NovelToon NovelToon

Me Before You

Bab 1

Joshua Spencer menatap kaca jendela besar di apartemennya. Pikirannya dipenuhi dengan beban-beban yang terkukung diatas pundak. Selama ini dia terlalu memikirkan orang lain sampai dia melupakan dirinya sendiri. Joshua lupa kalau dirinya juga butuh merilekskan pikiran. Ia menaruh harapan pada hari esok. Semoga saja, ketika hari esok datang, semua masalah yang ada dalam pikirnya dapat teratasi.

Laki-laki itu menghela napas, kemudian pergi ke balkon untuk melihat gemerlap dunia dari atas. Selama hidup di lantai dua belas ini, tidak pernah sekalipun Joshua mendapat sesuatu yang 'cukup' rasanya selalu ada yang kurang.

Terutama disisi terdalam perasaannya.

Belakangan ini, istirahatnya agak sedikit terganggu karena memikirkan sesuatu. Entah itu kepikiran atau memang sengaja dipikirkan. Terkadang hal itu mengganggu aktivitasnya. Dia bahkan beberapa kali pergi ke dokter atau sekadar ke psikiater untuk membicarakan masalah kesehatannya. Rasanya benar-benar mengganggu, sampai Joshua kesal sendiri.

Untungnya, orang-orang disekitar Joshua mengerti keadaan laki-laki itu. Dan mereka juga memberikan saran yang bagus untuk Joshua.

Dan besok adalah satu-satunya harapan untuk Joshua bisa hidup kembali, menjadi dirinya sendiri. Pun kembali memunculkan hal baru nan mengejutkan.

...---...

"O, Ferdinand!"

Joshua langsung berseru kala mengetahui siapa yang menelepon dirinya. Ditengah liburan yang ia ambil beberapa waktu lalu, temannya ini paling pengertian karena terus meneleponnya, entah itu bertanya mengenai progres pekerjaan atau membicarakan hal-hal tidak penting.

"Kau dimana?" alis Joshua langsung berkerut mendengarnya.

"Kan aku sudah bilang, aku mau liburan."

Terdengar suara helaan napas diujung sana. "Maksudku tempatmu berlibur, kawan."

"Ah... aku di... hmm...." Joshua menengok ke samping jendela minibus, mencoba mencari tahu keberadaannya sekarang. "Entahlah... aku tidak tahu nama desanya, tapi kupastikan aku akan kembali. Sudah dulu, ya? Aku sudah mau sampai. Bye."

Setelah berbicara dengan temannya, Joshua Spencer memasukkan kembali ponsel miliknya ke dalam kantong celana. Joshua sangat yakin kalau telepon tadi diteruskan, Ferdinand akan memberitahu hal-hal yang membuat kepalanya berdenyut. Misalnya pekerjaan yang harus selesai dalam waktu yang ditentukan. Oh... memikirkannya membuat Joshua memijat kembali pelipisnya. Liburan Joshua tidak boleh dirusak oleh siapapun, termasuk oleh temannya.

Rasanya sudah lama Joshua tidak sebebas ini menikmati hidup. Selama ini hidupnya penuh dengan deadline-deadline yang membuat kepalanya bercabang. Tapi, sekarang dia memutuskan untuk istirahat sejenak disebuah pedesaan. Gibbston Valley adalah tempat yang akan menjadi destinasi peristirahatannya. Well, desa anggur itu sepertinya cocok untuk tempatnya bersantai, mencari inspirasi dan memulai kisah baru. Selama di Wellington, Joshua mengalami frustrasi karena kesulitan untuk berpikir ditengah pekerjaannya yang menumpuk.

Untuk sementara Joshua meminta ijin selama beberapa minggu pada atasan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Untungnya, atasannya mengijinkan dan merekomendasikan tempat bagus untuk Joshua beristirahat. Bahkan, dia juga mencarikan penginapan untuk Joshua selama tinggal di desa tersebut.

Setelah sampai ke tujuan dengan kendaraan travel, Joshua langsung menurunkan koper dan barang-barangnya yang lain untuk segera menuju ke penginapan. Dia sudah jauh-jauh hari memesan penginapan milik Keluarga Frances yang berdekatan dengan kebun anggur milik mereka. Akan sangat indah bila bangun di pagi hari dan disambut dengan wangi anggur.

Begitu semua barangnya telah turun, Joshua langsung pergi ke rumah keluarga Frances untuk mengambil kunci kamarnya. Semuanya masih terlihat asri disini, tidak ada uap-uap yang penuh polusi. Hanya ada tumbuhan hijau, wangi anggur serta keju. Joshua semakin tak sabar untuk mencicipi anggur dan keju disini.

"Kau Joshua Spencer, kan?" tanya seseorang yang membuat Joshua menoleh dan melihat seorang petani wanita yang sedang memanen anggur.

"Iya, aku Joshua." terlihat alis Joshua sedikit turun.

"Oh, perkenalkan, aku Michelle Frances. Istri Joan Frances, pemilik penginapannya." ujar wanita paruh baya itu sembari mendekati Joshua.

"Nyonya Frances, senang bertemu denganmu." lantas Joshua menjabat tangan wanita itu.

"Mari ikuti aku, aku akan menunjukkan tempatmu."

Joshua lantas mengikuti wanita itu. Penginapannya tidak jauh dari kebun. Oh.. tunggu sebentar. Tempatnya dikelilingi oleh perkebunan. Lahan hijau terlihat jelas sepanjang mata memandang. Bahkan aroma udaranya tercium hingga membuat Joshua terlena. Sepanjang perjalanan, Nyonya Frances memberitahu setiap detail dari tempat tersebut. Mulai dari kebun anggur, peternakan sapi, olahan anggur, keju, dan penginapannya. Oh, Joshua cukup terperangah saat Nyonya Frances mengatakan kalau penginapan miliknya berada sangat dekat dengan rumah Keluarga Frances. Katanya penginapannya berada di depan rumah. Setidaknya itu akan mudah bagi Joshua saat meminta bantuan pada tuan rumah.

"Ini tempatmu dan ini kuncinya." ucap Nyonya Frances seraya menyodorkan kunci rumah dan kamar pada Joshua, ketika sudah sampai didepan rumah penginapan. "Kamarmu ada dilantai atas. Aku akan menyuruh anakku untuk membawakan barang-barangmu." sambung wanita paruh baya itu.

"Terima kasih. Sebenarnya tidak perlu, Nyonya. Saya bisa melakukannya sendiri."

Nyonya Frances tersenyum, "tidak apa. Kami harus memperlakukan tamu dengan baik." ujar Nyonya Frances.

Joshua pun mengalah. Kalau memang kebijakannya demikian, ya sudah. Setidaknya ia terbantu dengan bantuan yang ditawarkan Nyonya Frances. Setelahnya, Nyonya Frances mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru seperti mencari sesuatu. Dan ketika objek yang dicari ditemukan, Nyonya Frances tersenyum sesaat sebelum memanggil, "Monica!"

Yang dipanggil pun segera menoleh. Untungnya tempat mereka tidak jauh, jadi Nyonya Frances tidak perlu mengeluarkan suaranya dengan keras.

"Tolong antarkan anak muda ini ke atas! Bawakan juga barangnya, ya?"

Gadis itu lantas menurunkan gunting yang dia gunakan untuk memetik anggur dan keranjang yang sejak tadi ia gendong. "Baik, ibu!"

...-οΟο-...

"Alex! Ayo kita pergi ke sungai!"

Teriak Monica kecil, saat dia keluar dari rumah dan mengarah pergi ke kebun. Sementara Alexander Frances-yang saat itu berusia dua belas tahun-menyembulkan kepalanya diantara tanaman anggur, agar bisa melihat sosok sang adik yang tengah berlari kecil menghampiri kebun. Sejak pagi, Alex memang sudah membantu ayah dan ibunya menyirami tanaman.

"Pelan-pelan Monica!" seru sang kakak, melihat kaki kecil Monica yang sangat lihai dalam berlari. Alex lantas meletakkan gembor berisi air dibawah, ia pun lekas menghampiri sang adik. Tampak sang adik tersenyum sumringah pada Alex.

"Alex, kemarin sudah janji mau pergi ke sungai." gadis kecil berusia tujuh tahun itu semakin memperlihatkan senyumnya, sampai gigi-gigi kecilnya terlihat.

Alex pun tersenyum, "bilang pada ayah dan ibu dulu, ya?" lantas Alex mengambil jemari kecil sang adik dan menautkannya diiantara jemarinya. Alex pun mengajak Monica pergi menghampiri orang tua mereka, untuk meminta ijin pergi ke sungai. Setelah mendapat persetujuan, kakak beradik itu pun pergi ke sungai yang berada tidak jauh dari kebun mereka. Tempatnya diujung sana dan melewati sebuah jembatan kayu yang kokoh.

Ketika mereka sampai, Monica langsung melompat-lompat kegirangan. Dia bahkan melepaskan tangan sang kakak dan berlari kecil ke ujung jembatan. Alex pun mengikuti langkah sang adik agar tidak terjadi sesuatu pada gadis kecil itu.

"Alex, airnya sejuk." gadis itu tertawa cekikikan, kala ia terkena percikan air sungai yang jernih. Well, di musim panas memang air sungai ini begitu menyejukkan.

"Iya, kau jangan turun, ya? Bahaya. Nanti terseret." kemudian Alex kembali memegang tangan Monica. "Mau aku tunjukkan sesuatu?"

Monica mengangguk. Alex kembali menuntun Monica menuju ke sebrang. Tidak jauh dari tempatnya, terdapat sebuah pohon besar-pohon pinus-yang berdiri dengan kokohnya. Pohon itu masih tampak segar meski musim panas sedang berlangsung. Mereka kini berdiri di depan pohon tersebut. Monica yang penasaran pun menatap Alex disebelahnya. Ia heran kenapa kakaknya berhenti di sebuah pohon, bukan di dekat sungai.

"Ini namanya pohon harapan." celetuk Alex, menyadari adiknya yang penasaran tanpa bertanya.

"Pohon harapan?" ulang gadis kecil itu.

Alex mengangguk sembari tersenyum. Dia pun menurunkan tubuhnya, agar sama dengan tinggi sang adik. "Iya pohon harapan. Waktu aku kecil, aku sering membuat harapan disini dengan menaruh surat."

"Surat?"

"Waktu itu aku minta supaya aku punya adik perempuan dan permintaanku dikabulkan." dia pun mengacak rambut Monica, gemas. Sementara Monica tertawa cekikikan khas anak kecil.

"Aku juga mau buat harapan!" ujar Monica semangat. "Aku mau bertemu dengan pangeran berkuda putih."

Mendengar ucapan Monica, Alex langsung tertawa. Maklum saja namanya anak kecil, hal-hal fantasi semacam itu pasti ada dalam benak mereka. Dan tentu saja Monica terinspirasi serial barbie kesukaannya.

Sejak saat itu, Monica tak pernah tahu kalau kejadian tersebut akan segera berakhir dan tergantikan oleh tangis yang membuatnya menjerit.

...-οΟο-...

Monica Frances segera menepiskan sekelebat bayangan masa lalunya yang muncul seperti potongan film. Dia melamun tanpa sadar dan melupakan kalau saat ini dia sedang mengantar tamu. Belakangan ini Monica sering sekali mendapat potongan-potongan kecil ingatannya yang sudah lama menghilang.

Kini Joshua dan Monica sampai di depan kamar. Gadis itu pun menurunkan barang milik Joshua.

"Tuan Spencer, ini kamar Anda. Kalau butuh apa-apa, Anda bisa pergi ke tempat kami."

Joshua menatap sekeliling penginapan itu. Semua ornamennya terbuat dari kayu. Tembok, pintu, tangga, dan plafonnya. Hampir semuanya dari kayu. Bentuk penginapannya juga unik. Pasti arsiteknya sangat berpengalaman.

Penginapanya dibentuk seperti rumah susun, namun sangat elegan dan lebih luas. Rasanya tidak akan mungkin menemukan yang seperti ini di kota.

Lamunan Joshua terbuyar kala seseorang menyebut nama belakangnya. Well, itu suara Monica yang ternyata masih berdiri dihadapan Joshua.

"Tuan Spencer? Anda baik-baik saja?"

"Ya." sahut Joshua dengan cepat. "Aku hanya kagum pada tempat ini."

Monica pun tersenyum mendengarnya.

"Ah, iya, Nona." Monica langsung menatap Joshua Spencer, tepat di kedua matanya. Monica benar-benar tidak sengaja bersitatap dengan Joshua. Namun ketika melihat mata itu, ingatan Monica mengenai masa lalu seperti terbuka kembali. Rasanya kala melihat mata itu, Monica menjadi sangat lega, nyaman, dan damai. "Boleh aku tahu namamu?"

Monica menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba menyadarkan diri sebelum melamun lebih panjang lagi.

"Monica Frances. Cukup panggil saya Monica."

...-οΟο-...

Joshua teringat kejadian siang tadi, saat dirinya diantarkan oleh anak Nyonya Frances menuju kamarnya. Namanya Monica Frances dan dia suka sekali membantu keluarganya di kebun. Disaat gadis seusianya berlomba-lomba sekolah di luar negeri atau berlibur keliling dunia, dia memilih untuk membantu orang tuanya. Dan dia merupakan anak semata wayang Nyonya Frances.

Dalam hati Joshua memuji Monica sebagai gadis yang menarik. Kalau Joshua lihat, Monica itu tidak seperti orang barat kebanyakan. Kulitnya putih, iris matanya hitam, rambutnya bak kayu eboni, dan wajahnya mirip orang asia. Joshua rasa Monica bukan orang asli disini. Mungkin saja gadis itu campuran ayahnya. Pikir Joshua.

Tapi, kalau diingat-ingat, setelah mendengar nama Monica, apalagi dengan nama Frances dibelakangnya, Joshua seperti pernah mendengar nama itu. Seolah tidak asing ditelinganya. Lalu ia pun berpikir, nama Monica itu banyak. Bukan dia saja. Kemudian Joshua menepis pikiran-pikiran anehnya.

Setelah berjam-jam berkutat dengan laptop, Joshua lantas menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah memasuki tengah malam, pukul setengah dua belas. Sudah tengah malam, tapi dia belum merasakan kantuk. Joshua rasa dirinya akan mengalami insomnia seperti sebelumnya. Padahal saat ini dia sedang liburan, harusnya dia menikmati waktu santai bukan memikirkan pekerjaan. Menjadi orang perfeksionis seperti Joshua memang sulit, dia selalu memikirkan pekerjaan bahkan disaat liburan sekalipun.

Merasa kesulitan untuk tidur, Joshua pun memilih untuk keluar dari kamarnya sebentar-mencari udara segar di malam hari, mungkin dapat membantunya untuk cepat tertidur. Setelah mengambil jaket yang dia sampirkan pada kursi dibelakangnya, Joshua lantas keluar dari kamarnya, menuruni tangga dan kemudian sampai di pintu utama. Udara malam ini tidak terlalu dingin karena sedang memasuki musim panas. Angin sepoi-sepoi menghampiri Joshua tatkala ia keluar dari tempat peristirahatannya, hingga membuat anak rambutnya beterbangan.

Joshua memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kebun anggur yang tidak jauh dari tempatnya sekarang. Mungkin dengan mencium aroma anggur di malam hari akan membuat tidurnya menjadi nyenyak. Jujur saja, Joshua sangat menyukai buah anggur. Dia juga menyukai berbagai olahan dari anggur. Tidak salah memang atasannya menyarankan Joshua untuk pergi kemari.

Tak berselang lama, tiba-tiba mata Joshua melihat seorang gadis keluar dari rumah keluarga Frances. Alisnya pun berkerut, ingin tahu siapa yang keluar ditengah malam begini, apalagi dia adalah seorang gadis. Joshua melihat gadis itu merapatkan jaketnya dan berjalan menuju kearahnya-lebih tepatnya ke arah kebun anggur. Perlahan tapi pasti, Joshua dapat melihat sosok gadis itu setelah sorot badannya terkena lampu kuning yang terpasang disekitar kebun.

"Monica?"

Gadis itu pun berhenti setelahnya, dan menatap ke arah sumber suara dihadapannya. "Tuan Spencer? Kaukah itu?"

Joshua pun mendekati Monica, "apa yang kau lakukan tengah malam begini?"

Dalam hati, Monica menyimpan rasa lega karena orang yang ditemuinya Joshua. Ia pikir ada orang jahat yang menyusup masuk ke kawasan rumahnya.

"Aku mengalami mimpi buruk, jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar." ujar Monica.

Joshua terkejut mendengarnya. Gadis ini berani sekali. Sehabis mengalami mimpi buruk, seseorang biasanya akan tetap diam ditempat tidurnya atau berjalan sebentar di sekitar kamar, tapi Monica.... ditengah malam begini keluar dari rumah, sendirian... Joshua tak hentinya menggelengkan kepala, tidak percaya pada gadis dihadapannya ini.

"Harusnya kau diam didalam rumah, bukannya keluar sendirian ditengah malam begini." nasihat Joshua. Dia sedikit khawatir pada Monica. Bagaimana mungkin dia membiarkan seorang gadis pergi dari rumahnya di malam hari walaupun itu didekat rumahnya.

"Tidak apa. Aku sudah biasa."

"Apa orang tuamu tahu?"

Monica tersenyum samar, "tidak." Katanya. "Kalau mereka tahu, aku pasti akan diceramahi."

Tanpa sadar Joshua tertawa. Ia rasa Monica itu makin menarik. Menarik orang lain untuk mengetahui seperti apa sosoknya. Seperti sebuah teka-teki yang mesti diselesaikan, begitulah penggambaran Joshua akan sosok Monica.

"Kalau tuan sedang apa malam-malam begini?" tanya Monica akhirnya.

"Ah... aku..." Joshua terdiam sesaat, kemudian dia berkata, "jangan panggil aku tuan, panggil saja aku Joshua. Sepertinya umur kita tidak jauh berbeda."

"Oh maaf. Joshua kau sedang apa tengah malam begini?" ulang Monica.

Joshua menghela napasnya pelan, lalu berkata, "aku insomnia, jadi aku mau cari angin sebentar."

"Kau insomnia? Sejak kapan?"

"Sudah lama. Sebelum aku kemari aku sudah mengalaminya."

Monica mengangguk, kemudian dia menatap langit malam yang bertahta bintang dan bulan. "Insomnia itu berbahaya."

"Aku tahu." ujar Joshua.

Monica menatap Joshua, "memang kau tidak pernah memeriksannya?"

"Sering. Dan solusinya selalu obat tidur."

Gadis itu meringis, "kenapa obat tidur? Padahal kau bisa saja menghilangkannya dengan minum susu. Dasar dokter aneh."

Joshua tertawa. Ternyata mengobrol dengan Monica itu seru. Beban yang ia rasakan seolah hilang setelah bertemu dengan gadis dihadapannya ini. Kesan pertama yang menyenangkan kala mengenal Monica Frances. Joshua harap setelah ini, dia dan Monica bisa akrab. Setidaknya sebagai teman yang bisa saling mengisi satu sama lain.

Setelahnya, mereka berbicara sembari duduk diatas rerumputan hijau ditemani cahaya rembulan. Mereka berbicara mengenai kebun keluarga Frances, kehidupan kota Wellington, dan keinginan Monica untuk bertemu dengan penulis favoritnya. Joshua sedikit terkejut mendengar Monica yang sangat menyukai novel karya penulis favoritnya. Awalnya novel tersebut diberikan oleh sepupu Monica untuk hadiah ulang tahun gadis itu, tetapi lama kelamaan Monica suka dengan ceritanya dan meminta sepupunnya untuk membelikan novel itu lagi. Joshua pun tersenyum mendengarnya. Tak disangka, hal yang sangat sederhana mampu membuat gadis itu merasa bahagia. Karena alasan tersebut, Joshua semakin ingin dekat dengan Monica Frances.

Sekitar setengah jam mereka bercengkerama, Monica mulai mengantuk dan dia ingin kembali ke rumah untuk melanjutkan tidurnya. Begitu pun dengan Joshua, meski kantuk yang menyerang tak seperti yang Monica rasakan-gadis itu berkali-kali menguap sejak mereka berbicara tadi. Saat akan pergi dari tempat tersebut, Joshua pun berbalik kembali dan melihat punggung Monica hampir menjauhi dirinya. Tepat pada saat itu, Joshua langsung memanggil gadis itu.

"Monica!"

Gadis itu menoleh, begitu Joshua memanggilnya. Dia kembali berbalik agar berhadapan dengan Joshua, meski jarak mereka berjauhan.

"Besok temani aku keliling tempat ini, ya?"

Mendengar permintaan Joshua, Monica langsung menorehkan senyum yang membuat Joshua terpesona untuk pertama kalinya. Setelahnya, gadis itu pun berkata, "tentu." Dan dilanjutkan dengan kepergian si gadis, menyisakan Joshua yang masih termenung menatap punggung Monica dari tempatnya.

...---...

Bab 2

"Minggir, minggir, Putri drakula mau lewat!"

Ujar seorang anak kecil, kala melintasi lorong lobi menuju kelas. Beberapa anak yang mendengarnya langsung menghentikan aktivitas bercengkerama mereka dengan teman-temannya. Mereka langsung pergi ke sisi tembok, membentuk barisan ditengah kerumunan penonton, seolah menyambut tuan putri dari kerajaan. Tepat pada saat itu, seorang gadis kecil muncul dari ujung lobi dan berjalan dengan pelan. Tatapan demi tatapan terus diedarkan seluruh penghuni sekolah kepada gadis kecil itu. Sementara si gadis hanya menunduk, tak berniat membalas tatapan teman-temannya. Ini pemandangan yang sudah biasa bagi gadis itu. Tatapan yang mereka berikan bukanlah tatapan kagum, tapi tatapan jijik.

"Itu Monica Frances. Lihat kulitnya! Pucat seperti drakula." bisik seorang gadis kecil pada temannya. Sementara gadis kecil yang bernama Monica itu terus berjalan tanpa mempedulikan temannya.

"Apa dia minum darah juga? Selamatkan aku!" ujar salah seorang anak. Monica hanya bisa menghela napasnya, pasrah. Orang-orang di sekolah ini terlalu melebih-lebihkan. Usia mereka tentunya tak jauh berbeda dari Monica. Seorang anak berusia dua belas tahun, mungkin tidak mengerti kalau drakula itu hanyalah fiksi karangan Bram Stoker. Mereka itu terlalu hiperbolis.

Monica memang berbeda dari kebanyakan anak-anak yang hidup di negara ini, tapi dia bisa beradaptasi dengan semua itu. Teman-temannya saja yang masih kolot karena tidak bisa menerima perbedaan.

"Kalau ayah ibunya bukan orang tua kandung, lalu dia anak siapa? Apa mungkin dia dibuang?"

Mendengar kata itu, membuat Monica mengepalkan tangannya, setelahnya terdengar bisikan mereka yang mengatakan 'lihat dia marah!', 'jangan bicara sembarangan kalau tidak mau mati'. Percayalah, meski hanya sebuah perkataan, itu sangat menyakiti hati Monica. Ini baru sebuah kalimat, mungkin nanti Monica akan menerima yang lebih dari ini. Setidaknya begitulah yang terjadi pada orang-orang yang dibully.

Meski harus melewati tatapan mengerikan itu, pada akhirnya Monica berhasil sampai di kelasnya. Dia mulai mengeluarkan buku pelajarannya dan menyiapkan alat tulis diatas meja. Tepat setelah itu, bel tanda masuk pun berbunyi. Semua anak pun masuk ke dalam kelas masing-masing.

Jujur saja, setiap bel berbunyi, Monica merasa lega, karena hanya pada saat itu dia bisa aman dari cengkraman teman-temannya yang gila.

...-οΟο-...

Yang Monica dengar tadi malam ialah, Joshua ingin diantarkan pergi berkeliling Gibbston Valley. Namun sampai matahari berada di atas kepala, lelaki itu tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Monica saat ini berada di kebun. Ia sedang memberi pupuk pada tanaman anggur-sembari menunggu kedatangan Joshua Spencer. Sejak tadi, Monica memperhatikan penginapan yang dihuni oleh Joshua, berharap lelaki itu keluar dari tempatnya.

Monica awalnya senang, ketika pintu pagar ada yang terbuka, namun perasaan senang itu tidak bertahan lama. Bukan Joshua yang keluar dari tempat tersebut, melainkan satu keluarga dengan dua anak mereka yang masih kecil. Oh, padahal Monica sangat berharap lelaki itu keluar. Dalam pikir, Monica bertanya, apa yang dilakukan Joshua didalam? Apa mungkin lelaki itu terkena insomnia, sehingga belum bangun sampai sekarang?

Kalau itu terjadi, Monica rasa dia harus bertindak untuk membuat Joshua sembuh dari insomnianya.

"Monica, bisa minta tolong sebentar?"

Panggilan sang ayah akhirnya menyadarkan Monica dari lamunannya. Dia bahkan baru sadar kalau dirinya ternyata melamun. Monica pun berbalik menghadap sang ayah. "Ya, tentu." ujar Monica pada Joan Frances.

"Bawa semua ini ke gudang. Oh, iya jangan lupa periksa kembali tong sebulan yang lalu. Besok ayah mau kirim ke kota."

Monica pun menuruti perintah sang ayah. Dia membawa gerobak yang berisi dua buah tong anggur yang siap di fermentasi ke gudang penyimpanan. Selain buah anggur, keluarga Frances juga membuat wine. Ayah Monica memang sejak dulu gemar membuat wine untuk dijual ke kota. Tak heran bila wine buatan keluarga Frances ini sangat digemari di kota.

Gadis itu meletakkan tong-tong tadi di dalam gudang untuk didiamkan selama beberapa hari. Dia juga memeriksa anggur yang akan dibawa ayahnya besok. Kalau dicium dari baunya, memang sangat wangi dan aromanya kuat. Warnanya juga cantik, perpaduan ungu dan merah. Terakhir, Monica mencicipinya. Begitu dirasa cukup, Monica segera keluar dari gudang dan memberitahu sang ayah kalau anggurnya sudah siap dijual.

Setelah memberitahu sang ayah, Monica kembali ke kebun untuk melanjutkan aktivitasnya. Matanya kembali menatap bangunan sederhana didekat kebun. Joshua Spencer tak kunjung menunjukkan diri. Sedari Monica berdiri di kebun, hingga sempat ke gudang, dan kembali lagi ke kebun. Tetap, lelaki itu tidak keluar menepati janjinya. Padahal Monica sudah siap menjadi pemandu wisata untuk Joshua. Monica sempat berpikir, apakah sesuatu yang buruk terjadi pada Joshua? Oh, ya ampun. Monica baru sadar kalau dirinya sekarang mengkhawatirkan Joshua Spencer.

Sejak kejadian malam tadi, Monica terus memikirkan Joshua mulai dari bangun tidur sampai sekarang. Monica rasa dirinya terlalu berlebihan memikirkan tamu di kota yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya. Tapi... ini adalah bentuk kepedulian Monica pada seorang tamu yang menjadi penghuni penginapan. Monica akan pastikan kalau lelaki itu baik-baik saja. Mungkin saat ini Joshua sedang tertidur akibat insomnia yang dideritanya. Sebaiknya Monica mengunjungi Joshua nanti malam, siapa tahu ia bisa membantu lelaki itu.

...-οΟο-...

"Hoi, Josh!"

Joshua Spencer menoleh ketika mendengar panggilan khas dari temannya. Anak laki-laki berusia dua belas tahun itu mengambil tempat tepat di depan Joshua. Saat ini jam istirahat sedang berlangsung. Para murid mulai menghabiskan waktu mereka di kantin sekolah, mengambil makanan yang telah disediakan.

"Dimana yang lainnya?" tanya Anak lelaki itu pada Joshua.

Joshua tidak langsung menjawab, ia mengunyah makanan dimulutnya terlebih dahulu. "Jason sedang kumpul klub basket dan Andrew dipanggil ke ruang guru."

Anak itu mengerutkan dahi, "apa yang dilakukannya?"

"Seperti biasa, dia ketahuan membuat ulah. Aku yakin dia tidak akan selamat dari Miss Sanders." sahut Joshua sembari bergidik ngeri.

"Wah, Andrew memang mau cari mati." Kevin Stewart Jo-si anak lelaki dihadapan Joshua juga bergidik. Siapa yang tidak tahu Miss Sanders, guru bahasa asing yang terkenal dengan ketegasan dan kedisplinannya. Sekali melakukan kesalahan disaat jamnya mengajar, dia akan menandai siswa itu dan nilai mereka akan jadi taruhannya.

Joshua dan ketiga temannya sudah berteman sejak awal memasuki sekolah dasar. Awalnya mereka satu kelas, namun karena ada sistem rolling, keempatnya jadi tidak berada dalam satu kelas lagi. Meski begitu, tiap jam istirahat atau tiap pulang sekolah, mereka selalu bertemu dan berkumpul sembari membahas apa yang mereka lalui saat di sekolah. Terkadang mereka main ke rumah Joshua atau Kevin untuk bermain game. Dan kalau dilihat-lihat, saat ini yang lebih kelihatan sibuk mungkin Jason, karena sebentar lagi akan ada perlombaan basket antar sekolah.

Ketika tengah asyik mengobrol, tiba-tiba seseorang menghampiri Joshua dan Kevin dengan wajah kesalnya. "Sial! Gara-gara anak buangan itu aku jadi dapat masalah." well, dia Andrew yang disebut-sebut memiliki masalah dengan Miss Sanders. Joshua sedikit kaget melihat wajah temannya yang memerah, seolah akan meledak sebentar lagi. "Semua ini gara-gara anak buangan itu. Kalian tahu kan? Si putri drakula itu?"

"Putri Drakula?" ulang Joshua yang tidak paham siapa yang dimaksud oleh temannya ini.

Andrew mengambil gelas berisi jus jeruk milik Kevin dan menegukknya. Sedetik kemudian ia berkata, "Monica Frances. Tidak, namanya Monica. Dia yang membuat nilai ujianku dipertaruhkan."

"Apa yang dilakukannya?" tanya Kevin.

Andrew menghela napas, "dia membuatku ketahuan melempar kertas. Awalnya aku mau melemparkan ke arahnya, tapi malah meleset ke Miss Sanders."

"Pantas saja kau dimarahi. Lagipula itu kesalahanmu, kenapa kau melakukannya pada orang yang tidak bersalah." sahut Joshua, mewajarkan hukuman yang didapat Andrew.

"Kau tidak tahu, Josh? Monica itu sudah jadi bahan bullyan di kelasku. Bahkan mungkin oleh satu sekolah." ujar Andrew.

"Apa?" Joshua terkejut. "Kenapa begitu?"

"Dia itu anak pungut. Kau tahu Alex Frances, kan? Si atlet renang dan senior sebelah gedung sekolah kita itu, dia kakaknya Monica. Awalnya kami kira mereka saudara sepupu, tapi ada salah satu anak yang mengatakan kalau Monica itu bukan adik kandung Alex. Kau lihat saja perbedaan mereka."

Joshua terkesiap mendengar pengakuan temannya. Alexander Frances memang terkenal di sekolah. Seluruh sekolah dari SD, SMP, dan SMA tahu siapa Alex itu. Dengan popularitasnya yang tinggi, tentu ada saja mata-mata yang ingin mengetahui seorang Alexander Frances lebih dalam, apalagi musuh-musuh yang berada di luar sekolah. Pasti kabar tersebut disebarkan oleh musuh-musuh Alex yang tidak suka padanya.

"Tapi itu kan baru sepihak. Lagipula kalian tidak bisa melakukan hal buruk padanya." timpal Joshua.

"Sebaiknya kita tidak usah ikut campur dalam masalah ini." ujar Kevin akhirnya. Dia sejak tadi diam dan hanya mendengarkan Andrew mengoceh mengenai Monica Frances.

"Sstt.... diam. Dia datang!" Andrew memberi isyarat dengan mengangkat telunjuknya di bibir, untuk memberitahu temannya diam. Padahal dia sendiri yang ribut sejak tadi.

Tepat pada saat itu, Joshua Spencer menatap gadis keturunan Asia itu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih, rambutnya hitam, panjang dan lurus. Wajahnya tidak menggambarkan keceriaan sama sekali. Matanya sembab. Dan.... sepertinya gadis itu baru habis menangis. Dia terlihat tidak baik-baik saja. Meskipun mungkin dia menutupinya, namun tetap saja terlihat. Gadis itu membawa nampan berisi makanan, sembari mencari tempat kosong untuk dia duduki. Ketika akan berjalan, tiba-tiba gadis itu terjatuh. Semua orang yang berada di kantin tertawa. Oh, ya ampun, gadis yang malang. Batin Joshua. Gadis itu terjatuh akibat tersandung kaki temannya. Semua yang ada di nampan itu terjatuh dan membasahi seragamnya.

Gadis itu pada akhirnya menangis lagi, kemudian pergi meninggalkan kantin. Ingin rasanya Joshua mengikuti langkah gadis kecil itu. Tapi dia tak bisa. Mungkin Joshua masuk sebagai satu dari beberapa orang yang hanya bisa menyaksikan kejadian mengerikan itu, tanpa ada niatan membantu. Bisa dikatakan Joshua masuk ke dalam kategori pembully, karena tidak ada niatan menolong si korban.

Dalam hati, Joshua menyesal tak bisa berbuat apa-apa disaat Monica Frances mengalami kesulitan.

...-οΟο-...

Sejak baru bangun hingga petang ini, Joshua Spencer sama sekali tidak bergerak dari kamarnya. Yang dia lakukan hanya berada di depan laptop seharian dan memikirkan mengenai pekerjaannya. Entah mengapa disaat liburan seperti ini pikirannya selalu diisi oleh pekerjaan. Tanpa sadar, dia juga melupakan janjinya dengan Monica untuk pergi menjelajah Gibbston Valley. Bisa dikatakan, Joshua Spencer adalah si pekerja keras yang tak pernah mengenal waktu.

Untuk sesaat dia mulai mengingat kejadian masa lalunya ketika dia berumur dua belas tahun. Sudah tiga belas tahun berlalu. Dan ia masih mengingat beberapa kenangan, termasuk kebersamaan dirinya bersama tiga sahabatnya. Tapi ada satu ingatan yang agak buram mengenai seorang gadis yang menjadi bahan bully-an saat itu. Gadis malang itu akhirnya meninggalkan sekolah tepat setelah kejadian buruk menimpa keluarganya. Setidaknya itulah yang Joshua ingat. Nama Monica Frances kini menghinggapi pikirannya. Nama itu seolah tidak asing bagi Joshua.

Lamunan Joshua terbuyar setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia langsung bangkit dari tempatnya, menuju ke arah pintu. Didapatinya Monica Frances sudah berdiri di depan pintu, memperlihatkan tas jinjing kecil yang dibawanya dan sebuah botol minuman.

"Monica?"

"Hai, Joshua!" sapanya riang, kemudian tatapan matanya sekilas jatuh pada tas jinjing kecil yang ia bawa, "ini aku membawa manisan labu, pancake sirup anggur dan susu. Kupikir kau akan lebih baik setelah memakannya."

Joshua terlihat menanap, sedetik kemudian dia mulai tersadar untuk mengambil tas dan botol minuman ditangan Monica, tanpa bicara apapun. Dia masih sedikit shock melihat kedatangan gadis itu.

"Semoga insomnia mu bisa hilang, Josh." lanjut Monica dengan malu-malu.

"Eh?" Joshua mengernyit seketika. "Insomnia?"

"Iya. Kau tadi pasti bangun siang kan karena semalam begadang? Padahal aku menunggumu di kebun."

"Menunggu? Memangnya... Oh, Demi Tuhan. Aku baru ingat, seharusnya kita berkeliling Gibbston Valley tadi. Maafkan aku, Monica."

Monica menarik senyum sekilas diwajahnya. "Tidak masalah."

Joshua pun meletakkan tas dan botol minuman ditangannya, di meja yang berdekatan dengan laptop. Sedetik kemudian dia menutup laptopnya dan mengemasi barang-barang yang ada di mejanya. "Masuklah! Maaf kalau berantakan."

Monica masih berusaha mencerna kata-kata Joshua barusan yang mempersilakannya masuk. Sebelumnya dia belum pernah masuk ke kamar laki-laki, selain kamar sang kakak. Gadis itu masih berdiri diambang pintu, melihat Joshua membersihkan tempatnya yang sedikit berantakan. Joshua yang menyadari hal tersebut pun langsung menghentikan aktivitasnya kemudian beralih menatap Monica.

"Monica?" panggil Joshua dengan alis yang sedikit mengernyit, bingung.

"Ya?" Monica balas menatap Joshua. Tatapannya seolah bertanya, apa aku boleh masuk.

"Ada apa? Kenapa tidak masuk?"

"Ah... itu... aku..."

Joshua pun mengerti kenapa Monica tidak mau masuk. Mungkin dia pikir kalau lelaki dan wanita ada dalam satu kamar itu... yah... begitu.

"Tenang saja. Aku bukan orang yang seperti itu. Kalau aku melakukan kesalahan, kau bisa laporkan pada kedua orang tuamu." ujar Joshua, seolah membaca pikiran Monica.

Mendengar hal tersebut, keraguan Monica pun mendadak hilang. Ucapan Joshua itu terkesan sangat meyakinkan. Ia pun memasuki kamar Joshua perlahan dan menatap sekeliling ruangan.

"Pintunya biarkan saja terbuka." lanjut Joshua, sembari duduk di dekat meja kerja. Monica pun mengangguk dan memilih duduk diatas tempat tidur. Gadis itu tersenyum pada Joshua.

"Kau tahu? Aku sebelumnya tak pernah masuk kamar laki-laki selain kamar kakakku." aku Monica, mengenai keraguannya tadi.

Joshua tersenyum sekilas. "Aku mengerti." kemudian lelaki itu mengalihkan tatapannya pada kotak disebelahnya. "Omong-omong, terima kasih banyak atas makanannya. Kau jadi repot begini." sambung Joshua mengalihkan pembicaraan.

"Tidak masalah. Lagipula sebagai tuan rumah yang baik aku akan memastikan tamuku baik-baik saja selama liburan." kemudian tatapan Monica jatuh pada tumpukan buku yang berada tidak jauh dari Joshua. Gadis itu pun bangkit untuk melihat buku-buku tersebut. "Eh? Kau suka baca novel karya J.Dawn juga?"

"Ah. Itu... itu... yah... aku suka membacanya." ujar Joshua sembari tersenyum kikuk, guna menutupi kegugupan.

"Wow, aku tidak menyangka kau ternyata penggemarnya juga." Monica pun tersenyum riang. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan seorang yang sama-sama suka dengan penulis favoritnya. Rasanya seperti bertemu sesama saudara.

Melihat senyum gadis itu, Joshua merasa ikut senang. Baru kemarin Monica membicarakan si penulis favoritnya dan sekarang Joshua benar-benar senang melihat gadis itu tersenyum selebar ini.

"Mana novel favorit mu? Kalau aku Sunday After Saturday."

Joshua tampak kebingungan. Ia tidak pandai berbohong. Tapi, dia tidak bermaksud untuk melakukan hal tersebut. "Ah... aku tidak yakin. Tapi kurasa aku menyukai semuanya."

"Kau benar. Semua karyanya sangat bagus." sahut Monica. "Aku heran kenapa dia tidak pernah memunculkan wajahnya didepan para penggemar. Padahal aku ingin tahu siapa J.Dawn itu."

Joshua tanpa sadar tersneyum kecil, lalu berkata, "entahlah." setelahnya dia memalingkan wajahnya ke arah jendela. "Kurasa aku mau mencoba makanannya." katanya mengalihkan pembicaraan.

"Ah, iya coba saja. Maaf aku mengajakmu bicara tadi." ucap Monica sambil meletakkan kembali novel yang ia ambil pada tempatnya.

Lelaki itu mulai membuka tas jinjing, dan mengambil kotak berisi manisan labu. "Hm. Rasanya manis." sahut Joshua setelah mencoba manisan labu tersebut.

Monica Frances tersenyum kecil menanggapi Joshua. Gadis itu cukup senang melihat Joshua menikmati hidangan kecil yang ia siapkan. Tanpa sadar, Monica memperhatikan Joshua ketika makan dan ia mulai menyadari kalau ternyata Joshua terlihat manis. Gadis itu pun tersenyum tipis.

Joshua rasa, setelah ini dia akan mulai melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda, karena tenaganya sudah terisi dan pikirannya pasti lancar. Apalagi setelah mendengar apa yang dikatakan Monica Frances tadi... semangat Joshua langsung menggebu.

Dari malam ini, Joshua Spencer mulai memutuskan untuk membuat Monica Frances bahagia. Walaupun gadis itu tak bisa melihat pengorbanan Joshua, tapi Joshua akan buktikan kalau dia bisa membuat Monica Frances tersenyum.

...---...

Bab 3

Pagi ini Joshua Spencer akhirnya dapat jalan-jalan disekitar Gibbston Valley ditemani Monica Frances. Kemarin malam Joshua mengatakan pada Monica kalau dia ingin menepati janjinya yang telah ia lupakan sebelumnya. Hitung-hitung untuk membayar kesalahan yang telah dia lakukan pada Monica.

Saat ini mereka berada di sebuah jembatan yang menghubungkan tempat tinggal Monica Frances dengan sebuah hutan pinus yang rindang. Dibawah jembatan tersebut terdapat sebuah sungai kecil yang dangkal dan dialiri air jernih. Riak air sungai memenuhi pendengaran Joshua dan Monica, seolah mengisi keheningan yang mereka alami. Sebelumnya mereka sempat berbincamg kecil, namun setelah sampai di jembatan, tiba-tiba suara mereka menghilang tergantikan oleh pemandangan menyejukan disekitar.

Joshua Spencer begitu takjub dengan apa yang dia lihat saat ini. Komorebi di antara pohon pinus, suara cicitan para burung, aroma udara yang menyegarkan, dan riak air yang menambah harmonisasi keindahan. Nyatanya dengan berjalan-jalan sebentar sembari menikmati pemandangan, membuat pikiran Joshua Spencer mulai melalang buana memikir suatu hal yang bisa dia buat setelah melihat mahakarya Sang Mahakuasa.

Joshua Spencer bukan orang yang pandai mengeluarkan kata-kata secara langsung. Tapi dia bisa menyimpan apa yang dia lihat dan rasakan dalam hati juga pikirannya. Setidaknya setelah ini pikiran Joshua Spencer dapat terbuka.

Joshua tidak sadar, kalau saat ini Monica sedang memandanginya sembari tersenyum kecil. Monica tidak bisa menyembunyikan senyumnya kala melihat ekspresi Joshua Sprencer. Mata lelaki itu melebar, mulutnya sedikit menganga, dan fokusnya terisi oleh pemandangan sekitar.

"Apa di kota tidak ada yang seperti ini?" celetuk Monica dengan selorohan.

"Eh?" Joshua pun menoleh ke kiri dan menatap Monica, kemudian lelaki itu tersenyum lebar. "Maklum saja, aku baru pertama kali melihat pemandangan secantik ini, apalagi pada pagi hari."

"Makanya kau jangan banyak berdiam diri di kamar saja. Omong-omong, apa tadi malam kau mengalami insomnia lagi?"

"Tidak. Ku harap tidak lagi."

Monica Francers menghela napas lega. Dalam hati dia berkata 'untunglah dia baik-baik saja'.

Detik selanjutnya, Joshua meneruskan kalimatnya yang sengaja dia tunda tadi, "semuanya berkat dirimu, Monica." setelahnya Joshua menunjukkan senyum yang membuat pipi Monica bersemu merah serta jantungnya yang berdetak tiba-tiba. Jujur saja, Monica masih belum bisa menerima perlakuan Joshua Spencer belakangan ini. Hal kecil yang laki-laki itu lakukan dapat membuat jantung Monica berdegup. Bahkan Monica sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan. Yang dia tahu hanyalah, Joshua Spencer merupakan tamu di penginapan keluarganya.

"K-kau... kau terlalu berlebihan." ujar Monica gugup. Sebelumnya Monica tak pernah segugup ini di depan laki-laki

Sementara Joshua Spencer tak bisa menyembunyikan senyumnya melihat wajah Monica yang memerah. Gadis yang menarik. Batin Joshua.

Monica pun memilih melanjutkan langkahnya, meninggalkan Joshua yang masih memperhatikan gerak-gerik Monica ditempat. Melihat wajah gadis itu, seakan tidak asing bagi Joshua. Rasanya Joshua pernah melihatnya, tapi dimana?

Dengan pikiran yang masih kalut itu, Joshua kembali mengedarkan pandangannya ke arah lain. Menyaksikan sinar mentari yang perlahan naik dari ufuk timur. Juga burung-burung yang mulai ramai dengan cicitan mereka. Rasanya benar-benar nyaman, pikirannya pun perlahan mulai sedikit lebih tenang. Kalau begini, lama-lama Joshua betah tinggal di Gibbston Valley dan tidak ingin pulang ke rumah.

Tepat pada saat itu, Monica Frances membalikkan badannya dan menatap Joshua yang tengah melamun. Laki-laki itu terlihat menatap ke arah lain sembari memasukkan tangannya ke dalam kantong celana. Ada apa dengan lelaki itu?

"Joshua?" panggil Monica pelan, namun terdengar oleh Joshua. Membuat lelaki itu membuyarkan isi pikirannya dan balas menatap Monica.

"Ya?"

"Ada apa?"

Joshua Spencer tersenyum, kemudian dia berkata, "tidak apa-apa."

Setelahnya, lelaki itu menyusul Monica Frances yang sudah berada diujung jembatan. "Ayo, kita pergi!"

...-οΟο-...

"Kita sudah sampai!" seru Monica kala berhasil sampai ke tempat yang ia maksud pada Joshua. Tadi setelah berkeliling di sekitar hutan pinus, dia memberitahu Joshua kalau ada sesuatu yang sangat ajaib-bagi Monica- didalam sini. Joshua yang penasaran pun meminta Monica untuk memperlihatkan padanya.

"Pohon pinus?" tanya Joshua, ia tidak menyangka kalau pohon didepannya yang dimaksud Monica tadi. "Hanya sebuah pohon?" lantas lelaki itu menoleh ke samping kirinya, menatap Monica dengan dahi yang berkerut.

Sementara si gadis membalasnya dengan sebuah anggukan semangat. Tidak lupa senyumnya yang merekah, bak sinar mentari pagi.

"Mungkin orang-orang mengira ini hanyalah pohon biasa. Tapi, pohon ini punya banyak kenangan di dalamnya." Monica mulai melihat ke ujung pohon yang celah-celahnya diisi oleh sinar mentari. "Dulu, aku dan kakakku sering pergi kesini. Kami menulis harapan dan meletakkannya disela-sela kulit pohon. Semenjak dia tidak ada, aku tidak pernah diijinkan lagi pergi kesini. Ini pertama kalinya aku pergi kemari setelah sekian lama." teringat akan sesuatu, gadis itu perlahan menurunkan kepalanya dan berjalan mendekati pohon tersebut.

"Ah, benar. Masih ada." ujarnya setelah melihat sebuah kertas kusam yang terselip diantara sela kulit pohon yang terkelupas. Kemudian dia berbalik untuk menghadap ke Joshua. "Kami melakukannya seperti ini." Monica tersenyum.

Joshua Spencer melihat setiap gerak-gerik gadis itu sedari tadi. Ternyata Monica Frances memiliki banyak hal yang belum Joshua ketahui. Joshua pikir, gadis itu seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa dia bagi pada orang lain. Joshua pun yakin kalau selama in Monica selalu menyimpan beban masalahnya sendirian, terlihat dari caranya diam dan tidak banyak menunjukkan keinginan. Keinginannya selalu Monica pendam dan membuatnya jadi orang yang terlihat lemah.

Tapi, Joshua percaya, perlahan-lahan kalau ia terus berada disamping Monica, pasti Monica akan mengatakan apa yang dia pendam pada Joshua. Joshua hanya ingin membantu Monica agar gadis itu tidak memikul beban sendirian. Joshua tahu benar kalau saat ini Monica tidak baik-baik saja.

"Apa kau punya harapan?" celetuk Joshua tiba-tiba. Seolah tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran Monica.

Monica pun langsung mengangguk, "ya. Aku punya harapan dan aku ingin membuatnya. Aku ingin ingatanku kembali, karena menjadi orang yang tidak tahu apa-apa membuatku merasa bodoh sendiri."

...-οΟο-...

Awalnya Joshua sedikit terkejut mendengar permintaan Monica, bahwa dirinya menginginkan ingatannya kembali. Kalau disimpulkan, berarti Monica itu kehilangan ingatannya. Sebelum Joshua bertanya, Monica lebih dulu bercerita mengenai dirinya dan kecelakaan beberapa tahun lalu yang menewaskan kakak laki-lakinya. Dan sejak saat itu, ingatannya mulai menghilang, kecuali ingatan mengenai masa kecilnya dengan sang kakak. Cerita itupun ia tahu dari Nyonya Frances, karena sampai saat ini Monica sama sekali tidak tahu mengenai siapa dirinya.

Joshua mulai penasaran pada Monica. Apa yang menyebabkan Monica melupakan ingatan sebelum kecelakaan itu. Bahkan Monica sendiri tidak tahu dimana dia bersekolah dulu. Yang gadis itu tahu, bahwa orang tuanya mengirim guru privat untuk home schooling Monica setelah kecelakaan. Kalau diingat-ingat, kisah Monica ini sama seperti kisah temannya saat SD. Sayangnya, memori masa lalu Joshua kurang baik, sehingga dia tidak ingat apa-apa mengenai masa kecilnya.

Joshua pikir, mungkin lebih baik bertanya pada Nyonya Frances. Tapi dia ragu kalau Nyonya Frances mau memberikan kebenaran mengenai apa yang terjadi pada anaknya. Monica itu adalah kesayangan keluarganya. Apapun yang menyangkut Monica, pasti akan dilindungi oleh kedua orang tuanya. Sehingga sulit bagi Joshua untuk melakukan investigasi mengenai kehidupan Monica Frances sebelum kecelakaan. Apalagi Joshua ini bukanlah siapa-siapa yang patut mengurusi urusan orang lain. Tapi masalahnya ini adalah Monica Frances. Entah mengapa Joshua ingin membantu gadis itu keluar dari masalahnya.

Setelah dari hutan pinus tadi, Monica mengajak Joshua untuk kembali ke kebun. Monica ingin mengajari Joshua memanen buah anggur. Menurutnya, memanen buah anggur itu menyenangkan. Meski terik matahari di musim panas begitu menyengat, itu tak menyurutkan keinginan Monica untuk memetik buah anggur di kebun.

"Joshua? Apa yang kau pikirkan?" suara Monica membuat lamunan Joshua terbuyar. Gadis itu perlahan mendekati Joshua untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja. "Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Joshua tersenyum tipis, "tidak. Sama sekali tidak ada."

"Kalau kau ada masalah beritahu aku. Walaupun kita baru kenal, tapi kalau untuk menjaga rahasia, kau bisa mengandalkan aku." kini giliran Monica yang tersenyum. Lagi-lagi senyum itu membuat Joshua terpesona. Dibawah terik sinar mentari, senyumnya terasa makin hangat. Joshua seakan dibuat mabuk oleh senyum itu.

"Terima kasih." balas Joshua singkat. Dia bahkan tidak tahu harus bicara apalagi setelah melihat Monica tersenyum seperti saat ini.

Kini Monica Frances kembali melanjutkan kegiatannya memetik buah anggur. Gadis itu tak mempedulikan bulir-bulir keringat yang turun membasahi pelipisnya. Satu-satunya alasan bagi Monica selalu menghabiskan waktu di kebun ialah buah anggur. Entah mengapa gadis itu sangat menyukainya. Bisa dikatakan kalau sejak dulu kebun anggur ini merupakan tempat bermainnya dari kecil hingga sekarang. Kebun anggur ini menyimpan banyak cerita yang bahkan Monica sendiri tak bisa mengingatnya. Bagi Monica kebun anggur ini adalah satu-satunya teman yang dia miliki, tempat untuk dia membuang semua perasaan yang ada dalam dirinya.

Joshua Spencer sejak tadi tak bisa fokus melakukan aktivitasnya memetik anggur. Dia memperhatikan Monica Frances untuk kesekian kalinya. Senyum tadi sungguh membuat Joshua terpesona sampai dia hilang fokus. Apalagi melihat wajah Monica yang kini dihujani oleh keringat. Joshua heran apa gadis itu tidak merasa lelah setelah berkeliling tadi?

Beberapa detik kemudian, tangan Joshua terangkat dan meletakkannya dipelipis si gadis. Joshua pikir gadis itu terlalu banyak terpapar sinar matahari siang. Bukankah itu tidak baik bagi kesehatan? Apalagi untuk kulit Monica yang seputih salju. Selain itu, Joshua juga ingin melindungi gadis itu agar tidak merasa silau ketika memetik anggur.

Merasakan ada sesuatu di pelipisnya, Monica pun menoleh dan mendapati sebuah tangan bertengger disebelah kiri pelipisnya. Untuk sesaat jantung Monica Frances berdebar begitu kencang. Napas Monica juga tercekat selama beberapa saat. Dan Monica rasa tidak lama lagi dia akan menderita serangan jantung.

"J-Joshua?"

"Maaf. Tapi kelihatannya kau kepanasan, jadi... ya... aku membantumu dengan ini. Lagi pula sejak tadi aku tidak tahu bagaimana cara memetik anggur. Kalau begini kan aku jadi bisa memperhatikan mu memetik anggur yang benar." ujar lelaki itu tanpa menurunkan tangannya dari kepala si gadis. Dapat terlihat kalau kedua pipi gadis itu merona, menahan malu.

Monica langsung membuang wajah, mengalihkan tatapannya dari Joshua. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat. Membuat Monica memegang kepalanya yang sakit sampai menjatuhkan barang-barang yang dia pegang untuk memetik anggur. Pikirannya mulai diisi beberapa potongan gambar aneh, yang membuatnya semakin tak bisa menahan rasa sakit kepalanya. Dalam ingatannya yang samar, ia melihat seorang anak laki-laki menghampirinya di taman bermain. Anak itu memberikan sesuatu pada Monica. Ingatan tersebut memang masih samar, tapi Monica merasakan kehangatan ketika bertemu dengan anak itu.

Karena hal tersebut, Monica bahkan tidak sadar kalau sejak kepalanya berdenyut, Joshua Spencer terus memanggil namanya. Penglihatannya bahkan menjadi kabur. Ia tidak dapat menerka mana Joshua yang asli, karena matanya dipenuhi oleh bayang-bayang si pria. Bukan itu saja, Monica pun merasa tubuhnya sudah mati rasa. Yang dia tahu kini semuanya menjadi gelap. Dan dia tak tahu apa yang terjadi.

...-οΟο-...

Musim semi dibulan April merupakan periode waktu yang ditunggu setiap orang. Angin berembus begitu lembut dan menebarkan aroma manis. Sayang sekali bila melewatkan waktu ini tanpa melakukan aktivitas apapun. Monica Frances, mungkin satu-satunya orang yang tidak bersemangat pada musim semi ini. Yang dia lakukan hanyalah diam dan melihat teman-temannya bermain dari kejauhan, sementara ia duduk sendiri diatas ayunan. Gadis kecil itu masih mendapat perlakuan tak adil dari teman-temannya. Oleh sebab itu, dia tak bisa bebas bermain di sekolah.

Mata Monica tak henti melihat teman-temannya yang bebas berlari kesana kemari sembari tertawa dengan teman lainnya. Dalam hati, Monica merasa iri pada teman-temannya. Kenapa hanya dirinya yang tak bahagia disini? Apa salah menjadi orang yang berbeda?

Satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya hanya Alex, kakaknya. Alex tak pernah mengusik mengenai perbedaan dirinya dengan Monica. Alex bahkan tak segan menegur orang-orang yang mengejek Monica bila terdengar olehnya. Sayangnya, untuk saat ini, Monica tak berani mengadu pada sang kakak. Takut bila teman-temannya makin menjadi. Mengingat ada sebuah surat kaleng yang tempo hari dia terima. Jika dia mengatakan apa yang dialaminya pada Alex, maka Alex tidak akan selamat. Tentu saja Monica takut. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kakak tersayangnya. Berhubung Alex juga akan mengikuti kejuaraan lomba renang. Ia tak mau menganggu konsentrasi sang kakak dengan pengaduan kekanakan seperti itu.

Mungkin saat ini, pikiran Monica sedang melalang buana jauh ke angkasa hingga ia melihat seorang anak laki-laki datang menghampirinya. Pasti Monica sedang berkhayal sekarang.

"Hai!" sapa seseorang yang membuat Monica menoleh dan mendapati anak laki-laki yang ia bayangkan, kini berada di sebelahnya, duduk di atas ayunan. Ini pasti hanya khayalanku saja. Pikir Monica.

"Tidak bermain dengan yang lainnya?"

Monica tidak menjawab, dia langsung memalingkan wajahnya. Takut dikatakan orang gila, karena berbicara sendiri.

Sementara anak itu tersenyum, tanpa Monica ketahui. "Aku Joshua Spencer. Kelas ku ada di sebelah kelas mu. Dan aku sudah tahu apa permasalahan mu." Monica kembali menoleh, menatap anak laki-laki bernama Joshua itu.

"Joshua?"

Anak bernama Joshua itu mengangguk. "Sejujurnya, kalau dilihat-lihat, kita ini mirip. Kalau kau sadar, aku juga punya kulit putih dan mata sipit seperti mu."

Monica mulai memperhatikan wajah Joshua. Ternyata benar, lelaki itu punya iris mata hitam, kulit putih, mata sipit dan hidung khas orang Asia.

"Kau-"

"Ayah dan ibuku keturunan Korea Selatan." sahutnya dengan senyum.

Monica langsung bungkam. Kebungkamannya tersebut adalah tanda bahwa dia tidak tahu mau membalas apalagi. Meskipun Joshua berbeda juga, tapi dia memiliki kejelasan tentang silsilah keluarganya. Sedangkan Monica? Dia sendiri tidak tahu darimana dia berasal dan siapa orang tuanya. Ketidakjelasan statusnya tersebut menyebab Monica selalu menjadi bahan gunjingan teman-temannya. Ditambah lagi dia memiliki fisik yang berbeda dari kebanyakan anak. Jujur saja, Monica tidak sanggup hidup penuh tekanan seperti ini, tetapi ia tidak mau memberatkan orang tua dan kakak laki-lakinya. Selama ini dia sudah menjadi beban keluarga Frances, bersyukur keluarga Frances mau mengangkatnya sebagai anak.

"Kalau boleh aku sarankan, kau jangan banyak berdiam diri. Bila mereka melakukan sesuatu padamu, kau harus berani melawannya. Jangan jadikan itu sebagai kelemahanmu. Kalau seperti itu terus mereka akan terus menganggumu." mendengar perkataan Joshua, membuat Monica sedikit tersadar, bahwa selama ini ia tidak melakukan apapun, saat dirinya merasa terintimidasi. Yang dia lakukan hanya menunggu perlindungan dari orang lain, tanpa mau berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri.

Dan, perkataan Joshua Spencer itu benar. Tapi...

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Kalau aku melawan mereka akan semakin menyakiti ku. Apalagi aku tidak punya teman yang dapat membelaku."

Laki-laki itu tersenyum, "apa kau akan menunggu orang lain untuk menyelamatkan mu disaat kau akan terbunuh? Hanya ada dua pilihan, mati sebagai pecundang atau mati sebagai pahlawan."

Monica tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud Joshua, maklum saja dia tipe orang yang lambat dalam berpikir dan merespon orang lain. Bahkan saat ini Monica tidak tahu apa yang dia pikirkan setelah mendengar perkataan Joshua tersebut.

"Baca novel ini, kau pasti akan mengerti. Banyak pelajaran berharga di dalamnya." Monica sendiri tidak sadar kalau anak laki-laki disebelahnya membawa sebuah buku. Mungkin ini efek terlalu banyak melamun. Meski begitu, Monica tetap menerima buku tersebut dari tangan Joshua yang terulur padanya. Dia menerimanya dengan perlahan.

Kekuatan Sebuah Perubahan. Judul novel yang bagus. Apa ceritanya akan sebagus judulnya?

"Kapan aku-"

"Bawa saja dulu, nanti kalau kau sudah memahami maksudnya, datang padaku dan ceritakan apa yang kau dapat dari cerita tersebut."

Percayalah, saat itu juga, pipi Monica langsung merona merah. Ia tidak percaya bahwa ada orang yang masih peduli padanya. Monica merasa dirinya berharga. Joshua Spencer bukan datang untuk melindunginya, tapi mengajarkan bagaimana keluar dari penderitaan.

Dan pada saat itu juga, Monica mulai berjanji untuk mengingat segala hal tentang Joshua Spencer, meski ingatannya hilang sekalipun.

...---...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!