Terbayang seperti apa wajah Jakarta. Banjir itu sudah biasa, macet itu cerita lama, koruptor sudah banyak beritanya, atau Ibu kota Republik Indonesia, jangan ditanya, karena itu adalah hal yang umum, bahkan sudah ada didalam buku pelajaran anak kelas dua SD, ada gambarnya lagi.
Jakarta hanya sebatas kota yang dipilih untuk menjadi wilayah khusus sebagai Ibu kota negara. Tapi hal terpenting adalah sebuah tempat berkumpulnya seluruh umat manusia dari belahan nusantara.
Wajah dari Jakarta adalah penduduknya, dari pejabat, pengamen, pengusaha, pedagang, supir, pengacara, seles, pemulung, gelandangan, preman, calo, tukang tipu, tukang jahit, tukang sol, tukang cuci tanpa setrika, tukang setrika tanpa cuci dan segala macam tukang pun berkumpul di Jakarta.
Bercerita tentang orang kaya yang mengambil uang dari rakyat miskin, atau pun rakyat miskin yang memaki orang kaya karena dengan sengaja mengambil uang mereka.
Mungkin juga, orang udik dari kampung yang mengadu nasib di Jakarta, berbekal ijazah SD untuk mencari pekerjaan, berangan-angan jika kelak akan menjadi pengacara, dan pada akhirnya berakhir sebagai supir bus kopaja. Semua itu menjadi kegiatan rutin didalam masyarakat perkotaan.
Selain itu, ada pula orang bergaya layaknya pegawai kantoran yang menggunakan jas dan dasi, padahal dia hanya seles untuk menawarkan sebuah produk makanan dari hasil biji bunga matahari, yang disebut kuwaci.
Merayu pelanggan dari supermarket hingga warung pinggir jalan, tapi karena produknya tidak laku, membuat karirnya berakhir dari selesman kuwaci menjadi kenek kopaja. Sebuah ironi kehidupan.
******
Askar, dia hanya seorang penjaga minimarket dengan nama awal huruf 'A' berakhiran 'Mart'. Satu dari jutaan manusia yang bertahan hidup ditengah kerasnya kota Jakarta.
Berpenghasilan kecil, kebutuhan hidup mahal, potongan gaji karena kehilangan barang, selalu tersenyum bodoh dan banyak-banyak bersabar.
Itu hanya sebagian kecil dari masalah hidup Askar, dimana saat pelanggan sok kaya datang, padahal uang didalam dompet hanya cukup untuk membeli kuaci, tapi masih berlagak sombong.
"Selamat datang ." Senyum Askar penuh kepura-puraan dan terpaksa menyapa menggunakan suara lembut, walau terkadang membuat Askar malu sendiri.
Tapi para pelanggan sok kaya itu tidak menanggapinya, hanya melirik dengan tatapan sinis dan mungkin berkata dalam hati. 'Dih sok akrab banget, cuma karyawan aja belagu.'
Askar harus bersabar karena itu memang tugas yang harus dilakukan olehnya. Walau sedikit hati ingin dia angkat meja kasir dan melemparkannya kepada pelanggan sok kaya itu.
Dering panggilan ponsel terus berbunyi dengan nada klasik dan Askar tidak perduli dengan itu. Askar sadar kalau tidak mungkin ada seseorang yang secara khusus menanyakan kabar kepadanya.
Karena sebagian besar panggilan itu, dari orang-orang yang Askar kenal hanya untuk berbasa-basi meminta berhutang, menawarkan bisnis MLM, menanyakan lowongan kerja dan salah sambung. Selebihnya adalah kedok penipuan berhadiah mobil dari undian sabun colek atau hanya menawarkan pendaftaran kartu kredit.
"Terimakasih atas kunjungannya." Kembali Askar harus tersenyum penuh kepura-puraan didalam hidupnya.
Seorang manusia seperti Askar adalah hanya salah satu dari sekian banyak manusia yang sudah merasakan berbagai macam pengalaman hidup di kota Jakarta.
Askar tidak ingin mencari masalah di dalam kehidupannya dan tidak ingin mendapatkan masalah yang mengganggu keuangannya.
Bahkan hingga saat ini, Askar sudah merasa muak jika setiap menit harus berpura-pura tersenyum di depan pelanggan dan pada akhirnya saling berdebat karena kembaliannya diganti permen .
'Itu hanya 50 rupiah, jika pun ada, buat beli kuaci setengah bungkus pun gak dapet .' Itu yang ingin Askar katakan kepada setiap pelanggan yang ingin mengajaknya berkelahi hanya karena 50 rupiah .
Tapi bagi Askar, jika dia tidak bisa membawa diri dalam kehidupan bermasyarakat, maka dirinya sendiri akan tersingkirkan oleh mereka.
******
Wajah Askar tampak lemas karena terlalu banyak senyum dan mulai mengemasi barang-barangnya untuk segera pulang. Tidak perlu memakan waktu hanya untuk berganti baju dan menggunakan sepatu .
Untuk seorang pegawai minimarket Askar memiliki wajah cukup tampan dan tubuh atletis yang terbentuk dengan latihan keras.
Tapi Jakarta tidak memandang seperti apa rupa manusia, hingga yang terjadi adalah terjebak dibelakang meja kasir yang tersenyum seperti orang bodoh. Hanya saja dengan wajah tampannya, tidak menutup kemungkinan dalam mendekati beberapa wanita .
Sebut saja R, wanita cantik berambut hitam potongan shaggy, bodi langsing dengan tinggi layaknya model .
Jika dilihat dari rupa, maka setiap orang akan mengira kalau R adalah seorang model majalah yang berpura-pura menjadi pegawai minimarket.
Tapi pada kenyataannya, R adalah mahasiswa semester 4 yang hampir drop out karena tidak memiliki biaya, dan berakhir dimeja kasir, tepat disamping Askar untuk membiayai kebutuhan kuliah dan makan keluarganya sehari-hari.
"Askar, bisa kita pulang bersama." Wanita itu secara langsung menghampiri Askar dengan senyuman manis.
"Tentu saja Rea, dan juga aku takut jika terjadi sesuatu kepadamu." Balas Askar yang dengan akrabnya mengusap kepala R. R berasal dari nama Rea.
Askar dan Rea beriringan melewati trotoar jalan, dimana waktu sore saat pulang kerja, jalanan terasa begitu ramai dan sempit, membuat Rea harus berdekatan dengan Askar.
Sesekali jari-jari Rea yang tanpa sengaja saling bersentuhan membuat suasana hatinya menjadi canggung.
Terlalu jelas terlihat bahwa wanita cantik yang selalu dianggap oleh Askar sebagai adik memiliki perasaan khusus kepadanya.
"Bagaimana dengan kuliah kakak, apa baik-baik saja." Tanya Rea yang berjalan di samping Askar dengan ekspresi wajah bahagia.
"Ya ....untuk saat ini, tidak ada hal lain, selain duduk, melihat drama orang bodoh dan menunggu kelas selesai." Jawab Askar dengan tersenyum sendiri.
Rea pun merasa santai untuk saling berbincang mengenai permasalahan kuliah. Sebagian besar waktu Rea hanya disibukan dengan berkerja di minimarket, membersihkan rumah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah.
"Bukannya memang seperti itu, jadi jangan berharap hal lain, jika kita ingin lulus tanpa ada masalah." Rea yang menanggapi jawaban askar dalam arti lain.
Di antara setiap orang yang mengenal Askar, tidak ada satu pun dari mereka semua dengan akrab berbicara kepada Askar, sekali pun sok akrab, hanya ada dua alasan, meminjam uang dan memintanya untuk ikut bisnis MLM.
Terlebih lagi sosok Rea sudah layaknya adik bagi Askar, walau usianya hanya berbeda dua tahun, tapi bagi Rea melihat Askar menujukan adanya perasaan khusus tersimpan didalam hatinya.
"Ya, kau benar Rea, hanya saja, jika manusia melakukan hal berulang kali tentu akan bosan, pasti ada saatnya kita berpikir 'bukankah menarik, kalau aku melemparkan kursi kearah mantan pacar, ketika dia sedang menyombongkan kekasih barunya'. Bukankah itu terasa menyenangkan ." Askar mengatakan itu dengan nada datar namun menatap serius dan Rea hanya tersenyum kecut mendengar pernyataan Askar .
"Jika kakak melakukan itu, maka kemungkinan besar keesokan harinya kakak akan dibawa ke kantor polisi." Tertawa Rea membayangkan jika Askar benar-benar melakukan hal itu.
"Setidaknya itu bukan hal buruk ,hanya mengutarakan isi hati dengan sebuah tindakan." Berkata Askar dengan sedikit tertawa.
"Jika itu di perbolehkan aku pun ingin melakukannya." Jawab Rea dengan nada kesal saat setuju dengan pendapat Askar.
Tanpa sengaja seorang lelaki menyenggol tubuh Rea, itu tidaklah aneh, saat keramaian jam pulang kerja jalanan menjadi semakin sempit.
Askar menangkap tubuh lelaki itu secepatnya."Tuan tidak terluka, tolong berhati-hatilah." Sembari menepuk punggung lelaki berjaket hitam dengan celana Levis sobek-sobek.
"Terimakasih tuan, aku tidak apa-apa." Kembali lelaki itu berjalan pergi, sesekali melirik dan hilang melewati kerumunan orang.
Askar tidak merasa aneh dengan tindakan lelaki itu, siapa pun orang yang melihat Rea, ingin sesekali menyenggol tubuhnya, terlebih lagi dibagian depan.
Sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat, selalu menggoda siapa pun, jika bukan karena rasa balas Budi kepada orang tua Rea, Askar sudah membawa Rea kepelaminan.
"Kenapa dengan orang itu." Rea bertanya saat melihat lelaki yang sesekali melirik kearahnya.
"Dia tukang copet, aku melihatnya tadi mengambil dompet didalam tasmu Rea." Santai Askar mengatakan alasan dari lelaki itu menyenggol tubuh Rea.
"Heh ?." Rea terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Askar, "kalo kakak tahu, kenapa tidak menghentikannya, duh uang terakhir lagi." Mencari setiap barang-barang didalam tas kecil yang Rea gunakan, tapi tetap apa yang dicarinya tidak ditemukan.
"Untuk apa, karena...." Askar mengeluarkan dua buah dompet, yang satu warna ungu dan satunya tidak lagi berbentuk seperti dompet.
Di kota ini, hidup sangat keras, siapa yang kuat dia yang berkuasa, dan siapa yang berkuasa maka hidup mereka tidak tenang.
Tempat tinggal Askar dan Rea, tidak terlalu jauh dari minimarket tempat kerja mereka, hanya butuh beberapa kilometer melewati pasar ikan, pasar baju, terminal bus, sungai, jembatan dan tempat pembuangan sampah.
Sedikit jauh memang, tapi jarang ada kendaraan umum yang mau melintasi tempat tinggal mereka. Terlebih lagi, mengeluarkan ongkos, hanya menjadi pilihan terakhir bagi Askar ataupun Rea, jika terjadi keadaan darurat.
Di Sebuah kawasan kumuh dipinggiran kota Jakarta, dekat dengan pembuangan sampah. tembok-tembok tua penuh lumut, selokan hitam, bau menyengat, sampah-sampah berserakan, teriakan para pedagang, klakson mobil bobrok, keringat supir, cerobong pabrik berasap hitam, rayuan ******* murah diwarung remang-remang. Padahal masih sore. Dan kedatangan petugas satpol PP yang membuat kacau semua orang.
Lokasi ini menjadi tempat tinggal para perantau dari seluruh Nusantara, mereka semua hidup terlunta-lunta, rumah triplek beralaskan kardus, berjuang dengan penghasilan kecil setiap hari.
Miris, sangat miris.
Ayah Rea, Jatmiko 42 tahun. Hanya seorang penjual buah di pasar sebelah terminal, berpenghasilan tidak lebih dari 50 ribu setiap hari. Tinggal di rumah sewaan, hidup sederhana dengan perabotan usang termakan usia, terlebih harus merawat diri, karena penyakit asma yang dia derita.
Sekali batuk, naik turun napas Jatmiko seperti nyawanya berada diujung tenggorokan. Tapi keinginan untuk menyekolahkan Rea hingga lulus kuliah menjadi satu-satunya alasan Jatmiko tidak menyerah kepada nasib.
Dirumah triplek bercat hijau tua, tepat dipinggiran sungai, sekali musim hujan tiba, banjir pun datang, hanyut semua harta benda yang keluarga Jatmiko miliki, walau pun satu-satunya benda mewah itu, hanya sebuah televisi tabung keluaran Fuji tahun 2004, dibeli Jatmiko karena tidak tega melihat kawan tidak punya uang.
"Rea, Askar, kalian sudah pulang." Lelaki tua yang sedang menikmati waktu istirahat, setelah menarik gerobak buah sejauh 2 kilometer, masih terlihat lelah sembari mengipasi tubuh dengan kertas koran yang Jatmiko lipat.
Askar tersenyum dengan rasa hormat tinggi kepada lelaki paruh baya kurus yang berjuang mati-matian demi menghidupi keluarganya. "Pak Jat, apa hari ini banyak yang terjual."
Jatmiko tertawa sendiri, tawanya itu tidak menujukan sebuah kebahagiaan, hanya sekedar tawa yang menertawakan dirinya sendiri, karena membayangkan hidupnya penuh dengan lelucon."Ya begitulah, ada saja yang beli, dan ada pula yang memintanya." Sebuah kiasan tersirat didalam ucapan Jatmiko.
Raut wajah Jatmiko menujukan arti dari kata yang dia ucapkan, tertawa sendiri, mengeluh sendiri dan terdiam sendiri."Askar maafkan aku, mungkin butuh waktu lama untuk mengembalikan uang pinjaman yang kau berikan, tadi saja, para anak buah Rohan, mengambil separuh dari uang hasil jualanku hari ini."
"Tidak perlu dikhawatirkan pak Jat, aku juga masih belum membutuhkan uang itu, jadi simpan saja dulu, sampai nanti pak Jat memiliki uang lebih." Askar dengan tersenyum menjawab perkataan Jatmiko.
"Jika kau berkata begitu, aku bahkan lupa, kapan aku memiliki uang lebih." Kembali Jatmiko tertawa, karena hampir 22 tahun kehidupan yang dia jalani setelah menikah, tidak sekali pun pernah memiliki uang lebih.
Semua tabungan, harta benda, warisan, keuntungan jualan, semuanya berakhir untuk menyekolahkan Rea dan termasuk meminjam uang, kepada Askar untuk mengoperasi istrinya yang mengalami pendarahan organ dalam.
Terbuka pintu dari rumah triplek Jatmiko, seorang wanita paruh baya yang cantik, namun terlalu kurus karena kekurangan asupan gizi dan nutrisi. Boro-boro berpikir tentang gizi atau nutrisi, asalkan itu bisa dikonsumsi sudah menjadi berkah bagi keluarga Jatmiko.
Tapi setelah Rea ikut berkerja di minimarket tempat Askar, walau tidak bergaji besar, setidaknya mampu memberikan sedikit tambahan penghasilan keluarga. Anggap saja, awalnya mereka langganan warteg, kini naik kasta menjadi penikmat nasi Padang.
"Askar silakan masuk, mari kita makan dulu." Dengan senyuman manis diwajahnya yang keriput, Juminah menyambut kedatangan Askar untuk sekedar mampir dan ikut makan malam bersama.
"Tidak perlu Bu Jum, aku masih kenyang jadi ...."
Pak Jatmiko memotong perkataan Askar, "Jadi apa Askar, memang kau kenyang makan apa."
Balas Askar dengan senyuman kecut, karena memang, tidak ada makanan yang dia masukan kedalam perutnya itu sejak siang, "Makan emosi pak Jat."
Sedikit hati Askar ingin menolak ajakan pak Jat dan Bu Jum untuk ikut dalam makan malam mereka, karena Askar tahu, apa yang menjadi hidangan hanya nasi putih, telur dadar, sambal terasi dan doa sebelum makan. Kandungan nutrisi dari telurnya pun seakan tertutupi oleh tepung terigu untuk membuatnya lebih besar.
"Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa menolak permintaan dari Bu Jum yang sudah repot-repot mengajakku untuk ikut makan malam." Kata Askar sembari menggaruk kepalanya yang belum keramas.
Semerbak aroma wangi dari arah kamar Rea tercium dengan jelas, parfum murah yang dia beli dari kios, tidak mempengaruhi harum alami dari tubuhnya. Gadis itu memang memiliki kecantikan luar dalam yang alami, sekali pun harus seharian berkeringat aroma tubuh Rea tidak ada ubahnya dari wangi bunga melati.
"Aku harus ke kamar kecil sebentar." Kata Askar yang ingin membasuh tangannya sebelum makan.
Kamar mandi rumah Jatmiko berada dibagian belakang, tanpa sengaja berpapasan dengan Rea yang masih berselimut handuk setelah mandi. Rea terkejut dan terpeleset dilantai yang licin, sigap Askar menangkap tubuhnya.
Askar merasa canggung dimana sensasi kenyal dari aset pribadi milik Rea, terasa nyata bersentuhan dengan tubuh Askar. Segala perabotan yang sesak disegala tempat, membuat Askar kebingungan, maju salah, mundur pun tidak bisa.
Askar terdiam, Rea terdiam, bahkan kucing yang sejak tadi mengeong ingin kawin pun ikut terdiam, sembari memperhatikan, wajah malu dari Rea.
"Rea maaf." Askar yang tidak bisa maju atau pun mundur, memutar tubuhnya untuk memberikan jalan agar Rea segera pergi.
Menunduk layu Rea sembari pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Askar merasa bersalah atas kejadian ini, dia pun tidak tahu, jika Rea sedang mandi dan dia tidak sengaja lewat.
Di tempat Jatmiko dan Juminah, keduanya berbicara serius mengenai permasalahan tentang Askar. Ekspresi tidak menyenangkan ditunjukan oleh Juminah.
"Pak, tidak perlulah kau untuk meminta Rea menjadi istri Askar, kita sudah miskin, kalau Rea menikah dengan Askar, maka masa depannya hanya akan berantakan." Juminah memberikan argumen tentang masa depan putri satu-satunya itu.
"Jum, Askar itu orang baik, dia sudah banyak membantu kita, apa salahnya dengan menikahkan Rea kepada Askar, setidaknya Rea pun menyukainya." Jatmiko serius menanggapi perkataan istrinya itu, apa yang Jatmiko pikirkan tentang Askar karena sosoknya yang selalu baik kepada keluarga mereka.
Juminah menggelengkan kepala, ekspresi rumit yang memikirkan masa depan putrinya, sangat jelas terpahat di wajah keriputan itu, "pak, dua tahun lagi Rea lulus, pasti akan memiliki pekerjaan yang lumayan, kita bisa membalas hutang Askar dan memilihkan calon yang cocok untuknya."
"Terserah ibu, aku akan mengikuti apa yang Rea inginkan, jika memang dia menyukai Askar, sekali pun Bupati datang untuk melamar, aku akan menolaknya." Tegas Jatmiko dengan suara lantang.
Dibalik tirai kamar, Rea hanya mendengarkan setiap ucapan dari ibunya, berbaring lemas memejamkan mata dan sejenak melepaskan masalah di dalam hidup yang serba salah.
Askar tidak tahu apa yang terjadi, suasana canggung diantara mereka, semakin jelas ketika melihat sikap diam yang Rea tujukan. Termasuk juga Jatmiko dan Juminah yang hanya tersenyum saat meletakan telur dadar tebal karena tepung terigu kedalam piring Askar.
"Bu Jum tolong jangan berlebihan, aku tidak terbiasa makan sebanyak ini." Itu hanya kepura-puraan Askar, hanya segenggam nasi dan tiga lembar telur dadar tidak sampai membuatnya kenyang, tapi melihat sikap Rea yang terdiam, sejak kejadian di kamar mandi, membuat Askar tidak bernafsu.
Rasa bersalah, suasana yang canggung dan telur dadar bertepung tebal, membuat Askar ingin segera keluar dan pergi untuk pulang.
Gua pengin pulang aja. Pikir Askar yang kembali mengunyah makanan dengan terpaksa.
"Rea kenapa kau diam saja, apa ada masalah." Jatmiko yang ikut merasakan perubahan sikap dari Rea, membuat dirinya bertanya-tanya.
Rea hanya menjawab."Tidak, tidak ada masalah apa pun ayah." Lanjut Rea memasukan satu sendok kedalam mulutnya.
Jatmiko berbaik menatap Askar, sejak awal terlihat jika dirinya begitu banyak diam dan makan dengan lemas, "Askar tidak biasanya kau diam seperti ini."
Ampun dah kok tanya sama gua, harus bilang apaan nih. Terkejut Askar mendengar perkataan Jatmiko yang ditujukan kepadanya. Bingung harus menjawab seperti apa, tentu akan menjadi masalah untuk Askar, jika Rea merasa terganggu atas kejadian di kamar mandi.
"Pak Jat, kita harus bersikap sopan saat makan di rumah orang, jadi aku tidak ingin mengganggu suasana kekeluargaan ini." Askar mencari jawaban seadanya yang terlintas secara tiba-tiba tanpa persiapan.
Jatmiko hanya mengangguk tidak lazim, memahami perkataan dari Askar. Bagi Jatmiko, Askar yang seorang anak kuliahan, mendapat rasa hormat dari Jatmiko, karena dia hanya berpendidikan SD itu pun tidak sampai lulus.
"Aku mengerti, aku mengerti." Gumam Jatmiko dengan mengangguk.
******
Malam semakin larut, setelah menyelesaikan acara makan malam bersama, Askar berdiri diluar rumah untuk menyalakan rokok murahan dengan rasa pahit dan keras saat dihisap.
Askar bingung harus berbuat apa saat menghadapi Rea saat bertemu, setiap pikiran Askar melayang jelas entah kemana, aroma asap rokok murahan sangat menyengat terhembus keluar dari mulutnya.
Suara langkah kaki berjalan terdengar oleh Askar, tersadar jika seseorang yang dia kenal mendekat dari arah belakang. Terasa lembut saat sentuhan jari-jemari masuk kedalam sela telapak tangannya.
"Rea ?." Tidak ada jawaban darinya.
Dia hanya terdiam dan berdiri membelakangi tubuh Askar tanpa sedikit pun menjawab panggilannya. Gemetar tangan lembut sedikit kasar namun tidak lepas genggaman itu.
Askar merasa ada suatu masalah yang terjadi pada Rea, sejak awal dia pulang, tidak sekali pun melihatnya bersedih, satu-satunya kejadian adalah saat pertemuan tidak sengaja yang membuat Rea saling bersentuhan.
Askar ragu untuk melihat apa yang akan terjadi jika dirinya berbalik,"Apa yang terjadi, Rea." Askar kembali bertanya, namun tetap tidak terdengar jawaban darinya.
Hingga Askar membulatkan tekad, satu tarikan panjang rokok murahan untuk meyakinkan diri menghadapi kemarahan Rea. "Re..."
"Ada apa kak." Belum sempat Askar berbalik, sosok gadis dengan baju ungu bercelana pendek, muncul dari arah samping, menjawab panggilan Askar yang terhenti.
Lah jadi tangan siapa ini. Pikir Askar sebelum melihat kebelakang.
Sosok lelaki tua dengan tersenyum menunjukan gigi kuning yang tidak lagi lengkap berdiri tepat dibelakang Askar.
"Pantas saja tangannya kok kasar." Geram Askar melihat ekspresi dari lelaki tua yang masih tersenyum tidak jelas kepadanya.
"Karena Rea sudah datang, maka posisi ini harusnya di isi oleh seseorang yang tepat." Jatmiko menarik Askar dan meletakkan tangannya kepada Rea.
Sebuah senyuman penuh arti dari lelaki tua yang sebagian besar hidupnya dia serahkan demi kebahagiaan keluarga,"Maaf jika ayah mengganggu." Cepat Jatmiko pergi meninggalkan Askar dan Rea dihalaman depan rumah.
Semakin canggung Askar menatap Rea, wajah gadis itu merah merona, Askar merasa sulit untuk mengucapkan satu kata yang tepat dalam situasi seperti sekarang.
Menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata dan meyakinkan diri untuk menghadapi apa pun resikonya. "Untuk yang tadi aku minta maaf Rea, sungguh aku tidak tahu jika ada kamu di kamar mandi."
"Kakak tidak perlu meminta maaf, karena aku tidak mempermasalahkannya, bahkan jika kakak mau..." Terdiam Rea menghentikan ucapannya, saat terdengar nada dering klasik dari ponsel Askar.
Melihat nomor panggilan yang masuk, segera Askar menyimpannya kembali, "Maaf Rea, aku harus pergi."
"Baiklah kalau begitu kakak." Walau merasa enggan melihat Askar pergi, Rea bukan siapa-siapa yang melarangnya untuk tetap bersama.
"Salam sama ayah dan ibu, terimakasih atas makan malamnya." Askar pamit dan Rea lemas memperhatikan langkah kaki Askar pergi dari hadapannya.
******
Askar tinggal disebuah kontrakan kecil yang sempit, kotor dan berantakan. Bahkan jika ada yang menganggap jika tempat tinggal Askar adalah sebuah kandang ayam. Itu tidaklah salah, karena tepat disampingnya adalah tempat ternak ayam kampung.
Membasuh wajah, berganti baju dan merapikan rambut. Tidak akan menyangka jika sosok manusia yang tinggal didalam kandang ayam itu, adalah sosok tampan dengan baju kemeja hitam dan celana jeans.
Jam ditangan Askar menujukan waktu pukul 22.47, dua jam tiga belas menit menjelang tengah malam. Keramaian kota Jakarta tidak lekang oleh waktu. Entah itu siang atau malam, musim kemarau hingga musim hujan, bahkan musim pemilu bersama dengan banjir sekali pun, Jakarta masih tetap dipenuhi manusia.
Para ******* berharga murah menawarkan diri didepan warung remang-remang yang berkamuflase sebagai kios kopi pinggir jalan. Setiap penikmat kopi suasana malam selalu datang dari segala penjuru kota demi mendapatkan diskon untuk tiga kali pembelian.
Askar terus berjalan melewati semua rayuan maut dari ******* berbedak tebal, hingga sampai ke sebuah Bar yang sedikit lebih mewah dengan tulisan 'Senja malam' diterangi segala lampu kelap kelip.
Dua penjaga berbadan besar, jas hitam, sepatu pantofel, menatap tajam kepada Askar yang berdiri hanya setinggi hidung dari kedua penjaga pintu bar itu.
Tanpa basa-basi, sebuah pukulan dari salah satu penjaga datang menuju kepada Askar tepat dikepala. Askar menangkap pergelangan tangan, bergeser satu langkah dan memutar tubuh penjaga besar yang hampir dua kali lipatnya.
"Samuel, kau masih belum cukup mampu menjatuhkanku." Kata Askar yang melepaskan penjaga bernama Samuel dari kuncian tangannya.
Samuel berdiri "Anda adalah komandan pasukan khusus...."
"Mantan." Askar memotong perkataan Samuel saat menyebutkan riwayat pekerjaan yang pernah dia lakukan.
Melihat sorot mata tajam Askar, Samuel menunduk takut, karena Askar merasa kesal saat dia mengatakan identitas dirinya.
"Mantan pasukan khusus, maaf tuan Askar." Samuel meralat ucapannya karena dia tahu tentang Askar, "Nona Sela sudah menunggu kedatangan anda."
Samuel membuka pintu dan Askar pun memasuki dunia yang berbeda dari kehidupannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!