kemeja lengan pendek. Pria itu hendak bertemu dengan temannya di café. Setelah mengambil ponsel dan kunci mobil, Antonio segera keluar dari restoran.
Antonio mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Jarak restoran ke café temannya cukup memakan waktu. Apalagi pria itu harus melewati kemacetan di beberapa titik. Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh menit, Antonio sampai di café The Cliff. Dia segera memarkirkan kendaraannya, lalu masuk ke dalam café.
Kedatangan Antonio disambut seorang pelayan yang sudah mengenalnya. Pria itu segera menuju meja yang ada di bagian luar café. Temannya, Tania sudah menunggu. Tania adalah teman Antonio sejak lama. Seperti halnya Antonio, wanita itu memilih menetap di Indonesia setelah menikah dengan orang Indonesia keturunan Chinese.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Tania.
“Seperti yang kamu lihat, sehat. Alhamdulillah.”
Walau keduanya berbeda keyakinan, namun persahabatan Antonio dan Tania terus terjalin sampai sekarang. Tania juga menghargai keputusan Antonio menjadi mualaf. Dia membatasi kontak fisik dengan sahabatnya itu sesuai ajaran agama Islam. Pria itu menarik kursi di depan Tania.
“Kamu mau makan apa?” tawar Tania.
“Ada menu baru?”
“Tidak ada.”
“Kalau begitu aku pesan yang seperti biasa.”
Tangan Tania terangkat memanggil pelayan. Seorang wanita muda datang mendekat. Dia melayangkan senyuman manis pada Tania dan juga Antonio. Gadis itu sudah mengenal kedua orang tersebut, selain Tania yang memang pemilik asli café ini, dia juga mengenal Antonio karena sering berkunjung ke café.
“Pak Antonio pesan makanan yang biasa.”
“Baik, bu. Kalau ibu?”
“Saya pesan salad aja."
“Baik, bu.”
“Oh ya Alya, minta puding buahnya ya.”
Gadis bernama Alya itu menganggukkan kepalanya lalu bergegas menuju dapur. Antonio terus memandangi Alya yang sudah menghilang. Tania mengibaskan tangannya ke depan wajah sang sahabat.
“Ada apa denganmu?”
“Alya, dia gadis yang rajin.”
“Iya. Dia sudah bekerja sejak lulus SMA. Kira-kira sudah satu tahun lebih dia bekerja di sini. Dia anak yang rajin, tak heran kalau menantuku yang cerewet itu menyukainya.”
“Hahaha.. kamu masih saja meledek menantumu cerewet.”
“Dia memang cerewet, semua pegawai di sini kalau tidak melihatku, mungkin sudah mengundurkan diri. Parahnya dia tidak pernah mau berinteraksi lebih dekat dengan para karyawan. Dia juga membuat beberapa aturan yang membuat kepalaku pusing.”
“Yang penting cafemu tetap jalan dan pengunjungnya semakin banyak.”
Tania menganggukkan kepalanya tanda setuju. Di satu sisi dia harus mengakui kalau menantunya itu pintar dalam memasarkan café miliknya. Dia sering mengeluarkan menu baru dan tak segan mengganti menu lama yang sepi peminat. Namun sayangnya dia sulit menjalin hubungan interpersonal dengan para pegawainya. Ada batasan antara dirinya dengan karyawannya. Dan itu yang membuat para pegawai segan dan enggan berbincang lama-lama dengannya.
“Bagaimana dengan Evan?”
“Aah.. kepalaku pusing memikirkan anak itu.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di Sidney. Sudah dua minggu dia berada di sana. Katanya dia mau bekerja di sana dan tidak mau pulang ke Bandung.”
“Anak itu. Lalu apa rencanamu?”
“Aku ingin menikahkannya, supaya dia bisa lebih bertanggung jawab. Tapi aku masih bingung memilih perempuan yang akan menikah dengannya.”
“Apa Fariz dan Karina setuju?”
“Iya, mereka setuju. Kalau aku sudah menemukan perempuan yang tepat, aku akan langsung menikahkannya.”
Perbincangan keduanya terhenti ketika Alya datang membawakan makanan pesanan mereka. Gadis itu meletakkan dua piring makanan dan juga minuman di depan Antonio dan Tania. Tak lupa dia juga memberikan puding pesanan Tania.
“Selamat menikmati.”
“Terima kasih, Alya.”
Sebuah senyuman diberikan oleh Alya. Kemudian gadis itu segera kembali ke tempatnya. Antonio kembali memperhatikan Alya, dan hal tersebut tertangkap oleh Tania.
“Sepertinya kamu tertarik padanya.”
“Dia anak yang baik. Apa yang kamu tahu soal dia?”
“Tidak banyak. Dia cukup pendiam dan tidak banyak berinteraksi dengan pegawai lainnya, kecuali Nana. Sepertinya mereka bersahabat. Dari gossip yang kudengar, dia itu hanya tinggal dengan ayahnya saja. Kasihan, katanya ayahnya tidak menyayanginya sejak lahir.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Aku curiga, jangan-jangan kamu mau menjadikannya menantu?”
Tak ada jawaban dari Antonio, pria itu hanya menyunggingkan senyuman saja. Sejak beberapa bulan ini, dia memang sudah mengamati Alya. Gadis cantik yang rajin dan selalu ramah pada semua pelanggan. Sepertinya Alya cocok untuk dijadikan menantu untuknya. Dia juga yakin kalau Alya mampu merubah Evan dan menjadikan anaknya itu lelaki yang lebih baik lagi.
☘️☘️☘️
**Hai.. Hai.. Hai.. Aku kembali dengan karya baruku, semoga kalian suka ya🤗
Ini penampakan Mr. Antonio Blanco versi diriku**
Dua buah piring kosong tergeletak di meja yang ditempati Antonio dan Tania. Keduanya masih berada di sana setelah menyelesaikan makan mereka. Perbincangan di antara keduanya masih terus berlanjut. Antonio meminta masukan pada sahabatnya tentang calon istri untuk Evan.
“Kamu serius mau menjadikan Alya menantumu?”
“Menurutmu bagaimana? Alya itu pekerja keras dan mandiri, aku yakin dia bisa menjadi pendamping yang baik untuk Evan. Aku yakin Alya akan bisa membantu Evan hidup mandiri dan lebih bertanggung jawab lagi.”
“Kalau itu keputusanmu, aku hanya bisa mendukung. Bagaimana Fariz dan Karina? Apa mereka setuju?”
“Rencananya hari ini aku ingin mengajak Alya ke restoranku, supaya bisa bertemu Fariz dan Karina. Tapi aku bingung bagaimana caraku mengajaknya ke sana.”
“Serahkan urusan itu padaku.”
Tania bangun dari duduknya lalu masuk ke dalam café. Butuh beberapa waktu bagi wanita itu berada di dalam. Tak lama kemudian dia keluar dan kembali ke mejanya. Antonio menatap sahabatnya dengan tidak sabar.
“Bagaimana?”
“Tenang saja. Sebentar lagi dia keluar. Aku bilang padanya Fariz minta dibuatkan soto betawi. Soto betawi buatannya itu enak lo, An.”
“Masa? Aku jadi penasaran.”
“Nanti saja kamu cicipi.”
Senyum mengembang di wajah Antonio. Dia sudah tidak sabar memperkenalkan Alya pada kedua anaknya. Pria itu sudah menyukai Alya sejak awal gadis itu bekerja di café. Selain rajin, Alya juga ramah. Dia selalu tersenyum pada semua pelanggan dan tidak pernah mengeluh.
Sementara itu Alya tengah bersiap untuk pergi ke restoran Antonio. Gadis itu selesai mengganti seragam kerjanya dengan pakaian miliknya. Setelah menguncir rambutnya, dia bersiap untuk pergi. Di luar ruang ganti, Alya bertemu dengan sahabatnya, Nana.
“Kamu mau kemana?” tanya Nana.
“Aku diminta bu Tania ke restorannya pak Antonio. Katanya anaknya pak Antonio lagi pengen makan soto betawi.”
“Dari sana kamu langsung pulang atau ke café lagi?”
“Kata bu Tania, aku langsung pulang aja. Jadi kamu pulang sendiri ya hari ini.”
“Ngga apa-apa.”
“Ya udah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambil menyelempangkan tasnya ke bahu, Alya keluar dari café menggunakan pintu samping. Gadis itu bergegas menuju meja yang ditempati Antonio dan Tania. Melihat Alya sudah datang, Antonio langsung berdiri.
“Kamu sudah siap?” tanya Antonio.
“Siap, pak.”
“Ayo.”
“Mari, bu.”
Tania hanya menganggukkan kepalanya. Alya berjalan mengikuti Antonio yag sudah lebih dulu menuju mobilnya. Gadis itu membuka pintu depan mobil lalu masuk ke dalamnya. Setelah mengenakan sabuk pengaman, Antonio langsung menjalankan kendaraannya.
“Kayaya kita harus beli bahan-bahannya dulu, ya,” ujar Antonio.
“Iya, pak.”
“Kalau gitu kita ke supermarket aja.”
Antonio mengarahkan kendaraannya menuju supermarket yang menjual aneka bahan makanan. Selama dalam perjalanan, dia berusaha mendapatkan informasi tentang gadis itu. Banyak pertanyaan yang dilontarkan pada Alya.
“Umurmu berapa?”
“Tahun ini 19 tahun, pak.”
“Kamu kenapa ngga kuliah?”
“Belum ada biayanya, pak. Aku kasihan sama bapak kalau harus minta biaya lagi untuk sekolahku.”
“Bapakmu kerja di mana?”
“Bapak petugas kebersihan, pak. Biasa mengangkut sampah di daerah Buah Batu.”
“Ooh..”
Hanya itu saja yang keluar dari mulut Antonio. Dia kagum pada Alya yang tidak malu mengatakan apa pekerjaan orang tuanya. Biasanya anak jaman sekarang suka ada yang malu mengatakan pekerjaan orang tuanya karena bukan bekerja kantoran atau wirausaha. Tapi berbeda dengan Alya. Ada kebanggaan di sorot matanya ketika mengatakan pekerjaan sang ayah.
Kendaraan Antonio berbelok memasuki area parkir supermarket. Setelah memarkirkan mobilnya, pria itu turun lalu masuk ke dalam supermarket bersama dengan Alya. Dia mengambil troli dan mulai berburu bahan yang dibutuhkan.
Alya memasukkan susu full cream, santan intsan, kentang, rempah-rempah, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, daun bawang ke dalam troli. Tak lupa dia memasukkan wortel, ketimun dan cuka untuk membuat acar. Setelah itu dia menuju etalase yang memajang daging sapi. Dia memilih daging has dalam untuk soto betawinya.
“Sudah selesai?”
“Anak bapak suka emping, ngga? Kalau soto betawi biasanya pakai emping.”
“Boleh.”
Alya kembali mendorong troli lalu memasukkan emping ke dalamnya. Antonio sengaja mengajak Alya berputar-putar dulu. Dia ingin membelikan makanan untuk gadis itu. Antonio mengajak Alya menuju bagian yang menjual aneka roti dan juga kue.
“Kamu mau apa, Alya? Ambil saja.”
“Ngga usah, pak. Terima kasih.”
“Jangan sungkan, ayo ambil. Buat bapakmu mungkin.”
Sejenak Alya melihat-lihat kue yang terpajang di etalase. Dia tahu kalau papanya itu menyukai makanan yang manis. Akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada black forest ukuran kecil. Matanya terus menatap kue yang dipilihnya, berharap kalau sang ayah mau memakan kue yang dibelinya.
“Masih ada yang mau kamu beli?”
“Ngga ada, pak.”
“Ok, kita bayar sekarang.”
Keduanya berjalan menuju kasir. Satu per satu Alya mengeluarkan barang-barang dari dalam troli. Setelah membayar semua barang yang dibelinya, keduanya bergegas meninggalkan supermarket tersebut.
☘️☘️☘️
Antonio, Fariz dan Karina terus memperhatikan Alya yang sedang berkutat di dapur membuatkan soto betawi. Dia dibantu oleh Erik, salah satu staf kitchen. Karina kagum melihat cara kerja Alya yang cekatan dan sangat menjaga kebersihan. Selain itu, Alya juga cantik. Dia yakin kalau Evan akan jatuh cinta padanya.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Antonio.
“Cocok, pa. aku setuju,” jawab Karina.
“Aku juga. Tapi Alyanya gimana? Papa udah bilang?”
“Belum. Kalau sekarang takutnya dia malah shock. Nanti kamu antar dia pulang, dan coba kenalan sama ayahnya. Papa ingin tahu sepert apa ayahnya,” Antonio melihat pada anak sulungnya.
“Iya, pa.”
“Ada yang aneh saat papa membahas soal ayahnya.”
“Aneh gimana, pa?”
“Dia kelihatan sedih. Kata tante Tania, hubungan Alya dan ayahnya kurang baik. Katanya sih ayahnya ngga sayang sama dia.”
“Loh kok bisa? Bukan ayah kandung kali,” celetuk Karina.
“Ayah kandung. Makanya nanti coba kamu perhatikan bagaimana ayahnya.”
“Ok, pa.”
Ketiganya melanjutkan pengamatan mereka terhadap Alya. Kaisar yang baru saja sampai untuk menjemput istrinya, segera mendekati istri, ayah mertua dan kakak iparnya. Dia berdiri di belakang sang istri, mencoba mencari tahu apa yang sedang mereka perhatikan.
“Lihat apa, sayang?”
“Astaghfirullah. Mas iiihh..”
“Aduh.. aduh.. sakit.”
Karina memukuli lengan suaminya karena kesal sudah membuatnya terkejut. Antonio dan Fariz hanya terkekeh saja melihat pasangan suami istri tersebut. Kaisar merangkul bahu istrinya.
“Kalian lagi pada ngeliatin apa?”
“Itu yang lagi masak calonnya Evan,” ujar Karina.
“Yang benar?”
“Iya. Gimana menurut, mas?”
“Cantik, cocok kayanya sama Evan.”
“Pasti cocok. Dia itu lebih baik dari perempuan yang suka ngintilin Evan, siapa namanya? Papa lupa.”
“Sherly.”
“Nah itu dia, Sherly. Kalau Alya itu kelihatannya anak yang baik, solehah. Ngga seperti Sherly yang keganjenan.”
Mendengar nama Sherly, tak ayal membuat Karina kesal juga. Pasalnya wanita itu pernah mencoba untuk menggoda suaminya. Untung saja Kaisar adalah tipe pria setia dan tidak menyukai wanita seperti Sherly. Dan yang membuatnya kesal, Evan tidak percaya saat Karina menceritakan perbuatan temannya itu.
Lamunan wanita itu buyar ketika Alya datang membawakan semangkok soto betawi buatannya. Alya meletakkan mangkok di depan Fariz, karena menurut informasi yang diterimanya, Farizlah yang minta dibuatkan soto betawi. Belum sempat pria itu mencobanya, Karina menyambar sendok lalu mencicipi makanan tersebut.
“Ehmm… enak. Kamu beneran pinter masak, Al. Kamu pindah kerja di restonya bang Fariz aja gimana? Atau di sini?”
“Saya cuma bisa buat makanan Indonesia aja, kak. Kalau makanan luar saya ngga bisa. Ngga cocok sama lidah saya.”
Fariz merebut sendok di tangan sang adik lalu mencicipi makanan tersebut. Apa yang dikatakan Karina memang benar, rasa soto buatan Alya memang enak. Kaisar merebut sendok dari tangan Fariz lalu ikut mencicipi. Dia penasaran dengan rasa soto tersebut.
“Wah beneran enak ini. Aku mau dong,” pinta Kaisar.
“Boleh, om.”
“Om?”
Mata Kaisar membelalak mendengar dirinya dipanggil om oleh Alya. Tawa Karina dan Fariz langsung pecah mendengarnya. Kaisar segera mendekati kaca yang ada di dekat dapur, dia memperhatikan wajahnya yang tampan. Apa yang salah dengan dirinya sampai Alya memanggilnya dengan sebutan om.
“Aku belum tua loh. Umurku juga masih 28 tahun. Kenapa kamu panggil, om?” protes Kaisar.
“Maaf.. hehehe.. terus aku enaknya panggil apa?”
“Abah, hahaha” celetuk Fariz sambil tertawa.
Wajah Kaisar semakin masam mendengar ledekan kakak iparnya itu. Fariz memang senang sekali menggoda Kaisar. Mereka sudah bersahabat sejak SMP. Keduanya mengenyam pendidikan di sekolah yang sama namun harus berpisah saat kuliah. Kaisar mengambil kedokteran, Fariz mengambil jurusan tata boga.
“Ayo kita makan sama-sama aja,” usul Antonio.
Dengan cepat Alya menyiapkan soto betawi buatannya untuk semua orang. Bukan hanya untuk Antonio dan keluarga, tapi juga semua crew kitchen dapat merasakannya. Semuanya memuji hasil masakan Alya yang sangat lezat. Senyum bahagia tercetak di wajah Alya. Namun melihat keharmonisan keluarga Antonio membuatnya iri dan bersedih. Apalagi saat melihat Karina sangat manja pada papanya. Hal yang tidak bisa dia lakukan bersama sang ayah.
☘️☘️☘️
**Kira² ada apa ya antara Alya sama ayahnya🤔
Ini penampakan Alya versi diriku**
Mobil milik Fariz berhenti di depan gang di mana Alya tinggal. Suasana daerah di rumah Alya sudah cukup sepi, padahal waktu masih pukul delapan malam. Alya segera melepas sabuk pengaman di tubuhnya.
“Rumahmu di mana?”
“Masuk gang ini.”
“Sebentar.”
Fariz memajukan kembali mobilnya. Di berhenti di tempat yang cukup luas untuk memarkirkan mobilnya. Setelahnya pria itu turun, sesuai amanat sang papa, dia harus mengantar Alya sampai ke rumah dan bertemu dengan ayahnya. Fariz mengikuti langkah Alya masuk ke dalam gang.
Keduanya berjalan menyusuri jalan yang hanya cukup dilewati satu motor saja. Suasana gang cukup temaram, karena hanya diterangi lampu dari teras rumah warga. Ternyata rumah Alya cukup jauh juga dari pintu masuk gang. Mereka harus melewati dua belokan lagi untuk sampai.
Setelah melewati beberapa deretan rumah, Alya memasuki rumah tak berpagar. Diketuknya pintu rumah sesampainya di teras. Tak berapa lama pintu terbuka. Wajah Dadang, ayah Alya muncul dari baliknya. Gadis itu meraih tangan Dadang lalu mencium punggung tangannya.
Belum sempat bibir Alya menyentuh punggung tangan pria itu, Dadang langsung menariknya. Ini adalah hal biasa yang Alya terima setiap dia mencium tangan sang ayah. Hal tersebut tertangkap oleh Fariz. Gerak-gerik Dadang dengan jelas menunjukkan kalau pria itu tidak menyukai anaknya.
“Malam, om. Kenalkan, saya Fariz,” Fariz mengulurkan tangannya. Dadang hanya membalas seadanya.
“Maaf kalau terlalu malam mengantarkan Alya. Tadi dia membantu papa saya di restoran,” terang Fariz.
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan oleh Dadang. Alya mempersilahkan Fariz untuk masuk. Walau tak nyaman melihat sikap Dadang, namun Fariz tetap masuk, demi melihat lebih jauh hubungan Alya dan ayahnya. Pria itu mendudukkan diri di kursi rotan yang ada di ruang depan.
Tak lama kemudian Alya datang membawakan dua cangkir teh manis hangat untuk Fariz juga ayahnya. Tak lupa Alya menaruh black forest yang dibelinya tadi di atas meja. Dadang hanya melihat sekilas kue yang diberikan Alya.
“Terima kasih, Alya.”
“Sama-sama, bang.”
Fariz mengambil cangkir teh, lalu menyesapnya pelan. Matanya melirik pada Dadang yang sama sekali tidak meminum teh yang dibuatkan Alya. Karena Dadang tak mengatakan apapun, Fariz memilih untuk pulang. Atmosfir antara Alya dan ayahnya juga dirasa kurang enak.
“Alya, om.. saya pulang dulu.”
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan oleh Dadang. Sekilas Fariz bisa melihat wajah Alya yang terlihat malu akan sikap sang ayah pada tamunya. Gadis itu mengantar Fariz sampai ke teras rumah.
“Kapan-kapan saya juga mau merasakan masakanmu yang lain.”
“Boleh, bang.”
“Saya pulang dulu, assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah punggung Fariz tak terlihat lagi, Alya masuk ke dalam rumah. Dia segera menutup dan mengunci pintu. Begitu berbalik, ternyata sang ayah sudah masuk ke dalam kamar. Terdengar helaan nafasnya melihat teh dan kue yang tidak disentuh oleh ayahnya. Alya membawa dua cangkir tersebut ke dapur untuk dicuci. Tak lupa dia memasukkan kue ke dalam kulkas. Semoga besok sang ayah mau memakannya.
☘️☘️☘️
POV ALYA
Namaku Alya Faradila, usiaku sekarang 19 tahun. Aku anak tunggal pasangan Dadang Sunarya dan Euis Zubaidah. Selama 19 tahun aku tinggal bersama dengan ayahku yang tidak pernah menyayangiku. Baginya, aku hanyalah pembawa sial saja.
Ayah dan ibuku menikah atas dasar saling mencintai. Mereka hidup rukun dan harmonis walau ayah tidak mampu memberikan kemewahan. Sejak pertama menikah, mereka tidak langsung diberi keturunan. Walau tidak mengatakan apapun, ibu tahu kalau ayah sangat menginginkan anak. Setelah menunggu selama dua belas tahun, akhirnya ibu hamil juga. tak dapat dikatakan bagaimana bahagianya pasangan tersebut.
Namun malang tak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Ketika sedang mengandung diriku, mama divonis memiliki penyakit berbahaya, jantung koroner. Karena tidak terdeteksi, penyakit ibu ternyata sudah parah. Dokter menyarankan ibu untuk menggugurkan kandungan, karena taruhannya adalah nyawa kalau ibu bersikeras untuk melahirkan.
Karena keinginan memiliki momongan, ibu bergeming. Dia tetap ingin menjaga kehamilannya. Ayah juga berusaha membujuk ibu. Tidak apa mereka tidak memiliki anak, asalkan ibu terus bersamanya. Tapi ibu berpikiran lain, dia ingin meninggalkan hadiah terindah untuk suami tercinta kalau dirinya dipanggil Tuhan. Tak tega menolak keinginan ibu, ayah akhirnya membiarkan ibu tetap mengandung.
Waktu terus berlalu dan kandungan ibu semakin besar. Dengan penyakit yang dideritanya, tentu saja momen kehamilan dijalaninya dengan susah payah. Dokter menyarankan ibu untuk operasi Caesar, namun karena terbentur biaya, ibu terpaksa mengambil keputusan melahirkan secara normal. Dia tak mau ayah berhutang banyak dan membuat semua susah. Apalagi buah hati akan hadir ke dunia. Pasti mereka membutuhkan biaya lebih.
Setelah perjuangan panjang, akhirnya ibu berhasil melahirkanku ke dunia. Senyum tersungging di wajahnya yang pucat. Usai mengadzaniku, ayah terus mendampingi ibu. Kondisi ibu drop setelah hampir enam jam berjuang mengeluarkanku. Sampai akhirnya Tuhan memanggil ibu kembali ke haribaan-Nya.
Tangis ayah pecah melihat istri tercintanya terbujur kaku di hadapannya. Apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan. Sehari setelah melahirkanku, ibu meninggal dunia. Dan sejak hari itu pula ayah mengabaikanku. Di matanya, aku adalah pembawa sial. Karenaku, istrinya harus meninggal dunia.
Sejak bayi merah aku diurus oleh bibiku, adik dari ayah. Namun begitu ayah masih berbaik hati untuk membiayaiku. Memberikan uang untuk susu dan kebutuhan lainnya. Namun tak pernah ayah sekali pun menggendongku. Itulah cerita yang kudengar dari bibiku. Wanita itu prihatin dengan nasib yang kualami.
Begitu aku masuk sekolah, ayah tetap membiayaiku. Tapi tak pernah sekali pun dia mengajariku pelajaran di sekolah. Hanya bang Irfan, anak dari bi Kokom yang setia mengajariku. Bahkan untuk mengambil raport-ku diserahkan pada bibi.
Sejak kecil aku sudah diajarkan hidup mandiri oleh bibi, karena tidak selamanya bibi bisa mengurusku. Aku mulai belajar masak nasi, mencuci piring, mencuci baju, menyetrika dan membereskan rumah. Begitu aku masuk SMP, bibi mulai mengajariku masak. Semua kulakukan tanpa mengeluh, karena aku sangat berharap ayah melihat apa yang kulakukan dan bangga padaku.
Waktu terus berjalan, sikap ayah tidak pernah berubah padaku. Dia selalu mengabaikanku, bahkan minuman atau makanan yang kusiapkan untuknya tidak pernah disentuh. Ayah lebih suka membeli makanan dari luar. Sudah sering bibi menasehati ayah, namun ayah bergeming.
Bohong kalau hatiku tidak sakit melihat sikap ayah padaku. Tapi bibi terus mengingatkanku dan memintaku untuk bersabar. Aku menyingkirkan kebencian yang terkadang datang padaku. Sebagai gantinya, aku terus memupuk rasa sayangku pada ayah, dan berharap suatu hari nanti ayah mau membuka hatinya untukku.
Setelah aku lulus SMA, aku cukup tahu diri untuk tidak terus menerus menyusahkan ayah. Alih-alih melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, aku memilih untuk bekerja. Menghasilkan uang sendiri dan memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak mau menyusahkan ayah lagi.
Sejujurnya ada harapan dariku, melihat diriku yang mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri, ayah akan sedikit melunak padaku. Namun ternyata semua hanya sia-sia belaka. Ayah masih tetap dengan sikapnya yang dulu, dingin dan tidak peduli padaku. Semua cara sudah kulakukan dan sudah banyak doa yang kupanjatkan, sekarang aku hanya bisa berpasrah menunggu ayah membuka hatinya.
Kemarin aku bertemu dengan keluarga om Antonio. Aku mengenalnya karena pria itu adalah pelanggan tetap café tempatku bekerja. Dia juga sahabat baik dari bu Tania, pemilik café. Sosok om Antonio yang ramah dan hangat berbanding terbalik dengan ayahku. Jujur saja, aku nyaman berada di dekat om Antonio. Andai saja aku punya ayah seperti beliau.
POV ALYA END
Setelah berpakaian rapih, Alya keluar dari kamarnya. Dia sudah siap untuk berangkat kerja. Dadang juga sudah berangkat sejak satu jam lalu. Seperti biasa, pria itu tidak pernah berpamitan pada anaknya. Alya berjalan menuju dapur. Di atas meja makan masih terlihat nasi goreng buatannya yang sama sekali tidak disentuh Dadang. Di tempat sampah, Alya mendapati bungkus kupat tahu.
Apa aku begitu menjijikkan, pak? Bapak sama sekali tidak mau menyentuh masakan buatanku.
Alya memasukkan nasi goreng ke dalam kertas nasi lalu mengikatnya. Dari pada mubazir, lebih baik dia memberikan nasi goreng pada pak Karta, tetangga rumahnya yang hanya tinggal sendiri. Setelah memasukkan bungkus nasi ke dalam plastik, Alya bergegas keluar rumah.
Di depan rumah, pakaian Dadang terlihat sudah dijemur. Pria itu memang selalu melakukan semuanya sendiri, mencuci alat bekas makannya, mencuci baju dan menyetrika. Dia tidak pernah membiarkan Alya menyentuh pakaiannya. Setelah mengunci pintu, Alya bergegas menuju rumah Karta yang jaraknya hanya berselang dua rumah saja.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam, eh neng Alya. Masuk, neng.”
Pria bernama Karta itu keluar dari rumah. Karta seumuran dengan ayah Alya, hanya saja pria itu sudah tidak bekerja lagi. Untuk biaya sehari-hari dia mendapatkan kiriman dari anaknya. Sejak ditinggal sang istri untuk selamanya, pria itu hidup sendiri karena ketiga anaknya sudah berumah tangga.
“Ini nasi goreng buat bapak. Bapak belum makan, kan?”
“Alhamdulillah, baru aja bapak mau beli nasi kuning.”
“Ngga usah beli, pak. Makan ini aja.”
“Makasih ya, Alya.”
“Sama-sama, pak. Aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alya mencium punggung tangan Karta sebelum meninggalkan rumah pria itu. Dia bergegas pergi, sang sahabat, Nana sudah menunggunya di depan gang. Karta terus memperhatikan punggung Alya yang semakin menjauh.
“Kamu benar-benar anak solehah, Alya. Kenapa Dadang tidak melihat itu. Punya anak seperti itu kenapa disia-siakan, Dadang.. Dadang..”
Sambil menggelengkan kepalanya, Karta masuk ke dalam rumah. Dia segera memindahkan nasi goreng buatan Alya ke dalam piring. Sambil menonton televisi, pria itu memakan nasi goreng tersebut.
☘️☘️☘️
Nah kejawab kan kenapa hubungan Alya dan bapaknya begitu..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!