NovelToon NovelToon

Kebahagiaan Tak Sempurna

Eps 1

Warning!!!!!!!!

Harap bijak memilih novel bacaan.

Bijak pula dalam mengimajinasikan situasi dan kondisi yang tertuang dalam cerita.

Jika merasa otak Anda tidak sanggup menerima kejadian 21+ maka dengan sangat rendah hati dimohon untuk tidak meneruskan membaca novel ini.

Terimakasih.

——————————

Tika POV.

Aku rasa kehidupan ku dan Jefri setelah menikah sangat luar biasa. Padahal baru terjadi beberapa jam di sah-kan. Saat pagi aku membuka mata, benar saja, aku selalu mendapatinya yang tidur di samping ku dengan tubuh kekarnya yang hanya terbalut dengan selimut dan celana panjang. Aku menyukainya. Dan setiap aku membuka mata dipagi hari. Aku selalu menggigit bibir bawahku. Merasa tergoda dengan dirinya yang sedang pulas.

Dia sedang tidur saja mampu membuatku bergairah, bagaimana ini? Otak nakalku kembali muncul.

Semalam dia begitu mengistimewakan ku. Hingga acara selesai dia seakan tidak ada letihnya. Dari halaman belakang yang disulap mirip gedung mewah untuk acara kami, dia menggendongku bak bridal style. Membawa ku masuk menuju kamarku yang semerbak wangi kembang.

Dan FYI, kami tidak melakukan malam pertama!!!

Mengapa? Karena setelah selesai mandi dan bersih-bersih, kami yang rencananya memang akan bergulat tiba-tiba setelah asik bercumbu dan bepelukan langsung tertidur pulas. Tidak sampai lima menit. Kami kelelahan duluan..

Ku ciumi bibir suami ku pagi ini, sesekali ku jepit pipi nya dengan bibirku. Dia masih tidak mau bangun membuka matanya.

"Emh.." dehemnya.

Mungkin mimpinya terlalu indah, pikirku.

Dengan sengaja aku singkap selimut ini, kini semakin terlihat jelaslah dada bidangnya yang tadi malam sempat memelukku erat.

Ku dekati tubuhnya perlahan. Lalu ku tekan-tekan dadanya yang bidang.

"Sayaaaangg, banguunn!" ucapku manja.

Jefri hanya menggerakkan sedikit tubuhnya. Lalu kembali ku goda lagi suami ku ini. Ku gelitiki telinganya hingga beberapa kali ia menepis jemariku ditelinganya.

"Baru jadi istri sehari udah nakal ya!" ucapnya mengagetkanku lalu menarik kedua tanganku hingga tubuhku mendarat bebas di atas tubuhnya.

"Kamu pemalas sih, jam segini masih mimpi aja," sahutku dalam dekapan dadanya.

"Ya kan mumpung cuti sayang, boleh lah malas-malasan dikit," Jefri mengeratkan pelukkannya padaku.

"Sayang, hari ini kita ngapain?" tanya ku yang sudah memainkan jemariku dibahunya, seakan menggoreskan kuas melukis tubuhnya dengan ujung jariku.

"Kamu maunya ngapain? Masih capek gak?" tanyanya dengan suara agak serak.

Ku angkat sebagian tubuhku ala ular cobra, ku tatap matanya, "Kamu seneng gak sih?"

Pertanyaan randomku kembali muncul pagi ini. Dengan kedua tangannya yang masih berada di belakang pinggangku, dengan santai ia menjawab, "Aku bahagia milih kamu jadi istri aku."

Kembali ku benamkan wajahku di dadanya, aku malu mendengar jawaban dari mulutnya itu. Akhir-akhir ini aku merasa mulutnya terlalu manis untuk berucap. Seperti bukan Jefri yang aku kenal. Terlalu romantis, tapi entah mengapa pula setiap ucapannya mampu membuatku tersipu malu.

"Hei, tadi pertanyaan aku belum kamu jawab. Kamu nya malah balik tanya. Masih capek gak?" tanyanya sambil mengelus-ngelus rambut ku yang tergerai.

"Enggak terlalu. Kayaknya kita mesti spa deh, biar rileks."

"Kalo ga terlalu, kita bikin dedek bayi yuk!" bisiknya pelan.

Aku kembali mengeluarkan gaya cobraku, kaget dengan ajakkan nya, "Enggak enggak, nanti aja, aku mau mandi dulu.."

Belum sempat aku bangkit dari atas tubuhnya, dia segera mendekap kembali tubuhku.

"Masa nunggu mandi dulu sih?" sewotnya.

"No, kalo mau itu harus bersih dulu." alasanku.

"Tadi malam sebelum tidur kita mandi kan! Ayolah! Kita nyari keringet bentar, bakar kalori," candanya sambil membalikkan posisi.

Sekarang dia berada di atasku, dengan lengan kirinya sebagai tumpuan tubuhnya. Memandangiku. Aku terdiam. Speechless.

Jarinya mulai melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan tadi. Seolah jarinya sedang menulis, dari leherku, turun ke bahu ku lalu turun lagi ke atas perutku. Sedangkan matanya, sekilas melihatku bergantian lalu melihat arah tujuan jarinya.

Aku sudah menarik nafas panjang. Jemarinya mulai perlahan menyingkap kaos ku. Memperlihatkan perutku yang agak sedikit rata. Jefri menurunkan posisi tubuhnya sejajar dengan perutku. Menatapiku dengan senyuman nakalnya. Tiba-tiba....

Tokk..

Tokk..

Tokk..

Suara pintu kamarku diketuk. Kami berdua langsung terdiam menahan nafas masing-masing. Tidak ada suara.

Tokk..

Tokk..

Tokk..

"Duull, banguun!! Udah siang woyy!" suara teriakkan dibalik pintu kamarku.

"Jerry?" guman Jefri.

Aku yang memperhatikannya sejak tadi jadi penasaran, "Suara Jerry ya?"

"Iya, Jerry!" pekik Jefri yang seketika langsung menarik menurunkan kaosku dan membantuku untuk duduk di atas ranjang.

"Kamu ke kamar mandi sana, ntar Jerry liat kamu seksi begini," sewotnya yang berjalan hendak membukakan pintu.

Aku menuruti perintahnya. Berlari kecil masuk ke dalam kamar mandi lalu berusaha menguping pembicaraan kakak beradik itu.

Ceklek...

"Kok bisa disini pagi-pagi?" ketus Jefri.

"Emang ga boleh? Kan Tika sudah jadi kakak ipar aku. Bebas dong," sahut Jerry tak mau kalah ketusnya.

"Ada apaan sih? Ganggu aja."

"Cepetan mandi, kalian di tungguin sama semuanya dibawah. Jangan dikira udah suami istri trus bebas bangun siang ya?" ledek Jerry.

"Iya iya, dari tadi juga udah mau mandi, tapikan nungguin Tika selese mandi dulu."

"Loh, kan udah sah, mandi berdua diwajibkan kok!" goda Jerry lagi sambil bergegas pergi dari balik pintu.

"Sialan!" sahut Jefri asal.

Aku yang sedari tadi menguping hanya terkekeh geli.

Setelah kami selesai mandi, kami segera turun ke bawah. Aku kira hanya akan berhadapan dengan Mamah, Jerry dan kedua orangtua nya Jefri, tapi ternyata, seluruh keluarga inti sudah ada di sana. Bahkan Max dan Haikal juga ada, serta kedua iparku dan keponakkan-keponakkan.

"Waduh ada apaan ini? Kok rame?" ucap Jefri yang membuat semua mata yang ada tertuju pada asal suaranya.

"Duduk dulu dong, pengantin baru pasti capek habis malam pertama," goda Max terkekeh geli.

"Wah bener Max, muka Tika merah kayak tomat," timpal Haikal.

Aku yang merasa jadi sasaran target kejahilan kedua kakakku langsung merangkul tangan Jefri, menatapnya sambil mengerucutkan bibirku.

"Beneran merah?" tanyaku pelan sambil duduk.

"Enggaklah, mau aja kamu di jahilin mereka," kecup Jefri pada keningku.

"Ada apaan sih, Pa? Kok pagi-pagi udah pada lengkap ngumpul disini?" tanya Jefri bingung.

Papa menyodorkan sebuah amplop coklat medium size di atas meja, mengarahkannya pada kami.

"Apa itu, Pa?" tanyaku tak kalah bingung.

"Dibuka aja dulu, diliat dulu," sahut Mamah di sampingku.

Aku meraih amplop coklat itu lalu memberikannya pada Jefri. Kami saling bertatapan, lalu perlahan tangan Jefri menarik keluar isi amplop itu. Selembar kertas putih yang kulihat.

Lalu dengan perlahan Jefri membaca isi kertas itu, "Seriusan nih, Pa?" pekiknya mengagetkanku.

"Apaan? Coba sini liat," ku rebut secarik kertas itu.

Ternyata tulisan didalamnya adalah sertifikat sebuah pulau dengan nama pemiliknya, Abdul Jefri. Aku terperangah membaca berkali-kali isi kertas itu.

"Itu cuman fotocopy inti isinya aja, berkas asli dan foto pulaunya masih di urus sama notaris Papa. Dulu pulau itu selalu Papa buka untuk umum, namun di batasi jumlah yang berkunjung. Biar karyawan Papa yang jaga pulau itu bisa dapat penghasilan untuk keluarganya," jelas Papa terperinci.

"Trus ini buat kalian berdua," kali ini Max yang menyodorkan selembar kertas.

Jefri menerimanya dan segera membacanya, wajah Jefri sumringah. Ku ambil lagi secarik kertas itu dari tangannya, ternyata isinya sepasang tiket pesawat. Aku menoleh pada Max. Menatapnya dengan senyuman penuh makna.

"Itu tiket pesawat buat ke daerah pulau itu. Kalian berangkat lusa. Belum ada rencana honeymoon kemana kan?" ucap Max.

Aku berhambur segera memeluk Max. Lalu Mama mertuaku membuka suara lagi.

"Lusa begitu kalian landing, nanti ada yang jemput kalian, membawa kalian ke dermaga buat naik kapal ke pulau itu," ucap beliau lantang.

"Lalu pulau itu sudah sengaja di kosongkan, tidak menerima pengunjung selama kalian ada disana. Jadi cuman karyawan aja yang ada disana," jelas Mama mertuaku lagi.

"Pulau itu memang sedang dalam proses balik nama dari Papa ke kamu Dul, tapi itu sebagai hadiah pernikahan kalian. Jadi aset itu termasuk aset pertama kalian dalam perjanjian pra-nikah yang sudah kalian sepakati," jelas Papa.

"Dan inget satu hal. Bukan berarti kalian melakukan perjanjian pra-nikah trus kalian bisa seenaknya memutuskan kesepakatan berpisah jika kedepannya ada masalah. Mama dan kami semua yang ada disini hanya ingin melihat kalian bersatu bahagia. Jadi jika ada masalah, ingat-ingat lagi gimana perjuangan kalian untuk bersatu. Pahamkan?" Mama Jefri mulai memberi ceramahnya.

Namun ini adalah kali pertamanya, Mama Papa nya berbicara panjang lebar denganku. Jefri juga langsung bangkit dan memeluk erat Mamanya.

"Makasih ya, Ma, Pa!" di kecupnya kilas pipi Mamanya.

"Yang lain juga makasih banyak, ini kado yang luar biasa. Kami ga kepikiran buat liburan. Soalnya jujur aja isi tabungan aku sisa buat renovasi rumah." Jefri jujur lalu mambawaku segera dalam pelukkannya.

"Ya sudah, karena kado nya sudah kita berikan dan mereka akhirnya suka, gimana kalo kita semua sarapan dulu?" ajak Mamah bangkit dari sofanya.

Semua setuju dan mulai menuju ke arah dapur. Aku terpekik kaget. Melihat meja makan panjang wood yang sebelumnya sudah disimpan dalam gudang sejak Papah meninggal.

Meja itu terlalu berkesan untuk ku, hanya Papah yang selalu makan di meja makan itu, entah makan sendiri atau pun makan saat dengan kami. Dulu Papah pernah bilang saat aku sarapan di meja bar kitchen, "Buat apa guna nya Papah beli meja makan kalo makannya bukan di meja makan itu?"

Dan berkali-kali juga Mamah menangis diatas meja makan itu setelah kepergian Papah. Lalu sekarang dengan kokohnya meja itu kembali muncul dan di letakkan ke tempat asalnya. Aku meneteskan airmataku kembali.

"Loh kamu kenapa sih?" lirih Jefri pelan.

Aku tidak menghiraukannya, aku segera berjalan memeluk Mamah dari samping. Mamah paham dengan pelukanku, ia mengelus punggungku.

"Ssstt, sudah saatnya meja ini kembali ke tempat asalnya. Dan kemaren waktu beberes Mamah baru sadar, ternyata ini tujuannya Papah beli meja ini buat kita." lirih Mamah di telingaku.

"Kamu ingetkan waktu kamu kecil Mamah sempet marah sama Papah gara-gara beli meja makan kebesaran? Kita cuman berlima, meja makan nya punya kursi lebih dari sepuluh. Kan lucu." jelas Mamah lagi.

Aku terisak pelan dalam dekapan hangat Mamah lalu menatap wajah Mamah yang semakin tegar dimataku. Ia tersenyum menatapku, dengan sinar mata yang bahagia. Rasanya aku tidak sanggup berpisah jauh dengan Mamah saat ini. Dia terlalu berharga untukku saat ini.

Ga kebayang deh gimana nantinya kalo rumah Jefri selesai di renovasi, trus aku sama Jefri pindah ke rumah itu, ninggalin Mamah sendiri disini sama Bi Mince, batinku.

"Sudah, Mamah bahagia buat kamu, masa kamu malah nangis buat Mamah?" ucapnya sambil tersenyum, memelukku kilas lalu kembali berjalan membawa ku ke meja makan itu.

Bi Mince dengan sigapnya menyiapkan beberapa hidangan untuk sarapan kami, ka Shilla juga membantu untuk menatanya di atas meja. Aku mengusap airmataku.

Ku pandangi wajah mereka semua satu persatu, hingga yang terakhir wajah Jefri yang duduk di sampingku. Dia menatapku nanar sambil membantuku menghapus airmata.

Digenggamnya tanganku, ia tersenyum. Lalu ku tarik kedua sudut bibirku untuk tersenyum membalasnya. Ia mendaratkan kecupan bibirnya lembut dibibirku kilas. Aku hampir kelepasan jantungku membiarkan aksinya yang tidak tahu malu itu. Tapi begitu kembali melihat senyumnya, hatiku serasa teduh. Nyaman sekali. Toh ternyata tidak ada satupun dari mereka yang menyadari pergerakkan Jefri.

Kami pun kembali larut dalam perbincangan hangat di meja makan dengan formasi lengkap, beserta canda tawa yang tiba-tiba bisa meledak karena ulah Max dan Jefri. Mereka berdua terlihat cocok dan sama-sama memiliki sans humor yang setara. Serta suara celoteh dari Icel dan Jordy, seakan mereka berdua juga sedang mengobrol serius.

Sungguh menggemaskan!

Bersambung....

Eps 2

Jefri POV.

Aku dan Tika berada dalam kamarnya. Menatap takjub tumpukan kado yang baru saja di masukkan kesini. Aku menghempaskan tubuhku pada bibir ranjang. Sedangkan Tika masih mematung berdiri, melihat kado-kado itu.

"Kayaknya lebih dari seratus deh ini...." ucapnya.

"Coba tebak, isinya pasti banyak sprei sama bedcover," sahutku.

Dapat ku dengar Tika menghembuskan nafas panjangnya.

"Permisi Non, Den, ini masih ada yang ketinggalan tadi," ditangan Bi Mince masih ada beberapa paperbag yang dibawanya dari bawah.

Aku segera berdiri dan menyambut barang-barang yang diserahkan Bi Mince, "Makasih ya Bi."

Bi Mince berlalu, pintu kamar sengaja ku buka lebar. Ku taruh sisa kado tadi di atas meja rias Tika. Lalu ku hampiri ia yang masih saja menatap kado-kado itu. Ku dekap tubuhnya dari belakang. Ku kecup tengkuk lehernya, dia memiringkan kepalanya agar aku bisa leluasa mengecup tengkuk lehernya itu.

"Emh...." desahnya.

Aku terus saja menciumi tengkuknya, bergerak random. Sambil menyelipkan salah satu tanganku ke dalam sisi kancing piyamanya. Mengelus lembut kulit perutnya yang terasa hangat ditelapak tanganku. Lalu aku menghentikan gerakkan bibirku.

"Tadi kenapa nangis sebelum makan?" tanyaku penasaran.

"Em. Ga papa."

"Ga mau cerita nih?" ancamku dengan tangan yang menyelip tadi, yang sudah bersiap mencubit pinggangnya langsung.

"Iya iya iya iya, aku kangen Papah begitu ngeliat meja makan itu," dia menolehkan wajahnya melihatku yang menyempil di bahunya.

"Dulu Papah sering banget marah gegara kami ga makan di meja itu. Jadi begitu Papah ga ada, Max nikah, Haikal punya rumah sendiri, aku sama Mamah sepakat buat naroh meja itu di gudang."

"Kok malah disingkirin?"

"Soalnya meja itu selalu sukses bikin Mamah nangis. Dan kalo udah ngeliat Mamah nangis, ya aku nya jadi ikut nangis juga, ga tega liat Mamah sedih," jelasnya.

Aku terdiam sejenak, memejamkan mataku. Lalu menarik nafas panjang, "Kita ke makam Papah yuk! Aku kan belum izin nikahin anak perempuannya. Malah main nyelonong aja."

Tika membalikkan tubuhnya menghadapku, membuat tanganku yang terselip dalam bajunya tadi jadi susah dikeluarkan.

"Ajakin Mamah juga, kita bertiga ke sana, gimana?" tanyaku lagi.

Tika menatapku semakin tajam, aku mengernyitkan kedua alisku, tanda sedang menunggu jawabannya. Lama, dia tidak berkata apapun, hanya merespon ku dengan pelukannya yang erat. Aku pun mengelus punggungnya. Lalu ku kecup keningnya kilas.

Setelah berhasil membuka sekitar sepuluhan bungkus kado yang berukuran besar, akhirnya Tika menyerah. Ia bangkit berdiri, berjalan ke arahku yang sedang diranjang bersandar sambil menonton televisi dan merebahkan tubuhnya di atas pahaku. Aku terkekeh geli melihat tingkahnya.

"Kok berhenti? Capek?" tanyaku sambil mengelus puncak kepalanya.

"Bosen, isinya kebanyakkan bedcover set. Kalo enggak bantal cinta yang panjang itu." sahutnya lalu menghembuskan nafas kasar.

"Aku bilang juga apa, rata-rata tuh isinya gak jauh dari urusan ranjang. Kamu ga percaya!"

"Kamu udah kayak pernah nikah aja jadi pede banget. Tau banget isi-isinya apaan," sewotnya.

"Idih ketus amat sih! Kan dulu waktu Jerry nikah, aku ngeliatin mereka buka kadonya. Bahkan beberapa bedcover ada yang aku pake."

Tika menghembuskan nafasnya lagi.

"Jam berapa kita ke makam Papah?" tanyanya sambil menatapku.

"Terserah kamu."

Tika langsung duduk lalu menoleh padaku, "Kalo sekarang gimana?"

"Boleh, aku tinggal ganti baju. Kamu tanyain Mamah dulu deh, mau gak kalo sekarang," saranku.

Tika mengangguk dan segera pergi menemui Mamahnya. Aku masih bersantai sambil menonton acara televisi. Sudah lama aku tidak bersantai seperti ini. Dan rasanya masih seperti mimpi aku rebahan santai dikamar Tika ini tanpa ada rasa was-was. Aku cekikian sendiri.

Aku sungguh merasa beruntung memilih Tika sebagai istriku. Dan aku merasa nyaman bergabung dalam keluarganya yang begitu akrab dan kokoh. Di dalam otakku kini hanya ada Tika, dia prioritas hidupku saat ini dan untuk kedepannya.

Kini kami sudah didalam mobil, diperjalanan menuju makam Papah. Dulu saat baru awal-awal kenal Tika, dia pernah mengajak ku menemaninya untuk nyekar ke makam Papahnya ini. Tapi aku tidak turun dari mobil, karena aku memakai celana pendek. Tika juga tidak memberi tahuku kalau dia akan mengajakku untuk kesana.

Dan ini adalah kali kedua nya aku ke sana. Aku masih mengingat jalannya. Dan aku juga masih ingat yang mana makam Papahnya. Disepanjang perjalanan Tika dan Mamah terdiam, hanya suara alunan musik dari mobil yang terdengar. Aku pun tidak ingin merusak suasana ini.

"Sayang, nanti deket sana kita mampir beli bunga dulu ya?" pinta Tika tiba-tiba.

Aku hanya menganggukan kepalaku, lalu kembali hening. Setelah mampir membeli bunga, akhirnya kami sampai di halaman parkir makam. Tika dan Mamah segera turun lalu berjalan menuju makam Papah yang tidak jauh dari halaman parkir.

Aku menggandeng tangan Mamah dan membantunya untuk duduk. Mamah mulai menangis saat meletakkan bunga diatas batu nisan, meneteskan airmatanya dibalik kacamata hitam pekat yang dikenakannya sejak tadi. Aku duduk di samping Tika yang sedang menyentuh batu nisan Papahnya. Lalu ia seakan mengobrol sendiri.

"Pah, apa kabar? Maaf Tika kemaren jarang nengokin Papah dan Papah pasti tau kenapa alasannya. Tika sekarang udah nikah, Pah. Tika harap Papah bisa ada disana saat itu, menjadi wali menikahkan tika," lirihnya sambil meneteskan airmatanya.

Aku merangkulnya dari samping dengan sebelah tanganku lalu ku kecup puncak kepalanya.

"Ini Jefri Pah, suami Tika. Yang gantiin posisi Papah buat jagain Tika ke depannya. Doain kami ya, Pah?" tambahnya lagi lalu menangis tersedu.

Semakin ku eratkan rangkulanku. Tak terasa genangan air di pelupuk mataku mulai penuh. Tumpah perlahan melewati kacamata hitamku. Segera ku usap agar Tika dan Mamah tidak melihat linangan air itu.

Lumayan lama kami disana, untungnya cuaca siang hari ini begitu teduh. Sehingga kami nyaman untuk berlama-lama disana.

Ku lihat tulisan batu nisan itu, sudah 12 tahun Tika ditinggalkan oleh Papahnya. Berarti itu terjadi saat Tika masih SMA, 17 tahun. Saat dia baru menginjak masa remajanya. Jadi wajar menurutku jika dia memiliki sisi tegas dan sisi sensitifnya secara bersamaan. Dan aku merasa telah melakukan hal yang paling benar di hidupku untuk menjaganya, menafkahi dan menanggung hidupnya sampai nanti maut memisahkan kami.

Mamah menyentuh pundakku, "Ayo kita pulang."

Aku mengangguk. Mamah mulai berdiri. Tika pun bergerak berdiri terlepas dari rangkulanku.

"Aku bakal jagain Tika dan bahagiain Tika sepanjang hidupnya. Aku janji, " ucapku dalam hati sambil menyentuh batu nisan Papahnya.

Lalu kami pergi berlalu meninggalkan kesedihan dimakam itu.

Disepanjang perjalanan pulang, suasana dalam mobil kembali hening. Tidak ada lagi isakkan tangis yang sempat ku dengar dimakam tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran kedua wanita ini. Aku tidak ingin mengacau. Namun tiba-tiba suara perutku mulai meronta kencang. Aku menyipitkan sebelah mataku mencoba menahan bunyi itu, tapi gagal.

Tika menoleh padaku, "Kita mampir makan ya, Mah?"

"Iya boleh, Mamah juga udah lapar," sahut Mamah.

"Mamah mau makan apa?" tanya Tika sambil menoleh ke belakang melihat Mamahnya.

"Em. Terserah kalian aja. Kalian mau nya makan apa?"

"Makan bakar-bakaran mau gak Mah? Sayang?"

"Aku terserah aja, Mamah mau gak?" tanyaku melirik Mamah dikaca spion tengah.

"Iya boleh, asal ada sayurnya aja," sahut Mamah.

"Ada dong, Mah," jawab Tika santai lalu kembali dengan posisi duduknya yang benar.

Langsung ku tancapkan gas mobil menuju rumah makan khas bakaran. Dulu aku juga pernah makan disini waktu sama Tika. Bahkan beberapa kali. Dan ternyata aku dan Tika punya salah satu kesamaan yaitu menyukai ikan bakar.

"Kalian pernah kesini?" tanya Mamah saat selesai menulis pesanannya.

"Iya, dulu," jawab Tika cuek sambil membaca buku menu.

Mamah hanya mangut-mangut sambil melihat sekitar.

"Kamu nila bakar, yang?" tanya Tika sambil menyenggol sikuku.

"Iya nila bakar, sama terong bakar tanpa santan," jawabku singkat lalu berdiri mengambil kerupuk udang kesukaanku.

"Habis ini kita ke mall ya? Mamah ada yang mau dibeli," pinta Mamah padaku.

Aku mengangguk sambil memakan kerupuk. Tika menyerahkan kertas pesanannya. Lalu sekitar lima belas menit kemudian hidangan kami pun datang. Dengan berdoa sebelum makan dalam hati, lalu kami langsung menyantap makanan itu sambil membahas ringan tentang liburan yang akan kami lakukan lusa depan.

"Mamah ga papa kan aku tinggal seminggu? Apa aku minta Haikal buat nemenin Mamah?" ucap Tika.

"Nyuruh dia itu sama juga bohong. Iya dia tiap malem pulang, tapi buat tidur. Bukan buat nemenin Mamah makan di rumah," sewot Mamah.

"Ya trus gimana dong? Apa Mamah ikut kita aja liburan? Ya kan, yang? Ga papa kan kalo Mamah ikut juga?" Tika menoleh padaku.

Dengan refleks ku jawab, "Iya ikut aja deh Mah, ntar aku cariin tiketnya yaa?"

Aku memang sudah merasa akrab dengan beliau saat sebelum aku melamar Tika. Tanpa sepengetahuan Tika, aku sering berbincang dengan beliau dulu. Lalu saat Tika kecelakaan, beliau begitu memperhatikanku, beliau juga dengan ikhlasnya saat itu mempercayakan anak perempuan satu-satu nya untuk dijaga oleh ku saat di rumah sakit. Padahal saat itu kan statusnya masih calon!

"Enggak enggak, Mamah di rumah aja, masa Mamah ikut kalian! Gangguin kalian buat bikinin Mamah cucu dong. Enggak!" protes Mamah.

Uhuukk..

Uhuukk..

Uhuukk..

Tika tersedak!

Segera ku ambilkan gelas minumnya, dia langsung meneguk habis air di dalam gelas tak bersisa. Sedangkan tangan ku yang satu nya lagi mengelus pundaknya dengan ujung pergelangan tangan.

"Kamu kenapa? Kalo makan tu yang santai, jangan buru-buru," omelku.

"Ma-mah nih, kalo ngomong tu liat-liat anak nya lagi ngunyah apa mau nelen. Uhuukk!" sewotku tak mau kalah.

"Loh memang Mamah salah ngomong?" tanya Mamah antusias.

"Ya enggak sih, cuman kan ...." Tika tiba-tiba terdiam, lalu menoleh melihatku dan melihat Mamah bergantian, "Ga papa deh, ga usah di bahas lagi."

"Udah udah ayo lanjutin makannya, biar ga kesorean ke mall nya jadi ga kemaleman juga pulangnya," titah Mamah.

Kami kembali melanjutkan makan. Aku heran dengan Tika. Rasanya kemaren-kemaren juga pernah membahas tentang ini. Dan dia selalu mengalihkan pembicaraan.

Memang sudah lama kami tidak melakukan itu. Tadi pagi pun aku gagal karena ketukan pintu Jerry. Aku ingin sekali memiliki anak bersamanya. Pasti lucu! Aku tersenyum sendiri lalu mencoba fokus untuk menghabiskan makananku lagi.

Diperjalanan menuju mall, Mamah asik mengobrol dengan temannya via telepon. Sedangkan Tika asik melontarkan pandangannya keluar jendela mobil. Sesekali aku meliriknya, memperhatikan tingkahnya. Dia menggigit bibir bawahnya, yang arti nya sedang ada yang dipikirkannya. Aku hafal sekali tingkahnya yang seperti ini. Tidak ada yang berubah.

Sesampainya di mall, Mamah langsung memisahkan diri dari kami dan jika sudah selesai dengan barang cariannya, Mamah akan segera menelpon kami. Sekarang tinggallah aku berdua dengan istriku ini.

(ya kira-kira begini deh style kami kalo jalan berdua)

"Kita kemana enaknya?" tanyaku sambil merangkulnya, melilitkan lenganku pada pundaknya.

"Kita ngopi aja yuk, kamu juga belum ngerokok kan habis makan tadi?" sarannya.

Aku mengangguk cepat. Lalu ku kecup keningnya sambil berjalan menuju coffee shop.

"Aku boleh nanya gak?" ucapku saat Coffee kami sudah tersedia di atas meja sambil menyulut rokokku.

Tika menoleh padaku, "Ya, nanya apa?" sahutnya dengan tangan yang menyangga wajahnya.

Ku hembuskan asap rokok ku pelan, "Kamu bahagia gak jadi istri aku?"

Dia menatapku sambil mengernyitkan alisnya.

"Kok nanya nya gitu?"

"Aku mau nanya aja, bahagia gak?"

"Sebelum nikah aja aku sudah bahagia, apalagi setelahnya," jawab Tika simpel.

Tapi jawaban itu mampu membuat aku tersenyum sumringah, ku kecup punggung tangannya mesra.

"Kamu beneran ga mau ngerokok nih? Udah lama loh aku ga liat kamu ngerokok," tawarku.

"Enggak ah."

"Aku ga maksa kamu buat berhenti ngerokok loh ya? Kamu yang tau mana yang terbaik buat badan kamu."

"Emang kalo istri kamu ini ngerokok didepan banyak orang kamu ga malu?"

"Aku ga malu, dari pada kamu sembunyi-sembunyi ngerokok di belakang aku? Lebih parah mana?"

"Tapi kan entar yang diliat ga baik kamu nya, masa sebagai suami ga bisa negur istri?"

"Itu kan pemikiran kamu! Lagian bodo amat sama omongan orang, mereka kan ga kasih kita makan."

Tika tersenyum menatapku.

"Trus kenapa kamu malah senyam-senyum ngeliat aku?" tegurku.

"Ga papa, suami aku ternyata idealis!"

"Banyak hal yang belum kita ketahui satu sama lain. Semoga aja kamu bisa bertahan dengan keidealisan ini."

"Semuanya bakalan baik-baik aja kalo kita bicara, komunikasi. Itu kan yang paling penting? Kalo ga ada komunikasi gimana bisa tumbuh rasa percaya?"

Aku mendekatkan dudukku padanya lalu merangkulnya dalam dekapan kedua tanganku.

"I love you!" lirihku.

"l love you more...."

Sore itu kami berdua menikmati secangkir coffee dengan di temani langit yang jingga. Semakin membuat romantis sore hari kami. Aku menjadi semakin menyayangi Tika. Aku tidak akan sanggup hidup jika dia tidak ada.

Sejak bersama dengannya, aku lebih santai dan terasa lebih menjadi diriku sendiri. Aku juga menjadi lebih banyak tau tentang dirinya. Dan aku yakin, masih akan ada banyak sekali kejutan-kejutan dalam kehidupan kami di hari esok.

Bersambung...

Eps 3

Tika POV.

Aku sempat menemani Jefri dulu ke rumah Mama Alena. Menyiapkan beberapa barang serta pakaian yang akan dibawa. Karena sejak menikah 4 hari yang lalu aku belum pernah sekalipun tidur di kamar Jefri ini. Paling ke sini hanya untuk mengambil beberapa pakaiannya.

"Kalian besok pesawat jam berapa? Mama lupa.." tanya Mama Allena yang berdiri diambang pintu kamar.

"Take off nya jam 10 Ma, kenapa?" tanya Jefri.

"Mama sama Papa ya yang anterin?" tawar Mama Alena.

Jefri menoleh padaku, "Tapi Mamah Ida juga mau nganterin Ma?"

"Ya ga pp, nanti Mamah Ida biar ikut aja, ntar dianterin pulang lagi. Gimana?"

"Oh ya udah kalo gitu, ntar aku kasih tau Mamah Ida deh." sahut Jefri.

Pagi ini adalah hari yang di tunggu-tunggu. Saatnya kami berangkat untuk honeymoon. Setelah proses yang agak ribet buat packing tadi malam.

Waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi, aku dan Jefri sudah siap dengan koper kami lalu turun ke dapur untuk sarapan.

"Uda siap?" tanya Mamah saat kami memasuki dapur.

"Udah Mah, Mamah beneran ga mau ikut nih?" tawarku lagi sambil membuatkan kopi untuk Jefri.

"Iya Mah, dari pada Mamah kesepian?" Jefri menambahi.

"Enggak!" jawab Mamah tegas.

Aku langsung kaget mendengar nada suara Mamah, lalu menoleh pada Jefri dari belakang punggung Mamah. Jefri pun melihat ku lalu mengerdikkan kedua bahunya.

"Paling entar Mamah jalan sama temen Mamah, lagian juga ada Bi Mince kan kalo malam yang nemenin. Udah kalian ga usah mikirin Mamah, kalian pikirin aja gimana cara nya pulang-pulang ada cabang debay.." ucap Mamah santai.

Aku yang sedang menyodorkan secangkir kopi pada Jefri spontan langsung menatap wajahnya. Matanya dan mataku bertabrakkan.

"Debay apaan, Mah?" tanyanya yang lalu menoleh pada Mamah yang menyajikan sepiring buah-buahan.

"Loh kamu ga tau debay? Dedek bayi, cucu buat Mamah," jelas Mamah sambil menatap Jefri lekat-lekat.

Gawat! Ini lagi pembahasannya! Batinku.

Aku berjalan malas ke arah kulkas, mengambil setoples coklat yang sengaja ku persiapkan untuk ku makan selama didalam pesawat nanti.

"Oh bayi. Mamah tenang aja, aku sama Tika pasti usaha keras. Moga-moga aja topcer Mah." Jefri dan Mamah larut dalam tawanya.

Kemudian aku duduk di samping Jefri, memakan buah-buahan yang disediakan Mamah. Mencoba untuk tetap tenang dan rileks. Sesekali ku perlihatkan senyuman terpaksa ku. Jefri menarikku dalam dekapan satu tangannya lalu mengecup keningku didepan Mamah. Aku hanya pasrah.

"Hallo hallo besanku, sudah aku duga kalian semua pasti disini." sapa Mama Alena muncul dengan Papa Atta yang membuntut dibelakang.

Mamah menyambut mereka dengan sumringah. Lalu cipika cikipi dan menjabat tangan Papa Atta.

"Gimana gimana kalian sudah siap bikinin cucu buat kami?" tanya Mama Alena.

Aku speechless mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Barbar. Seperti bukan Mamanya Jefri yang ku kenal beberapa bulan lalu. Dan sekarang makin cocok dan makin klop saja dengan omongan Mamah.

"Sudah sudah, Tika kamu habiskan dulu sarapan kamu. Dul, ayo Papa bantu angkat barang-barang kalian ke mobil," tegur Papa.

Aku hanya menganggukan kepala ku pelan, Jefri segera berdiri, "Iya, Pa.."

-----------------------------

Jefri POV.

Ke tarik kedua koper kami menuju mobil dan satu tas jinjing lagi yang dibawa oleh Papa di belakangku.

"Kamu jagain Tika disana ya? Papa udah minta tolong sama karyawan Papa yang jagain disana buat menuhin isi kulkas. Jadi di dalam rumah kalian cuman berdua aja." jelas Papa.

"Hm." ku jawab dengan deheman saja.

Ku buka pintu bagasi mobil belakang Papa lalu ku masukkan kedua koper dan tas jinjing itu disana.

"Nanti disana juga kalian jangan sampai telat makan ato bahkan kalian sengaja nunda-nunda makan ya, kamu lebih perhatiin Tika lagi," tambah Papa saat aku menutup bagasi.

"Pa, tenang aja deh. Prioritas aku sekarang Tika kok jadi ga usah khawatir," sahutku santai.

Tiiinn..

Tiiinn..

Ku lihat mobil Alex datang dan memasuki halaman rumah.

"Udah siap honeymoon lu?" sapa Alex begitu turun dari mobilnya.

Aku hanya tersenyum. Lalu Lisa juga turun dari mobil.

"Mana Tika? Masih di dalem?" tanya Lisa sambil bersalaman dengan Papa.

"Iya dia di dapur lagi sarapan. Masuk aja," jawabku singkat lalu memeluk Alex.

Lisa langsung berlari kecil masuk ke dalam rumah.

"Jadi lu kapan nyusul?" godaku pada Alex.

"Jangan lama-lama, ntar keburu berubah pikiran. Rumput tetangga tuh lebih hijau kalo cewe nya sampai ngeliat hijaunya, bisa gawat nanti," goda Papa lalu kami tertawa.

"Ya jangan sampe deh, pasti nyusul kok, secepatnya, udah di planning," jawab Alex.

"Yakin lu?" aku menegasi.

"Yakinlah, lu jangan bikin gua ragu dong."

"Ya kalo lu masih ragu berarti ya ga yakin."

"Sialan lu, ngebalas ya, itu kalimat gua dulu buat lu. Anjiiirr!!"

Kami tertawa. Lalu sambil mengobrol ringan Papa menanyakan kabar Alex dan kedua orangtua nya, lalu berjalan kembali masuk ke dalam rumah menuju dapur.

Di dapur aku melihat Lisa yang sedang memeluk Tika.

"Lu jangan sampe sakit ya disana, have fun, jangan banyak pikiran," ucap Lisa saat melepas pelukannya pada sahabatnya itu.

"Iya iya jangan cerewet deh," sahut Tika santai.

"Udah? Berangkat yuk!" ajakku.

Akhirnya kami pun pergi menuju bandara. Dan semuanya ikut mengantarkan kami, udah kayak mau pergi kemana aja gitu banyak banget yang nganter.

Begitu selesai aku mengurus bagasi dan check-in, aku kembali menemui keluarga ku yang sedang menunggu di luar ruang check-in.

"Hei Max? Kal?" sapaku saat melihat kedua kakak Tika itu datang dari arah belakang Tika.

Tika langsung menoleh dengan wajahnya yang bingung, "Kok kalian disini?"

"Hei, masa kami gak ikut nganterin sih. Kakak macam apa yang ngebiarin adiknya pergi tanpa pamit," ucap Haikal lalu memeluk Tika.

"Kamu jangan sampe kecapean ya, jangan renang seharian!" larang Max lalu mengecup kening adiknya itu.

Aku hanya berjabat tangan dengan mereka berdua.

"Aku nitip Mamah ya sama kalian, tolong di perhati-in. Ingetin Mamah kalo udah jam nya makan. Kalo perlu kalian samperin Mamah, jangan sibuk kerja mulu," celoteh Tika.

"Waduh waduh udah hampir jadi calon emak-emak jadi ya begini bawel nya!" ejek Haikal tertawa.

"Kamu tenang aja, pokoknya pulang dari sana bawa kabar baik ya. Biar Icel sama Feli punya adek sepupu," celetuk Max sambil merangkul Mamah, "Iya kan Mah?"

Semua tertawa mendengar permintaan itu. Tika hanya tersenyum lalu melirik kilas padaku.

---------------------------------

Tika POV.

Didalam pesawat, aku tidak henti-hentinya merangkul tangan Jefri. Bukan karena takut naik pesawat, tapi lebih karena aku merasa ini semua seperti mimpi. Aku masih merasa tidak menyangka akhirnya aku bisa hidup berdua dengan nya. Melewati setiap hari ku ke depannya dengan lelaki ini. Lelaki yang selalu membuat aku bahagia, walaupun hanya dengan senyumannya.

"Kamu kenapa sih? Dari tadi gelanyutan aja?" tanya Jefri tiba-tiba saat pesawat hendak lepas landas.

"Ga papa kok, kenapa? Kamu risih? Ato malu di liatin pramugari cantik itu?"

Jefri tertawa nyaring.

"Ssstt! Apanya yang lucu?" bisikku.

"Kamu cemburu?"

Aku heran dengan pertanyaannya, "Sama siapa?"

"Sama pramugari yang ngeliatin kita itu," sahutnya sambil menunjuk dengan mulutnya.

Aku menoleh kilas, benar saja, pramugari itu sedang memperhatikan kami, "Enggaklah, ngapain? Kamu kan punya aku," sahutku lantang.

Dan kalimat ku itu mampu membuat Jefri kembali meledakkan tawanya lagi. Aku panik sambil memukul lengannya pelan, takut tawanya mengganggu passenger lainnya.

"Udah pede nih ngomong begitu?" godanya.

Dengan refleks ku lepaskan rangkulan tanganku, menatap wajahnya dengan raut muka datar. Lalu mengernyitkan sebelah alisku, ala ala ngambek anak cabe-cabean.

Dia kembali tertawa pelan. Aku membuang muka, melemparkan pandangan keluar jendela pesawat. Tak lama, jemarinya menyentuh daguku, menariknya untuk menatap mata tajamnya itu. Dia tersenyum lalu mencondongkan tubuhnya, mencium bibirku lembut.

Aku memejamkan mataku. Dia kembali menciumku yang membuatku sedikit bergairah. Ku codongkan sedikit tubuhku, agar sama-sama mempermudah kami untuk saling menikmati setiap kecupan.

Kami berdua seakan hanyut dalam dunia kami ini, tanpa menghiraukan orang di sekeliling kami. Untungnya Max memberikan kami tiket pesawat yang bisnis class, jadi kami hanya duduk berdua, tidak ada orang ketiga atau orang lain yang akan jadi obat nyamuk melihat tingkah kami ini.

Tak terasa pesawat pun mulai lepas landas, dalam guncangan kecil dari pesawat, kami masih saling mencium mesra. Seakan tidak rela untuk saling melepaskan bibir masing-masing. Bibirnya terlalu manis kurasa, sesekali aku terkekeh geli lalu mengakhiri cuman kami.

Saat tangan Jefri mulai mengelus tengkuk leher ku lagi, ia manarikku, seakan ingin menciumku kembali. Namun tiba-tiba suara seseorang menghentikan aksinya.

"Maaf, permisi bapak ibu saya mengganggu waktunya sebentar. Kami dari pihak maskapai ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru, selamat berbulan madu dan ini merupakan hadiah spesial yang telah dititipkan kepada kami untuk Anda bedua. Dan kami akan berikan ini, Champagne khas dari kota Reims untuk kalian berdua. Enjoyed!" ucap pramugari senior yang menghampiri kami.

Aku menatap Jefri heran, lalu tersenyum melepas pergi nya pramugari itu. Jefri hanya mengerdikkan kedua bahunya.

"Apa ini isinya?" Jefri mengambil sebuah kotak yang di berikan pramugari tadi, lalu membuka nya.

Ku letakkan daguku pada tanganku yang bertopang pada sandaran tangan. Menunggu Jefri membuka kotak itu. Aku terkejut saat melihat isinya. Dan ada secarik kertas disana. Ku ambil kertas itu.

"Untuk menghangatkan ranjang kalian. JerryNita," ucapku lalu menoleh heran pada Jefri, "Kayaknya aku tau itu apa."

Jefri langsung mengangkat kain satin licin berenda yang terlipat di dalam box itu, ya isi nya lingerie!!

Wala!!! Ternyata keluarga ku sangat cocok dengan keluarga Jefri. Sama-sama kurang waras kalo urusan begini.

Sepersekian detik kemudian aku dan Jefri sama-sama terkekeh geli. Lalu kami simpan kembali box itu di atas meja kursi. Jefri menuangkan champagne yang tadi sudah disediakan. Lalu kami meminumnya sambil mengobrol ringan dan ku sandarkan kepalaku pada rangkulan dibahunya.

Penerbangan pesawat ini di tempuh dalam kurun waktu 3 jam. Setelah pesawat landing, perjalanan kami tidak langsung sampai, kami di jemputi oleh salah satu karyawan Papa Atta. Lalu kami dibawa untuk makan siang di salah satu tempat popular di daerah itu.

Kemudian setelah makan siang, kami masih harus menempuh lagi perjalanan darat selama empat puluh lima menit untuk menuju dermaga. Kemudian menaiki speed boats selama satu jam, barulah kami sampai di pulau itu.

Pulau itu sungguh indah, sungguh seperti private island. Papa Atta memang pemilik dari pulau ini, ada beberapa villa yang di bangunnya. Kini salah satu villa nya telah menjadi milik kami.

"Pak, dermaga nya cuman satu di pulau ini?" tanya Jefri pada Pak Sani, karyawan Papa yang menjemput kami tadi.

"Oh tidak Pak, 1 dermaga untuk 3 villa. Jadi villa bapak yang sebelah sini." jelas Pak Sani dengan sopan sambil membawakan kedua koper kami.

"Trus kata Papa villa yang lain sengaja di kosongin ya Pak?" tanya Jefri lagi.

Pak Sani yang berjalan di depan kami langsung menoleh heran, lalu tertawa, "Aduh Pak, kalo villa yang lain sengaja di kosongin buat kedatangan Bapak, bisa-bisa saya stroke, Pak." lalu kembali berjalan.

"Loh kok bisa stroke?"

"Ya iya, Pak, badan saya kebiasaan gerak, lah kalo villa lain kosong trus kerjaan saya apa? Pak Bos memang selera humor nya tinggi, Pak ya?" jelasnya lagi sambil membukakan pintu villa.

"Mari silahkan, Pak, Bu. Saya bantu untuk mengelilingi rumah ini dulu," ucap Pak Sani lagi.

Aku memukul tangan Jefri yang sedari tadi ku rangkul, gegara mendengar kisah Pak Sani, ternyata Papa Atta ngerjain. Aku sudah kepikiran sepanjang perjalanan, masa iya pulau itu kosong, trus cuman ada kami berdua, kebayang dong ngerinya.

Bukannya romantis tapi malah ngeri!!

Setelah Pak Sani dan kami selesai mengitari rumah, kami ditinggalkan berdua. Baru saja aku menutup pintu, Jefri sudah mulai menggodaku.

Dia mulai memeluk ku dari belakang lalu di benamkannya kepalanya di sela tengkuk leherku sambil menciumi lembut tengkuk ku.

"Hei, mandi dulu yuk. Badan aku udah agak lengket gara-gara kepercik air di speed boats tadi," ajakku sambil menggeliatkan tubuhku karena kegelian.

Jefri tidak merespon, dia terus saja mendekap tubuhku dan sesekali di kecupnya tengkukku, membuat bulu kudukku berdiri.

"Kita mandi kayak dulu yuk!" pintanya dengan menghentikan segala aktivitas tangan dan lidahnya.

Aku membuka mataku, bingung, lalu aku membalikkan badanku, mengalungkan kedua tanganku pada pundaknya, "Dulu?"

"Iya, mandi bareng di bathup," jawabnya dengan raut wajah nakalnya.

Aku tersipu malu mengingat kejadian dulu itu, aku sangat nakal!

"Boleh, tapi gendong aku ke kamar mandi." ku ajukan syarat.

Tanpa berpikir lama, Jefri langsung mencium bibirku mesra. Di angkatnya tubuhku seperti menggendong anak kecil.

Aku histeris, "Aaaaaa!" namun refleks mengalungkan kedua kaki ku di pinggangnya. Lalu dia memonyongkan lagi bibirnya, kode minta di cium lagi!

Kami kembali saling mencium, bergantian sambil Jefri melangkahkan kakinya menuju ke bathup.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!