"My God, seandainya milih jodoh semudah milih sepatu, tinggal nyoba pas ato ga, nyari warna yang di inginkan, nentuin nomor yang sesuai, bbbbeeeuuuh, senangnya hatiku mak."
Itulah celetukan yang keluar dari mulut Tiara yang kini tengah asik memilih sepatu di sebuah toko yang terletak di dalam sebuah mall. Sudah hampir dua jam Tiara belum menemukan sepatu yang cocok untuk kakinya, terkendala nomerlah, warna yang tersedia, bahan yang ga dia suka dll. pelayan toko itu sampai bosan mengekori Tiara yang asik-asik saja dengan kegiatannya.
"Fix, mbak! Minta yang ini, warna dan ukuran yang sama kayak yang di pajang, oke."
Dengan wajah sumringah penjaga toko itu meraih sepatu yang di minta Tiara, mungkin sudah saking bosannya dan ingin Tiara cepat-cepat keluar dari toko itu. "Sebentar ya mbak, masih di ambilkan!"
Beberapa menit kemudian Tiara telah mendapat sepatu sesuai keinginannya, hatinyapun kian senang, "yes, I got you" gumamnya pada si sepatu. "Bungkus mbak!"
Tiara melangkahkan kakinya keluar dari toko dengan perasaan gembira, membeli sepasang sepatu dengan gajinya sebagai guru honorer, merangkap mahasiswa, menjadi kebahagiaan tersendiri untuknya. Sisa dari gajinya tentu saja akan dia pakai untuk membayar uang kuliah jika nanti waktunya tiba untuk dibayar.
"Aduuuuh godaan-godaan menakin menakin ini kayak manggil-manggil nama aku deh." Matanya yang sedari tadi mengarah pada toko-toko baju yang berderet sepanjang mall seolah ingin membuatnya membeli baju-baju yang di pajang di patung pajangan. Apa daya gajinya yg pas-pasan tak mengijinkannya untuk melakukan hal itu.
Bruk...
Tiara hampir terjatuh setelah menabrak sebuah sosok yang ternyata..."Oh my god, nenek maaf maaf maaf, nenek ga apa-apa? Sini nek saya bantuin!"
Tiara membantu si nenek yang tasnya terjatu gegara dia tabrak tadi, otomatis beberapa isi tas itu juga keluar 'ampun Tuhan kenapa mesti nabrak neni neni pula, ****** aku diomeolin, ini ni kalo otak mata ama kaki ga sinkron Tiara ****, rasain kamu.' Tiara memasrahkan nasibnya nanti jika harus mendapat omelan dari si nenek.
"Sini nek, duduk dulu! Nenek ga apa-apa?" tanyanya semanis mungkin, modus biar ga kena omel parah, "maaf tadi saya jalannya ga hati-hati, ga konsen lihat baju pajangan," ujar Tiara polos, Tiara menuntun sang nenek untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di luar sebuah toko.
"Ga pa-pa cu."
'Kok manggil cucu sih, aku bukan cucumu nek'
"Panggil Tiara saja ya nek, lebih enak!" sambil memperlihatkan senyum terbaiknya Tiara mencoba beramah tamah, "ada yang bisa saya bantu ga nek, kayaknya nenek lagi bingung?" plan A, dari pada kena omel biarlah aku yang bergerak duluan.
"Kalau boleh nenek mau..."
"Boleh dong nek, pasti Tiara bantu." Tiara memilih memotong agar meyakinkan dirinya tidak kena marah.
"Wah, kamu baik sekali Tiara."
"Apa sih yang engga buat nenek," dengan wajah ceria terbaiknya Tiara menyanggupi permintaan sang nenek yang belum diketahuinya, "tadi mau minta tolong kan nek, minta tolong apa?"
"Antarkan nenek pulang ya!"
"Hah?" Pekik Tiara bodoh.
"Nenek tadi datang sama cucu nenek, tapi tadi dia ijin pergi makan ke kafe, nenek mau telfon tapi kok hape nenek ga bisa nyala."
'*I*tu lowbat neni sayang, ****** kamu Tiara, **** mu berkembang biak dengan pesat, makanya kalo orang tua ngomong tu didengerin sampe selesai, jangan asal motong,'
"Rumahnya di mana ya nek?"
"Di pondok indah."
'*A*lamat gaji kepake lagi buat bayar taksi, apa kabar uang kuliah, plan B go!'
"Boleh kok nek, nenek bisa di bonceng pake motor ga?" Tuhan jangan sampe ni neni bilang pinggangnya suka encok.
"Aduu jangan pake motor atu cu, kaki nenek suka kebas kalo gelantungan lama, kita pake taksi aja!"
Baiklah, sisa pembayaran uang kuliah ngutang di koperasi, fix. Bolak-balik pondok indah pake taksi, habis sudah.
"Ya sudah nek, mari saya antar!" pasrah.
Mereka bedua mulai berjalan meninggalkan area pusat perbelanjaan tersebut. Apa aku saranin aja nyari cucunya keliling mall ini aja ya, gila juga, bisa bisa aku yang encok, ya sudahlah, selamat tinggal sisa gaji.
Dengan tangan sebelah sang nenek yang bertumpu pada tangan kiri Tiara mereka berjalan menuju tempat pemesanan taksi, sama sekali tidak terlihat seperti orang asing yang baru bertemu, mereka tampak akrab, mengobrol sambil sesekali tertawa, entah apa yang dibicarakan. Begitulah Tiara, supel ceria dan mudah bergaul dengan siapapun.
***
"Tiara, nama yang bagus, cantik seperti orangnya."
"Terima kasih nek, kata papa nama itu pemberian almarhumah mama."
"Mamanya Tiara sudah meninggal? Maaf ya nenek ga tau."
"Ga apa-apa nek, Tiara sudah biasa."
"Tiara belum punya pacar ya?" tanpa basa basi sang nenek memberi pertanyaan yang sukses membuat Tiara melongo.
Gila ni neni neni punya telepati mungkin, kok ngena banget, salah orang gue.
"Ah keliatan banget ya nek?"
"Iyalah, kalo sudah punya pacar pasti ditemani belanja."
"Bener-bener, nenek pintar deh." Canda Tiara garing.
"Oh ya, kayaknya nak Tiara udah kerja ya, pakai seragam kayak gini."
"Iya nek, saya ngajar sambil kuliah."
"Wah hebat dong."
"Ga kok nek, biasa aja, ngajarnya juga masih honorer, itung-itung ngurangin beban papa."
'Nyambung ga sih omongan aku, duh ne lama banget lagi nyampenya, bisa-bisa pulang malem, motor masih di parkiran mall lagi.'
"Nak Tiara nanti minta tolong berhentinya di rumah nomer 43 ya!"
*T*inggal kasih tau sopir taksinya kali nek.
"Iya nek, ini baru nomer 39, duh urutannya gimana sih pak?" Tiara bertanya asal pada sopir taksi, "kok yang sebelah sana 38, Nek rumahnya yang mana sih? bener ini alamatnya?"
"Bener kok. Ikuti persimpangannya pak, yang gerbang putih." Ujar si nenek.
'Nah itu tau, kenapa ga pulang sendiri aja sih nen?'
"Udah pak, stop disini!" Sopir taksi itupun menepikan taksinya di depan sebuah gerbang besar berwarna putih. Tiara sempat melongo melihat gerbang rumah si nenek, baru gerbangnya lho, gimana dalemnya?
"Nak Tiara mampir sebentar ya, tanggung udah mau maghrib!"
"Aduh ga usah nek, saya langsung balik aja."
"Eee, ga bisa gitu, ga baik lho anak gadis pulang sendiri, masa tega nolak permintaan nenek?" dengan wajah memelas sang nenek meminta Tiara mampir ke rumahnya.
'Tuhan, bener-bener salah orang, maksud hati mau modus, sekarang gue yang di modusin. The power of neni neni.'
"Ya udah nek, saya mampir sebentar." Balas Tiara tak tega.
Setelah membayar argo taksi, Tiara dan si nenek masuk ke dalam rumah.
"Tenang aja, nanti biar cucu nenek yang nakal itu yang nganter kamu pulang."
Benar saja, sepertinya nenek yang baru ia kenal ini adalah orang kaya. Baru sampai di halamannya saja Tiara dimanjakan dengan berbagai tanaman hias yang asri dan indah, beberapa tanaman yang ia tau harganya cukup mahal, ck ck ck. Jangan tanya garasinya, di sana terparkir beberapa mobil import keluaran negara yurep yang harganya sudah pasti, mungkin bisa beli satu dealer motor 4 tak seperti miliknya.
"Ayo masuk Tiara, anggap rumah sendiri!"
Tiara memasuki bagian dalam rumah, di sana ia sudah di sambut sofa empuk berukuran besar, di lengkapi karpet Persia sebagai alasnya dan guci-guci keramik besar yang menjadi pajangan di sekitar ruang tamu itu. Nuansa putih yang mendominasi membuat rumah besar itu terasa mankin luas.
"Bik, tolong buatkan minum!" Pinta sang nenek kepada asisten rumahnya yang mungkin berada si dapur. Entah dapurnya dimana.
Saat keduanya mengobrol sang asisten rumah tangga datang dengan dua buah cangkir teh. Tiara tanpa ragu menyesap teh tersebut karena memang sudah merasa haus dari tadi,
*H*mm teh blackcurrant, aku suka ne.
Kurang lebih lima belas menit berada di rumah itu suara pintu rumah dibuka oleh seseorang dari luar.
Klik
"Oma! kok ga ngasih tau sih kalau pulang duluan, kirain hilang tau Yundhi mesti nyari lewat cctv security segala." Ucapnya ketus. Suara itu bahkan belum sepenuhnya muncul di depan mereka karena masih sibuk menyimpan ponsel.
Sambil melangkahkan kaki mendekati ruang tamu sang nenek bangun dari duduknya.
"Yundhi, sini kenalin calon istri kamu!"
"Haaah?"
Tiara buru-buru menelan tehnya sebelum ia semburkan.
"Yundhi, sini kenalin calon istri kamu!"
"Haaah?"
Tiara dan Yundhi kompak menyahut dengan mulut mereka yang kini melebar.
"Tiara kenalkan ini cucu nenek, Yundhi Edward Prasetya. Yundhi kenalkan ini Tiara, oma pengen kamu jadiin Tiara calon istrimu!"
Tiara mengelus belakang lehernya dengan gelisah, sedang pria di depannya menatap tajam.
"Adu nek maaf, punten, maksudnya apa ya?" tanya Tiara dengan sedikit gelagapan sambil salah tingkah. Bagaimana tidak terkejut, pacaran tidak, kenal apalagi, sekarang diklaim calon istri, apa maksudnya coba?
Tenang Ra tenang!
"Kamu jangan manggil nenek dong, panggil 'oma' juga ya, kayak Yundhi!" sembari bangun dari duduknya, oma menarik tangan cucunya yang terlihat enggan bergabung dengan mereka.
"Oma apaan sih? Calon istri calon istri, ga ada, Yundhi engga kenal juga." sambil merengutkan bibir lelaki yang katanya bernama Yundhi ikut duduk bersama Tiara di sofa.
"Makanya sekarang kenalan, ini gadis baik-baik, tadi dia nganter oma pulang!"
"Ogah ah," dengan wajah yang di buang ke sembarang arah Yundhi menolak mentah-mentah dikenalkan dengan Tiara.
Tiara sebenarnya ingin mengeluarkan wajah penolakan seperti Yundhi, tapi mengingat yang ia hadapi adakah orang tua.
'Saya juga ogah dikenalin ama situ.'
"Cucunya ga mau nek, engga apa-apa saya pulang aja." Ujar Tiara dengan senyum manis buatan.
"Aaaakh"
Tiba-tiba si nenek memegang dada kirinya dan terlihat kesakitan.
"Omaaa!!" dengan wajah panik Yundhi meraih tubuh sang nenek dengan cepat. Ia yang tadinya ada di seberang dalam hitungan detik telah berada di samping neneknya.
Tiarapun mendekat ke arah wanita tua itu dan duduk di sampingnya, berharap jika sang nenek tidak kenapa-kenapa.
"Oma masih sakit, kenapa maksa minta jalan-jalan? Sekarang juga minta aneh-aneh."
Tiara sudah membuka mulut mau balik memarahi, orang tuanya sakit malah di omeli.
"Ini permintaan terakhir oma, menikahlahlah dengan Tiara!"
"Nenek jangan ngomong dulu!" ujar Tiara yang kini terlihat akan menangis. "Yang mana yang sakit nek? Sini Tiara obatin!"
"Oma gue jantungan, woy. Mau diobatin pake apa?" Yundhi sedikit ketus menimpali Tiara, tapi Tiara tidak peduli dan terus menanyai nenek yang baru ia kenal itu.
Sambil terus memegangi dadanya, nenek itu terlihat seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Kalian berjanjilah dulu mau menikah!"
Kalimat wanita tua itu sontak membuat Yundhi dan Tiara berpandangan.
"Aaaakh."
Si nenek semakin terlihat kesakitan.
"Iya iya Yundhi janji."
Nenek itu kini memandang ke arah Tiara. Merasa tidak punya pilihan lain Tiara hanya mengangguk pelan, bahkan sangat pelan iitupun hanya sekali.
"Aaakh," nenek itu makin terlihat menderita.
"Iya saya juga janji nek!" akhirnya Tiara memantapkan dirinya. Meski dia merasa baru saja di jebak.
Nenek itupun tersenyum.
"Yundhi, tolong obat oma di tas!"
Yundhi segera meraih tas neneknya yang berada di atas meja. Sedangkan Tiara terus memegangi tangan wanita tua itu. Nenek itu kemudian meminum obat yang diberikan cucunya dengan teh blackcurrant yang ada di atas meja.
"Nek!" Tiara ingin mencegah si nenek minum obatnya, tapi dia kalah cepat karena nenek sudah menelan obat tersebut dengan tehnya.
"Kamu kenapa, mau bunuh oma saya?"
Astaghfirullah, sabar Ra sabar!
"Bukan gitu, setahu saya kurang baik minum obat dengan teh atau minuman lain selain air putih, maaf kalau saya lancang." Tiara menciut melihat tatapan menusuk Yundhi ke arahnya. "Maaf ya nek!"
"Panggil oma, Oma Ranti, bisa kan Tiara." Oma Ranti terlihat lebih baik. Tiara bisa bernapas lega dan kembali duduk di tempat semula.
"Belum resmi jadi cucu mantu saya aja kamu udah perhatian, apalagi nanti kalau sudah menikah dengan Yundhi, dan kamu Yundi bersikap lembut dan lebih baik sama Tiara. Perlakukan dia seperti kamu berlaku sama oma dan mama kamu!"
Yundhi tidak menyanggupi tapi malah membuang muka.
"Oma udah baikan?" Tiara sedikit gugup karena ingin menyatakan pendapatnya tentang perjodohan yang baru saja dialaminya. Tapi ia sedikit ragu, malah cenderung takut kalau nanti oma Ranti sakit lagi. 'Bodo amat, dia kan kaya nanti bisa berobat ke dokter hebat.'
"Gini Nek, eh Oma, apa tidak sebaiknya kami saling menjajaki dulu. Saya baru kenal sama oma juga masnya, siapa tadi?...Yun...Yundhi iya? Gimana, boleh kan oma?" Tiara bicara sehalus mungkin agar tidak membuat oma Ranti kambuh.
"Pinter kamu." Sarkas Yundhi.
Tiara hanya membuang napas jengah melihat tingkah Yundhi terhadapnya. Siapa juga yang mau dijodohkan dengan pemuda hampir matang slengekan seperti dia?
"Boleh kok, boleh sekali. Kalian bisa mengatur waktu untuk bertemu, atau perlu oma yang atur?"
"JANGAN!!" Yundhi dan Tiara kompak bersahut.
"Biar nanti kami yang mengatur pertemuan oma." Ujar Tiara sambil menatap Yundhi meminta dukungan.
Yundhi yang tidak peka malah mengalihkan muka seakan tak ingin lama-lama melihat wajah Tiara.
"Kalau begitu kalin bertukar nomor ya sekarang, Oma seneng denger kalian kompak begini."
Tiara menyunggingkan senyum terpaksa manisnya kepada oma Ranti. Setelah bertukar nomor hape dan mengobrol basa basi dengan oma Ranti akhirnya Tiara memutuskan untuk pamit. Ia juga khawatir ayahnya menunggu di rumah dengan perasaan cemas.
"Tiara pamit ya oma."
Sambil membawa tas berisi sepatu yang baru di belinya Tiara berdiri dan mencium punggung tangan oma Ranti.
"Kamu di antar Yundhi saja ya," kata Oma Ranti saat mereka mulai berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Enggak usah oma, saya bisa naik taksi."
"Syukur deh." Ungkap Yundhi dengan suara pelan tapi masih bisa di dengar Tiara.
'Saya juga males kali pak.'
Tanpa menunggu izin oma Ranti, Tiara melangkah menuju pintu dan melambai pada wanita tua yang masih terlihat cantik itu.
Setelah memesan taksi, Tiara menyandarkan tubuh pada tembok pagar rumah megah yang baru dikunjunginya, menunggu taksi pesanannya datang. Tubuhnya terlihat kecil di bawah sandaran tembok yang lumayan tinggi dan kokoh.
'Tuhan semoga enggak lama, mana udah malam lagi.'
Tiiinn...
Tiara dikagetkan dengan suara klakson mobil bercat putih yang berhenti di depannya. Jendela mobil itu kemudian terbuka.
"Get in!" Yundhi menengokkan kepala ke arah jendela.
Tiara yang tahu kalau isi mobil itu adalah Yundhi segera membuang muka. Tidak ada nafsu baginya duduk semobil dengan lelaki yang baru dijodohkan dengannya itu. Atau sebut saja jodoh jebakan.
Yundhi tampak kesal dan kembali menekan klakson mobilnya.
"Saya belum berniat jadi cucu durhaka, kalau bukan oma yang maksa saya juga ga mau nganter kamu, mending sekarang kamu naik atau tetap disini sampai jadwal anjing tetangga saya di lepas untuk jalan-jalan."
Mendengar kalimat Yundhi, Tiara segera bangkit dari sandarannya. Ia menarik napas putus asa.
Dengan wajah lesu Tiara membuka pintu mobil mewah yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Sudah jelas Yundhi bukan pria baik, buktinya dia tidak turun membukakan pintu untuk Tiara. Menambah kuat perasaan bahwa Yundhi tidak suka padanya.
"Maaf ya pak sopir!"
Yundhi sontak menatap tajam ke arah Tiara, bukan hanya tajam, tapi juga menusuk penuh rasa jengkel.
"Bukan anda, tapi sopir taksi yang saya cancel, jangan ge er!" ujar Tiara santai.
Mobilpun mulai bergerak ke arah keluar komplek perumahan elit itu. Tidak ada percakapan yang terjadi antara Yundhi dan Tiara. Tiara juga tahu diri kalau Yundhi tidak menyukainya, jadi lebih baik tidak bicara daripada nanti di beri sahutan pedas.
"Antar saya ke mall saja, motor saya masih di parkiran, terimakasih."
Jelas, singkat, padat dan pas. Cukup kalimat itu saja yang akan dia ucapkan. Tak perlu acara basa-basi karena toh Yundhi juga pasti tidak ingin ngobrol apapun dengannya.
***
"Kok pulang malam nak?" ayah Tiara menyambut kedatangan anak gadis satu-satunya itu dengan wajah yang terlihat cemas.
"Maaf ayah, tadi Tiara tolong seorang nenek di mall. Dia gak bisa pulang sendiri." Jelas Tiara sekenanya. Dia tidak ingin ayahnya mengetahui apa yang baru dia alami, toh mungkin perjodohan itu tidak akan lama mengingat Yundhi tidak menyukainya.
"Ayah sudah makan?" Tiara melepas helm yang terpasang di kepalanya. "Tiara masakin dulu ya."
"Ayah udah masak, kamu bersihkan diri dulu, baru kita makan sama-sama."
Tiara mengangguk dan melangkah ke dalam rumah. Hari ini cukup membuatnya lelah, lelah jiwa lelah raga.
***
Tiara berangkat pagi-pagi ke sekolah tempatnya mengabdikan diri. Meski masih berstatus guru honorer, dia menjunjung tinggi loyalitas dan kedisiplinan dalam bekerja. Pekerjaannya juga mulia, seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa, profesi yang ia cita-citakan sedari kecil. Untuk mengajar Tiara selalu bersemangat karena itu dia menjadi guru idola di sekolahnya.
"Pagiiiii Mimi, Jenny, bunda Siti, Udo Halil, dan seeeeemua raga yang ada di sini, Tiara matahari sekolah ini sudah dataaaaaang!"
Suara merdu Tiara memenuhi ruang guru yang tadinya sepi padahal berisi dengan beberapa guru yang datang lebih awal darinya. Sontak semua mata tertuju pada Tiara.
Kehadiran Tiara memang selalu membuat suasana ramai, bahkan disaat semua orang butuh ketenangan, dia akan semakin gencar membuat onar.
"Ra, jam ngajar dimana sekarang?" tanya Mimi teman sesama honorer Tiara.
"Jam ke dua di XA, kenapa Mimi zeyeng?"
Mimi yang ditanya balik memberi senyum manis buatan yang artinya ada maunya pada Tiara.
"Minta tolong ya nanti jam terakhir awasin anak buah kelas XC, aku ada ujian, tapi sudah di siapin tugas kok buat anak-anak, bisa kan, kan kan kan?" Mimi merayu manja sambil mengerlingkan mata.
"Bisalah, jangan lupa sekalian makan siangnya, itu membuat saya lebih ikhlas lagi say."
Mendengar syarat Tiara kini giliran Mimi membulatkan mata "Itu namanya ga ikhlas." sarkas Mimi.
"Ya udah kalo ga mau."
"Iya saya belikan makan siang bu Tiara Pradita Putri, puas anda?"
Tiara tersenyum penuh kemenangan.
"Dengan senang hati ibu Arumi Lestari, jangan yang mahal-mahal, saya ngerti kita teman seperjuangan, cukup sari roti isi keju dan susu bearbrand."
"Cwih, itu namanya kesenengan."
"Itu udah toleransi, Mi. Anda mau saya grab nasi padang?"
Jenny, teman honorer Tiara lainnya, kini ikut berbicara di tengah tawar menawar dua orang temannya itu, tapi beda topik.
"Ra, perangkat kamu udah siap?"
"Udah dong bu Jen, tinggal di print."
"Nitip tanda tangan ya kalo ke ruang kepsek."
"Kenapa ya hari ini kalian kompak membebani saya?"
"Karena anda yang paling muda, beban anda masih sedikit." Jawab Jenny datar.
"Tapi kita seperjuangan lho, tapi berhubung beta baik hati, baiklah, saya akan menanggung beban kalian separo."
"Sesama teman janga itung-itungan!"
"Siapa yang itung-itungan?"
"Kalo ga itung-itungan roti sama susunya batal ya?" Mimi menimpali.
Tiara terpojok, "Semau anda sekalian sajalah!" ucapnya sambil lalu. Mereka ga tahu sih kemarin Tiara beli sepatu yang cukup menguras gaji tiga bulanannya. Kan lumayan kalo ada yang belikan makan siang gratis.
Mimi dan Jeni bertos ria, sementara Tiara melangkahkan kaki ke tempat mesin printer dengan laptopnya.
"Bentar, flashdisk aku mana ya?"
Tiara merogoh saku baju dan celananya. Tapi nihil tak menemukan apa yang dicari. Kemudian beralih ke tas yang ada di mejanya.
"Kok ga ada ya, aaaaaaaa perangkatkuuuuu." Pekik Tiara lima oktaf.
Di tengah kepanikannya suara dering ponsel Tiara memecah konsentrasinya mencari benda kecil berisi perangkat mengajar, tugas kuliah dan foto-foto pribadinya itu.
"Ngapain ni orang nelpon-nelpon, ga ada kerjaan, HALLO!!!" suara Tiara setengah berteriak.
"Kamu dimana?" tanya suara pria di seberang
"Di sekolah, kenapa? Saya lagi sibuk." Tiara sarkas.
"Saya ngomong baik-baik, kenapa anda barbar?"
Tiara menarik napas, kemudian menyadari kalau dia sedikit tidak sopan, benar-benar tidak mencerminkan seorang guru, ck.
"Maaf, ada perlu apa?" suara Tiara melemah.
"Sepertinya ada barang kamu tertinggal di mobil saya."
"Barang?"
"Flashdisk."
"Astaga!!! Jadi sama kamu, gimana ni, perangkat ngajar saya di sana, saya perlu sekarang juga."
Yundhi tersenyum jahil, otaknya bekerja mencari keuntungan dari kondisi Tiara saat ini. Entah apa yang ia pikirkan tapi dia harus bisa memanfaatkan situasi ini.
"I can help. Saya bisa kirimkan dokumennya via email, mau?"
"Bisa, bisa, terimakasih ya, selamet selamet selamet!" Tiara mengelus dada.
Tiara memberi Yundhi alamat emailnya, dan mengarahkan Yundhi nama folder yang harus dikirim.
"Tapi ini ga gratis." Yundhi kembali ke mode awalnya pada Tiara.
"What?"
"Saya punya permintaan untuk membayar bantuan ini."
"Kenapa sih semua orang pagi ini bikin mood berantakan?"
"Saya ga tahu urusanmu dengan yang lain, yang jelas bantuan saya tidak gratis."
"Baik, mau kamu apa?"
"Saya kan beri tahu, tapi tidak sekarang, oke. Tunggu saja!"
Tiara membuka email dan telah menerima surel yang dikirim Yundhi. Dia tersenyum lega, kegiatan mengajarnya hari ini bisa berjalan lancar. Kepala sekolah tempatnya mengajar memang sedikit ketat masalah administrasi perangkat pembelajaran. Setiap jadwal pelajaran, guru harus siap dengan perangkat administrasi selengkap mungkin, mulai dari RPP, silabus, kkm, bahkan alat peraga jika di perlukan.
Tiara tidak keberatan, ia malah senang. Sebelum menjadi seorang guru PNS seperti ayahnya, dia sudah terlatih menjadi guru yang baik. Keuntungan lain yang ia dapat, yaitu dia bisa langsung mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah kepada anak didiknya.
Masalah Yundhi urusan nanti, yang penting tugas mulianya, memanusiakan anak manusia hari ini terlaksana dengan baik.
Tibalah waktu mengajarnya di kelas XA, para siswa telah menanti kedatangannya karena Tiara adalah guru favorit mereka.
"GOOD MORNING STUDENTS!" suara Tiara menggema seantero kelas.
"GOOD MORNING MISS TIARA!" jawab para murid serempak.
"HOW ARE YOU TODAY?"
"WE ARE FINE, THANK YOU, AND YOU?"
"I'm very well, thank's. Have a sit please!"
Tiarapun memulai pelajarannya dengan semangat, awali dengan salam, mengabsen kehadiran siswa, warming up dan pelajaran inti. Para murid mengikuti pelajarannya dengan antusias. Perlu di catat, Tiara adalah guru bahasa Inggris. Ya, dia adalah guru bahasa Inggris idola murid di sekolahnya.
'Coba kita lihat apa sih isi flashdisk ini!'
Yundhi menekan-nekan tombol yang tertera di layar laptopnya melalui mouse yang melekat di tangan kanannya.
"Perangkat Mengajar"
"Tugas Kampus"
"Makalah dan..."
Klik
"Foto saat ulang tahun?"
Yundhi mengklik satu per satu foto koleksi milik Tiara yang tersimpan di salah satu folder.
"Manis"
***
"Ra, mau langsung pulang?" tanya Jenny yang menghampiri Tiara di parkiran.
"Engga, mau ngambil flashdisk aku ni, yang jatuh kemarin, emang kenapa?"
"Ga ada sih, sapa tahu anda mau jejong-jejing dikit, bulan ini banyak premier film bagus masalahnya."
"Daku pengen sih say, tapi lagi buru-buru nih, ntar kalau udah kelar daku kumpulkan skripsi daku, kita nonton deh ama Mimi juga."
"Sip lah, mumet beta bejibaku dengan admin kelas-admin kelas mulu."
"Daku apalagi say, iya deh, jalan dulu ya, bye!"
Tiara melaju motor empat taknya menuju gerbang sekolah. Dia akan bertemu Yundhi di tempat yang sudah di tentukan Yundhi sendiri dan akan mengambil flashdisknya yang terjatuh di mobilnya kemarin.
"Ampun, minta ketemuan di tempat mahal lagi, ****** gue, mana kantong jebol, Tuhan selamatkan hambamu dari orang yang minta traktiran, aamiiin!"
Dengan langkah malas Tiara memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Yundhi. Tanpa sibuk mencari orang yang ia caripun bisa langsung tampak karena kondisi kafe yang terbilang sepi.
Tak perlu merasa harus di persilahkan Tiara menarik kursi kafe dan mendaratkan bokongnya mengambil posisi ternyaman. Yundhi yang tadinya tertunduk membaca menu seketika mendongak melihat makhluk yang datang tiba-tiba itu.
"Salam dulu kek, apa kek, main nyelonong aja, kamu beneran guru?" serang Yundhi ketus. Pria ini benar-benar tidak ada manisnya.
"Siang jelang sore, dan benar saya guru merangkap mahasiswa semester akhir, tidak seperti anda yang jobless, dan tolong flasdisk saya di kembalikan!" cecar Tiara.
"Ck, setelah saya tolong kamu masih bisa bersikap barbar seperti ini, apa tidak tahu terima kasih namanya?" skak Yundhi.
"Apa saya harus bersikap manis pada orang yang jelas-jelas tidak suka pada saya? Maaf, saya bukan orang munafik."
Yundhi melempar buku menu yang ada di tangannya. Sekilas ia tertawa kecil menghadap ke bawah.
"Mungkin, mungkin saja kalau sikapmu lebih manis saya akan 0,1% merasa suka, mau mencoba?"
Fix, mereka berdua memang tidak ada uang memiliki sifat manis sekarang.
Tiara memutar mata jengah. Sebenarnya ia bukannya tidak mau bersikap manis, tapi lebih takut kemungkinan permintaan Yundhi untuk ditraktir di kafe yang harga makanannya setara gaji Tiara sebulan. Jadi, daripada kenanjebakan batman lagi, lebih baik dia mempersingkat pertemuan mereka.
"To the point deh, apa permintaan anda dan kembalikan flashdisk saya, tolong, karena setelah ini saya ada kelas di kampus!" ujar Tiara sedikit memelas. Sebenarnya pun dia berbohong, Tiara telah menyelesaikan sidang skripsi jadi dia tidak ada kuliah sama sekali. Tapi jika boleh memilih, ia ingin segera angkat kaki dari kafe itu.
"Santai lah, kita makan dulu, saya belum makan karena bela-belain kesini ketemu kamu."
Tu...kaaaan, ujung-ujungnya minta ditraktir nih, Tuhan ampuni hamba yang tak tahu diri tapi tolong keluarkan hamba dari tempat ini dengan selamat. Selamat kantong, selamat harga diri.
"Saya sudah makan, silahkan anda makan dengan tenang, dan berikan saja flashdisknya, saya akan pergi, gampang kan?"
Yundhi memutar otak untuk meladeni sikap keras kepala Tiara, padahal biasanya para wanita berebutan ingin makan semeja dengannya. Untuk pertama kalinya ada wanita yang enggan semeja dengan Yundhi Edward Prasetya.
Yundhi mengangkat tangannya memanggil pelayan dan akan memesan makanan.
"Saya pesan steak well done, jus alpukat, dan gellato untuk dessert." Ujar Yaris
Seketika itu juga lutut Tiara terasa lemas mendengar nama-nama menu yang Yundhi sebutkan. Mahal untuk ukurannya.
"Terus mbaknya mau pesan juga?" tanya sang pramusaji.
"Ga mas, saya ga pesan."
"Buatkan saja doble sesuai pesanan saya." Yundhi menyela.
Mata Tiara membulat, sedetik kemudian kepalanya tertunduk di topang kedua tangannya, meratapi nasib dengan apa dia harus membayar makanan itu nanti, perutnya seakan di lilit tali tambang.
"Situ seneng ya nyusahin orang?" Tiara sarkas.
"Bukannya kamu yang nyusahin saya." Yundhi menyerang balik.
"Kalau mau makan, makan aja sendiri, kenapa saya di buat ikut-ikutan?"
"Pertama, saya bukan laki-laki pecundang yang membiarkan wanita menonton saya makan, kedua, saya bukan jobless seperti yang kamu tuduhkan, ke tiga, di sini kamu yang memerlukan saya jadi ikuti aturan saya."
"Kalau bukan jobless, kenapa minta traktir kayak gini? saya sibuk, tinggal kasih barang punya saya apa susahnya sih? Itu barang kecil hanya tinggal kamu sodorkan."
"Hei, saya tidak pernah bilang mau ditraktir, semua makanan yang saya pesan akan saya bayar sendiri, hoho ternyata itu yang bikin kamu ketakutan dari tadi!" skak Yundhi dan tepat sasaran.
Tiara mati kutu, salah tingkah menahan malu. Hawa panas menerpa wajahnya mengisyaratkan air matanya akan keluar dari sarang. Dia ga tau aja gaji guru honorer, akh, sial. Tanpa berpikir dua kali Tiara mengangkat tubuhnya hendak pergi meninggalkan Yundhi. Bodo amat masalah flashdisk.
Dengan cepat Yundhi meraih lengan Tiara hingga membuat Tiara tertahan.
"Duduk!!!"
"Kita akan bicarakan masalah Oma." Yundhi bicara pelan dan penuh penekanan.
Mata Yundhi dan Tiara berpandangan tepat di manik masing-masing. Sekilas Yundhi melihat butiran bening yang memenuhi sudut mata Tiara dan segera mengalihkan pandangannya. Ia yakin Tiara akan semakin tidak suka jika ia ketahuan menangis.
Tiara menyentak tangan Yundhi dan mengalah, setelah mendengar nama Oma disebut, ia teringat kejadian kemarin.
"Katakan, apa mau kamu?!"
"Saya minta kita melakukan apa yang Oma saya mau?"
Tiara yang sedari tadi menatap ke sembarang arah untuk menyamarkan air matanya menatap kembali pada sosok Yundhi.
"Buat apa, kamu ga suka sama saya?"
"Memang, tapi karena Oma, demi dia, saya akan melakukan apa yang dia minta. Dan lagi pula saya sudah punya janji dengan seseorang."
"Janji?"
"Yang itu kamu ga perlu tahu."
Tiara menarik napas dalam. Dia merasa melihat sisi lain Yundhi, nada bicaranya berubah dan melembut saat Yundhi membahas masalah yang menyangkut Ranti. Apa oma Ranti adalah kelemahan Yundhi?
"Kenapa tidak kenalkan wanita lain? Pacar kamu atau siapapun, melihat tampang flamboyan kayak kamu ga akan ada wanita yang nolak, gampang kan, problem solved."
"Saya juga maunya seperti itu, sayangnya wanita yang mau saya kenalkan pada Oma sekarang tidak di sini, dan saya juga penasaran kenapa Oma saya bersikeras ingin saya menikah sama kamu."
"Ga ada pernikahan ya." Tegas Tiara. "Lagian kenapa ga tunggu wanita kamu balik?"
"Saya tidak suka ketidak pastian."
"Memang wanita yang kamu suka itu kemana, jadi TKI?" Tiara makin gencar. Ia penasaran wanita seperti apa yang di sukai Yundhi.
Yundhi tertawa lebar, "selera humor kamu bagus, tapi kita ga perlu bahas dia, bisa?"
"Cih, terus sekarang ...?"
"Saya mau kita kencan!" Yundhi to the point.
Jujur dalam hati Tiara berteriak kegirangan, untuk pertama kalinya setelah empat tahun ada pria yang mengajaknya berkencan lagi, tapi kali ini pria itu tidak punya rasa padanya. Cepat-cepat Tiara membuyarkan rasa girangnya.
Lantas apa tujuan merek berkencan kalau sama-sama saling tidak suka?
Tiara tertunduk sambil memijit pelipisnya, antara senang atau sedih yang harus ia ungkapkan.
Yundhi masih setia menunggu jawaban yang akan Tiara berikan. Dia memandang lekat sosok wanita yang ada dihadapannya itu dan mencoba membaca karakter wajah Tiara.
'Rambut, lurus kecoklatan, alis tipis tak beraturan, mata coklat tua, hidung mungil tapi tidak terlalu mancung, bibir sedang, tidak tipis tidak tebal, rahang oval, kulit eksotis tapi bersih, bolehlah.' Yundhi bergumam dalam hati.
"Bukannya kamu sendiri yang bilang sama oma akan melakukan penjajakan?" Yundhi kembali meyakinkan Tiara, namun Tiara bergeming.
"Oma baru menjalani operasi jantungnya sebulan yang lalu, untuk permintaannya kali ini saya ingin mengabulkan demi kesehatannya."
"Gimana kalau wanita yang kamu suka itu kembali?"
"Saya sudah bilang saya tidak suka ketidak pastian, sekarang saya tidak tahu dia dimana, mungkin sudah menikah dengan orang yang dia suka, who know's?"
Makanan yang mereka pesanpun tiba dan dihidangkan di atas meja.
Tiara hanya menatap makan yang ada dihadapannya, 'Mau dimakan masih kenyang, ga dimakan mubazir, dosa, akh.'
"Kenapa cuma di lihat? Emang bisa kenyang?"
"Bisalah, saya udah bilang saya sudah makan, sekarang liat makanan ini saja saya tambah kenyang."
Yundhi terkekeh.
"Makan atau flashdiskmu ga saya balikin!"
"Situ ngancem?"
"Iya."
***
Tiara memasuki ruang guru tanpa bersuara. Rekan kerjanya yang biasa mendengar celotehan Tiara begitu menampakkan hidung pun terkejut bukan main. Hingga Tiara duduk di singgasanya para guru yang lebih dulu datang darinya masi merasa heran.
"Ra, anda sakit?" Mimi bersuara paling awal.
"Apa petani sudah menemukan ulat di buah salak?" udo Halil menimpali.
"Ra, situ kena kanker nasofaring?"
"Ya Allah, punya rekan kerja ga ada yang beres otaknya, kenapa anda sekalian bisa jadi guru sih, perlu saya panggil dokter UKS ya buat benerin otak anda sekalian."
"Lagian dirimu juga ngagetin, dateng tanpa suara, biasa juga berkicau saingan ama kutilang penjaga sekolah." Suara Jenny.
"Udo mau shalat dhuha, ucapkan syukur, dek Tiara udah insyaf." Udo Halil kembali meledeki Tiara.
"Bukannya dihibur, malah diledekin, teman macam apa kalian?"
"Pagi-pagi udah kesel, emang kenapa, kena tilang, keserepet busway?" tanya Jenny sekenanya.
Tiara memutar kembali ingatan makan pertemuannya dengan Yundhi yang harus diakhiri dengan kekesalan Tiara karena Yundhi batal mengembalikan flashdisknya dengan alasan lupa bawa. Bayangkan, udah capek-capek perang urat, tawar menawar, di paksa makan, di mintai kencan, dan pada akhirnya ia harus menelan rasa kesal dikerjai orang yang bakal jadi teman kencannya sendiri.
"Belum apa-apa udah nyebelin." Tiara bergumam.
"Ngomelin siapa neng?" tanya Mimi yang mejanya bersebelahan dengan Tiara.
"Ada tu, polisi tidur." Jawab Tiara sekenanya.
"Hari ini ngajar dimana?"
"Hari ini beta full sampai jam terakhir, Mi."
Tu kan tambah kesel, perangkat ngajar ada di fd, fdnya ada di Yundhi, Yundhi ga bisa kirim data pagi-pagi karena ada urusan. Sebenarnya materi yang akan di ajarkan sudah Tiara hafal di luar kepala, tapi bagaimana kalau kepsek menagih administrasinya hari ini, akh kacau.
Dua puluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, Tiara sudah ketar ketir mencari alasan yang akan ia sampaikan pada kepala sekolahnya, sambil memukul-mukul dahinya di pinggir meja Tiara merutuki kecerobohannya sampai bisa menjatuhkan fd di mobil Yundhi kala itu.
"Waaaaaaah ada pilot dateng guys."
"Mana mana?"
"Eh, bener ada pilot tu, ada pilot cakep."
Suara berisik para murid yang masih berkeliaran di luar sama sekali tak dipedulikan Tiara. Dia masih saja menunduk membenturkan dahinya di pinggiran meja.
"Beneran deh Ra, ada pilot dateng ke sekolah kita." ujar Mimi penuh antusias.
"Bodo amat."
"Cakep banget lho Ra, Mi, tadi beta lihat sekilas di ruang kepsek." Jenny ikut berkomentar.
"Aakkkh jangan berisik dong, pusing nih!" ketus Tiara.
Jenny dan Mimi kembali pada kesibukannya masing-masing, Tiara tak kalah sibuk mencorat coret kertas HVS menggambar benang kusut.
"Pak pilot, saya udah boleh pacaran lho."
"Pak pilot nyari saya ya?"
"Pak pilot terbangkan aku ke hatimu."
Suara berisik kembali memenuhi halaman samping ruang guru yang di dominasi oleh suara murid perempuan. Setelah meminta ijin pada kepala sekolah, pilot itu berjalan ke arah ruang guru dan menimbulkan kegaduhan diantara para murid.
"Permisi." Sapa sang pilot.
Setelah menemukan sosok yang di cari ke sekeliling ruangan, sang pilot pun melangkah pasti.
"Ra, kayaknya doi nyari dirumu deh." Ujar Mimi yang tak lepas perhatian pada si pilot tampan.
Tiara yang masih sibuk corat-coretpun masih cuek dengan keadaan sekelilingnya. Sampai sebuah jari menyentil dahinya.
"Awww, apa sih?"
Tiara tertegun, menatap tak percaya pada makhluk yang ada di depannya.
"Kamu?"
"Ini flashdisk kamu, saya akan di udara sekitar seminggu, setelah itu sesuai janji saya, kita akan proper date, oke!"
Yundhi berbalik keluar setelah mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dan sukses membuat Tiara terpana.
Tiara melihat benda kecil yang ada di depannya, sedikit sebal karena benda itu membuatnya harus berurusan lagi dengan Yundhi, andai saja benda itu tidak jatuh.
"Bagaimana kalau saya tidak mau?" ujarnya keras pada Yundhi yang sudah hampir sampai di daun pintu. Senyum tipis terukir di bibirnya, Yundhi berbalik. Guru lain yang ikut melihat kejadian itu menganga, terlebih Mimi dan Jenny yang tidak menyangka Tiara akan menolak ajakan kencan pria tampan berseragam yang ada di hadapan mereka.
Tiara menunggu apa yang akan di katakan Yundhi padanya karena Yundhi kini melangkah kembali ke mejanya.
"Yakin kamu menolak?" tanya Yundhi ketika mereka sudah berseberangan dan hanya di pisahkan oleh meja kerja Tiara.
"Iya." saya masih tetap pada pendiriannya. "Kita tidak punya alasan untuk berkencan, kita sama-sama tidak tertarik, tidak ada perasaan sama sekali, tapi kamu masih mau melakukan proper date, dan menjadikan Oma sebagai alasannya, saya rasa itu terlalu lem__"
"Bagaimana kalau alasannya karena sebagian besar data pribadi yang ada di flashdisk itu sebagian, ah bukan sebagian, semuanya sudah saya copy dan kini juga ada di laptop say?"
Kata-kata Yundhi berhasil membuat Tiara bungkam. Kini Jenny dan Mimi menunggu apa yang akan Tiara katakan sedang guru lain sudah keluar karena sudah saatnya mereka mengajar.
"Kamu___"
"Perlu saya jabarkan isi impi__"
"Setop!"
"Ata foto-foto kamu saya unggah ke __"
"Baik." Tiara menyerah. Ia duduk kembali karena merasa kakinya tiba-tiba lemas.
Yundhi melihat data pribadinya? Belum sempat terpikir oleh Tiara bahwa Yundhi tentu bisa melakukan hal itu. Tapi bukankah itu tindakan yang tidak bisa di benarkan, membuka data orang lain tanpa ijin sang pemilik. Kriminal. Bisa di tuntut ga ini?
Jenny dan Mimi memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan Tiara. Mereka sudah pergi sejak Yundhi mengungkapkan bahwa ia memiliki data pribadi Tiara. Sangat mengerti makna kata 'pribadi' dimana tidak boleh ada yang tahu selain si pemilik.
"Kamu?" Tiara menatap Yundhi dengan tatapan membunuh, tapi tentu saja tatapan itu mental begitu saja untuk Yundhi yang kini sudah di atas angin.
"Tanpa data kamu ada di tangan saya pun saya tidak akan menerima penolakan. Saya punya ratusan cara untuk melakukan keinginan saya. Bukan hanya Oma yang menjadi alasan saya, tapi setelah melihat foto kam__"
"Saya sudah bilang iya, kamu ga perlu ungkit-ungkit lagi apa yang kamu lihat, dan setelah kencan kita selesai, saya mau kamu menghapus data saya yang kamu copy."
Yundhi berdiri tegak memperbaiki kerah seragamnya.
"Itu tergantung, kalau data itu masih berguna buat saya, tentu saja saya tidak akan menghapusnya."
Tiara memijit pelipisnya karena merasakan kepalanya mulai pening.
"Saya sudah mau mengajar, silahkan lanjutkan pekerjaan kamu! Kirimkan saja alamat tempatnya nanti."
Tiara yang awalnya sempat terpana melihat Yundhi di balik seragam mulai di hinggapi perasaan sebal pada pria itu.
"Bukan itu aturan mainnya, kamu sudah kalah tapi masih mau ngatur saya."
Tiara memejamkan mata menahan geraman, "Terserah!"
"Itu baru benar, tugas kamu sudah berat sebagai pengajar, masalah kencan biar menjadi urusan saya."
Setelah selesai dengan perkataannya Yundhi meninggalkan Tiara begitu saja dengan Tiara yang ingin mengumpatinya di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!