NovelToon NovelToon

Antara Aku & Kakak

bab 1

Melihat bintang diatas langit yang begitu gelap, bulan tidaklah hadir untuk menemani bintang yang bisa terhitung dengan jari. Kutatap beberapa bintang yang terlihat besar dan bersinar terang sambil memejamkan mata ini dengan tenang, ku tarik nafasku dengan teratur damai.

Lantunan suara jangkrik yang mengisi malam ini terasa nikmat kurasakan, begitu damai yang kunikmati. Dengan berbaur semerbak wanginya bunga melati di depan rumahku, hembusan angin membawakan salam rindu yang entah akan tersampaikan kemana. Aku duduk diteras sambil membayangkan masa depanku kelak.

***

Saat itu adalah hari dimana Aku bertemu dengan Indra tanpa sengaja. Dia adalah sosok pria yang kukagumi, Pernah dengar cerita dari beberapa santri lama di sana, dia adalah sosok pria yang selalu dikagumi oleh kaum hawa di Pondok Darussalam.

Begitu banyak penggemar yang menyukainya, entah apa yang mendorong keniatannya untuk ingin kenal dekat denganku padahal baru saja saling mengenal beberapa hari yang lalu.

Hari itu adalah pertemuan kedua kami di Pondok Darussalam. Aku adalah anak pindahan dari Jogja yang ingin melanjutkan kembali Santri di sana.

Pertemuan kami sangatlah tidak tepat, saat itu masih pagi dimana adzan subuh masih belum berkumandang. Aku hanya ingin menghirup udara segar. Namun, saat itu juga Indra ada dibelakangku.

"Dek, koe paham kan areke Om Jaya." (Dek, kamu kenal kan anaknya Om Jaya.)

Pada saat itu Umi dan Abi ingin menjodohkan Kak Tery dengan Indra, dan saat itu pula Aku merasa tidak adil. Tapi itu adalah pilihan diantara kedua keluarga kami, Aku tidak bisa membantahnya.

Sebelumnya, Aku itu anak yang pendiam diantara keluargaku. Aku memiliki saudara perempuan yang lebih tua dariku, ia adalah Kak Tery, kakak yang suka menjahili adiknya sendiri di saat moodnya tidak begitu bagus.

Namun, hampir setiap hari sih dia menggangguku. Aku dan Kak Tery hanya beda 2 tahun lebih muda darinya. Aku berumur 20 tahun sedangkan Kak Tery 22 tahun, tetapi jodoh diantara kami sangat rumit untuk dijelaskan.

***

Pagi ini disambut dengan cahaya matahari yang menyelimuti di perkampunganku, daun pepohonan tertiup angin juga daunan kering yang sudah terjatuh dari pohonnya.

Sejauh mata memandang, Aku melihat beberapa tetanggaku yang melakukan aktivitas seperti hari biasanya. Ada yang sedang memanasi motor, menjemur baju, menyuapi anaknya sambil berjalan ke sana dan ke mari.

Aku duduk di depan teras bersama Kak Tery sambil memegang buku dan penaku. Umi dan Abi yang begitu sibuk membereskan rumah karena kami akan pindah ke Jakarta. Kami akan tinggal di sana beberapa tahun, sebab Abi memiliki pekerjaan tetap nantinya di sana.

Abi adalah pria yang begitu takut saat pergi bekerja dinas di luar perkiraannya. Jika meninggalkan kami bertiga dirumah untuk menunggu kepulangannya, dia akan cemas. Maka dari itu, Abi mengajak kami untuk tinggal bersamanya di Jakarta.

Aku dan Kak Tery sebenarnya sangat berat meninggalkan pendidikan kami disini sebab akan dipindahkan ke pendidikan yang baru juga untuk sementara waktu di sana. Namun, kami tidak berani untuk membantah Abi dan Umi hanya karena keegoisan kami.

Melihat Kak Tery yang terus murung dengan wajah yang begitu kesal, Aku memahaminya. Dia akan meninggalkan teman baiknya dan kebiasaannya dirumah sepertiku.

Dengan sifat Kak Tery yang selalu betatut seperti burung unta, Aku ingin sekali menghiburnya dengan caraku mengajak mengobrol diteras.

"Mbak, wes toh yo, ojo murung wae. Ayuklah bantu Umi Abi biar cepet selese. Murung yo loko gunane toh, Mbak" (Mba, udah lah, jangan murung terus. Ayolah bantu Umi Abi supaya cepat selesai. Murung juga nggak ada gunanya lah, Mbak) Aku berusaha menggoyangkan tubuh Kak Tery yang masih kesal itu dengan mengajaknya membantu Umi dan Abi.

Tidak sampai lima menit, Umi keluar dan memanggil Kak Tery lalu menyuruhnya pergi ke rumah Mbok Sirah, tetangga Umi yang baik hati itu.

"Tery, tolong undangna Mbok Sirah yo!" (Tery, tolong panggilkan Mbok Sirah ya!) kalimat Umi yang memerintah dengan lembut kepada Kak Tery.

Kak Tery mendengus, menggelembungkan pipinya sambil menolak perintah Umi dengan marah. Umi hanya tersenyum mendekati Kak Tery kemudian ia membelai kepalanya yang memakai hijab itu dengan lembut. Aku pun berdiri sambil memeluk buku kesayanganku disamping Umi.

Aku menatap wajah Umi yang tidak pernah marah dengan anaknya itu, selalu memberikan kasih sayangnya begitu lembut. Saat Aku atau Kak Tery marah hanya karena hal kecil. Namun, Umi selalu mengajarkan kami untuk patuh dengan orang tua begitu juga dengan orang lain saat meminta tolong atau bantuan. Tetapi kami lah yang selalu lalai dalam menyikapinya.

Apalagi sewaktu Aku berumur 15 tahun lalu, Aku adalah gadis yang paling nakal di kampungku. Oleh karena itu, selesai Aku lulus sekolah SMP. Aku dimasukkan ke Pondok oleh Abi agar menjadi gadis baik dan alhamdulillah, keinginan Abi sudah tercapai selama 4 tahun Aku di Pondok menjadi santri yang baik di sana.

Dengan kabar begitu, Abi, Umi, dan Kak Tery menjemputku di Pondok saat libur panjang. Tidak disangka, sekarang Aku justru meninggalkan Pondok itu lalu pindah di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan agamaku.

Sedikit berat, saat Abi mengatakan hal ini kepada kami akhirnya orang yang paling berat meninggalkan rumah dan sekolah adalah Kak Tery.

Umi masih menasehati Kak Tery yang sudah dibilang sudah berumur. Aku pun meledek Kak Tery dengan menyebutkan umurnya yang sudah beranjak dewasa itu. Namun, tetap saja masih mendengus seperti anak kecil.

Kak Tery langsung mendongak ke arahku dan mengejarku sambil berlari yang ingin memberi pelajaran untukku. Umi yang sedikit terhibur dengan kami, ia pun tersenyum lalu tertawa lepas.

"Umi! Tolong bantu Abi sebentar!" suara nyaring Abi di dalam rumah, berteriak meminta tolong kepada Umi.

Umi pun menyahut, berteriak kencang ke arah pintu depan rumah. Ia pun kembali berteriak menyuruh Kak Tery untuk pergi ke rumah Mbok Sirah dan menyuruhnya datang ke rumah kami.

Dengan mood sedikit bagus, Kak Tery mengiyakan perintah Umi dan pergi kerumahnya. Aku berlari ke rumah, mengintip seisi rumah itu sudah terbungkus dengan kain panjang dan beberapa koper milik Abi dan Umi.

Kursi diruang tamu pun ikut tertutup oleh kain untuk menjaga kebersihan agar tidak terlalu mengenai debu.

"Abi, opo iyo harus ditutup koyo ngono?" (Abi, apa iya harus tertutup kaya gitu?) Suaraku lirih, namun terdengar oleh mereka.

Mereka hanya tersenyum melihatku dibilik pintu rumah sambil menatapku dengan lembut. Tiba-tiba Kak Tery datang dengan raut wajah girang senang.

"Umi! Iku loh, Mbok Sirah wes teko," (Umi! Itu loh, Mbok Sirah sudah datang) teriak Kak Tery dari depan pintu disampingku.

Aku pun langsung menoleh ke belakang melirik sebentar kearah Mbok Sirah, terlihat sekali walaupun sedikit jauh mata memandang, Mbok Sirah berjalan dengan sedikit membungkukkan badannya karena sudah menua.

Kami selalu memberi sedikit rezeki dari Allah untuk Mbok Sirah, ia sudah sesepuh tapi tubuhnya masih kuat untuk mengangkat kayu bakar lalu berjalan jauh dan daya ingat yang cukup bagus.

Seketika Umi dan Abi pun keluar rumah dan mendekati Mbok Sirah, membantu ia masuk kedalam rumah kami yang barangnya sudah terbungkus rapih.

"Mbok, anu.. kita mau pamit, aku lan bojoku arep lungo gowo bocah loro iki yo, Mbok. Aku nitip kunci omah maring Mbok," (Mbok, itu.. kami mau pamit, saya dan suamiku mau pergi bawa kedua anak ini ya, Mbok. Saya titip kunci rumah sama Mbok) tutur Umi sopan kepada Mbok Sirah yang sedang menengahi duduk mereka.

Mbok Sirah hanya tersenyum bercampuran sedih karena kami akan tinggal lama di Jakarta. Mbok Sirah sudah kuanggap sebagai Nenek buyut kami, yang selalu mengajarkan kami lika-liku kehidupan pada zaman dahulu. Mbok Sirah hanya memberi saran kepada Umi dan Abi untuk selalu menjagaku dan Kak Tery.

Kak Tery yang sedang duduk disamping Abi menitikkan air matanya, sebab kelak di Jakarta tidak ada orang yang seperti Mbok Sirah, beliau sangat menyayangi kami seperti cucunya sejak kami kecil.

Mbok Sirah hidup sebatang kara, ia di tinggalkan oleh suaminya sejak kelahiran anak pertamanya. Dengan setianya Mbok Sirah pada suaminya, ia tidak lagi berkeinginan untuk menikah.

Mbok Sirah selalu menjaga dan merawat anaknya sendiri, dengan hasil jerih payahnya sendiri. Namun, suatu hari terjadi kepada Mbok Sirah, anak bungsunya meninggal di usia 10 tahun karena penyakit jantung. Itulah mengapa, Umi dan Abi begitu menyayangi Mbok Sirah yang hidup sebatang kara.

Bukan hanya karena kasihan, Umi dan Abi pun menganggapnya sebagai pengganti orang tua mereka, Ibu-Bapak Umi dan Abi sudah meninggal sejak lama. Jadi, Umi selalu menganggapnya sebagai orang tua keduanya.

"Nduk, koe ojo klalen sholat lan sunnahe kanjeng nabi ya, nduk. Mbok ora pengen, sampean klalen maring kwajibane," (Nak, kamu jangan lupa sholat dan sunahnya Nabi ya, nak. Mbok tidak ingin, kamu lupa dengan kewajibanmu) pesan nasehat Mbok Sirah kepada Umi dan Abi.

Kami pun mengiyakan pesan terpenting dari si Mbok, karena kewajiban kami sebagai orang muslim harus mematuhi perintah Allah SWT.

bab 2

Jam menunjukan pukul 13.30 menit, saatnya kami berpamitan kepada tetangga yang di samping rumah kami dan yang mengenal jauh dengan Umi begitu juga dengan Abi.

Kami pun mulai masuk mobil travel yang sudah dibayar oleh Abi untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan. Abi memulai memasuki barang-barangnya dibagasi dan setelah selesai, Abi pun masuk ke dalam mobil bagian depan.

Dengan rasa sedih, Aku melambaikan tanganku lewat jendela pintu mobil tersebut. Mobil pun sedikit berjalan lambat karena jalanan di perkampunganku tidak sebagus jalan raya didepan jalan kota. Sedikit demi sedikit mobil ini melaju dengan cepat, Aku melihat ke belakang, Desa yang kukagumi kian semakin jauh dariku.

"Opo toh dek, nggolek opo?" (Apa sih dek, nyari apa?) tanya Kak Tery mengagetkanku, Aku menatapnya sebentar lalu Aku kembali duduk seperti semula.

Di tengah perjalanan, Aku mulai mengantuk dan tidak bisa lagi untuk menahannya. Melihat Umi dan Kak Tery yang sudah tergeletak tepar ditempat duduknya masing-masing tertidur pulas. Abi yang sedang asyik mengobrol dengan supirnya, rasanya kurang ramai jika Kak Tery tidur duluan.

Demi menjaga kantukku, Aku menggoda Kak Tery dengan cara menggelitik-glitikkan hidungnya dengan kain hijabnya.

Kak Tery hanya sedikit merespon dengan menggosokkan tangannya dibagian bawah hidung dia sendiri. Aku sedikit cekikikan, namun Abi pun mendengar suaraku yang sedikit keluar dengan tawa.

Abi membalikkan badannya dan melihatku yang sedang berusaha mengerjai Kak Tery supaya bangun dari tidurnya. Tapi usahaku gagal, Kak Tery seperti kerbau mati jika sudah tidur susah untuk mengutiknya.

Lalu, Abi pun hanya tertawa kecil melihatku yang gagal membujuk Kak Tery untuk bangun, sedikit bayanganku melihat Kak Tery yang kuusilkan akan marah besar, tapi begitu cepat membuyar semua bayanganku, saat usahaku begitu gagal di depan Abi.

"Hehe, opo seh dek, koe senenge usil maring Mbak mu, giliran Mbakmu usil balek, koe yo kesewoten," (Hehe, apa sih dek, kamu sukanya jahil sama Mbakmu, giliran Mbakmu jahil balik, kamu ya marah) ujar Abi mengejekku dengan candanya.

Aku mulai kesal dan mengerutkan alisku, menatap jalanan di depan kaca mobil yang menembus. Abi melihatku, lalu kembali tersenyum di kaca spion depan mobil, Aku sedikit melirik kearah spion itu tapi sontak Abi berpura-pura tidak melihatku dengan menghadapkan pandangannya ke depan. Sedikit terhibur oleh Abi, Aku kembali tersenyum.

***

 

Perjalanan kami yang cukup jauh, akhirnya memakan waktu selama 3 jam di dalam mobil. Setelah Aku ketiduran yang tidak sengaja ini, Aku melirik Umi yang sudah bangun sedari tadi.

Bahkan Aku tidak merasa bahwa mobil ini sudah berhenti diarea rumah makan, Aku melihat Kak Tery dan Abi yang sedang makan pop mie diluar mobil.

"Umi, iku Abi bareng Mbak Tery lagi opo? Kok iyo enak tenan iku loh yen mangan," (Umi, itu Abi sama Mbak Tery sedang apa? Kok kelihatan enak gitu lho kalau makan) kataku sambil menunjuk Kak Tery dan Abi diluar mobil.

"Koe arep pan mangan opo dek? Iku Mbakmu lagi lenggahan sambil mangan pop mie bareng Abi," (Kamu mau makan apa dek? Itu Mbak kamu lagi duduk sambil makan pop mie sama Abi) ucap Umi sambil berusaha keluar dari mobil.

Memandang Abi yang sedang asyik makan Pop Mie itu, perutku terasa mual dan ingin muntah di dalam mobil, rasanya tidak enak sekali. Bau yang menyengat di area dekat rumah makan Aku justru ingin cepat pergi dari sana.

Aku merapihkan hijabku lalu langsung turun dari mobil dan mendekat ke arah Umi yang sedang minum teh manis hangat.

"Umi, aku mual," kataku mengadu memelas.

Umi langsung cemas dan khawatir padaku, ia berusaha mencari minyak kayu putih di tas merahnya. Usaha Umi mencari minyak itu tidak ada di dalam tas merahnya, alhasil Umi memanggil Abi yang jaraknya sedikit jauh darinya.

"Abi! Mrene!" (Abi! Kesini!) teriak Umi sambil melambaikan tangannya.

Aku pun tidak kuat lagi untuk menahan rasa mual ini, Aku duduk disamping Umi sambil menyender dibahunya. Kak Tery yang melihatku dari jarak jauh pun ikut mendekat ke arahku bersama Abi.

"Opo Mi, ngundang-ngundang mrene?" (Apa Mi, panggil-panggil kesini?) tanya Abi sambil celingak-celinguk ke arahku dan Umi.

"Iki loh, anakmu. Mual jarene, tulung luruhno minyak kayu puteh loh, Bi," (Ini loh, anak kamu. Mual katanya, tolong cariin minyak kayu putih loh, Bi) ucap Umi cemas sambil menyenderkan tangannya dipundakku.

Kak Tery dengan penasarannya, ia memegang pipi dan keningku seperti ingin mendeteksikan suhu panasku.

"Loh, Umi. Iki sirahe Adek panas poll, iki piye Mi," (Loh, Umi. Ini kepala Adek panas banget, ini gimana Mi) kaget Kak Tery yang masih memastikan suhu panas dibadanku.

Aku hanya terdiam lesu dipundak Umi, melihat Kak Tery yang masih pegang Pop Mie ditangan kirinya, perutku bereaksi lebih cepat dari biasanya, dan "Hoeekkk!"

tiba-tiba Aku mengeluarkan muntahan di depan Kak Tery. Hampir mengenai baju syar'i nya, Kak Tery marah sambil mendengus kesal kepadaku.

"Iihh, piye seh dek? Hampir kena gamis Mbak niki loh. Ngileng-ngileng disek yen pan muntah seh dek, dek," (Iihh, gimana sih dek? Hampir kena gamus Mbak ini loh. Lihat-lihat dulu kalau mau muntah sih dek, dek) kesalnya sambil mengibas gamis syar'inya yang terkena Cipratan muntahanku.

Aku hanya menatap wajah Kak Tery yang menggelembungkan pipinya itu, sembari meminta maaf kepadanya. Umi hanya melihat reaksi Kak Tery yang berusaha membersihkan bajunya, dan Umi sambil melirik kanan kiri untuk memastikan Abi cepat datang.

Tidak sampai tiga menit, Abi berlari dari arah timur sambil membawa bingkisan kresek Indomart, terlihat jelas bahwa Abi membeli satu minyak kayu putih untukku di sana dan beberapa makanan snack kesukaanku.

"Dek, koe muntah yo dek?" (Dek, kamu muntah ya dek?) tanya Abi cemas, sambil melihat Umi yang sedang mengelap bekas muntahanku.

"Iyo, moso Adek muntah hampir keno gamisku, Bi," (Iya, masa Adek muntah hampir kena gamisku, Bi) tutur Kak Tery masih mendengus.

"Iyo wes, wes toh Mbak. Adekmu iki kan ora sengaja, lagian Adek yo wes minta Maaf kan," (Iya udah, udah lah Mbak. Adek kamu inikan tidak sengaja, lagian Adek ya sudah minta maaf kan) Umi berusaha membelaku di hadapan Abi, Kak Tery pun mengalah dan pergi masuk ke dalam mobil.

"Iyo wes, ayo Umi masuk mobil. Biar Adek di olesin neng mobil," (Iya udah, ayo Umi masuk mobil. Biar Adek di olesin ke mobil) Abi menarik tanganku dengan pelan, lembut dan mempapahku berjalan masuk ke dalam mobil, Umi akhirnya memanggil supir travel itu untuk melanjutkan perjalanannya.

Di dalam mobil, Umi membantuku mengoleskan minyak kayu putih diperut, terasa hangat, begitu juga bau minyak yang menenangkan membuatku ingin tidur kembali pulas seperti tadi.

Aku menyenderkan kepalaku di pangkuan Umi, Umi duduk disampingku sambil mengelus-elus perutku dengan lembut, sangat menengangkan. Sedangkan Kak Tery duduk dipaling belakang karena perintah oleh Abi, agar Aku lebih gampang untuk rebahan di pangkuan Umi.

Kasih sayang mereka saat Aku jatuh sakit dengan hal sekecil ini pun bisa menyulitkan Kak Tery.

Sebenarnya Aku ingin sekali menertawainya saat Kak Tery mendengus kesal kepadaku, karena muntah hampir mengenai semua bagian gamis bawahannya.

Dengan ketidak berdayaanku, aku hanya menatapnya sambil meminta maaf, huh! sayang sekali rasanya.

Mobil yang melaju dengan maksimal kecepatannya, lalu ditambah lagi suasana yang mulai gelap, menandakan sebentar lagi akan menjelang maghrib. Tetapi Aku justru malah mengantuk dan ingin tidur dipangkuan Umi untuk sebentar saja.

Sedikit demi sedikit, mataku mulai memejamkannya dengan perlahan, dan dengan ketidaktahananku, mataku mulai sayup, Aku pun tertidur dengan pulas.

bab 3

Setelah sekian lama Aku tertidur, badan terasa seperti patah semua, sakit, tapi tidak berdarah.

Perjalanan menuju Jakarta ternyata penuh dengan perjuangan, sampai Aku muntah, mual tidak jelas, mood gak jelas, nafsu makan pun tidak selera sama sekali.

Aku bangun dari pangkuan Umi dan melihat di sekelilingku. Menoleh ke depan, Abi yang sedang tertidur, menoleh ke samping Umi tertidur juga, dan melihat ke belakang Kak Tery sedang membaca buku novelnya.

Aku pun kembali melihat pandangan di depan, terlihat sekali lampu yang warna warni di luar sana, saking penasarannya Aku membuka jendela mobil tersebut.

Udaranya begitu sejuk di malam hari, rasanya begitu menenangkan saat ku buka jendelanya.

Aku sangat menikmatinya sambil memejamkan mataku. Beberapa menit kemudian, ku buka mataku dengan perlahan, dan WOw! gedung-gedung begitu tinggi dengan lampu-lampu yang menyala begitu indah, hiasan di setiap pinggiran jalanan, ramai dengan berbagai orang, banyak sekali keindahan di sini. Aku langsung berbalik badan dan berteriak kepada Kak Tery.

"Mbak! Iku loh jenenge desa opo, kok yo apik tenan seh yah?" (Mba! Itu loh namanya desa apa, kok bagus banget sih yah?) seruku sambil menunjuk di berbagai gedung kota.

Kak Tery pun langsung melihat yang ku tunjukkan dan menatap begitu lama di setiap gedung yang kita lewati.

"Iki opo wes anjog Jakarta, opo iyo? Niki mah bukan desa maning, Dek. Coba gih koe takon Abi," (Itu apa sudah sampai Jakarta, apa iya? Ini mah bukan desa lagi, Dek. Coba deh kau tanya Abi)

Kak Tery balik tanya padaku dan melemparkan pertanyaanku kepada Abi, aku sedikit jengkel kepada Kak Tery, dia selalu saja asyik sendiri jika sudah melengket dengan novel favoritnya.

"Abi, tangi Bi.., tangi!" (Abi, bangun Bi.., Bangun!) kataku sambil menggoyangkan pundak Abi agar terbangun dari tidur pulasnya.

Mendengar teriakkan Aku, justru telah membangunkan Umi yang tidak kubangunkan, Abi masih tertidur pulas bahkan ku kutik sedikit di bagian pinggang pun tidak ada respon sama sekali.

Mungkin penyakit kebo mati Kak Tery juga menurun kepada Abi yang tidur seperti mati suri.

"Opo dek, koh koe teriak-teriak. Gak sopan loh!" (Apa dek, kok kamu teriak-teriak. Gak sopan loh!) kata Umi sambil menutup mulutnya yang menahan kantuk.

"Iki loh Umi, abi tilem koh iyo koyo kebo mati" Kesalku sambil bersedekap, umi hanya tersenyum seperti biasanya, melihat Aku marah ia hanya bermodal senyum sambil mengelus kepalaku.

Aku pun menatap Umi sebentar, "Opo?" Tanya Umi sontak mengagetkanku yang ingin menatapnya lebih lama, aku merasa heran dan bingung saja, umi beda dari Ibu-ibu yang lain.

Biasanya, jika anaknya kesal atau marah yang hanya karena masalah kecil, ibu itu pasti akan menasehatinya dengan kesal juga.

Tapi beda dengan Umi, ia selalu sabar dan suka sekali tidak memperlihatkan emosinya.

"Umi, adek arep takon. Koh Umi iso seh nggak pernah jengkel maring Mbak Tery mbuh Adek? Padahal yo Adek sering loh Umi, liat Ibu-ibu lain seneng marahin areke." Tanyaku dengan penuh pertanyaan seribu bahasa kepada Umi, berharap jawaban itu akan menjadi contoh terbaikku, kelak di masa depan.

"Dek! Kwajiban Umi iku cuma sabar lan ridho ngasuh koe pada, mongkone Umi iyo kudu sabar toh lek, yen koe jengkel, mbuh tukaran maring Mbak mu. Umi cuma di tugaske menasehati Adek lan Mbak Tery. Mugo-mugo dadi anak sholehah, berbakti maring wong tuo. Iku," Jawaban Umi senantiasa membuatku kagum, simple, namun jelas di mengerti.

Itu sebabnya Aku tidak pernah melihat Umi marah ataupun kesal dengan seseorang maupun anaknya.

"Oh. Iyo wes, adek pan dadi bocah sing sholekha maring Umi karo Abi yah Umi." Kata manisku keluar begitu saja dan sambil memeluk Umi, aku pun kembali teringat dengan gedung-gedung di luar sana.

Melihat Umi yang masih memelukku, aku mulai bertanya langsung padanya.

"Mi, iku jenenge desa opo kota, mi? Koh akeh banget gedung duwur koyo ngono." Kataku masih di pelukkan Umi.

Sementara Umi langsung melepaskan pelukkanku dan melihat di jendela mobil.

"Owalah rek, iki yo wes anjog kota Jakarta!" Teriak Umi membuatku tertegun, kaget begitu juga dengan Kak Tery.

"Opo seh Umi, ngagetin aja!" Teriak Kak Tery kesal dengan Umi, aku hanya tertawa melihat Umi yang jauh lebih deso dibanding denganku.

Ternyata Inilah Jakarta. Jakarta tidak seperti yang orang bicarakan, katanya Jakarta itu keras, banyak orang jahat, begitu juga tempatnya seram-seram. Namun, dengan yang ku lihat justru Jakarta penuh dengan keindahan lampu yang berwarna warni, Mall yang memiliki gedung tinggi, ramai dengan berbagai orang.

Terlihat meriah di banding dengan kampungku, kalau sudah maghrib yah sepi, kaya kuburan.

Aku pun tidak merasa kecewa sama sekali saat Aku melihat langsung tempat Jakarta seperti ini.

 

***

 

1 jam berlalu, akhirnya Aku dan keluarga sampai di rumah sementara, yang biasa di sebut adalah kontrakan. Abi yang sudah bangun, Umi yang bersiap-siap turun dari mobil, kak Tery yang masih asyik membaca buku, sedangkan Aku masih menunggu Umi turun, huehehe.

"Mbak, wes toh. Moco buku wae, iki bantu Abi manjingno koper karo tas-tase." Abi berteriak di bilik pintu bagasi mobil, sambil mengangkat koper yang di bawanya.

"Iyo-iyo sabar, adek Mery minggir disek. Mbak arep mudun" Kata Kak Tery sambil menyuruhku untuk bergeser.

Dengan membawa koper dan barang lainnya, aku dan Umi hanya bersiap untuk memasuki rumah baru yang akan di tinggal sementara waktu, kemungkinan hanya 4 tahun di Jakarta.

Kak Tery yang masih berusaha menurunkan satu koper, ia kuwalahan karena ribet dengan buku yang Kak Tery pegang.

Abi masih melihat usaha Kak Tery yang masih berusaha menurunkan koper itu, aku hanya berteriak menyemangati begitu juga dengan Umi.

Abi tertawa melihat wajah Kak Tery yang begitu kesal melihatku tidak membawa barang sebiji-pun. Ia mendengus kesal, karena tidak ada seorang pun membantunya.

Akhirnya Umi tidak tega melihat Kak Tery kesusahpayahnya itu, umi menyuruh Abi untuk membantunya.

"Weleh, Mbake kesel opo!" Ledekku sedikit menyeringai.

Kak Tery tidak mengeluarkan sepatah kata denganku, ia hanya menggelembunhkan pipinya sambil membuka tas yang Kak Tery bawa.

Aku melirik Umi, sambil menarik gamisnya "Umi, kuncine ngendi? Moso iyo ngenteni Ibu kontrakan teko." Dengan mata melirik tajam, umi membalikkan pandanganku dan berteriak ke Abi.

"Bi,, anakmu iki takon kunci omahe ngendi, sampean nyekel opo ora?" Teriak Umi bergemang memasuki rumah.

Aku dan Kak Tery sempat kaget mendengar suara gemangan Umi tadi, umi hanya tertawa saat suaranya itu bergemang begitu keras.

Bisa jadi, suara itu terdengar oleh tetangga baru kami karena jelas seperti berteriak membangunkannya.

Ternyata Abi sudah menyimpan kunci rumah itu di sakunya. Abi pun mulai mendekat di depan pintu dan membuka rumah baru kami.

Cetak! Krieetttt..

Suara pintu bergemang seperti teriakan Umi barusan. Pintu tersebut terbuka lebar, aku hanya melihat isi rumah itu kosong, tidak ada satu barang pun yang tersisa.

Walaupun bersih, tidak ada kotoran sama sekali. Aku sedikit nyaman dengan rumah baru ini.

Abi berusaha mencari tikar gulung, kak Tery berusaha mencari ponselnya, dan Umi sedang membayar supir tersebut karena sudah membantu kami sampai ke tujuan dengan selamat.

Tembus Like sampai 20 lebih, saya tambahin 1 episode hari ini juga. Terima Kasih, jangan lupa untuk Fav, dan komentarnya yah!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!