NovelToon NovelToon

My Possessive Badboy

Permainan Takdir

"Yes, dapet tempat paling depan kita!"

"Haha ... ada gunanya juga kebut-kebutan di jalan. Bisa sampai lebih cepat juga gue buat dapet tempat paling depan."

Obrolan rusuh kedua lelaki muda itu membuat seorang perempuan mendengus kesal. Ia baru saja sampai di kelas ketika dua orang tanpa dosa menyerobot dan duduk di kursi yang seharusnya menjadi tempatnya.

"Lo!"

Perempuan itu berseru dengan nada kesal. Fokus pada sosok yang menyerobotnya dan hanya terlihat sebatas punggungnya saja.

"Ya?"

Si cowok menoleh dan balas bertanya dengan wajah yang tampak tak bersalah.

Hanya beberapa saat. Sebab, tak lama kemudian, aura tegang merambat dengan cepat di antara mereka. Siapa pun bisa merasakan, jika aura di antara mereka sama sekali tak mengenakkan.

Perempuan itu tersenyum sinis.

"Sumpah ya, di antara sekian banyak manusia, kenapa gue mesti ketemunya lo sih!" desis si perempuan penuh dendam. Bahkan sepasang netranya menyorot tajam.

Sepasang mata perempuan itu tak lepas dari seorang lelaki muda yang terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Raut muka tengil yang semula ditunjukkan si cowok berubah seketika saat menyadari siapa lawan bicaranya.

Bahkan, seorang temannya yang semula masuk bersamaan, tampak terkejut dengan perubahan sikap cowok itu.

"Bro, lo kenal sama dia?"

Cowok yang lebih dulu duduk di kursi bertanya dengan raut muka heran. Namun, bukannya menjawab, si teman justru tak juga mengalihkan tatapan dari perempuan di hadapannya.

"Ara, kamu ...."

"Nggak usah sok akrab," tukas perempuan itu cepat.

Tak lama kemudian, ia segera berlalu dari hadapan si cowok untuk mencari bangku kosong lainnya. Ia masih mendengar jelas ketika kedua cowok itu saling berbisik.

"Lo kenal sama dia?"

"Ya. Oh ... maksud gue, nggak."

"Serius lo? Terus kenapa lo keliatan kaget banget tadi?"

"Nggak papa. Gue kira dia kenalan gue."

"Ck, aneh. Jelas-jelas sikap lo kayak kenal banget sama dia."

"Sstt! Diem lo. Berisik!"

Dan demi apa pun, perempuan itu ingin sekali pergi dari kelas saat ini juga. Seandainya saja ia tak terikat oleh janji, maka hal itulah yang akan ia lakukan.

Sekelas dengan musuh bebuyutan, pasti bukanlah hal yang mudah dilewatkan.

"Huft!" Ia menghela napas panjang.

Ini perkuliahan mata kuliah pilihan pertama dan perempuan itu tak mau mengacaukannya. Sekalipun ini sebuah paksaan, ia tak akan menyerah begitu saja.

Apalagi hanya karena alasan sepele, meski ia akui hal itu sangat membuatnya tak nyaman.

"Hei, ada yang duduk di sini nggak?" tanya si gadis saat mendapati sebuah bangku kosong.

"Duduk aja. Belum ada yang duduk di situ kok," ucap gadis lainnya yang lebih dulu mendapat tempat duduk.

"Makasih."

"Lo kenal sama Mizar?" tanya gadis itu ketika ia duduk di salah satu bangku yang tersisa.

Ia menoleh dan menunjukkan raut muka jengah. Malas memberikan tanggapan. Namun, ia teringat jika harus mengikuti kelas ini selama satu semester ke depan. Jadi, akan menjadi sangat canggung jika ia bersikap buruk dengan teman sekelasnya.

"Nggak," jawab perempuan itu singkat. Lantas mengulurkan tangan untuk berkenalan tak lama kemudian. "Gue Maura. Panggil aja Ara. Lo?"

Senyum gadis berkuncir kuda itu mengembang. Membalas uluran tangan Maura dan menyebutkan namanya.

"Sara."

Setelah berjabat tangan dengan singkat, mereka saling melempar senyuman. Seolah sama-sama memiliki firasat bahwa mereka bisa berteman akrab ke depannya.

"Btw, gue teman SMA Mizar. Cowok yang baru aja ribut sama lo. Beneran lo sebelumnya nggak saling kenal?" tanya Sara terdengar penasaran.

Maura hanya tersenyum sebagai jawaban. Tidak menanggapi lebih jauh pertanyaan gadis itu. Sebab, tak lama kemudian, seorang pemuda memasuki kelas dan menyapa semua orang.

Lagipula, mana mungkin ia mengatakan bahwa dirinya dengan Mizar - cowok menyebalkan yang sudah menyerobot tempat duduknya - merupakan musuh bebuyutan.

Kalau saja Maura nekat mengatakan hal tersebut, bukan tidak mungkin Sara akan bertanya apa penyebabnya dan serangkaian kalimat tanya yang lain.

Setidaknya untuk saat ini, Maura benar-benar lega dengan kemunculan sang asisten dosen di depan sana.

"Halo semua. Wow, banyak juga yang ikut kelas saya. Ini bukan gara-gara kelas ini punya asisten dosen keren kayak saya kan?" seloroh pemuda itu mendapat sorakan dari seluruh penjuru kelas. Khususnya dari kaum adam yang merasa dirinya tersaingi.

Maura yang menyaksikan hal itu hanya tersenyum lebar. Lelaki muda itu memang selalu bisa mencairkan suasana.

Setidaknya, di tengah kedongkolan dirinya akibat bersitegang dengan sang musuh bebuyutan, masih ada hal lain yang bisa membuatnya tertawa.

Itu pula mengapa ia memutuskan mengambil mata kuliah pilihan ini. Selain mendapat paksaan dari sang kakak, jika dirinya harus mengambil mata kuliah tersebut.

Ya, dia Noah Sirius Vega. Sang asisten dosen mata kuliah pilihan yang juga kakak kandung Maura.

"Oke, jadi selama mata kuliah saya, jangan ada yang bermusuhan. Apalagi terlibat skandal ya. Saya tahu motivasi terbesar kalian mengikuti kelas ini." Ucapan Noah di depan kelas menarik kembali fokus Maura yang sempat teralihkan.

Perempuan itu melirik sang kakak yang jelas-jelas menghindari tatapannya.

Kini, ia memahami satu hal. Semua ini hanyalah akal-akalan Noah untuk mempermainkan dirinya.

Maura tak pernah berpikir sejauh itu sebelumnya. Ia tahu, bahwa Mizar memang berkuliah di kampus yang sama dengan dirinya. Meski begitu, mereka sama sekali tak pernah bertemu.

Satu alasannya. Mereka hidup di dunia yang sama sekali berbeda. Maura memilih fakultas budaya dan Mizar merupakan anak teknik yang letak gedung perkuliahannya saja bagaikan jarak Bumi dengan Neptunus.

Wajar jika mereka sama sekali tak pernah bertemu dan itu membuat Maura merasa aman-aman saja. Namun, tiba-tiba saja mereka dipertemukan dalam kelas mata kuliah pilihan yang sama.

Ia pikir, itu hanyalah permainan takdir yang menguji dirinya. Tapi, dugaannya salah kaprah. Dengan ucapan Noah saja, ia sudah bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi.

"Cih!" Perempuan itu tersenyum sinis. Ia merasa sudah dikhianati oleh kakaknya sendiri.

Dengan raut muka sebal, Maura mengeluarkan ponsel dari kantong kemeja dan mengirim pesan pada sang kakak.

Me: Lo sengaja ya? Lo maksa gue buat ikutan kelas ini bukan karena kuotanya kurang, tapi karena ada makhluk astral itu.

Me: Awas aja, lo pasti bakal terima akibatnya!

Jelas saja, pesan Maura akan berakhir dengan centang satu. Sebab, pemuda yang mulai memberikan pengenalan singkat itu, pasti menonaktifkan ponselnya ketika kelas sedang berlangsung.

Lagi-lagi, ia mendengus kesal. Maura sama sekali tak pernah menduga jika hal yang terjadi hari ini adalah akal licik sang kakak.

Awas saja, ia pasti akan membuat perhitungan ketika sampai di rumah!

Tongkrongan Andromeda

Langkah cowok itu tergesa mengejar perempuan yang lebih dulu berjalan cepat di depannya. Beberapa kali ia berusaha memanggil namanya, tapi tak diacuhkan oleh si perempuan.

Mizar menambah kecepatan langkah kakinya. Namun, perempuan itu lebih cepat berjalan dan meninggalkan Mizar di belakang.

"Ra, Ara! Kumohon, kita mesti ngomong!"

Teriakan Mizar sama sekali tak berarti. Maura tetap berjalan cepat dan tak berniat memberikan cowok itu kesempatan untuk mendekat.

Begitu mata kuliah pilihan berakhir, si perempuan langsung keluar dari kelas dan mengabaikan panggilan Mizar yang ingin berbincang dengannya.

"Ara! Tunggu aku!" teriak cowok itu sama sekali tak dipedulikan oleh Maura.

Perempuan itu bergegas dengan tujuan ingin meninggalkan Mizar secepat yang ia bisa. Hingga sebuah tangan meraih pergelangan Maura dan membuatnya mau tak mau menghentikan langkah.

"Apa sih?!" Maura menyentakkan tangan Mizar dari pergelangannya.

Kini, keduanya berhadapan. Menunjukkan aura yang saling bertentangan.

"Kita mesti ngobrol serius," pinta cowok itu hampir tanpa suara.

"Lo nggak ngerti bahasa manusia atau gimana sih? Nggak usah sok akrab!" Maura menegaskan dengan nada ngegas.

Perempuan itu menyentakkan tangan Mizar sekali lagi hingga genggamannya terlepas.

"Inget ini baik-baik, lo nggak perlu berusaha buat jadi akrab sama gue! Dari awal, gue nggak pernah suka sama lo! Sampai kapan pun!"

"Ra, kejadian itu sama sekali nggak seperti yang kamu bayangin." Suara Mizar memelas.

Bahkan sorot netra cowok itu tampak sayu. Menatap lekat ke arah Maura yang berusaha melarikan diri tanpa peduli mendengarkannya berbicara. Namun lagi-lagi, Mizar berhasil meraih pergelangan tangan cewek itu.

"Aku mesti gimana supaya kamu mau dengerin penjelasanku?" Cowok itu terlihat frustrasi ketika mengatakan kalimat tersebut.

Ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar hingga membuatnya terkesan berantakan. Pemuda itu sudah kehilangan akal.

Tiga tahun sejak ia terakhir kali bertemu dengan Maura. Pertemuan yang berakhir dengan kesalahpahaman. Mizar berusaha menjelaskan, tapi perempuan itu menutup diri. Sama sekali tak memberikannya kesempatan.

Bahkan ketika mereka berada di kampus yang sama, Mizar berusaha mencari kesempatan. Namun, tak sekalipun ia mendapatkan kesempatan tersebut untuk bertemu Maura.

Ya, bukan Mizar tak pernah berusaha mencari tahu keberadaan perempuan itu. Namun, Mauralah yang selalu memiliki cara untuk menghindar.

Perempuan itu sudah seperti ninja setiap kali hendak berpapasan dengannya. Padahal Mizar yakin pasti, dalam berbagai kesempatan mereka pernah hampir berpapasan jalan.

Dan, seperti yang ia sebutkan. Tiba-tiba saja Maura menghilang tepat beberapa meter di depannya.

Ketika perempuan itu aktif di berbagai kegiatan kampus pun, Mizar sama sekali tak memiliki kesempatan untuk mendekat.

Terlebih ketika Mizar sengaja menonton pertunjukan teater yang diikuti oleh perempuan itu. Setiap kali pertunjukan berakhir, ia sama sekali tak pernah mendapatkan izin untuk bertemu Maura.

Seakan orang-orang di sekitar perempuan itu pun mencegah pertemuan keduanya.

Ya, selama tiga semester mereka berkuliah di kampus yang sama, baru kali ini keduanya benar-benar bertatap muka.

Kini, ketika kesempatan itu datang, mana mungkin Mizar bakal menyia-nyiakannya begitu saja. Ia harus mendapatkan maaf Maura dan memperbaiki hubungan mereka.

Tidak, yang paling utama adalah ia harus menghapuskan kesalahpahaman di antara mereka.

"Ra, plis. Kumohon, kamu harus dengerin aku kali ini," imbuh Mizar dengan suara hampir tak terdengar ketika merasakan gerakan tangan dalam genggamannya melemah.

Cowok itu melonggarkan genggaman. Berharap Maura benar-benar mau mendengarkan.

Siapa yang sangka jika itu hanyalah trik yang digunakan si perempuan untuk melarikan diri. Begitu genggaman Mizar terlepas, secepat mungkin Maura menggunakan kesempatan tersebut untuk kabur.

"Sial!"

Menyadari hal itu, Mizar mengumpat geram. Ia memukul ke segala arah dan hanya mengenai udara kosong di sekitarnya.

Hingga perhatian cowok itu teralihkan pada seorang cowok yang berjalan menghampirinya.

"Woi, Monyet! Dari mana aja sih lo? Tiba-tiba ngilang gitu aja?" Raka yang juga mengikuti kelas pilihan bersama Mizar, akhirnya menemukan sosok yang dia cari.

Mizar mengibaskan tangan sekenanya dan justru segera pergi dari sana.

"Eh, si Monyet. Gue cariin juga. Main pergi gitu aja," protes cowok itu sama sekali tak dipedulikan oleh Mizar.

"Tungguin gue, Nyet!"

***

Tongkrongan di belakang kampus yang selalu ramai dengan mahasiswa Pilar Bangsa itu, tampak sepi dibanding biasanya. Hanya ada beberapa cowok dan dua cewek yang duduk bergerombol di bawah pohon mangga.

Di antara para cowok, terlihat asyik mengisap rokok dan mengembuskan asapnya kuat-kuat. Tepat ketika Mizar dan Raka sampai dan mengenai wajah salah satu di antara mereka.

"Eh, si Monyet! Kira-kira dong nyebat! Asep lo kena muka gue!" Raka mengomel dan disambut tawa puas oleh si perokok. Arlan.

"Haha ... muka lo memang mirip sih."

"Apa?"

"Smoking area!" tukas yang lain sengaja membuat Raka geram. Cowok yang juga sedang mengisap rokok itu, Bastian.

"Haha ... kacau. Muka ganteng gitu lo bilang smoking area. Bukan, woi!" Itu Sky. Masih sepupuan sama Arlan.

"Nah, ini nih. Gue demen nih. Thanks, Sob. Emang lo doang yang ngertiin gue." Raka kepedean.

"Eh, jangan salah! Sky bilang gitu bukan berarti lo ganteng beneran. Tapi lo udah mirip toilet hotel Merah Putih yang nggak keurus."

"Jahat lo pada. Temen baru datang juga." Nah, yang sok bijak itu, Jerome. Tapi jangan salah, dia tidak benar-benar bijak seperti kedengarannya.

"Ck, mulut lo lebih pedes, Njir! Udah khatam gue!" Raka tak mau terkecoh kali ini.

Cowok itu merampas bungkus rokok di hadapan gerombolan tersebut dan mengambil salah satunya. Dengan cekatan, ia membakar ujung rokok, mengisapnya kuat-kuat, lalu mengembuskannya tepat di depan wajah Arlan. Membalas perbuatan si teman yang minus akhlak.

"Asep lo, Raka!" omel salah seorang cewek yang berada di antara gerombolan para cowok tersebut.

"Heh, lo dari tadi di sini dikelilingi perokok semua ya, Njir! Kenapa gue yang lo marahin?"

"Ya asep lo ganggu!" Cewek itu, Riandra, memprotes perbuatan Raka.

"Pundunglah. Salah mulu gue di sini!"

"Ya emang lo salah ya, Raka!" Kikan ikut menyudutkan si tersangka. Menjadikan tongkrongan itu ramai seketika dengan suara tawa.

Hanya Mizar satu-satunya orang yang tidak terlibat dalam percakapan. Cowok itu memilih bungkam dan menghindari kerusuhan yang disebabkan oleh teman-temannya.

"Gimana kelas lo? Udah ketemu si dosen pujaan?" Albar mengalihkan perhatian.

Sekumpulan cowok yang menyebut diri mereka Andromeda itu, tahu betul motivasi Raka mengambil mata kuliah pilihan yang diikuti hari ini. Ya, tepat. Cowok itu sengaja memilih mata kuliah itu hanya karena diampu oleh dosen populer yang terkenal cantik dan seksi.

Dan, itulah mengapa Raka mau terjebak di dalam kelas yang sebenarnya dia tak memahami sama sekali inti dari perkuliahan tersebut.

"Nggak ada. Si asdos yang ngajar. Padahal gue berharap banget bisa ketemu sama Miss Shiena." Raka tampak kecewa. Lantas raut mukanya berubah antusias ketika mengingat sesuatu.

"Eh, tapi ada kejadian seru hari ini." Cowok itu melirik ke arah Mizar dengan ekor mata.

Sky yang menyadari lebih dulu.

"Apa?" Jiwa kekepoan cowok itu tergugah.

"Dia ribut sama cewek. Kayaknya udah kenal dari lama, tapi dia nggak mau ngaku!"

Semua orang kini terfokus pada Mizar. Termasuk Riandra yang diam-diam mulai gelisah setelah mendengar pengakuan Raka.

"Beneran, Zar? Siapa? Lo beneran kenal lama sama dia?" Arlan mendesak Mizar supaya cowok itu mengaku.

"Bukan siapa-siapa." Mizar menjawab singkat. Namun, jelas dari raut wajahnya jika cowok itu menutupi kebenarannya.

Dan, hanya Sky yang lagi-lagi menyadari hal tersebut.

Cowok itu mendekat ke arah Mizar yang duduk paling ujung. Lantas menepuk pundak si cowok yang sudah dikenalnya sejak SMA.

"Maura?" bisik cowok itu membuat Mizar beraksi.

Tanpa Mizar menjawab sekalipun, Sky tahu jika tebakannya tepat sasaran. Cowok itu tak lagi bicara dan memberikan ruang untuk Mizar.

Sky tahu, cowok itu butuh ketenangan. Setidaknya untuk saat ini.

Jakarta Sempit, Ya?

Maura berjalan cepat. Menghindari mendung yang mengeram hujan. Cewek itu khawatir jika hujan turun tiba-tiba.

Di seberang jalan, sebuah Honda Brio metalik sedang menunggunya. Jendela di bangku kemudi terbuka sebagian. Membuat seorang cowok yang berada di belakang kemudi melambaikan tangan.

Cewek itu membalas lambaian tangan si pemuda dan bergegas menyebrang jalan. Sebelum mendung benar-benar menjadi hujan.

"Gimana kelas Noah, aman?" tanya lelaki itu saat Maura membuka pintu penumpang dan duduk di samping si lelaki.

Maura menoleh. Menatap si pemuda yang mengulum senyuman.

"Kacau!" Gadis itu menjawab singkat. Lantas memasang seatbelt.

Raut mukanya semendung awan kelabu yang menggantung di angkasa.

Cowok di sampingnya tampak tertarik.

"Kenapa emang?"

"Abang tahu kalau Mizar ambil kelas Bang Noah?" desak Maura pada pemuda yang duduk di sampingnya.

Kini mereka tampak saling berhadapan sebelum laki-laki itu menarik tuas gas dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

"Nggak. Abang nggak tahu apa-apa soal itu. Emang Mizar ambil kelas Bang Noah juga?"

"Ck, Bang Agil nggak usah bohong deh. Nggak mungkin Bang Noah nggak ada cerita sama Abang." Maura mendengus kesal.

Gadis itu menatap lekat sang kakak sulung yang fokus menyetir.

Ya, Abigail Sirius Alger. Merupakan kakak sulung Maura. Beda usia mereka lima tahun. Berbeda dengan Noah yang hanya selisih dua tahun. Sementara Noah dan Agil berbeda tiga tahun.

Jika Noah fokus mengembangkan karier di dunia pendidikan dengan menjadi asdos begitu lanjut S2, maka berbeda dengan Agil yang dituntun untuk meneruskan tahta keluarga. Cowok itu melanjutkan tongkat estafet sang ayah dengan menjadi pengacara.

Maura sendiri, yang tak mau terkekang oleh aturan keluarga, memilih studi kesusastraan sebagai jalan ninjanya.

"Abang beneran nggak tahu apa-apa, Ra."

"Bohong dosa, Bang. Apalagi Abang pengacara. Nggak malu sama sumpah profesi, Abang?" Serangan gadis itu telak. Abigail tak bisa menghindar lagi kali ini.

"Iya, iya. Abang ngaku. Bang Noah cerita kalau dia sengaja bujuk kamu ikut kelasnya gara-gara ada Mizar."

Maura mendengus kesal sebagai jawaban. Ia benar-benar geram. Entah mengapa kedua kakak lelakinya itu gencar sekali memintanya berbaikan dengan Mizar.

"Kalian tuh aslinya kenapa sih pengen banget Ara baikan sama cowok berengsek itu?"

Abigail menyerah. Ia melirik sang adik yang kini cemberut akibat persekongkolannya dengan Noah.

"Abang cuma nggak mau Ara, menyesal kemudian. Apa yang kita dengar, belum tentu itu yang terjadi sebenarnya, Ra.

Lagipula, kamu beneran nggak ingat Mizar itu siapa?"

"Cih, Abang serius tanya Ara gitu?"

"Ya, iya."

"Mana mungkin Ara bisa lupa, Bang. Dia adalah orang yang bikin Raisa mati! Emang Ara bisa lupa gitu aja?" tukas Maura dengan nada tajam.

Setelahnya gadis itu menghela napas panjang. Tak ingin lagi memperpanjang perdebatannya dengan sang kakak sulung.

"Dahlah, udah terlanjur juga. Percuma aja Ara, kesel. Kelas udah nggak bisa dibatalkan. Lagipula, kelas Bang Noah berguna juga buat kejuaran Ara.

Tapi, tetap aja. Ara bakal kasih pelajaran buat kalian. Ini namanya penjebakan yang direncanakan.

Salah satu modus penipuan. Ara pasti bakal bilang sama, Papa." Gadis itu mengancam dengan raut muka serius yang membuat sang kakak sulung menatapnya was-was.

Maura benar-benar jelmaan ibu suri. Satu-satunya perempuan dalam keluarga yang terdiri dari tiga orang pria dan satu wanita, membuat adik bungsunya itu memiliki kekuasaan penuh sebagai orang yang berpengaruh.

"Duh, Ra. Jangan bilang Papa, dong. Ara mau apa? Abang beliin ya, tapi jangan bilang Papa!" Abigail berusaha membujuk sang adik agar mengurungkan niatnya.

"Nggak ada. Ara bakal tetap bilang sama, Papa!" penegasan perempuan itu menjadikan sang kakak kian gelisah.

"Ra, duh. Jangan dong! Bisa kena marah Abang sama Bang Noah."

"Biarin aja weh. Siapa suruh Abang sengaja bikin Ara, kesel."

"Ck, nggak bisa nih. Bang Agil nggak bisa diem aja."

"Terus, Bang Agil, mau apa?"

Tanpa aba-aba, pemuda yang hampir memasuki masa quarter life itu membelokkan mobil ke sebuah restoran franchise yang menjadi tempat favorit sang adik bungsu.

"Abang ngapain ke sini?"

"Usaha, biar kamu nggak laporan sama Papa," ucap sang kakak cukup singkat. Namun, demi apa pun, Maura tersenyum puas dengan keputusan sang kakak.

"Turun nggak? Anginnya kenceng banget nih!" Abigail berseru dengan menahan pintu mobil agar tetap terbuka sebagian.

Gadis itu bergegas. Menyusul sang kakak yang lebih dulu turun. Berlari kecil menuju bangunan bernuansa merah dan putih yang menjadi tempat favorit Maura. Tepat sebelum hujan turun dengan deras.

***

"Kak, Ara mau Winger Bucket, Spicy Chili Don Putih, Cream Soup, Colonel Burger, French Fries Large, sama Fish Burger. Masing-masing satu ya."

Akan terdengar aneh jika gadis menjelang dua puluh tahun itu masih menyebutkan nama diri sebagai kata ganti orang pertama yang merujuk pada aku atau saya. Terlebih ketika berbicara dengan orang lain.

Namun, tak jadi aneh jika yang melakukan hal itu adalah Maura. Bahkan sang penjaga counter sampai hafal dan memaklumi perbuatan Maura. Begitu juga dengan sang kakak yang berdiri di samping gadis itu.

Berbeda dengan orang lain saat mendengar cara gadis itu menggunakan kata ganti orang pertama dengan menyebutkan nama diri.

Aneh. Kekanak-kanakan. Sok centil. Itulah yang ada dalam pikiran orang lain ketika mendengar Maura menyebutkan nama dirinya saat memesan makanan.

Beberapa bahkan menahan senyum dan menunjuk si gadis dengan tatapan heran. Juga sedikit meremehkan.

Termasuk dua orang cewek yang mengantre di belakang Maura. Mereka jelas-jelas menjadikan Maura sebagai bahan obrolan.

"Dih, sok imut banget sih. Udah gede juga, sok-sokan panggil pakai nama sendiri."

"Ck, kasihan sih gue. Haus kasih sayang kayaknya."

Mereka tertawa cekikikan. Sementara Maura yang mendengar dengan jelas obrolan kedua cewek itu, mengepalkan tangan. Ia hendak berbalik ketika sang kakak menahan bahunya. Lantas membawa gadis itu dalam rangkulannya.

"Nggak usah diladenin. Bakal riweh urusannya." Sang kakak memperingatkan.

Gadis itu mendengus.

"Orang kayak mereka mesti dikasih pelajaran, Bang. Ngelamak jadinya kalau dibiarkan!" sungut Maura bersikukuh untuk melabrak kedua cewek di belakang mereka.

"Ra, Abang nggak mau bela kamu kalau sampai kejadian hal-hal yang nggak diinginkan."

"Ih, kok gitu. Kan mereka duluan yang cari gara-gara, Bang."

"Oke, tapi siapa yang mau ngasih pelajaran? Kamu kan? Kalau kamu balas ulah mereka, sementara mereka nggak melakukan apa pun, bakal jadi rumit urusannya, Ra."

"Ish, Abang mah. Nggak seru!" tukas Maura dengan wajah cemberut.

Mereka hendak menjauh dari counter tempat pemesanan makanan ketika sebuah suara lain mengalihkan fokus keduanya.

"Udah pesen?" tanya lelaki itu kepada temannya. Namun, cukup membuat Maura dan Abigail menoleh bersamaan.

"Mizar?" sapa Abigail saat mendapati pemuda seusia adiknya itu berdiri dengan kedua teman ceweknya yang sedang antre memesan makanan.

"Bang Agil?"

"Zar, lo kenal?" tanya salah satu cewek yang tampak terkejut. Riandra.

"Iya." Cowok itu menjawab singkat. Sorot matanya tak lepas dari Maura dan sang kakak.

Sementara Maura hanya tersenyum sinis saat menyadari gerombolan yang baru saja ia temui.

"Cih, jadi mereka temen lo? Pantes minim akhlak."

"Ra," tegur Abigial mengingatkan sang adik.

"Emang iya kok, Bang. Apa sebutan yang pantas buat mereka kalau bukan minim akhlak? Sukanya cuma julidin orang lain."

Mizar menatap kedua temannya bergantian. Riandra tampak gusar. Cewek itu menggigit bibir bawahnya. Begitu juga dengan Kikan.

"Kalian ngomong apa?" ucap cowok itu dengan nada tegas.

Abigail yang menyadari suasana tegang di antara mereka, cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan berpamitan kepada Mizar. Terlebih saat menyadari sang adik yang tampak ingin menelan mereka bulat-bulat.

"Kami duluan ya. Kita sambung lagi kalau ketemu," ucap Agil buru-buru sambil mendorong bahu sang adik agar segera menjauh.

Perempuan itu lagi-lagi menghela napas panjang.

"Jakarta sempit ya, Bang. Di antara semua orang, bisa-bisanya kita ketemu sama pembunuh itu!"

"Sstt ... Ra, udah ya. Makan yang banyak biar energi kamu cepet pulih. Serah deh kalau abis itu mau marah-marah lagi!"

Maura tak membantah. Hanya saja, wajahnya kian cemberut setelah insiden di depan counter pemesanan makanan tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!