Hati yang keras datang dari lingkungan yang keras, tapi ada saatnya hati yang keras selama bertahun-tahun itu luluh seketika hanya dalam waktu singkat oleh sebuah kelembutan.
.
.
.
Malam hening bertabur bintang yang begitu indah. Suara hewan yang biasanya menjadi pengantar malam kini kalah oleh suara deru motor dua remaja yang sedang melakukan balapan liar di sebuah jalan yang tampak sepi dan gelap, hal itu mereka lakukan untuk memperebutkan sejumlah uang sebagai taruhannya.
"Final lap, semangat boskue!!!" teriak seorang laki-laki menyemangati bos gengnya yang kini sudah berada jauh di depan meninggalkan motor lawan.
Boy Anderson, seorang laki-laki tampan berusia 19 tahun yang kini tengah menempuh pendidikan di salah satu SMA ternama di kotanya. Laki-laki dengan helm full face hitam berbalut jaket kulit hitam dan celana jeans hitam itu kini melajukan motornya dengan kecepatan sedang saat sebuah garis finish telah berhasil ia lewati di posisi pertama, tak lupa ia melakukan free style dengan mengangkat roda bagian depan motornya sebagai ungkapan kemenangan.
Sorak kemenangan terdengar dari para anggota geng motor bernama Black Wings itu dan menghampiri sang bos yang baru saja berhenti dan turun dari motor Kawasaki Ninja H2 Carbon berwarna hitam kesayangannya.
"Sudah kuduga, geng motor kalian itu tidak ada apa-apanya bagiku," ucap Boy begitu angkuh kepada lawannya yang baru saja melewati garis finish, tak lupa ia mengacungkan ibu jarinya yang kemudian ia putar ke bawah.
"Hey, Boy! Kau jangan sombong dulu, ini baru permulaan, dibalapan selanjutnya akan kupastikan kau yang akan kalah," balas Anton, ketua geng Brandalz, salah satu geng motor yang selalu mengganggu ketenangan warga, tidak hanya mencuri, mengganggu anak gadis pun sudah menjadi hobi mereka.
Berbeda dengan geng Black Wings yang diketuai oleh Boy, mereka hanya suka balapan, ugal-ugalan di jalan, bersenang-senang di klub malam, hingga berkelahi. Mencuri adalah hal yang tidak asik menurut laki-laki itu karena pada dasarnya ia sudah cukup bergelimang harta dari sang ayah dan hasil taruhan.
"Tak usah banyak bacot, sekarang serahkan uang taruhan kalian!" Ifan, tangan kanan Boy kini menghampiri geng Brandalz itu untuk menagih uang taruhan yang bernilai cukup fantastis.
Dengan tatapan tajam dan penuh kebencian, sang ketua geng menyerahkan beberapa ikat uang tunai yang cukup tebal lalu pergi begitu saja, sementara Boy dan rekan-rekannya kini tertawa puas.
Boy dan anggota gengnya memilih menghabiskan sisa malam mereka di sebuah klub malam untuk merayakan kemenangan sang bos. Berbagai jenis minuman dan cemilan telah tersedia di atas meja yang berada di ruang VVIP.
Musik yang begitu memekakan telinga terdengar memenuhi ruangan itu, semua anggota geng motor Black Wings tampak bergoyang bebas bersama beberapa wanita sambil meneguk minuman mereka.
Sementara Boy hanya duduk seorang diri dengan mengangkat kedua kakinya di atas meja sambil merokok. Beberapa wanita di ruangan itu banyak yang terpikat dengan ketampanan Boy, mereka bahkan mencoba merayu sang bos geng, tapi rayuan mereka sama sekali tidak mempan terhadap laki-laki berhati keras itu.
Bagaimana tidak? Sebagai anak yang mengalami broken home sejak kecil dan hidup dalam asuhan seorang ayah tunggal yang workaholic, membuat Boy kurang mendapatkan kasih sayang terutama dari ibu yang telah pergi meninggalkan Boy dan sang ayah demi selingkuhannya.
Keterpurukan dan kurangnya perhatian, membuat Boy akhirnya terbiasa hidup bebas dan dingin terhadap wanita. Sejak itulah ia mulai mencari pelampiasan dengan bergabung dalam salah satu geng motor di kotanya saat ia masih berusia 15 tahun, hingga kini di usia yang hampir memasuki usia 20 tahun itu, ia telah dipercaya menjadi ketua geng motor Black Wings.
Kini waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari, para remaja itu akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing, termasuk Boy. Ia melajukan motor membelah gelapnya malam yang begitu sunyi dan semakin dingin menuju rumahnya seorang diri.
Dalam sunyinya malam, sayup-sayup Boy mendengar suara deru beberapa motor dari arah belakang. Melalui kaca spion, terlihat beberapa motor dengan lampu yang menyilaukan mata sedang berada di belakang, semakin lama semakin mendekat. Namun, insting laki-laki itu rupanya begitu kuat, ia segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Aksi kejar-kejaran menggunakan motor pun terjadi, tapi entah kenapa begitu banyak motor yang kini mengejar laki-laki itu, bahkan beberapa motor muncul di depannya melalui jalan lain hingga langsung memblokade jalan, seolah apa yang mereka lakukan itu telah terencana dengan baik sebelumnya.
"Hey, Boy! Apa kau sudah menikmati uang taruhanmu?" tanya seorang laki-laki yang yang tidak lain adalah Anton saat motornya telah sejejer dengan motor Boy.
"Kau? Mau apa lagi kau?"
"Mau apa?" tanya balik laki-laki itu lalu tertawa diikuti dengan tawa para pemotor lainnya. "Tentu saja ingin merayakan kemenanganmu juga," jawabnya sembari tersenyum licik lalu memberikan sebuah kode kepada anggotanya.
Para pemotor yang tadi mengelilingi Boy kini berhenti dan menghadang jalan laki-laki itu hingga membuatnya harus ikut menghentikan motor. Perkelahian antara sepuluh lawan satu kini tak terelakkan lagi. Awalnya ia mampu menangkis setiap serangan, bahkan ia bisa mencari kesempatan untuk memberi serangan balik kepada mereka satu per satu, tapi menghadapi orang yang jumlahnya jauh lebih banyak seorang diri membuat laki-laki itu kewalahan.
Pada akhirnya Boy memutuskan untuk melarikan diri menuju perumahan warga terdekat saat tubuhnya mulai lelah, berharap mereka tak lagi mengejarnya. Namun, apa yang ia harapkan tidak sesuai kenyataan, para geng motor itu masih saja mengejarnya, dan lagi-lagi perkelahian menjelang subuh itu kembali terjadi hingga membuat Boy kalah dan ambruk.
Dua anak buah Anton kini mengangkat tubuh Boy menghadap ke arah sang bos dan menahan kedua tangannya. Beberapa pukulan dan tendangan di wajah, perut hingga kaki membuat Boy semakin tak berdaya. Wajah yang telah babak belur dan berdarah sama sekali tidak membuat bos geng dari Brandalz itu merasa iba.
"Hanya segitu kemampuanmu? Lihat saja, akan kupastikan kau tidak akan lagi bisa mengendarai motormu, tidak, bahkan berjalan pun kau tak akan bisa." Anton tertawa puas, ia kini mengeluarkan sebuah kapak dari dalam tasnya dan mulai mengarahkan ke kaki Boy.
"Ucapkan selamat tinggal untuk satu kaki dan geng motormu, kau tidak akan lagi menjadi laki-laki yang dihormati oleh anggota gengmu nantinya." Laki-laki itu tersenyum licik dan mulai mengangkat kapaknya.
Wiu... Wiu... Wiu...
Suara serine mobil polisi yang terdengar mendekat membuat Anton menghentikan aksinya.
"S!al! Hey, kau beruntung kali ini, tapi ingat, ini belum berakhir." Laki-laki itu memberikan kode kepada anggotanya untuk segera pergi meninggalkan Boy sendiri yang sudah terkulai lemas di tanah.
Sama halnya dengan geng motor tadi, Boy pun sama takutnya mendengar serine polisi itu. Bukan tanpa alasan, polisi telah mengenal wajah laki-laki itu karena sudah beberapa kali ia keluar masuk kantor polisi. Hanya saja keadaannya saat ini membuatnya tak bisa melarikan diri. Ia sudah pasrah saat suara serine terdengar semakin mendekat.
.
.
.
Boy terkejut saat menyadari bahwa suara serine polisi itu bukan berasal dari mobil polisi melainkan ponsel seorang gadis yang menggunakan mukenah.
"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya gadis itu setelah mematikan suara serine di ponselnya lalu mengarahkan senter ke arah Boy.
"Siapa kau?" tanya Boy begitu dingin dan waspada.
"Aku hanya warga di sini yang tidak sengaja mendengar keributan dan menyaksikan tindak kekerasan di belakang rumahku," jawab gadis itu seraya berjongkok untuk melihat keadaan Boy lebih dekat.
Boy diam tatkala melihat wajah gadis berparas ayu itu dalam jarak yang lebih dekat.
"Lukamu cukup parah. Aku akan menghubungi taksi untuk mengantarmu ke rumah sakit, kamu tunggulah di sini," ucapnya lagi lalu melangkah pergi.
"Tunggu! Apa kau bisa menolongku?"
Gadis itu seketika menghentikan langkahnya dan berbalik. "Tolong apa?"
"Apa bisa kamu saja yang mengobati lukaku? Seluruh tubuhku begitu sakit dan aku tidak ingin ke rumah sakit."
Gadis itu sejenak terdiam dan tampak berpikir. "Aku akan segera kembali."
Gadis itu segera pergi, dan tak lama kemudian ia datang kembali dengan membawa kotak P3K bersama temannya. Melihat kondisi jalan belakang rumah yang masih gelap, ia khawatir jika menolong laki-laki asing seorang diri justru akan mengundang fitnah.
Perlahan ia mengobati setiap luka yang ada di wajah dan kaki Boy, untuk bagian dada dan perut, gadis itu tidak berani membuka bajunya. Boy hanya diam memperhatikan bagaimana gadis itu mengobati luka yang dia miliki hingga ia tidak sadar jika lukanya telah selesai diobati.
"Aku sudah mengobati luka di wajah dan kakimu, minumlah ini agar rasa sakitmu bisa sedikit reda." Gadis itu memberikan sebuah obat anti nyeri untuk diminum oleh Boy.
"Jika sudah merasa baikan, silahkan pergi dari tempat ini." Gadis itu kembali melangkah bersama temannya meninggalkan Boy, tapi baru beberapa langkah, Boy kembali membuka suara.
"Tunggu! Siapa namamu?"
Sayangnya, pertanyaan Boy kali ini tidak membuat gadis itu menghentikan langkahnya, ia tetap berjalan tanpa menghiraukan apa pun.
"Terima kasih," lirih Boy sambil mengulum senyum.
-Bersambung-
"Tunggu! Siapa namamu?"
Khaira sangat jelas mendengar suara laki-laki itu menanyakan namanya, tapi sungguh ia tidak ingin berkenalan dengan laki-laki asing itu. Melihatnya di hajar habis-habisan saja sudah membuatnya cukup ngeri dan tidak ingin terlibat lagi.
Nama lengkapnya Khaira Muthmainnah, gadis baik berparas cantik dan lembut. Namun, dalam beberapa keadaan ia bisa sedikit bar-bar. Menjadi anak pertama dari dua bersaudara membuatnya lebih cepat mandiri dan berani.
Sejak memasuki bangku SMA, Khaira telah berani hidup sendiri dan jauh dari orang tua agar bisa mewujudkan impiannya menempuh pendidikan di sekolah yang selama ini ia favoritkan. Penampilannya yang selalu sederhana dan apa adanya membuat teman-teman Khaira tak ada yang tahu jika ia berasal dari keluarga berada, kecuali sahabatnya.
"Ra, dia tadi nanyain nama kamu tuh," ujar Shaza, sahabat sekaligus teman satu kontrakan Khaira sesaat setelah mereka masuk ke rumah kontrakan mereka.
"Biarin aja, aku nggak ingin terlibat atau berkenalan dengan preman, aku ngeri, ih," balas Khaira.
"Ya tapi tetap aja dia udah lihat wajah kamu dan rumah ini 'kan?"
"Iya sih, tapi kalau dia macam-macam kita bisa pindah rumah kok, asal identitas kita nggak ketahuan aja. Kita itu perantau, Sa, harus pintar-pintar jaga diri." Khaira melepas mukenah yang masih ia kenakan sejak ia selesai menunaikan sholat subuh tadi lalu melipatnya dengan rapi.
Kedua gadis itu kini mulai menyiapkan sarapan bersama sebelum nantinya mereka berangkat ke sekolah. Sekolah khusus wanita yang cukup terkenal karena prestasi para siswinya, dan Khaira adalah salah satu siswi yang mendapat beasiswa berprestasi di sana.
.
.
.
"Baiklah, ibu akan mengumumkan peringkat kelas berdasarkan hasil ujian kalian selama dua minggu terakhir. Peringkat kelima adalah Shaza Nabilah." Semua siswi di kelas itu bertepuk tangan bahagia sekaligus penasaran menantikan pengumuman peringkat selanjutnya.
"Peringkat keempat, Rayya Sukmawati."
"Peringkat ketiga Viona Maharani."
Semua siswi kembali bertepuk tangan sambil memberikan selamat kepada para juara yang menempati posisi baru mereka, tapi tak sedikit pula yang kecewa karena mengalami penurunan peringkat.
"Wih, peringkat tiga ke bawah selalu saja mengalami pergeseran yah," bisik salah satu siswi di kelas itu.
"Iya, sepertinya memang hanya peringkat satu dan dua yang bertahan di posisi mereka masing-masing," timpal siswi lain ikut berbisik.
"Iya betul, siapa lagi juara bertahan kita kalau bukan Silvi sahabat kita, iya nggak?" celetuk siswi itu sambil menepuk sahabat di sampingnya yang kini tersenyum bahagia seolah ia sudah tahu pengumuman peringkat pertama itu.
"Dan untuk peringkat satu dan dua terjadi pergeseran untuk pertama kalinya selama kalian sekolah di sini. Jadi, peringkat pertama kita kali ini diraih oleh ... Khaira Muthmainnah dan peringkat kedua adalah Andi Silvia Tenri."
Seluruh ruang kelas itu seketika riuh setelah mendengar pengumuman dari wali kelasnya itu. Ada yang mengucapkan selamat kepada Khaira, dan ada juga yang merasa tidak percaya dengan hasil itu, termasuk Silvi dan kawan-kawannya yang seketika kehilangan senyuman mereka.
Raut wajah kecewa sangat jelas terlihat di wajah gadis itu, dan semakin lama berubah menjadi raut wajah marah yang diikuti dengan tatapan tajam ke arah gadis berhijab yang kini sedang tersenyum bahagia bersama sahabatnya.
"Awas kamu, Khaira."
***
Di tempat lain, suara langkah kaki yang mengenakan sepatu terdengar mendekat ke arah sebuah kamar yang di dominasi warna merah dan hitam. Kamar yang sangat memperlihatkan ciri khas pemiliknya sebagai seorang anak laki-laki.
Boy berbaring di tempat tidurnya sambil menanti kedatangan orang yang sudah sangat ia kenali hanya dengan mendengar langkah kakinya.
Ceklek
Seorang pria paruh baya dengan rambut hitam yang di sisir rapi, kumis tipis dan jenggot yang terawat, dengan kecamata dan setelan jas lengkap yang begitu formal memasuki kamar dan menghampiri anak laki-laki remaja yang saat ini terbaring lemas di tempat tidur.
"Luka dari mana lagi ini?" tanyanya begitu dingin.
"Berkelahi, Ayah," jawab Boy tak berani menatap mata sang ayah.
"Padahal ayah sudah membayar biaya kursus bela dirimu mahal-mahal, tapi masih saja kalah, pergilah ke rumah sakit, ayah akan transfer uang ke rekeningmu," ucap sang ayah lalu keluar dari kamar itu tanpa basa-basi apapun.
Boy tersenyum kecut dengan sikap sang ayah yang begitu dingin dan acuh. Laki-laki itu kembali mengingat betapa kesepiannya ia selama ini. Pendidikannya yang amburadul hingga pernah mengalami tinggal kelas pernah ia lakukan dengan sengaja hanya agar sang ayah tidak mengabaikannya lagi. Namun sayang, hal itu sama sekali tidak menjadi masalah bagi sang ayah, karena bagi pria paruh baya itu, semua masalah bisa diselesaikan dengan uang.
Boy menatap langit-langit kamarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Kasih sayang? Apa itu? Ia benar-benar tak mengenal rasa itu, bahkan di usianya yang sudah hampir menginjak kepala dua, ia belum juga merasakannya baik dari kedua orang tuanya, maupun lawan jenis lantaran sikapnya yang begitu dingin seperti sang ayah.
Akan tetapi, semuanya seketika berubah usai bertemu dengan seorang gadis yang entah siapa namanya. Dari cara berbicara dan keberanian dalam menolongnya waktu itu membuat Boy sangat yakin jika dia adalah gadis yang baik dan berani, gadis yang hanya dalam sekejap membuatnya tak berkutik.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu seketika menyadarkan Boy dari lamunannya.
"Masuk!"
Seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Boy dengan topi hitam dan telinga yang dipenuhi anting-anting dan tato yang memenuhi kedua lengannya masuk dan mendekati tempat tidur.
"Bagaimana keadaanmu, Bos? Tidak kusangka para brandal itu akan main keroyokan. Lihat saja, Bos, aku akan mengatur rencana balas dendam untukmu," ujar Ifan, tangan kanan Boy di Black Wings.
"Tidak perlu buru-buru. Tempatkan saja anggota kita di sana sebagai mata-mata untuk memantau apa yang akan mereka lakukan kepadaku nantinya, jika mereka akan menyerangku kembali, maka kita akan menyerang mereka lebih dulu."
"Baik, Bos."
"Ifan, aku ingin meminta tolong kepadamu."
"Apa itu, Bos?"
"Carikan aku informasi tentang pemilik rumah yang ada di perumahan Royal Flower, nomor ...."
Ifan mengerutkan keningnya saat Boy menghentikan perkataannya untuk berpikir. "Nomor berapa, Bos?"
"Aku tidak tahu nomor berapa, yang aku tahu rumah itu berwarna hijau berpadu warna abu-abu, rumah kelima dari gerbang, di belakang rumahnya terdapat jalan sempit dan bunga-bunga."
Ifan mengangguk paham akan petunjuk yang diterangkan oleh Boy. "Baik, Bos. Aku mengerti, kalau begitu aku pamit dulu."
Boy menatap kepergian Ifan lalu tersenyum. "Maaf aku harus melakukan ini, aku terlanjur penasaran tentang dirimu."
-Bersambung-
Di sebuah rumah mewah, tepatnya di hadapan meja makan, sebuah keluarga kecil sedang makan malam bersama. Namun, suasana kali ini sedikit berbeda, bukan suasana hangat yang terasa melainkan ketegangan.
"Sekarang jelaskan kepada ayah, bagaimana bisa peringkatmu turun ke peringkat dua?" tanya pria paruh baya dengan nada dingin, sembari tetap menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Ma-maaf Ayah, ini semua karena anak miskin itu, dia yang mengambil posisi...."
Braaakkk
Silvi dan kakak beserta ibunya terperanjat kaget saat sang ayah menghentakkan garpu dan sendoknya di atas meja dengan begitu kuat.
"Kenapa malah menyalahkan orang lain? Bukankah jika peringkatmu turun itu artinya kamu tidak giat belajar?" sergah sang ayah dengan suara yang menggelegar.
"Ta-tapi, Ayah, selama ini aku sudah giat belajar...."
"Mana buktinya? Nyatanya peringkatmu malah turun. Jika seperti ini, lebih baik kamu diam di kamar untuk bekajar dan jangan pernah keluar sampai peringkatmu kembali naik."
"Tapi Ayah...."
"Tidak ada tapi-tapian."
"Ayah, Silvi benar, selama ini dia sudah belajar dengan giat, dan aku saksinya."
"Diam kamu Anton! Memikirkan kenakalanmu saja ayah sudah muak, tidak usah ikut campur, hanya Silvi yang kini bisa ayah andalkan, bukan kamu, yang hanya tahu kesana-kemari naik motor tidak jelas!"
Laki-laki bernama Anton itu seketika terdiam mendengar penuturan sang ayah yang cukup menohok hatinya. Ia menoleh ke arah sang adik yang kini tertunduk dengan air mata yang mulai membasahi pipi, ia kemudian menoleh ke arah sang ibu yang sejak tadi hanya diam dan fokus makan, seolah-olah ia tidak mendengar keributan di hadapannya.
"Keputusan ayah tidak bisa di ganggu gugat, mulai malam ini sampai ujian selanjutnya, jangan pernah lagi keluar dari kamar kamu, selain pergi ke sekolah dan les belajar," ujar ayah kepada Silvi setelah menyelesaikan makannya lalu segera beranjak pergi diikuti oleh sang ibu.
Usai kepergian kedua orang tuanya, tangisan Silvi pecah seketika, Anton yang berada di samping sang adik hanya bisa mentap sendu sembari mengusap pelan punggungnya.
"Siapa anak miskin yang tadi kamu katakan telah merebut peringkatmu, Dek?" tanya Anton pelan.
"Khaira, namanya Khaira, aku sangat membencinya, Kak. Hiks," adu Silvi di tengah isak tangisnya.
"Apa kamu mau kakak membantumu agar dia tidak lagi menjadi sainganmu?"
Tangis Silvi seketika terhenti, ia menoleh ke arah Anton yang kini tersenyum penuh arti ke arahnya. Ia jelas tahu maksud dari sang kakak yang merupakan seorang ketua geng motor. Kepalanya perlahan mengangguk diiringi dengan senyuman tipis yang tersungging di wajahnya.
***
Khaira sedang sibuk membantu memasukkan beberapa pakaian Shaza ke dalam koper, pagi ini sang sahabat berencana kembali ke kota asalnya untuk berlibur selama dua minggu ke depan.
"Ra, kamu yakin nggak mau pulang buat liburan?" tanya Shaza setelah semua persiapannya selesai.
"Nggak deh, Sa. Aku ingin kerja paruh waktu di sini, aku ingin belajar lebih mandiri dan nggak terlalu membebankanà kedua orang tuaku lagi."
"Kerja paruh waktu?" Shaza mengerutkan keningnya mendengar penuturan Khaira yang kini mengangguk yakin.
"Apa aku nggak salah dengar, Ra? Ayah kamu kan pebisnis restoran sukses, masa iya kamu kerja paruh waktu?"
Khaira hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Yaa mau gimana lagi? Aku hanya ingin lebih mandiri, soalnya aku pernah dengar orang dewasa berkata, menggunakan uang sendiri itu jauh lebih menenangkan daripada menggunakan uang orang tua, aku ingin membuktikan itu semua."
"Kamu kan bisa melalukan itu setelah kerja nanti, Ra." Shaza benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Khaira, tapi di sisi lain ia juga kagum dengan kesederhanaan dan kemandirian sahabatnya itu.
.
.
.
Usai kepergian Shaza, Khaira mulai mencari lowongan pekerjaan paruh waktu di internet. Dengan semangat membara, gadis itu mengendarai motor maticnya menuju alamat tempat kerja yang telah ia kantongi.
Sejak pagi sampai siang hari Khaira melamar pekerjaan, tapi dari beberapa tempat itu tidak ada yang menerima pekerja paruh waktu. Hingga akhirnya pilihan terakhir gadis itu jatuh pada sebuah cafe yang cukup besar di pusat kota.
Awalnya Khaira sedikit pesimis akan diterima kerja, tapi dengan sisa harapan yang gadis itu miliki, akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam dan menawarkan lamaran pekerjaan.
"Maaf, Dek. Kami tidak membuka lowongan untuk pekerja paruh waktu."
Lagi-lagi hanya ucapan penolakan yang Khaira terima. Dengan langkah berat, gadis itu berjalan gontai keluar dari cafe dan langsung menuju ke halaman parkir di mana motornya terparkir di sana.
"Sepertinya aku memang diminta untuk pulang ke kota asal juga," lirihnya seraya memakai helmnya yang berwarna pink dengan motif hello kitty.
Baru saja ia hendak menyalakan motor, suara seseorang yang memanggilnya tiba-tiba membuat gadis itu menoleh.
"Dek!"
"Ada apa, Pak?"
"Kami baru saja mengalami perubahan struktur dan jadwal karyawan, dan adek kami terima bekerja di cafe ini, mulai malam ini adek sudah bisa bekerja di sini."
Khaira menautkan kedua alisnya karena merasa sedikit aneh dengan apa yang baru saja disampaikan oleh manager di cafe itu. Namun, ia tak ingin ambil pusing, yang ia inginkan saat ini hanyalah bekerja dan merasakan hidup dengan uang hasil keringatnya sendiri.
"Bagaimana, Dek?" tanya manager itu karena tak mendapat respon dari gadis remaja di hadapannya.
"Eh, iya, saya siap bekerja malam ini juga, Pak. Terima kasih banyak," ucapnya begitu riang.
"Kalau begitu saya pamit dulu yah, Pak. Insya Allah nanti malam saya akan datang, assalamu 'alaikum Pak."
Khaira segera melajukan motornya meninggalkan cafe itu dengan perasaan yang begitu lega.
Sementara sang manager kini kembali masuk ke dalam cafe, di mana beberapa karyawan sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.
"Jadi benar, bos kita yang langsung memerintahkan Bapak untuk menerima gadis itu?" tanya salah satu karyawan laki-laki berseragam pelayan itu.
"Bukan bos, tapi tuan muda," jawab sang manager.
"Apa? Bukankah tuan muda sangat anti dengan gadis muda? Buktinya di cafe ini kebanyakan karyawan laki-laki, perempuan hanya tiga, itu pun yang sudah berkeluarga."
"Sepertinya tuan muda kita sudah berubah."
***
Sesuai kesepakatan siang tadi, malam itu Khaira benar-benar datang bekerja di cafe itu. Dengan dibimbing langsung oleh salah satu karyawati, ia mulai paham dan bisa mengerjakan pekerjaannya sedikit demi sedikit sebagai pelayan.
Banyaknya pengunjung di cafe itu, membuat Khaira semakin bersemangat bekerja di hari pertamanya. Hingga pukul 10 malam, cafe akhirnya tutup, dan kini waktunya bagi para karyawan untuk pulang, termasuk Khaira.
Khaira melajukan motor maticnya menuju rumah kontrakan yang waktu tempuh perjalanannya sekitar 15 menit. Meski sudah larut, tapi ia bersyukur karena jalan yang ia lewati selalu ramai oleh kendaraan yag lalu lalang.
Hingga saat ia memasuki gerbang perumahan, barulah ia mulai merasakan ada yang aneh. Selama perjalanan ia melihat dari kaca spion ada motor yang selalu mengikutinya. Berkali-kali ia mencoba tenang dan berpikir positif jika itu hanya pengendara motor lain yang kebetulan searah. Namun, ia semakin curiga saat motor itu ikut masuk ke perumahan dan juga ikut berhenti saat Khaira memasuki pagar rumah kontrakannya.
"Siapa dia? Kenapa dia mengikutiku?" lirih Khaira saat mengintip di jendela dan mendapati pria bermotor itu masih berada di jalan yang tidak jauh dari rumahnya. Ia tidak dapat melihat wajahnya di balik kegelapan, tapi yang pasti, pemotor itu tidak melakukan apa pun dan hanya sekadar diam di motor.
-Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!