NovelToon NovelToon

Jodoh Lima Langkah

1. Nikah Yuk!

"Din, kita nikah, yuk!"

Dinda seketika menolehkan kepalanya saat Yoga mengatakan hal tersebut. Bagaimana tidak? Mereka bersahabat semenjak kecil hingga sekarang. Dari semenjak lahir hingga kini hampir berusia dua puluh satu tahun hidupnya.

"Gila ya, lo!" ujar Dinda sambil memukul belakang kepala Yoga sedikit keras dengan buku yang dia gulung di tangan.

"Sakit, cuy! Gila kenapa juga lagian? Gue bicara pada saat waras, kok!" ujar pemuda yang kini tengah menjalani pendidikan di sebuah universitas ternama ini. Dia mengusap kepalanya yang sakit akibat pukulan Dinda.

"Ya gila, lah. Lu tuh kalau ngomong dipikir deh, jangan asal jeplak!" ujar Dinda lagi. Buku yang ada di tangannya hampir dia layangkan kembali jika saja Yoga tidak menahan tangan gadis muda itu.

"Serius! Gue gak main-main!"

"Hah?" Dinda menatap Yoga tida percaya.

"Ehm, sebenarnya nyokap bokap nyuruh gue nikah muda, dari kemarin tuh mereka ngomong terus nyuruh gue cari calon istri. Ya gue mana ada tuh calon. Clara aja rada susah gue deketin!" ujar Yoga dengan kesal.

Dinda menatap malas sosok sahabatnya itu.

"Derita Lo, kenapa gue juga harus kebawa-bawa? Lagian Lo ya, palingan Mama Puspa nyuruh elo nikah karena elo ganti-ganti cewek mulu, nih! Macarin anak orang mulu. Bahaya kan. Gimana kalau salah satunya tekdung tuh, beuh! Mama Puspa pasti bakalan ngamuk. Nah makanya bener tuh apa yang Mama Puspa bilang, elo mendingan nikah aja daripada bikin anak orang punya anak!" ujar Dinda dengan santainya.

Yoga mendelik tak suka pada ucapan sahabatnya ini. "Eh, sorry ya meskipun gue banyak macarin anak perawan orang, tapi gue masih ori! Gue masih belum pernah menjamah dan belum pernah terjamah oleh tangan nakal para wanita," ujar Yoga yang membuat Dinda menatap dan tidak percaya sama sekali.

"Gak percaya! Secara, elo tuh playboy kelas kakap. Semua cewek di kampus elo pacarin!" ujar Dinda.

"Eh, bener, serius! Meski gue banyak pacaran sama orang lain, tapi gue gak pernah tuh sampai ngajak cek in mereka. Gue gak pernah kayak gitu sama cewek. Kalau cium dan main remas dada sih pernah, tapi kalau main olahraga tukar keringat gak pernah, sumpah!" ucap pemuda itu sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V, berharap sahabatnya ini percaya. Akan tetapi, Dinda merasa jijik dengan pengakuan Yoga barusan.

"Ih, mesum! Gak percaya gue. Gak percaya elo cuma gitu doang!" ujar Dinda lagi sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Yoga menatap Dinda dengan malas.

"Ya udah kalau gak percaya. Elo bisa kok buktikan kalau gue masih perjaka! Ayo, kita buktikan sekarang juga. Biar elo percaya gue masih ori!" ujar Yoga sambil mendekat pada Dinda.

Mendapati Yoga yang semakin mendekat, membuat Dinda kaget dan mendorong pinggang pemuda itu dengan kakinya.

"Yoga! Jangan deketin gue! Awas loh ya, berani deketin gue, dijamin bengkak punya Lo!" tunjuk Dinda pada area di dalam celana pendek Yoga.

Yoga yang mendengar ancaman Dinda menatap ngeri dan menutup miliknya dengan kedua telapak tangan. "Aset masa depan gue! Bahaya kalau kena tendangan elo!" ujar Yoga sambil meringis membayangkan sakit. Bagaimana tidak ngeri, Dinda adalah atlet taekwondo yang tidak bisa diragukan lagi tendangan dan tinjuannya. Bahkan, Yoga pun tidak bisa melawan gadis kurus nan mungil ini.

"Ya lagian elo main deket aja. Minta pembuktian lagi. Enak bener, lo. Nih!" Dinda mengacungkan tinjuannya pada Yoga.

"Ya kan, gue cuma mau elo percaya aja atas ucapan gue. Membuktikan kalau gue masih ori, belum tersentuh tangan mereka. Ya, elo mau kan nikah sama gue? Daripada gue dijodohin sama anak temennya adik ipar sepupu mama. Please!" ujar pemuda yang hanya berbeda lahir dua bulan itu dari Dinda sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Ish, elu. Dah kayak acara masak di pesbuk aja tuh, ribet. Ogah! Mending elo turutin tuh perkataan Mama Puspa. Nikah, gak susah juga elo cari pasangan, ada jodohnya. Lagian napa juga elo mau sama gue? Kan elo dah banyak tuh pacarin cewek-cewek satu kampus, napa gak Lo ajak nikah aja tuh salah satu atau dua, tiga. Kan biar nyokap seneng punya menantu banyak!" ujar Dinda kesal, lantas dia membereskan buku yang dia bawa ke rumah ini.

"Eh, Lo mau kemana?" tanya Yoga saat Dinda beranjak bangun dengan membawa tasnya.

"Mau pulang. Percuma juga gue ada di sini kalau yang dibahas soal nikah. Tujuan gue mau belajar bareng juga," ujar Dinda dengan kesal.

"Eh, iya deh. Sini gue ajarin lagi." ujar Yoga sambil menahan tangan Dinda.

"Udah gak mood!" jawab Dinda seraya menepis tangan Yoga darinya. Dinda berjalan dengan cepat menuju pintu kamar Yoga.

"Yee, gitu aja elo marah, sih. Kan gue cuma ngajak aja. Gak perlu marah juga kali!" ujar Yoga ikut bangkit dan mengikuti langkah kaki Dinda yang kini turun ke lantai bawah. "Din, tungguin deh!" teriak Yoga menyusul turun ke bawah.

Dari arah dapur, terlihat ibu dari Yoga baru keluar dengan membawa kue di tangannya, tampak masih panas karena asap mengepul dari nampan yang dia bawa.

"Kalian mau kemana? Sudah belajarnya?" tanya Puspa, ibu Yoga.

"Sudah, Ma. Tapi Yoga tuh ngeselin, bukannya belajar malah bahas yang lain!" ujar Dinda dengan mencebikkan bibirnya. Puspa menatap tajam putra satu-satunya, Yoga hanya tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Yoga, kenapa juga bikin Dinda kesel, harusnya kamu ajarin Dinda sampai bisa," ucap Puspa memberi peringatan.

"Aku kan cuma ngajakin Dinda buat nikah aja, Ma. Kayak yang Mama mau."

"Aku yang gak mau. Maaf aja nih ya, Ma. Siapa juga yang mau punya suami petakilan kayak dia? Yang ada nanti aku teriak-teriak setiap hari tuh karena dibikin kesel. Mati berdiri!" ujar Dinda tak peduli.

"Yee, elo gak tau aja. Kalau jadi istri gue bakalan bahagia setiap hari. Gak ada tuh yang namanya sedih," ujar Yoga tak mau kalah.

Puspa tersenyum kecil melihat interaksi dua anak yang ada di depannya ini. Dia menyodorkan piring di tangannya. "Ya sudah, makan dulu ini. Udah Mama buatin kue kesukaan kalian, sayang kalau gak dimakan."

Dinda tersenyum senang dan mendekat, serta mengambil satu potong kue yang banyak sekali krim cheese kesukaannya. Dinda menikmati kue tersebut sambil tersenyum senang, kue buatan Mama Puspa memang sangat enak sekali, berbeda dengan ibunya yang tidak pandai membuat kue.

"Enak, Ma. Dinda bawa ini semua pulang ya." Dinda mengambil sepiring kue tersebut, membuat Yoga tidak terima karena kue yang dibuat ibunya, Dinda ambil semua. Dia maju dan hendak meraih piring di tangan Dinda, tapi dengan cepat Dinda mundur dan menghindarinya.

"Eh, Din! Gue juga mau!" teriak Yoga mengejar Dinda.

"Enggak boleh! Ini buat gue semua!" Dinda juga berteriak, semakin menjauh dan keluar dari rumah tersebut dengan berlari meninggalkan Yoga.

Puspa melihat kedua anak itu berlarian meninggalkan dirinya dan hanya bisa menggelengkan kepala, tersenyum geli sembari membayangkan dua anak itu yang tidak disangka tumbuh dengan sangat cepat.

Puspa mengusap dadanya yang sedikit terasa sakit, lalu memutuskan untuk pergi ke arah kamarnya berada.

2. Ayo Menikah!

Hujan sangat deras di luaran sana, petir saling bersahutan, angin berhembus sangat besar sekali sehingga membuat jendela kamar Dinda basah oleh air hujan yang terbawa angin. Sesekali terdengar gemuruh dari langit membuat suasana malam itu menjadi menakutkan.

Dinda menyibak tirai, menatap ke arah rumah Yoga yang ada di sebelahnya. Tampak rumah tersebut gelap dan tidak nampak satu lampu pun yang menyala, membuat Dinda merasa khawatir.

"Pada kemana ya? Tumben lampu belum nyala?" gumam Dinda pada dirinya sendiri, masih memperhatikan bilamana ada gerakan di dalam rumah tersebut. Tiba-tiba saja hatinya merasa tidak tenang. Dia mengambil hp-nya mengirimkan pesan kepada Yoga.

"Belum tidur, Din?" tanya seorang wanita yang melongokkan kepalanya dari ambang pintu kamar Dinda. Dinda menolehkan kepalanya dan tersenyum.

"Belum, Ma." Hp yang ada di tangan dia simpan kembali di atas bantalnya.

"Sudah malam, loh. Mau jam sepuluh, besok ada kuliah pagi, kan?" tanya Irma pada sang putri. Dinda hanya menganggukkan kepalanya, lalu sekali lagi menatap ke luar jendela.

"Ma, rumah Yoga kok gelap ya? Apa gak ada orang di sana?" tanya Dinda pada sang ibu. Irma mendekat ke arah jendela dan melihat ke tempat yang sama.

"Iya, ya. Gak biasanya Mbak Puspa gak nyalain lampu. Apa pada pergi? Biasanya kalau pergi juga selalu pamit sama Mama," ujar Irma, sama seperti Dinda, dia juga tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan tetangganya itu.

"Kamu sudah telepon Yoga?" tanya Irma.

"Belum sih, baru chat aja. Tapi belum di balas."

"Ya sudah. Kamu tidur dulu, nanti Mama yang hubungi mamanya Juna," ujar Irma lagi. Dinda kali ini menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk tidur, sedangkan Irma keluar dari dalam kamar tersebut.

Dinda tidak bisa tidur, hanya menatap langit-langit kamarnya yang putih. Sesekali dia melihat hpnya dan mengecek apakah Yoga sudah membaca pesannya atau belum.

"Ada apa ya?" tanya Dinda bergumam. Dia memutuskan untuk menghubungi Yoga. Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari sahabatnya itu.

"Semoga gak terjadi apa-apa," ujarnya lagi, lalu berusaha untuk menutup matanya.

Baru saja sepuluh menit Dinda menutup mata, terdengar suara gedoran dari pintu bawah. Dinda yang mendengar suara gaduh terbangun dan turun ke lantai bawah, terlihat Yoga dengan pakaian yang basah tengah berbicara dengan ibu dan ayahnya. Dengan cepat Dinda berlari ke arah mereka.

"Ga, kenapa kamu basah?" tanya Dinda bingung sekaligus khawatir.

"Ikut aku, Din," ucap Yoga dengan nada suara yang bergetar. Yoga menarik tangan Dinda keluar dari rumahnya dan menuju ke mobil yang ada di luar pagar. Terkejut Dinda dengan perlakuan Yoga yang memaksanya pergi.

"Eh, ada apa ini?" tanya Dinda dengan bingung. Dia tidak bisa mengelak dari tarikan tangan laki-laki itu, menatap ibu dan ayahnya yang ada di belakang.

"Kami akan menyusul!" Hanya teriakan papa Dinda yang terdengar sebelum Yoga membawa gadis itu membelah hujan.

Yoga meminta Dinda masuk ke dalam mobil dan segera kendaraan itu melaju di tengah jalanan yang mulai sepi.

"Ga, ada apa ini?" tanya Dinda dengan bingung, pasalnya Yoga membawa mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Mama, di rumah sakit," jawab Yoga tanpa menolehkan kepalanya.

"Ha? Mama Puspa di rumah sakit? Kok bisa?" tanya Dinda terkejut. Yoga menggelengkan kepalanya dan menekan pedal gas semakin dalam.

"Aku gak tau, tadi waktu pulang dari kampus Mama pingsan," ucap Yoga menjawab. Dinda merasa khawatir seketika mendengar keterangan dari Juna. Tidak biasanya Mama Puspa sampai pingsan seperti itu.

Tak lama, mobil yang Yoga kendarai telah sampai di parkiran rumah sakit, mereka berdua segera melajukan langkah kakinya dengan cepat menuju ruangan di mana Puspa berada.

Yoga membukakan pintu, membiarkan Dinda masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan tersebut. Terlihat di dalam sana Puspa tengah berbaring lemas di atas brankar.

Melihat kedatangan Yoga dan Dinda membuat Puspa tersenyum senang, dia hanya bisa mengulurkan tangannya, membuat Dinda berlari dengan cepat ke arahnya.

"Mama kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Dinda dengan khawatir, ingin menangis karena tak tega melihat wanita yang sudah ikut menjaganya semenjak kecil kini tergolek lemah tak berdaya.

"Gak apa-apa, cuma sedikit pusing aja, kok. Yoga aja tuh yang lebai, pake bawa ke sini segala," ujar Puspa lemah sambil tersenyum senang. Hangat sekali rasanya telapak tangan Dinda.

"Mama sakit? Kok gak bilang sih sama Dinda, biar Dinda yang rawat di rumah," ujar Dinda lagi, tak terasa air matanya kini mengalir dari mata cantiknya.

"Gak sakit, cuma agak lemes aja. Mungkin karena seharian tadi gak makan," ujar Puspa lagi mencoba menenangkan Dinda.

Yoga melihat kepedulian Dinda terhadap ibunya, begitu pun sang ibu yang tampak sangat sayang sekali dengan gadis itu.

Tak berapa lama, ibu dan ayah Dinda datang dan masuk ke dalam ruangan tersebut. Mereka berdua tampak sangat khawatir melihat keadaan Puspa yang kini terbaring sakit.

"Din, ikut gue!" ujar Yoga berbisik sambil menarik tangan Dinda untuk keluar dari ruangan tersebut. Dinda tidak bertanya, hanya menuruti apa yang Yogakatakan. Yoga menutup pintu ruangan ibunya dan membawa Dinda sedikit lebih jauh dari ruangan tersebut.

"Mama ...." Yoga berhenti melanjutkan ucapannya, Dinda menatap Yoga dan menunggu apa yang ingin Yogakatakan. "Nikah sama aku. Please!" ujar Yoga yang membuat Dinda menatap tak percaya, lagi-lagi permintaan tersebut dengan Yoga yang menatap Dinda dengan memohon.

"Jangan gila ya lo. Gue gak bisa, kita ini sahabatan dari kecil. Masa mau nikah?" tanya Dinda sedikit sewot.

"Emangnya kenapa sih, Din, kalau kita sahabatan? Salah kalau sahabat nikah?" tanya Yoga dengan kesal, tapi masih menjaga nada suaranya agar tidak berbicara dengan keras.

"Ya, gak salah. Tapi bagi gue sahabat tetap sahabat, gue gak mau hubungan kita jadi gak baik kalau kita punya hubungan yang lebih dari itu," ucap Dinda lagi menatap Yoga dengan tajam.

"Mama sakit kanker. Kata dokter lumayan parah, apa elo tega lihat Mama sakit kayak begitu? Please. Kalau memang itu yang elo pikirin, setidaknya bantu gue buat bahagiakan mama sampai sembuh nanti," ujar Yoga dengan lirih. Mendengar hal tersebut membuat Dinda terkejut dan semakin sedih.

"Kanker? Gimana bisa ...." Dinda menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, tidak menyangka dengan apa yang dia dengar barusan. Seketika matanya terasa panas sehingga meluncurkan air hangat dari sudut matanya.

Yoga duduk di kursi tunggu yang ada di dekat sana, mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue juga baru tau, Din. Mama sembunyikan sakitnya selama ini dari gue dan juga papa. Gue gak tau lagi harus gimana biar mama mau terapi," ujar Yoga dengan sedih.

Dinda mengingat bagaimana dulu dia diurus dengan baik oleh Puspa saat sang ibu terpaksa harus pergi bekerja. Dia mendapatkan kasih sayang yang sama seperti Yoga dan tidak membedakan mereka berdua. Hingga sampai saat ini pun seringkali Mama Puspa lebih membelanya daripada anaknya sendiri.

Dinda mendekat dan duduk di samping Yoga. Terdiam sebentar, hingga akhirnya ....

"Gue mau. Gue setuju. Kita menikah!"

3. SAH!!

"Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Natasya binti Wildan Ramadhan, dengan mas kawin seperangkat alat solat dan uang tunai sebesar dua ratus tiga puluh ribu rupiah dibayar tunai."

Terdengar sebuah ijab dari dalam sebuah ruangan di rumah sakit besar tersebut. Yoga berjabat tangan dengan ayah Dinda disaksikan oleh kerabat terdekat keluarga mereka, maupun dokter yang mengobati Mama Puspa.

Beberapa orang itu duduk di lantai beralaskan karpet seadanya dan melaksanakan ijab pernikahan dadakan yang hanya direncanakan kurang dari dua puluh empat jam tersebut dengan mas kawin uang yang dia punya di dalam dompetnya dan juga alat solat yang dibawakan oleh papanya. Pakaian yang keduanya kenakan pun hanya seadanya, yang bisa dibawakan oleh kedua ayah mempelai beberapa jam yang lalu, Yoga hanya memakai celana jeans dan kemeja putih, sedangkan Dinda memakai baju kebaya berwarna putih milik ibunya, tanpa riasan sama sekali.

Hari ini, hari yang tidak disangka telah menjadikan Dinda seorang istri dari Yoga, sahabatnya sendiri. Dinda hanya bisa terdiam, menatap cincin yang baru saja disematkan oleh Yoga pada jari manisnya, juga selembaran kertas yang masih ada di atas meja sebagai bukti bahwa pernikahan mereka telah sah secara agama.

"Silakan, Nak Dinda. Cium tangan suaminya," ucap pak penghulu memberi instruksi. Dengan ragu Dinda duduk menghadap Yoga dan mengulurkan tangannya. Yoga yang sedari tadi terdiam setelah mendengar kata sah dari saksi yang ada, tersentak dan lantas membalas uluran tangan istrinya. Segera Dinda mendekatkan punggung tangan Yoga ke ujung hidungnya begitu pun dengan Juna yang mendekat untuk mencium kening Dinda.

Puspa yang melihat anak semata wayangnya menikah kini menangis haru, akhirnya dia bisa menyaksikan pernikahan putranya meski hanya dilakukan sederhana di rumah sakit ini. Heru Pramuja, ayah dari Yoga tersenyum dan menyambut Dinda ke dalam pelukannya.

"Selamat datang di keluarga kami, Dinda," ucap Heru dengan terharu. Dinda hanya bisa diam, tidak tahu harus berbicara apa, hanya senyum tipis yang dia perlihatkan pada laki-laki tersebut.

Irma dan Wildan tak kalah terharunya, anak gadis satu-satunya ini telah resmi menjadi seorang istri dari laki-laki lain tanpa diduga. Tak menyangka jika jodoh putrinya ternyata ada di hadapan mereka selama ini.

"Dinda." Irma datang mendekat dan memeluk putrinya sambil menangis. Suasana tercipta di sana sampai Dinda pun kini ikut menitikkan air mata.

"Mama senang kamu sudah menemukan jodohmu, Nak. Jadilah istri yang baik yang bisa mengurus suami kamu, hormati dia, patuhi ucapannya, dan sayangi orang tua kamu yang lain. Anggap Mama Puspa dan ayah jadi bagian hidup kamu juga," bisik Irma di dekat telinga Dinda.

Dinda menganggukkan kepalanya. Ucapan ibunya ini terlalu menyakitkan meski mereka masih tinggal berdekatan, tapi rasanya masih tidak rela tidak lagi tinggal satu atap dengan orang tuanya.

Dinda kali ini mendekat ke arah Puspa berada, mencium punggung tangan wanita itu dengan khidmat. Puspa sampai menangis bahagia mendapatkan Dinda sebagai menantunya, wanita yang akan membuatnya merasa tenang jika Yoga bersamanya.

"Mama senang punya menantu kamu, Dinda," ujar Puspa menarik Dinda dan mencium keningnya dengan lembut. "Kamu gak terpaksa melakukan ini karena Mama yang sedang sakit kan?" tanya Puspa dengan menatap mata Dinda.

Dinda menggelengkan kepalanya. "Enggak, Ma. Dinda gak terpaksa, kok. Dinda ...." Dinda terdiam sebentar, memalingkan wajahnya ke arah lain dengan muka yang bersemu merah. "Dinda juga sebenarnya su-suka sama Yoga dari lama," ujar Dinda dengan terbata.

"Beneran?" tanya Puspa. Dinda menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Syukurlah, Mama sudah yakin kalau kalian adalah jodoh. Dari dulu Mama yakin, Dinda," ujar Puspa tersenyum senang. Dinda pun ikut tersenyum melihat wajah bahagia wanita yang baru saja jadi mertuanya ini. Wajah yang semakin tirus itu tersenyum, dengan tangan yang semakin kurus mengusap pipi Dinda.

"Semoga kalian bahagia dengan kehidupan pernikahan ini," ucap Puspa.

***

Yoga membawa Dinda pulang ke rumah, sang ibu yang menyuruh Juna untuk membawa Dinda pulang untuk beristirahat karena semalaman ikut menunggu di rumah sakit dan hampir tidak bisa tidur, apa lagi memikirkan keputusan yang telah diambil secara mendadak.

"Maaf ya. Kamu sudah aku bawa ke dalam permasalahan ini. Aku janji kalau mama sembuh aku akan bilang jujur sama mama dan semuanya," ucap Yoga dengan menyesal. Mobil yang Yoga bawa melaju dengan kecepatan yang sedang di siang itu membelah jalanan yang sudah mulai ramai. Dinda hanya terdiam menatap cincin yang ada di jari manisnya.

"Ga, apa semuanya gak akan marah kalau kita bilang yang sejujurnya? Kita menikah hanya sementara," ujar Dinda dengan pelan.

Yoga melirik ke arah Dinda yang masih terpaku melihat jemarinya. Sebuah helaan napas sedikit kasar terdengar dari mulut Yoga.

"Aku tau, mereka pasti marah, tapi aku takut kalau sampai terjadi sesuatu sama mama. Aku janji, aku bakalan bilang kalau aku yang paksa kamu dengan pernikahan ini. Aku yang akan tanggung semuanya kalau sampai Mama Irma dan Papa Wildan marah," ucap Yoga dengan cepat sambil melirik sahabatnya. Dinda masih terdiam, memikirkan apa yang telah terjadi.

'Apakah semua orang akan bisa menerima alasan dan penjelasan Yoga tentang pernikahan kami?' batin Dinda.

Yoga memegang tangan Dinda yang ada di pangkuan, sehingga Dinda kini mengangkat kepalanya dan menatap Yoga.

"Aku janji. Aku yang akan tanggung semua ini. Kalau pun Mama Irma dan Papa Wildan mau gantung aku karena telah mempermainkan pernikahan ini. Aku terima," ucap Yoga lagi, berbicara dengan bahasa sopan tanpa ada 'gue-elo' seperti biasanya.

Dinda terdiam, dia merasa bingung dengan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Hanya bisa menerima apa yang telah digariskan oleh takdir hidup bersama dengan Yoga.

Bukan tanpa sebab Dinda menerima permintaan dari Yoga. Hal yang sama pun Dinda rasakan semalam, apa lagi saat mendengar jika kanker yang menyerang di bagian hati Mama Puspa telah memasuki stadium dua. Ada dua kemungkinan, sembuh atau semakin parah. Rasa takut yang Yoga dan Dinda rasakan membuat keduanya tidak bisa berpikir dengan benar, takut jika Mama Puspa akan meninggalkan mereka, mengingat apa yang Yoga katakan jika Mama Puspa menolak untuk dirawat di rumah sakit.

Mobil telah sampai di rumah keluarga Pramuja, tampak sepi karena memang semua orang masih berada di rumah sakit. Irma turut menjaga besannya sedangkan para suami tengah memutuskan untuk mengurusi Puspa ke depannya, mereka akan membawa Puspa ke rumah sakit terbaik yang ada di kota ini demi kesembuhan keluarga tercinta.

"Aku pulang dulu, ya," ucap Dinda sambil membuka sabuk pengaman yang ada di depan tubuhnya.

"Pulang kemana?" tanya Yoga sambil tersenyum menggoda.

"Pulang ke rumah, lah," ujar Dinda sambil menatap malas Yoga.

"Rumah yang mana? Mulai sekarang rumah kamu di sini loh," ucap Yoga sekali lagi sambil menunjuk rumah yang ada di depannya.

Dinda yang akan membuka pintu terhenti sebentar dan menatap Yoga. Seketika pintu yang baru saja dia buka sedikit lantas dia tutup kembali.

"Aku lupa. Aku dah nikah," ucap Dinda sambil kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Kita belum putuskan akan tinggal di mana," ujar Dinda melanjutkan.

Yoga menghela napasnya sekali lagi. Hal yang selanjutnya harus dia pikirkan karena sekarang dia adalah kepala keluarga.

"Kita harus perjelas hubungan ini. Kita harus bahas apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan," ujar Dinda sambil menatap Yoga.

"Iya, aku paham."

Dinda membuka pintu mobil.

"Din," panggil Yoga saat Dinda hendak turun dari mobil.

"Iya?" tanya Dinda.

"Kamu cantik pakai kebaya putih kayak gitu," ujar Yoga sambil tersenyum. Dinda merasa malu mendengar ucapan Yoga barusan, hal yang tidak pernah dikatakan oleh laki-laki itu selama ini.

"Aku pulang dulu," ucap Dinda, lalu dengan cepat turun dari mobil tersebut dan segera berjalan menuju ke arah rumahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!