Ayah kami selalu berkata begini, khusus padaku: jika belum tahu konsekuensinya, jangan melakukan hal bodoh. Aku tahu dia hanya mengatakannya padaku, aku juga tahu kenapa dia mengatakan itu hanya padaku.
Aku ini bukan seorang remaja yang "baik". Dalam dua bulan ini, aku sudah beradu tinju enam kali dengan preman sekitar. Tentu bukan aku yang memulai. Kota ini, meski disebut salah satu kota teraman, tapi nyatanya tidak lepas dari orang-orang semacam itu. Ketika sore datang, preman-preman itu keluar dari sarang mereka seperti hewan malam. Mereka seringkali berkumpul di tepi jalan, dapat dilihat di mana pun. Terkadang mereka mendatangiku untuk hanya mengganggu atau memeras, dan aku memberi mereka beberapa pukulan.
Tadi aku bilang aku bukanlah orang yang "baik", tapi aku juga tidak mau dibilang "jahat". Aku sudah cukup dianggap "orang jahat" karena wajahku yang menyeramkan, tapi aku berani berkata kalau aku tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, setidaknya yang berat. Aku tidak mau membebani ayah kami, dan aku juga tidak mau merusak diri dengan barang-barang terlarang. Mungkin lebih tepatnya, aku bisa disebut anak yang "nakal".
Saat ini pun begitu. Maaf, ayah. Meski sudah berkali-kali dinasihati, aku tidak bisa merubah kebiasaanku.
Pukulanku melayang menuju wajah seorang pria berambut biru muda cerah, tepat menghantam hidung mancungnya hingga mengucurkan darah. Sebelum pria itu jatuh ke tanah, aku berbalik mengayunkan kakiku ke pria satu lagi yang tengah berlari seperti beruang yang akan menerkam. Tendanganku tidak terlalu bertenaga, tapi aku percaya diri dengan ketajaman dan akurasinya. Punggung kakiku mengenai paha laki-laki itu, sedikit di atas lutut. Sejauh yang aku tahu, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa jika terkena serangan di sana. Benar saja, pria itu langsung berhenti berlari dan berteriak. Aku berikan tendangan lagi pada wajahnya. Pria kedua jatuh tersungkur.
Satu lagi pria adalah seorang receiver. Ini agak merepotkan. Dia seorang Enhancer, dengan kemampuan dapat memperkuat tendangan hingga beberapa kali lipat. Sederhana, tapi mematikan jika dapat digunakan dengan tepat. Dia jago menggunakan kaki besi itu. Aku melihat dia menghancurkan tembok beton tebal sebelumnya. Orang itu sudah kesal dan kelelahan. Tentu saja, aku menghindari setiap tendangannya. Hanya dua kali tendangan yang kena, itu pun ketika dia tidak menggunakan «gift». Gerakannya sudah mulai ceroboh tidak beraturan. Ketika dia melancarkan tendangan lagi menggunakan «gift», aku juga menggunakan gift milikku, «reflector». Dalam satu kali pukulan, orang itu terlempar beberapa meter, tersungkur tak bergerak di atas tanah yang lembap.
Tiga orang sudah aku kalahkan. Agak menyegarkan rasanya, mengingat belakangan ini aku sedang banyak pikiran. Aku memutar bahuku yang terasa kaku beberapa kali, kemudian melirik ke belakang. Orang itu juga tampaknya selesai dengan pertarungannya.
"Kelihatannya aku tidak perlu membantu."
Orang itu berdiri tegap di tengah sekumpulan preman yang berusaha mengalahkannya lima menit yang lalu. Aku tidak merasa dia menggunakan «gift», tapi aku yakin dia pasti seorang receiver. Dia menang melawan delapan orang sendirian, dalam waktu yang singkat.
"Tidak, aku justru berterima kasih. Aku akhirnya menemukan apa yang membuatku tertarik."
Orang itu berjalan mendekatiku sementara aku perlahan mundur menjauh. Firasatku tidak enak tentang ini, tapi akan tidak sopan kalau aku langsung kabur.
Orang itu--pemuda berambut merah itu berdiri di hadapanku sembari mengulurkan tangan, kemudian memperkenalkan dirinya.
"Aku Ansel Elias Clive, siswa tahun kedua Akademi Helder, juga ketua dari Regu Keamanan Rahasia Wild Dogs. Kau, kau adalah anak spesial. Berbakat dan tahu bagaimana cara menggunakan bakat itu. Masuklah ke Helder, jadilah anggota Wild Dogs agar bakatmu tidak sia-sia!"
Aku harusnya mendengarkan apa yang ayah katakan, karena mulai sekarang, kehidupanku akan sangat merepotkan.
...* * * * *...
"Aku Ansel Elias Clive, siswa tahun kedua Akademi Helder. Salam kenal!"
"..............."
Dia mengulangi perkenalannya lagi. Sudah ketujuh kalinya dalam dua Minggu ini. Aku heran kenapa.
Oh, benar, mungkin karena aku mengabaikannya selama dua Minggu ini.
Bahkan sekarang, aku lebih memilih menarik tudung jaketku menutupi wajah dan berjalan pergi seolah tidak terjadi apa-apa. Sayangnya, pemuda berambut merah ini lebih gigih dari yang aku duga.
"Hei-hei, aku sudah memperkenalkan diri dengan benar, 'kan? Kenapa kau tidak balas memperkenalkan dirimu sendiri?"
Pada kenyataannya, tujuh kali dia memperkenalkan diri, tujuh kali dia salah dalam memperkenalkan diri. Ada banyak budaya tak tertulis di Thalia, salah satunya adalah soal perkenalan. Seseorang meletakkan tangan kanan di dada kiri, lalu membungkuk lembut sembari memperkenalkan diri dengan suara rendah. Itu adalah sopan santun di sini, aku yakin sekolah besar dan tersohor seperti Helder pasti sudah mengajarkannya, tapi aku tidak bisa melihat itu dari cara pemuda ini bersikap.
"Mau apa kau hari ini?" Tanyaku, mencoba lebih ketus. Tapi pemuda itu tampak santai seolah tengah menghadapi seorang bocah.
"Oh, ayolah, jangan seperti itu. Bukankah kita sudah akrab? Kita sudah dua minggu bersama, bukan?"
Jujur, sikapnya itu membuatku ingin memukul wajahnya sekarang. Tapi aku tahu itu percuma, karena aku pernah mencobanya sekali dan gagal. Dia punya refleks yang luar biasa. Seperti yang diharapkan dari orang sepertinya.
"Namaku saja kau tidak tahu."
"Karena kau tidak pernah memperkenalkan diri meski aku sudah melakukannya berkali-kali. Itu kasar, kau tahu?"
"Kasar itu adalah menganggap dirimu melakukan sopan santun dengan benar padahal aslinya salah besar."
Pemuda itu menarik napas panik. Kelabakan dia terlihat dari gestur tangan dan matanya yang melempar pandangan, membuatku penasaran apa dia memang tidak sadar soal itu atau sengaja berakting bodoh untuk membuatku lengah?
"Benar. Oh, lancang sekali." Dia lalu berdiri tegak. Tangan kanan ditempelkan ke dada kiri, punggung membungkuk sedikit, sorot mata langsung menatapku seperti menerawang jiwa. "Aku Ansel Elias Clive, siswa Helder tahun kedua. Salam kenal."
Oh, sial. Dia benar-benar melakukannya dengan benar. Sekarang akan menjadi kasar bagiku jika tidak membakasnya. Meletakkan tangan di dada, membungkuk, aku memperkenalkan diri.
"Theodore Radley, SMP Polaris. Salam kenal."
Dia menyeringai, menyeramkan. Tugasku untuk balas memperkenalkan diri sudah selesai, sekarang tinggal pergi dari sini secepatnya.
Tapi pemuda ini malah tetap mengikutiku seperti ekor anjing.
"Katakan apa yang kau mau."
Mata pemuda itu melebar seolah dia sudah menungguku bertanya. "Nah nah nah! Akhirnya kau penasaran! Kau lihat, aku ini siswa Helder yang sedang mencari calon berbakat, dan aku lihat kau--"
"Tidak mau." Balasku, sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku sudah tahu apa yang dia mau. Sudah dua minggu dia membuntutiku hingga aku hampir memanggil polisi. Rutinitasnya tiap hari selalu sama: menawariku masuk Helder.
"Ditolak lag!!!!" Teriaknya sembari tergelak. Aku menatap dengan mata sedikit memicing.
Dia ini sehat, benar?
"Tidakkah kau harusnya ada kelas?"
"Ambil cuti tugas. Aku anggota divisi keamanan, regu rahasia Wild Dogs. Kau akhirnya tertarik dengan itu?"
Ya, seolah itu benar. Walau benar pun cerdas sekali memberitahu keberadaan regu rahasia pada pihak luar tak terlibat, terlebih aku hanya anak SMP biasa.
"Tugas macam apa yang membuatmu bisa mengambil cuti dua minggu?"
"Sudah jelas, bukan?" jari telunjuknya merentang menunjukku. "Memberimu tawaran secara langsung!"
Yang benar saja.
"Tolong pergilah, aku akan terlambat masuk kelas."
Untungnya bus sudah terlihat. Pemuda ini memang gigih, tapi belum pernah mengikutiku hingga sekolah. Dia biasanya menyerah hingga halte bus, yang mana membuatku lebih tenang. Masuk ke dalam bus, dan aku bisa mengistirahatkan telingaku dari suaranya yang sudah seperti kicauan mengganggu selama dua Minggu kemarin.
"Kau menerima suratnya, bukan? Kartu undangan emas itu."
Langkahku terhenti tiba-tiba. Aku salah, hari ini ternyata lebih buruk.
"Undangan apa yang kau maksud?" tanyaku sambil berbalik.
"Undangan yang sama yang membuat kantung matamu menebal akhir-akhir ini."
Dia bahkan memperhatikannya, huh?
"Kalau dapat pun memang kenapa?"
"Artinya Helder juga mengakuimu."
"Untungnya bagiku?"
"Kau diakui Helder."
Ini tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku abaikan lagi.
"Bukan urusanmu. Undangan itu cuma sekadar undangan, tidak ada kewajiban untukku menerimanya."
"Sangat disayangkan." nada bicara pemuda itu berubah. Seperti menyesali sesuatu. "Jangan khawatir, aku akan ada di sana kalau kau berubah pikiran!"
Dia masih gigih ternyata. Aku tidak menjawabnya. Maksudku ingin, sebenarnya. Aku masih berusaha menjadi anak baik yang tahu sopan-santun, tapi aku sudah memberikan jawaban yang sama untuk tawarannya itu selama dua Minggu ini. Justru aneh bagiku melihatnya tetap gigih memberi tawaran seperti sales yang sedang mengejar target penjualan, padahal dia cuma siswa biasa.
Ah, sudahlah. Tak perlu dipikirkan lebih jauh. Segera aku melangkah masuk bus, duduk di kursi paling belakang, lalu bersandar nyaman merasakan ketenangan hingga gerbang sekolah.
Sedikit aku merasa menyesal menolongnya dua Minggu lalu. Aku tahu tiap kali berbuat, pasti akan ada akibat. Ayah panti kami sudah menjelaskan itu berulang kali. Ketika aku mengambil langkah untuk menolong seorang pemuda yang dikepung preman dua Minggu lalu, aku kira aku bisa lewat setelahnya begitu saja seperti biasa, tapi pemuda itu lebih menyebalkan dari yang aku duga. Terlebih, dia dari Helder.
Akademi Helder berdiri di Leanzea, salah satu kota terbesar di Republik Thalia. Tidak ada siapa pun di negeri ini yang tidak tahu sekolah itu. Sekolah paling tersohor, paling modern, paling berkualitas di seantero Thalia. Ujian masuknya saja mengeliminasi 90% peserta, dengan satu kursi diperebutkan sekitar lima ratus orang. Anak-anak di kelasku saja selalu membicarakan Helder begitu memulai percakapan soal SMA lanjutan.
Itulah kenapa, sewaktu aku pertama kali menolak tawaran si rambut merah itu, ekspresi di wajahnya benar-benar sesuai harapan. Dia terkejut, tergemap, bertanya ulang soal jawabanku sampai empat kali hingga dia sadar kalau aku ini anak yang aneh.
Aku tidak berusaha menyangkal. Sejatinya aku sendiri mengakui kalau aku ini "aneh". Aku seorang receiver, punya gift «Reflector» yang bisa memantulkan energi serangan apa pun yang bisa aku sentuh, tapi aku adalah satu-satunya yang tidak mengisi "Helder" sebagai sekolah lanjutan harapan. Aku ingat guru-guru sampai menanyaiku tentang itu. Pasalnya, aku sering memenangkan lomba matematika dan pemrograman junior. Itu caraku mendapatkan uang, sebenarnya, tapi guru-guru menganggap aku tengah mengumpulkan prestasi untuk masuk ke Helder. Aku tidak menyalahkan mereka untuk mengambil dugaan cepat, aku menjelaskan semuanya hingga mereka mengerti.
"Tapi apa perlu sampai sebatu itu?"
Dia-yang-bertanya adalah seorang gadis dengan rambut keunguan sebahu, duduk di hadapanku sambil meminum boba di gelas besar. Dia adalah Lee, saudara sepanti yang lebih tua tiga bulan. Paling galak di panti.
"Para guru juga sampai heran, sampai memintaku untuk membujuknya perlahan."
Dia-yang-melanjutkan adalah seorang pemuda. Duduk di depan, di samping Lee. Dia juga saudara sepanti, lebih tua sebulan dariku. Dia Val, karateka terbaik di Polaris. Tubuhnya besar mencolok, dengan rambut hitam legam mengilap. Sikap sok kerennya terlihat jelas dari dirinya yang membuka buku literatur lama di kantin padat seperti sekarang.
"Oh, kau juga diminta begitu?" tanya si gadis, melirik pada pemuda di sebelahnya.
"Orang-orang yang mengenal Theo, semuanya dimintai tugas yang sama."
"Dan kalian langsung tahu kalau itu tidak berguna, benar?" sahutku sambil memakan pangsit yang sengaja aku simpan untuk akhir-akhir.
Lee melekatkan pandangannya padaku, memicingkan mata, berkata dengan sedikit memanyunkan bibirnya. "Kau pikir kenapa kami menyebutmu batu, ha?"
"Aku menyebutnya gigih." Jawabku singkat, membuatnya semakin kesal.
"Sudahlah, Lee," Val menutup bukunya, menenangkan Lee yang mulai tak sabar. "Bahkan guru saja menyerah membujuknya."
"Aku belum."
Jawaban yang benar-benar Lee.
"Kau tidak tahu? Theo bahkan mendapat surat undangan Helder."
Oi, Val.
"Kenapa kau--"
"Kenapa aku bisa tahu?" Val memotong, menatapku tajam. "Kita tidur di kamar yang sama, Theo. Aku tahu kau menyembunyikan amplop besar di bawah kasur. Amplop abu-abu dengan stiker perak. Kenapa kau pikir aku tidak tahu?"
Tidak, aku tahu sejak kalau dia sudah mengetahuinya. Val ini bukan cuma otak otot, dia ini pintar. Dia pasti tahu aku menerima surat undangan Helder untuk ujian masuk. Aku hanya tidak menyangka dia akan membahasnya di sini, ketika Lee ada di satu meja yang sama.
Lihat saja sekarang. Seperti singa betina, Lee melotot padaku yang langsung melempar pandangan ke arah lain.
"Theeooo, bisa kau jelaskan tentang itu???"
Sial, Val. Aku balas kau nanti.
"Bukan berarti aku ingin menyembunyikannya, aku hanya bingung harus menjelaskan dari mana." Aku menarik napas, mencoba mengurutkan segala hal yang harus aku jelaskan. "Sebelum meninggal, ibu... ibu kandungku berpesan agar aku menjaga Lizzy. Aku berjanji akan aku jaga Lizzy, setidaknya sampai dia mandiri. Lizzy sekarang adalah satu-satunya keluarga kandungku yang tersisa, dan keinginanku hanya agar dia bisa hidup bahagia. Itu saja. Aku takut Lizzy akan sendirian kalau aku pergi ke Helder."
Aku tidak bohong. Lizzy memang satu-satunya keluargaku yang tersisa setelah ibu meninggalkan kami. Dia adik kandungku, terpaut empat tahun. Dia sering sakit-sakitan. Kata dokter, tubuhnya lebih lemah dari tubuh anak-anak biasa, karena itu aku khawatir. Helder adalah akademi dengan asrama, artinya aku harus tinggal di sana, meninggalkan Lizzy yang sekolah di sini.
"Kau tahu kalau Lizzy memiliki kami, 'kan?" ujar Lee menanggapi. Aku tahu dia akan berkata begitu.
"Aku tahu. Sejak awal aku tahu itu. Semua anak di panti adalah saudara, tapi masalah ini berbeda. Janjiku pada ibu adalah menjaga Lizzy, aku tidak mau ingkar janji dengan meninggalkannya."
Lee--yang sejak tadi tampak tidak sabaran, kini duduk kembali dengan mulut tertutup. Bagus, penjelasanku berarti sudah cukup untuknya.
"Soal itu sih, aku juga tidak bisa berkata banyak." Kata Lee, terdengar kecewa.
Masalah sekarang adalah Val.
"Apa benar hanya itu?" Tanya Val. "Apa kau yakin tidak ada alasan lain?"
Sial, Val. Kenapa kau harus sebegitunya tajam?
"Theoo, kau masih menyembunyikan sesuatu?"
Dan sekarang Lee juga mulai penasaran. Sekarang aku tidak punya pilihan selain menjelaskan.
"Benar. Ada satu lagi alasan utama. Tapi aku tidak bisa menjelaskannya dulu, ini akan menjadi cerita yang panjang."
"Cerita saja! Aku tidak memiliki urusan setelah ini!" Suruh Lee, kembali tidak sabaran, tapi sayangnya, atau untung bagiku karena aku yang punya urusan.
"Tidak, coba lihat ini." Aku memperlihatkan catatan di ponselku pada mereka. "Aku ada jadwal kerja dua jam lagi. Mungkin aku akan kembali nanti sore."
Setelah melihatnya, Lee langsung dengan jelas memperlihatkan wajah penuh kekecewaan. Dia memang yang paling ekspresif di antara kami bertiga, saudara-saudara tertua di panti.
"Ya sudah, kapan kau akan cerita?" Tanya Lee.
"Kapan-kapan saja. Lagi pula ceritaku ini bukanlah cerita yang menarik. Ayah kita memintaku berbicara nanti sore, jadi aku rasa itu sudah cukup."
"Ayah mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti yang kami katakan." Sela Val. Ya, aku setuju. Ayah kami mungkin akan memintaku untuk menitipkan Lizzy saja padanya, sementara aku pergi ke Helder. Tapi mungkin aku bisa menjelaskan alasan utamaku.
"Mungkin.... tapi aku harap ayah kita akan paham."
...* * * * *...
Aku bekerja sejak enam bulan lalu, sejak aku berkeinginan untuk membawa Lizzy ke rumah sakit di kota. Memang bukan pegawai tetap karena usiaku yang masih 15 tahun, tapi aku dibayar lumayan.
Perusahaan tempat aku bekerja tidaklah besar, tapi patut diperhitungkan. Anak perusahaan CTI, perusahaan teknologi terbesar di Thalia. Aku bekerja di bidang pengembangan perangkat lunak untuk proyek droid massal. Terkadang aku juga ikut andil di bagian modelling dan perancangan perangkat keras, tentu dengan bayaran tambahan. Mungkin memang pada dasarnya aku menyukai bidang teknologi, seluruh tugas aku kerjakan cepat, hingga bos pernah memintaku untuk langsung bekerja di perusahaan itu setelah aku lulus.
Biasanya aku mengambil shift di rumah, secara bidangku memang mengizinkan untuk bekerja di mana saja, tapi terkadang aku harus datang ke kantor untuk menjelaskan program yang aku buat, atau memperbaiki beberapa program sebelumnya yang salah. Seperti sekarang, aku dipanggil ke kantor setelah untuk menjelaskan program yang aku selesaikan kemarin. Menyenangkan melihat mereka yang terkesima ketika mencoba memahami program rumit untuk memperhalus gerakan droid tipe kucing.
Tiga jam aku habiskan di kantor. Harusnya bisa lebih lama karena aku diajak makan-makan setelah tugasku selesai, tapi aku menolak setelah mendapat pesan dari Lee agar cepat pulang. Tidak heran, malam sudah menjelang. Mungkin ayah kami sudah menanyakanku. Aku masih membuka ponsel, melihat-lihat lagi pesan yang datang. Enam belas pesan dari Lee, terakhir sepuluh menit yang lalu. Gawat, aku akan disuruh duduk lagi satu jam mendengarkan ocehannya.
Aku mulai berlari. Bahu jalan lebih kosong dari biasanya, padahal jam-jam segini harusnya jam padat karena bertepatan dengan waktu pulang kantor. Mataku melirik ke langit. Awan gelap bergumul seperti wol hitam. Aku juga bisa merasakan semilir angin bertiup dingin menusuk di punggung tanganku. Akan ada badai nanti malam. Mungkin orang-orang memutuskan untuk pulang cepat atau menginap saja daripada harus basah-basahan dan terkena demam keesokan harinya.
Sampai perempatan, mataku sempat melirik sekilas toko roti langgananku. Masih buka. Cahaya lampu hangat dari dalam seolah menarikku yang berdiri kedinginan di luar. Aku ingat Lizzy sangat menyukai croissant butter dari toko itu, tapi awan gelap juga semakin berputar menutup langit. Apa aku pulang saja? Atau beli sebagai oleh-oleh? Lee juga pasti menungguku di depan panti dengan wajah masamnya, tapi rasanya kurang juga kalau pulang setelah kerja seperti ini tidak membawa apa-apa.
Dan kemudian, hujan pun turun.
.
.
.
.
.
Panti asuhan kami ada di ujung kota. Agak jauh dari keramaian. Tentu saja, aslinya itu adalah mansion orang kaya yang suka ketenangan. Bahkan luas tamannya saja mungkin cukup untuk membangun empat hingga lima bangunan seukuran. Belum lagi kawasan sekitar yang tidak terlalu padat membuat panti ini terkesan seperti tempat terpencil, padahal masih berada di kawasan kota.
Aku berdiri di depan pintu masuk, basah kuyup hingga rambut yang biasanya tampak seperti rumput liar ini jatuh menutup sebagian wajahku. Tas sekolahku untungnya anti-air, tapi seluruh pakaianku kebasahan. Aku bahkan sudah mulai merasa kalau ujung-ujung jariku mati rasa.
Namun, gadis ini, gadis yang secara teknis adalah kakak yang lebih tua tiga bulan, malah berdiri di lawang pintu yang lebar sembari bersedekap dan menatapku kesal. Dia tahu aku tengah kedinginan, tapi tubuhnya bahkan tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya berdiri. Sial, apa dia ingin aku kena pilek?
"Anu....... aku minta maaf." ucapku mencoba membuka kata.
"Untuk apa?" Lee membalas segera, aku memalingkan pandangan.
".......... datang terlambat, pulang kemalaman basah kuyup."
"Sudah tahu akan hujan?"
"Dilihat dari awan....."
"Lalu apa yang ada di tanganmu itu?"
Mata Lee seolah menunjuk tajam kantong plastik yang aku pegang erat. Ya, pada akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa buah tangan. Dengar, aku berusaha bergerak cepat waktu itu. Aku membeli croissant, membayar, menunggu pengemasan, lalu berniat untuk bergegas pulang. Sayang sekali, baru saja aku melangkah keluar toko, petir menyemburkan cahaya terang yang singkat seolah memotret kota, diikuti suara guntur yang menggelegar menggetarkan jendela dan hujan deras yang mengguyur tanah tanpa ampun. Aku ingin diam dulu di sana, tapi sudah hampir jam tujuh. Aku harus pulang atau menghabiskan malam di ruang tamu dengan ceramah menghujani telingaku sepanjang malam.
Dan begitulah, aku berada di situasi ini. Aku memang punya ketahanan yang cukup baik terhadap suhu dingin sejak kecil, tapi berdiri di luar dengan tubuh basah kuyup begini, ketika hujan badai tengah mengguyur kota, membuat kakiku menggigil lebih buruk dari yang aku duga. Lebih lama dari ini, aku akan berada di tempat tidur seharian besok.
"Ini dingin, apa aku sudah boleh masuk ke dalam?"
Mata Lee semakin tajam menatapku, membuatku langsung merasa seperti tikus di hadapan singa. Dia tidak berbicara apa pun, hanya menatapku tajam. Tadinya aku ingin berkata kalau dia ini seperti ibu yang galak, tapi aku tahu seorang ibu akan membiarkan anaknya masuk dan mandi terlebih dahulu, barulah setelah itu akan marah habis-habisan hingga dibahas terus berhari-hari kemudian.
Untungnya, tak lama kemudian, Lee melemaskan pundaknya. Dia menghela napas panjang sembari mundur sedikit dari lawang pintu.
"Air hangat sudah siap. Mandi dulu sana, baru nanti makan."
Syukurlah, aku sempat berpikir dia akan menahanku setengah jam lagi. Segera aku lepas sepatu dan kaos kaki, lalu berjalan masuk. Beruntung sekali besok akhir pekan, aku bisa mencuci dan mengeringkan semua setelanku nanti. Aku berhenti sejenak ketika melewati Lee, memberikan roti-roti itu padanya. Dia mengambilnya cepat.
"Terima kasih." Katanya agak ketus sambil berbalik pergi.
Aku bergegas ke kamar mandi. Air hangatnya ternyata benar-benar sudah siap. Agak sedikit panas karena aku sudah kedinginan lama di luar. Aku lepas pakaian basah, mengguyur dan membersihkan badan sebelum berendam nyaman di bak keramik. Rasanya seluruh pikiran kusutku ikut mencair bersama rasa lelah dan dingin yang aku peroleh seharian ini. Pikiranku seperti terbersihkan, kosong melompong. Ah, rasanya jadi ngantuk, aku rasa tidak apa untuk memejamkan mata sejenak di dalam balutan air hangat ini.
"OOOI, THEOO, MASIH BELUM SELESAI???"
Dan... dia datang, membuat rasa kantukku hilang seketika.
"Ya ya, aku selesai. Tidak perlu menggedor-gedor pintu seperti itu." Balasku sambil bangkit dari bak mandi.
"CEPATLAH, KARENYA NANTI DINGIN!!"
Oh, benar juga. Aku lupa kalau perutku tadi sempat berbunyi ketika hidungku menangkap harum kuat rempah-rempah dari kare masakan Lee. Jelas saja, dia diajari langsung oleh ayah kami, orang yang bisa membuat kare terenak di kota ini (menurut kami pribadi).
"Yaa. Bisakah kau keluar dulu dari sana? Aku mau ganti pakaian."
"BAIKLAH, JANGAN LAMA-LAMA!"
Apa dia harus berteriak-teriak seperti itu? Maksudku, pendengaranku cukup tajam untuk bisa mendengar apa yang dia katakan meski aku berada di kamar mandi yang tertutup, tidak perlu berteriak seperti itu. Tapi yah, terima kasih untuknya. Mungkin akan buruk kalau aku benar-benar terlelap tadi. Bisa-bisa aku ketiduran sampai esok pagi dengan pilek parah akibat semalaman di kamar mandi.
Aku menyeka badanku dahulu sebelum berjalan keluar kamar mandi. Oh, pakaian gantiku ternyata sudah disiapkan di dalam keranjang atas mesin cuci. Lee lagi. Dia pasti membawakanku pakaian ganti sambil berteriak tadi.
"Kebiasaan."
Aku mengenakan pakaian itu cepat. Bagaimana ya..... Lee ini memang betul paling perhatian walau galak. Dia memberiku tiga lapis pakaian: kaos, sweater, dan jaket. Dia mungkin agak takut, atau khawatir juga kalau aku betul-betul pilek karena dibuat diam di luar selama sepuluh menit dalam keadaan basah kuyup.
Aku pergi ke ruang makan, mengikuti semilir harum kare yang memenuhi ruangan. Oh tidak, rasanya perutku semakin berbunyi kencang. Ayo lupakan sejenak tentang sekolah, pekerjaan, atau undangan Helder. Ayo menghanyutkan diri pada kare yang hangat dan rempah yang kuat.
"Oh, akhirnya kau datang."
Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku melihat siapa yang juga duduk di meja makan. Hanya seorang, tapi hawa kehadirannya saja seperti sekompi tentara.
"A-ayah?"
...* * * * *...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!