NovelToon NovelToon

Ketika Cinta Hanya Menjadi Sebuah Luka

Bab 1

Suara monitor di rumah sakit memenuhi ruangan kamar operasi. Seorang perempuan tengah berbaring di atas permukaan ranjang. Perempuan itu sedang menjalani serangkaian prosedur bedah sesar yang dilakukan oleh beberapa dokter yang sudah ahli. Terlihat air mata mengalir jatuh di wajah perempuan itu, meski matanya terpejam, dia seakan mengetahui apa yang sedang terjadi dengan dirinya saat ini.

Dua jam berlalu, perempuan itu perlahan membuka mata. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, perempuan itu bertanya kepada seorang suster di samping. "Sus, di mana suami saya?"

"Maaf, Mbak! Saya baru saja berganti shift kerja. Jadi saya tidak mengetahui keberadaan suami Mbak. Saat saya tiba, tidak ada orang di samping Mbak." jawab Suster itu yang lalu pergi memeriksa pasien lain di sebelah.

Kamar itu memiliki 8 tempat tidur, tiga di antaranya masih kosong dan 5 tempat tidur sudah terisi pasien yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Wajah para pasien terlihat bahagia, hanya perempuan ini satu-satunya yang meneteskan air mata kesedihan. Kesedihan karena kehilangan bayi pertamanya.

Dia melirik ke kanan dan ke kiri, tempat tidur yang terletak di tengah-tengah membuat ia sulit melihat sekeliling ruang kamar yang sedang dia tempati.

"Widya, kamu sudah bangun nak?" sebuah suara membuat tatapan perempuan itu melirik menatapnya. Seorang perempuan paruh baya membawa sebuah botol termos di tangan kiri, tangan kanannya memegang secangkir air hangat yang di beri sedotan besi.

"Mau minum? Kamu lapar?" tanya perempuan itu dengan wajah khawatir.

"Ma, aku gak lapar. Aku mau minum ajah!" lirih perempuan yang di panggil dengan nama Widya.

Shinta, Mama dari Widya. Sosok ibu yang sangat baik dalam merawat anak-anaknya. Perempuan yang selalu berkorban demi anak-anaknya meski ia sendiri terluka dan menderita.

"Boboq ya sayang, kamu kan baru operasi. Harus banyak istirahat. Nanti kalau lapar, kamu panggil Mama. Biar Mama suapin bubur hangat yang udah Mama siapin dari rumah. Yah...!"

Kata-kata kasih sayang yang terdengar begitu lembut membuat Widya meneteskan air matanya. Mama Shinta menarik selembar tisu dari atas meja, dengan perlahan, dia mengeringkan air mata yang semakin deras itu.

"Menangislah sepuasnya, tapi hanya untuk hari ini. Jangan menangis terlalu lama, kasihan mata indah anak Mama. Nanti jadi butek kalau basah terus." hibur Mama shinta seraya bercanda, agar luka di hati putrinya segera mengering meski meninggalkan luka.

Widya mengangguk lemah, dia memaksakan senyuman agar Mama Shinta tak ikut bersedih. Widya menutup wajahnya dengan lengan kanan, dia menangis tanpa suara. Bukan sekali dua kali dia menangis menahan suaranya, dan kali ini adalah tangisan yang paling menyakitkan baginya. Hatinya begitu sakit dan perih, sebab kehilangan bayi laki-laki yang bahkan belum pernah dia jumpai.

Sementara itu, di sebuah kamar hotel. Terdengar suara erangaan dan desaahan seorang wanita. Seorang pria sedang berada di atas tubuh wanita itu, tubuhnya bergerak dengan gerakan yang berirama.

"Lebih cepat, Mas! Lebih cepat lagi!" pinta sang wanita yang tubuhnya bergoyang naik turun secara beraturan.

"Kau benar-benar menikmati permainan kasar ya!" ucap sang pria yang entah sebagai bentuk sindiran atau pujian bagi pasangannya.

"Ah... sedikit lagi, Mas. Ayo lebih cepat!" pintanya lagi sambil mendesaah dan mencengkram selimut tebal dengan kedua tangan.

Sang pria menuruti permintaan wanita itu, dia mempercepat hentakan dan dorongan ke tubuh si wanita. Hingga akhirnya terdengar suara leguhan panjang dan cairan hangat pun terasa memenuhi rahim si wanita.

"Kamu sangat hebat, Mas! Aku selalu puas kalau bersama Mas." ciuman yang bertubi-tubi mendarat di pipi sang pria, hadiah karena telah menyenangkan dirinya.

"Kamu juga yang terbaik, Luna!" puji sang pria yang lalu berdiri, menuju ke kamar mandi.

Luna tersenyum sinis, "Widya oh Widya... Apa gunanya berwajah cantik dan berstatus istri? Pada akhirnya, Mas Johan lebih memilih bersama denganku!" benak Luna.

Johanes Leandro, seorang pria berusia 28 tahun yang telah sah menikah dengan Widya Wijaya. Pria itu berselingkuh di belakang Widya sejak hari pertama mereka menikah.

"Kringggg! Kringggg!"

Bunyi dari ponsel Johan membuat Luna terperanjat, dia kaget karena suara itu terdengar begitu nyaring di telinganya. Dia mengambil ponsel yang letaknya tak jauh dari tempat dia berbaring.

"Mama Widya" tertulis di layar ponsel, Luna tersenyum sinis, dia menolak panggilan itu lalu mematikan ponsel milik Johan. Tak lama kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi, dia mengambil ponselnya lalu beranjak pergi. Luna saat itu sedang memejamkan mata, berpura-pura tidur untuk melihat reaksi dari Johan.

"Lagi-lagi, dia pergi begitu saja!" gumam Luna dengan menahan rasa kecewa.

Wanita itu ingin dimanja oleh Johan, pria yang sudah ia inginkan sejak lama. Dia diam-diam menggoda pria itu di saat pria itu sedang mabuk di malam ketika Johan menikah dengan Widya, sahabat sekaligus orang yang paling dibenci oleh Luna.

Dalam keadaan mabuk, Johan melihat wajah Luna sebagai Widya. Pria itu lalu menghabiskan malam pertamanya dengan Luna. Widya yang saat itu menunggu kepulangan suaminya, hanya bisa meratapi nasib pilunya sebagai seorang wanita yang di tinggalkan di malam pertama pernikahannya.

"Mas, kamu sudah pulang! Mau aku buatin sarapan?" tanya Widya ketika melihat Johan baru saja masuk dari pintu depan.

Widya duduk menunggu di depan pintu hingga suaminya itu kembali. Dia tidak bertanya ke mana dan apa yang dilakukan oleh suaminya di malam pertama mereka. Bukannya tidak ingin bertanya, dia hanya tidak berani mendengar jawaban dari pertanyaannya nanti. Dengan memendam perasaan sedih dan marah, Widya harus menelan pahit-pahit pertanyaan itu dalam hati.

"Aku gak perlu sarapan, kamu cepat siap-siap! Kita akan pergi ke rumah orang tua ku!" sahut Johan dengan wajah datar.

"Ngapain ke sana Mas?" tanya Widya penasaran.

"Kita akan pindah ke sana, rumah ini akan di sewakan besok. Jadi kamu cepat siap-siap dan bereskan semua barang!" perintahnya tanpa bertanya pendapat Widya.

"Mas, kenapa hal ini tidak kamu bicarakan dulu denganku?" Widya tampak kecewa dengan sikap suaminya itu. Dia merasa tidak di hargai sebagai seorang istri.

"Aku yang akan mengambil keputusan di dalam rumah tangga kita. Kamu sebagai istri, hanya perlu menuruti kata-kata suami. Ngerti kamu?" hardik Johan dengan suara yang meninggi.

Karena tidak ingin bertengkar di hari pertama mereka menikah, Widya memilih untuk mengikuti keinginan Johan. Dia membereskan barang-barang yang akan di bawa ke rumah mertuanya. Dia menatap lemari pakaian yang baru saja beberapa hari lalu di rapikan, "Padahal aku menatanya berjam-jam agar terlihat bagus, tapi ternyata semua usaha itu sia-sia." pikirnya.

Beberapa jam berlalu, Widya duduk di kursi sambil menunggu kedatangan mobil yang akan menjemput barang-barang. Sementara Johan sudah berangkat ke kantor tanpa peduli dengan istrinya yang kelaparan karena belum makan sejak malam.

^^^Bersambung...^^^

Bab 2

Berselang beberapa jam, mobil yang di tunggu akhirnya datang, Widya menaikkan barang-barang bersama dua orang laki-laki yang diminta untuk membantu pindahan. Selesai mengangkat semua barang, Widya menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding.

"Tolong turunkan foto itu!" pinta Widya kepada seorang laki-laki yang bernama Joko.

Foto itu diturunkan, lalu di naikkan ke atas mobil atas permintaan Widya.

"Sudah semuanya Mbak?" tanya Joko memastikan apakah masih ada barang yang tertinggal.

Widya mengangguk pelan, dia lalu naik ke mobil dan mobil pun berjalan menuju ke rumah mertuanya. Rumah orang tua Johan terletak di pusat kota, jalanan di sana selalu ramai dan padat. Membuat Widya tiba dalam keadaan hari yang sudah hampir gelap.

"Ting Tong!"

Widya menekan bel pintu. Beberapa kali dia menekan ulang karena belum ada yang membuka pintu. Sebuah mobil berhenti di belakang mobil yang ditumpangi oleh Widya, wanita itu segera menoleh ke arah mobil. Ternyata mobil itu milik suaminya.

Johan turun dari mobil, dia membuka pintu sambil mengomeli istrinya."Kamu ngapain sih lelet banget? Sudah jam segini baru sampai kemari, apa gak kebangetan kamu?" hardik Johan dengan nada tinggi dan terdengar marah.

"Maaf, Mas! Tadi jalanannya macet." jawab Widya dengan wajah yang menyesal. Namun di dalam hati, dia merasa kecewa dan sedih terhadap sikap suaminya.

"Masuk!!" bentak Johan dengan wajah berang. Membuat nyali Widya semakin menciut. Wanita itu menunduk, dia masuk ke dalam rumah dengan air mata yang hampir tumpah.

Hari itu pun, Widya tidak mengisi perutnya sama sekali. Dia langsung tertidur di sofa panjang yang berada di dalam kamarnya. Kenapa tidur di sofa? Karena suaminya berkata jika dia tidak terbiasa tidur bersama orang lain. Dia meminta Widya untuk tidur di sofa saja agar tidak mengganggu tidurnya.

Meskipun sudah tertidur, air mata masih mengalir dari sudut mata wanita itu. Hatinya begitu sakit dan terluka akibat perlakuan dari Johan yang baru saja menikahinya. Janji suci yang mereka ucapkan seolah tidak pernah terjadi, pria itu bahkan tidak sudi untuk tidur seranjang dengannya.

Hari pun berganti, sinar matahari masuk membuat mata Widya mengerjab, dia membuka matanya yang terasa berat karena menangis semalaman. Tatapannya beralih ke atas ranjang, tidak terlihat lagi pria yang berbaring di sana. Widya segera bangkit, dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Buru-buru ia keluar agar sempat membuat sarapan untuk Johan dan kedua orang tuanya.

Widya menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa hingga ia hampir terjatuh, beruntung dia memegang erat pegangan tangga sehingga keseimbangan tubuhnya masih terjaga. Tatapan mata dari ketiga orang yang berada di lantai bawah membuat Widya merasa gugup dan canggung.

"Selamat Pagi, Mas, Ma, Pa!" sapa Widya ketika langkah kakinya baru saja menginjak ke lantai paling bawah.

"Selamat Pagi!" balas Papa Sugi dengan senyuman ramah.

Berbeda dengan Papa Sugi, Mama Elis melirik sekejap tanpa menjawab. Wanita itu terlihat jelas tak menyukai menantu perempuannya. Sedangkan Johan, pria itu hanya diam tanpa peduli dengan Widya.

Karena sarapan sudah di siapkan, wajah Widya tampak kecewa. Karena ia merasa telah lalai sebagai seorang istri. Dia terlalu lelah dan tidak memperhatikan waktu. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Seharusnya dia bangun lebih awal di jam 6 pagi agar sempat membuatkan sarapan untuk suami dan keluarga barunya.

"Sini Wid, ayo sarapan bareng!" ajak Papa Sugi ketika melihat Widya berdiri diam.

"I...iya Pa!" jawab wanita itu. Dia lalu duduk di kursi yang berada di sebelah Johan. Namun pria itu malah segera berdiri, "Aku udah kenyang, aku berangkat kerja ya Ma, Pa!" Johan lalu berjalan keluar tanpa menyapa ataupun pamitan dengan istrinya yang menatap getir belakang punggungnya.

"Kalau sudah siap makan, kamu beresin semua piring kotor!" perintah Mama Elis yang ikut berdiri lalu pergi dari ruang makan.

"Jangan dipikirkan, ayo makan sama Papa saja yah!" hibur Papa Sugi meski tidak ada pengaruhnya bagi hati Widya yang sudah terasa sakit.

Widya membersihkan piring-piring kotor, dia lalu mengelap bersih meja yang terbuat dari bongkahan batu itu. Setelah semua pekerjaannya selesai, Widya segera mengambil tas dan ponsel yang masih berada di dalam kamar. Dia lalu berangkat kerja dengan menaiki kendaraan umum lalu berjalan kaki.

Pulang dari kerja, Widya segera kembali ke rumah agar tidak mendapat omelan lagi dari sang suami. Namun jalanan yang macet dan padat membuat ia terlambat tiba di rumah. Sesampainya di depan pintu, Widya melihat Papa Sugi sedang menyiram tanaman yang berada di balkon lantai 2.

"Malam Pa!" sapa Widya dari bawah.

Papa Sugi menoleh ke arah suara, dia tersenyum lalu menjawab, "Selamat malam, Widya! Tunggu sebentar ya, biar Papa bukain pintunya!"

Berselang beberapa menit, Papa Sugi membukakan pintu. Widya masuk ke dalam yang langsung di sambut dengan berbagai pertanyaan dan cercaan dari Johan.

"Kau ke mana saja? Kenapa sampai jam segini baru pulang? Kau harus ingat kalau dirimu itu sudah bersuami! Jangan selalu berkeliaran! Entah apa yang kau perbuat dengan pria lain di luar sana!"

"Astaga... Mas Johan! Kenapa kata-katanya begitu menyakitkan!" pikir Widya. Dia begitu terkejut mendengar kata-kata kasar dari suaminya.

Widya benar-benar tak habis pikir, kenapa suaminya bisa berperilaku seburuk itu setelah mereka menikah. Padahal, selama berpacaran 5 tahun, Johan adalah sosok pria ramah dan sangat mencintai Widya. Wanita itu tidak mengerti, mengapa Johan memperlakukan dirinya seperti ini ketika mereka sudah menikah.

Hari-hari yang buruk terus berlalu, Widya menerima semua makian dan cercaan dari Johan tanpa perlawanan. Dia hanya diam-diam menangis tanpa suara setiap kali hatinya merasa sedih dan terhina.

"Aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang membuat diri ku harus di maki sedemikian kasar oleh suamiku sendiri. Tapi entah kenapa, sikap Mas Johan semakin hari semakin kasar. Haruskah pernikahan ini ku akhiri?" Benak Widya.

Sebulan berlalu, sikap kasar Johan semakin menjadi-jadi. Kali ini, pria itu menampar Widya hanya karena wanita itu bertanya, "Mas, mau ke mana pagi-pagi begini? Ini kan hari minggu."

"PLAKKK!"

Terkejut dengan tamparan dari Johan yang dia tidak tau apa alasannya, Widya menundukkan wajahnya yang kini membengkak dan memerah.

"Jangan ikut campur dengan urusan ku!" bentak Johan dengan wajah dingin.

Merasa dirinya tak sanggup lagi menahan sikap kasar dari suaminya, Widya pun berkata sambil mengepal erat kedua tangannya. "Mas Johan, sebaiknya... kita bercerai saja!"

^^^Bersambung...^^^

Bab 3

Mendengar kata-kata itu, membuat Johan semakin marah. Dia menarik lengan Widya dengan kasar, "Jangan harap kau bisa bercerai dariku!" ucapnya dengan nada yang tinggi.

"Kenapa? Kenapa Mas tidak mau menceraikan aku? Mas bahkan tidak sudi tidur seranjang denganku! Lalu kenapa Mas masih mempertahankan pernikahan ini?" Widya mengeluarkan semua kemarahannya selama ini. Dia melontarkan pertanyaan yang selalu terlintas di pikirannya.

"HAHAHA... Jadi itu sebabnya kau ingin bercerai? Karena aku tidak menyentuhmu? Sebegitu inginnya kau di sentuh olehku? Atau sebetulnya kau memang suka di sentuh oleh laki-laki manapun?" Johan tertawa lebar, senyuman dan cibiran dari wajahnya membuat hati Widya semakin hancur berantakan. Tak ada lagi sisa-sisa tenaga untuk menjawab pertanyaan yang begitu menghina dirinya sebagai seorang wanita.

Widya memilih diam, dia mengambil tas dan ponsel, berniat beranjak pergi dari rumah yang menyiksa batinnya setiap hari. Namun Johan kembali menarik lengannya, dia menghempas tubuh Widya ke atas ranjang.

"Mau ke mana kau? Aku masih berbicara dengan mu!" hardik Johan dengan wajah marah.

"Aku akan kembali ke rumah orang tuaku!" jawab Widya yang membuat amarah Johan semakin meninggi.

"Sudah ku bilang, kau tidak boleh ke mana-mana tanpa izin dari ku! Kau juga tidak akan bisa bercerai denganku!" teriak lelaki itu yang berujung kekerasan.

Johan naik ke atas ranjang, tubuhnya menimpa tubuh Widya. Dengan kasar laki-laki itu melepas semua pakaian Widya, lalu dia melepas celananya sendiri. Tanpa aba-aba, dia memasukkan pusakanya ke dalam tubuh Widya. Membuat wanita itu merintih kesakitan. Baru kali ini dia merasa sakit yang begitu perih dan menusuk di dalam tubuhnya. Cairan merah dari bawah sana terasa di kulit Johan, membuat pria itu menghentikan sikap kasarnya.

"Kau... kau masih perawan?" tanya Johan terbata-bata. Gugup dan panik terlihat di wajahnya seketika melihat darah di atas sprei putih yang kini meninggalkan noda.

Widya hanya diam, air matanya keluar begitu saja tanpa bisa ditahan. Sementara Johan masih terkejut mengetahui jika istri yang dia nikahi ternyata masih seorang perawan.

"Jika Widya masih perawan, lalu siapa wanita yang kulihat di dalam video itu?" pikirnya.

"Wid, maafkan aku!" ucap Johan dengan wajah penuh penyesalan. Dia membelai lembut wajah istrinya yang masih dibasahi oleh air mata.

Beberapa menit kemudian, Widya berdiri, dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Rasa sakit di bagian bawah tubuhnya masih begitu terasa. Nyeri dan perih, membuatnya berhati-hati ketika membersihkan bagian di sana. Ditambah bengkak di pipi nya akibat tamparan dari Johan, tubuhnya terasa semakin tak nyaman.

"Jadi, selama ini dia mengira aku tidak perawan lagi? Itu sebabnya dia tidak sudi tidur seranjang dengan ku?" pikir Widya dalam hati.

Hatinya terasa sakit memikirkan betapa rendah dirinya di mata suaminya. Johan, suami yang menjadi satu-satunya lelaki yang di cintai oleh Widya selama hidupnya.

Widya keluar dari kamar mandi, dia menatap suaminya yang masih duduk merenungi kesalahannya. "Mas, tolong ceraikan aku!" pinta wanita itu.

"Maafkan aku! Tolong jangan meminta cerai. Aku sangat mencintaimu Wid. Aku benar-benar mencintaimu!" Johan memohon sambil berlutut di depan istrinya. Meski dirinya masih marah, namun hatinya tidak tega melihat suaminya berlutut dan memohon seperti itu.

"Mungkin, rumah tangga ini masih bisa di pertahankan!" pikir Widya.

Johan duduk di sebuah sofa di ruang tamu, dia memikirkan kembali video yang dikirimkan oleh orang tak dikenal pada hari pernikahannya. Di dalam video itu memperlihatkan adegan ranjang istrinya bersama pria lain. Melihat rekaman video itu, membuat Johan berpikir jika Widya telah menghianati cinta mereka.

Namun rasa cintanya kepada Widya tak pernah berkurang, dia masih mencintai wanita itu dan tidak ingin melepaskannya. Itu sebabnya dia masih mempertahankan pernikahan mereka. Sedangkan Luna, wanita itu hadir ketika perasaan Johan sedang kacau. Luna menjadi pelampiasan bagi Johan yang menginginkan kehangatan dari seorang wanita.

Setelah mengetahui kebenaran ini, Johan merasa sangat bersalah. Tetapi dia sedikit bingung dan penasaran, siapa wanita yang berada di dalam video yang di lihatnya itu? Wajah wanita itu sangat mirip dengan Widya.

Sejak hari itu, hubungan Johan dan Widya semakin hari semakin membaik. Hingga suatu malam, Johan meminta Widya untuk tidur di sampingnya. Widya merasa senang dengan perubahan suaminya yang semakin ramah. Dia pun menuruti keinginan suaminya.

"Wid, kamu sudah siap punya anak?" tanya johan tiba-tiba, membuat hati Widya merasa bahagia. Dia berharap malam ini akan menjadi malam pertama baginya dan sang suami.

Widya mengangguk pelan, wajahnya merona seketika karena memikirkan adegan romantis yang akan dia lakukan bersama suami. "Mas Johan sendiri gimana? Sudah siap punya anak, Mas?" tanya Widya sambil menatap wajah suaminya.

"Tentu, aku sangat menginginkan kehadiran anak di keluarga ini, anak kita berdua!" bisik suaminya pelan, membuat bulu kuduk Widya berdiri karena hembusan nafas di telinganya.

Pasangan suami istri itu saling menatap, wajah mereka perlahan mendekat. Melihat bibir merah Widya, keinginan Johan untuk meluumatnya langsung terbangkitkan. Hasrat yang sudah lama dia pendam sejak hari pernikahan mereka. Tanpa berlama-lama, johan menempelkan bibirnya ke bibir merah milik istrinya. Ciuman yang hangat dan panjang berlanjut hingga ke area lain.

Ciuman itu turun ke leher jenjang Widya, perasaan geli bercampur nikmat dirasakan oleh wanita itu. Sapuan dari benda lunak tak bertulang membuatnya merinding, gairah yang tak pernah ia rasakan pun tiba-tiba bangkit. Johan memberi tanda merah di beberapa titik, jejak-jejak cinta mereka.

"Aku mau, boleh?" tanya Johan dengan suara pelan.

Widya mengangguk, wajahnya memerah karena malu. Ini pertama kalinya dia akan melakukan hubungan suami istri, dalam pernikahannya yang sudah berusia tiga bulan.

Perlahan, Johan melepaskan pakaian yang dikenakan oleh Widya. Dia menatap tubuh istrinya yang terlihat menggoda. Tubuh putih mulus yang belum pernah dijamah oleh siapapun. Tubuh polos yang akan segera menjadi miliknya.

Johan dengan gencar menikmati setiap inchi kulit mulus istrinya, beberapa kali dia membuat jejak merah di sana. Hingga tubuh Widya meliuk ke kanan kiri tanpa dia sadari, perasaan geli dan aneh yang belum pernah dia rasakan membuatnya sedikit menikmati permainan dari sang suami.

"Aku masukin yah!" bisik Johan setelah yakin jika tubuh istrinya sudah siap menerima benda pusakanya.

Widya merasa takut, namun dia tidak menolak. Dia menunggu dengan perasaan tak sabar, karena ini pertama kalinya dia bercinta dengan sang suami. Debar jantungnya semakin cepat saat melihat suaminya melepas celana segitiga yang dia pakai untuk menutupi benda berharganya.

"Mas, pelan-pelan ya! Aku takut!" pinta Widya.

Johan mengangguk dengan senyuman yang mendebarkan hati istrinya.

"Awwwwww! Sakit!" rintih Widya ketika benda tumpul menusuk masuk ke dalam tubuhnya.

^^^Bersambung...^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!