"Bu, Ocha berangkat ..."
Seperti biasa, Ocha berangkat mengajar jam 06.00 diantar ayahnya. Ibunya yang sedang asyik membereskan piring kotor
itu menjawab pamitnya dari kejauhan.
Hari ini waktunya Ocha pulang jam tiga
sore karena tidak ada jadwal piket atau pengasuhan.
Sesampainya di yayasan pendidikan dan pengasuhan tempatnya mengajar, ada seorang TNI beserta teman pengajarnya yang sedang kebingungan membujuk seorang anak laki-laki berusia 2,5 tahun. Rupanya dia adalah anak baru yang akan dititipkan di yayasan untuk dididik dan diasuh selama orang tuanya bekerja.
"Assalamualaikum, kakak kenapa kok nangis?" tanya Ocha kepada anak tersebut.
Ocha lalu berjabat tangan dengan calon wali murid dan juga rekannya yang tengah berdiri di teras–depan pintu masuk.
Anak itu memandang Ocha sambil menghapus air matanya. Setelah hampir tiga puluh menit Ocha berusaha membujuk anak tersebut, kini akhirnya dia mau di tinggal oleh ayahnya.
"Ayah berangkat kerja dulu ya, Nak. Nanti ayah jemput. Jangan nakal ya," ujar sang ayah sembari melambaikan tangannya.
Ocha dan Milka mengajak anak balita itu masuk untuk berkenalan dan bermain dengan teman-temannya yang lain.
"Oh iya, bunda tadi belum berkenalan ya? maaf ya kak, bunda lupa. Boleh bunda tahu namamu siapa, Sayang?" tanya Oca.
"Rifky," jawabnya singkat dan masih sedikit menangis.
"Masya Allah, nama yang bagus, sekali. Kalau saya, namanya Ocha. Kak Rifki mulai sekarang bisa panggil saya Bunda Ocha, ya ..." Senyum ramah dan ceria adalah andalan Ocha untuk mengambil hati anak-anaknya.
Lalu kegiatan berlanjut kembali seperti biasa. Berbaris, membentuk lingkaran, bernyanyi dan berdoa sebelum belajar.
***
Hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul 14.30 Wib. Dering aplikasi hijau milik Ocha tiba-tiba berbunyi. Ternyata pesan dari Devan yang ingin menjemputnya dan mengajaknya jalan, sepulang kerja.
Dengan senang hati, Ocha mengiyakan ajakannya. Devan adalah teman sekolah abu-abu putihnya dulu yang sekarang menjadi kekasihnya. Dia tidak biasa romantis, bahkan bisa dikatakan memang tidak romantis. Hehehe ...
Ocha menunggu Devan kurang lebih delapan menit, di teras yayasan tempatnya bekerja.
Tin tin! suara klakson motor yang ditunggu-tunggu, akhirya datang juga.
"Kita mau kemana?" tanya Ocha.
"Ke kafe biasanya sayang, lagi gabut nih, di rumah. Ada yang mau aku ceritain ke kamu." Devan memang suka cerita banyak hal ke Ocha. Termasuk setiap kali dia ada masalah dengan keluarganya.
Devan juga tipe laki-laki yang tidak celometan alias usil mulutnya, kalau ada perempuan cantik dan bohay. Baik di sosial media, maupun ketemu di jalan. Itu lah alasan mengapa Ocha sangat tertarik dan bucin dengan Dev.
***
Sesampainya di kafe, Ocha dan Dev memesan beberapa menu makanan dan minuman. Sambil menunggu, Dev mulai bercerita pada Ocha dengan tatapan sendu dan sangat serius.
"Tadi mamah marah-marah, Sayang. Dia bicarain masa depanku. Katanya aku itu gak berguna karena sampai sekarang belum jadi orang sukses," kata Dev.
Mendengar cerita Dev, hati Ocha rasanya ikut sedih. Kalau kata anak ABG, gegana alias gelisah galau merana.
"Astaghfirulloh, sabar ya sayang ... ini ujian dari Allah. Yang penting kamu tetap berusaha dan berdoa. Jangan tinggalkan tahajud dan dhuhanya ya, Yang. Insya Allah, Allah kasih jalan yang terbaik," tutur Ocha–berusaha menenangkan hati kekasihnya.
Hampir dua jam, mereka nongkrong dan ngobrol. Akhirnya gadis pemilik zodiak gemini itu memutuskan untuk pulang. Dev mengantarnya sampai depan rumahnya, lalu pergi begitu saja tanpa mampir atau pamit ke orang tua Ocha.
"Katanya pulang sama Devan, Ca? Mana anaknya?" tanya sang ibu.
"Sudah pulang, Bu. Tadi cuma nurunin Ocha saja di depan gerbang," jawabnya.
"Ya Allah, Cha ... Lelaki seperti itu kok kamu pertahankan. Anak gak tahu sopan santun sama sekali. Harusnya itu turun, pamit ke ibu, gak asal nyelonong gitu wae. Memangnya kamu ini galon? Diturunin gitu wae?"
Kemarahan orang tua Ocha selalu ada saja, tentang Devan. Tidak dapat dipungkiri, sikap Devan memang seringkali salah dan Ocha menyadarinya. Tetapi, Ocha masih berharap Devan bisa berubah, seiring berjalannya waktu.
***
Dua bulan kemudian, Dev menemui Ocha di rumah. Saat itu adalah Sabtu malam minggu. Ocha kira, dia mau mengajak keluar untuk malam mingguan, tapi ternyata Devan ingin bercerita satu masalah penting lagi kepadanya.
"Sayang, maaf aku terpaksa cerita ini ke kamu. Aku harap kamu gak marah dan salah paham ya," kata Devan.
"Memangnya mau cerita apa, sih? serius amat. Insya Allah aku gak marah. Cerita aja."
"Mamah tadi marah dan bilang ke aku, agar mencari pacar yang sukses dan bermobil, kayak tetangga sebelah. Tapi aku menolaknya dan kita akhirnya bertengkar hebat, sampai aku diusir dari rumah. Rencanaku, pulang dari sini aku mau kerumah Adi untuk beberapa minggu." Mereka saling berpandangan.
Dalam hati Ocha menangis dan bertanya-tanya, "Apakah ucapan mamanya itu kode kalau beliau gak merestui hubunganku?" Tetapi perasaan itu segera dia pangkas dari hatinya.
"Mungkin mamah hanya ngetes kamu aja, Mas. Mikir positif aja dulu, jangan gegabah pergi. Toh kamu 'kan sekarang cuma nguli, nih. Ya maaf, bukan maksud aku ngehina kamu. Tapi pekerjaanmu gak tentu 'kan, penghasilannya. Kalau kamu numpang teman, apa gak sungkan dengan keluarganya kalau gak kasih uang sewa?" tanya Ocha.
"Ya ..., setidaknya kasih uang belanja ibunya lah, biar gak jadi beban. Memangnya kamu sudah yakin mampu?" tanya Ocha kembali.
Devan memandangnya cukup lama, seakan memikirkan ucapan Ocha beberapa detik yang lalu. Sejak masih duduk di bangku putih abu-abu, Ocha selalu menasehati Devan dan memberinya pengertian dengan sabar. Sebab dia paham kalau Devan adalah anak dari pemilik perusahaan ternama di kotanya.
Hidupnya selalu berkecukupan dan cenderung dimanja, tanpa diberikan pengertian yang mumpuni, perihal hidup. Wajar saja, jika pola pikir Devan dan Ocha berbeda.
"Sudah adzan, tuh. Salat dulu, ya," ujar Devan.
***
Setelah salat jamaah Maghrib, Devan kembali pulang ke rumah Ocha untuk melanjutkan obrolannya sebentar.
"Soal yang tadi, gimana kalau ternyata mamah beneran ngusir aku dan gak merestui hubungan kita?" tanya Devan.
"Ya .. Emangnya kenapa sih? Maksud aku, apa alasan mamamu gak merestui kita? Bukannya selama ini kita jalan empat tahun, sudah saling tahu semuanya dan gak ada masalah apa-apa?"
"Iya, aku tahu. Tapi 'kan keputusan orang itu bisa berubah sewaktu-waktu, Sayang. Aku cuma mau tahu jawaban kamu saja," ujar Devan.
"Kalau emang gak jodoh ya gak papa, sih. Aku gak bisa melawan takdir Allah. Tapi, aku gak mau cara pisah kita buruk dan menyakitkan. Aku berharap ada komunikasi yang baik diantara kita, karena kita memulainya dengan baik. Jadi harus berakhir dengan baik juga," tukas Ocha.
Devan menghela nafas lega, lalu berpamitan pulang kepada Ocha. Kali ini, dia mencari orangtua Ocha untuk berpamitan.
Setelah Devan pulang, sang ibu memanggil gadis gemini itu untuk ikut berkumpul di ruang keluarga.
"Cha, kamu ini jadi kapan dilamar Devan? Ini sudah selesai lebaran lo, Ca. Katanya mau melamar setelah lebaran?" tanya sang ibu.
"Iya dek, mana janjinya? Kamu dan dia sudah sangat lama berpacaran. Mau sampai kapan? Ayah malu dilihat tetangga. Sudah banyak yang mencibir bahkan memfitnah kita semua, Dek," sambung ayah.
Melihat kemurkaan orangtua nya, Ocha mencoba mengirim pesan hijau ke Dev untuk menagih janjinya yang sempat dia katakan beberapa waktu lalu.
"Maaf ya Yah, Bu. Ocha lupa dengan janji itu. Ocha japri dulu ya," ujar Ocha.
Namun anehnya, saat dia mengirimkan pesan pribadi, tidak ada jawaban apapun. Lalu Ocha mencoba menelponnya, namun juga tidak diangkat. Dia sabar menunggu hingga jam sebelas malam, namun juga tidak ada balasan.
"Devan sudah Ocha kirimi pesan WA, Yah, Bu. Tapi sampai jam segini belom juga di balas. Ocha telepon juga gak di angkat," ujar Ocha dengan firasat yang mulai tidak enak.
"Alah ..., paling juga nanti ujungnya minta putus. Ayah 'kan sudah pernah bilang to, putusin saja dia! Lelaki yang serius itu tidak akan mengulur waktu untuk menikahi wanita yang dia cinta," jawab sang ayah dengan nada emosi.
Ocha hanya bisa diam dan panik. Pikirannya mulai berlebihan bahkan dia sampai susah sekali untuk tidur. Hingga tanpa terasa, adzan salat tahajud sudah berkumandang.
Dia lekas ke kamar mandi untuk wudhu. Karena dia belum tidur sama sekali, jadi dia memutuskan untuk Salat Hajad. Kebiasaan di kampungnya memang Salat Tahajud berjamaah diseluruh mushola per RT nya masing-masing.
"Jamaah, Cha?" tanya sang ibu.
"Nggak, Bu. Ocha salat di rumah saja," jawabnya.
***
Senin pagi, Ocha benar-benar berangkat kerja dengan kondisi kacau. Membuka pesan aplikasi hijau yang masuk berkali-kali, dengan harapan Dev yang mengirim pesan. Namun ternyata bukan. Hari ini benar-benar hari yang penuh tanda tanya besar baginya.
Greeett ... greeett !!
Suara getaran Hp Ocha di meja mengajar. Segera dia angkat, ternyata pesan dari Dev. Dia tersenyum lebar dan merasa lega. Tapi dia tercengang, saat membaca isinya tidak sesuai harapan. Mendadak kesal dan sesak di dadanya.
Devan (10.00) : Kamu ini perempuan gak tahu malu ya, gak punya perasaan juga. Sudah kubilang, aku pasti tepati janjiku. Apa kamu gak lihat, kalau negara ini sedang terkena wabah? Kamu terlalu egois, Cha.
Balasan Devan untuk pesan Ocha kemarin yang dia tulis dengan sopan, tetapi justru Devan balas dengan kemarahan yang menurut Ocha aneh. Mereka berdua cekcok di pesan hijau, saat jam istirahat. Dengan hati penuh kecewa dan emosi, Ocha terus membantah setiap perkataan buruk Devan padanya.
Ocha (10.12) : Aku kemarin nanya baik-baik loh, Dev. Kenapa kamu jawabnya ngegas begitu? Aneh banget. Lagian apa hubungannya wabah sama janji kamu?
***
Sepulang kerja, sampai dirumah, Ocha menceritakan semua kekesalannya dengan Devan kepada ayah dan ibunya. Tapi ibunya hanya terdiam. Sementara ayahnya, menunjukkan raut wajah kesal.
"Putuskan saja, dia. Dia memang dari awal sudah terlihat tidak serius. Sudah berapa kali, ayah bilang padamu? tapi kamu masih ngotot bertahan." Kemarahan ayahnya pun menyerang.
Bentakannya membuat Ocha merasa terkena penyakit jantung mendadak. Hati dan pikirannya pun semakin kacau balau. Ingin menangis, tapi air matanya seperti sudah habis untuk menangisi banyak hal selama dia bersama Devan.
Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Devan, setelah berjam-jam merenungi segala peristiwa dan sikap Devan kepadanya, selama empat tahun pacaran. Meskipun berat untuk Ocha melakukannya, tetapi dia berharap dengan cara putus bisa membuat Devan sadar dan menepati janjinya.
Akan tetapi, sebuah angan-angan nyatanya tidak lah sesuai dengan yang terjadi. Realitanya memang selalu ada saja sandiwara dan alasan, setiap kali Ocha meminta Devan untuk menikah.
Devan : Yakin, kamu mutusin aku?
Ocha : Ya yakin, lah. Kenapa gak? buat apa pertahankan orang yang gak serius.
Devan : Oke, terserah kamu. Tapi jangan pernah nyesel, ya. Bakal aku pastikan hidupmu gak akan bisa tenang.
"Baru langkah kedua saja, udah kayak gini. Gimana mungkin mau lanjut ke langkah ketiga?" tanya Oca di dalam hati.
***
Lima bulan kemudian, Ocha tampak duduk termenung seorang diri, di teras. Dia belum juga bisa melupakan Devan. Masih teringat begitu banyak kenangan bersamanya. Suka duka bersama dan menemaninya dari nol.
Meli : Cha, lagi apa?
Pesan singkat dari Meli.
Ocha : Lagi galau Mel, susah moveon. Masih belum percaya, kejombloan ini terjadi.
Meli : Kamu harus bisa ikhlas, Cha. Karena ternyata dia duakan kamu sama mantan rekan kerjamu dulu, si Novi. Sorry ya Cha, aku baru kasih tahu sekarang. Karena aku baru tahu muka cewek barunya Dev kemarin lusa, di story aplikasi biru.
Ocha : Ah, ngaco kamu, Mel. Mirip aja kali, Mel. Masa iya, Novi begitu. Aku juga kenal Dev itu seperti apa. Dia gak mungkin secepat itu dapat baru. Apalagi aku cinta pertamanya.
Lalu Meli menunjukkan sebuah foto screnshoot story aplikasi biru, kepada Ocha. Ternyata benar, itu adalah Novi. Ocha kaget dan mendadak diam–melamun. Rasa tidak percaya itu semakin terasa dan sangat menyesakkan dada.
Meli : Cha, aku tahu kalau mereka mendua itu karena aku kepo dengan story light nya dia, dan disitu terhitung sudah satu tahun mereka berdua bermain api di belakangmu. Coba deh, kamu amati dengan cermat.
Ocha semakin terdiam.
Meli : Cha, lidah itu gak bertulang. Mereka mungkin memang bisa bohongi kamu. Tapi jejak digital tidak bisa dibohongi. Lupakan dia dan buka hati lagi untuk orang lain. Kamu berhak bahagia, Cha ..."
Ocha tidak menyangka ternyata orang yang selama ini dia terima apa adanya, dia temani dari bawah, tega berbuat seperti itu kepadanya. Tidak hanya membohonginya, tapi juga ayah dan ibunya.
Ocha : Ya udah lah, Mel. Mau gimana lagi, terlanjur. Besok aku libur kerja. Kamu ada waktu? kalau ada, aku mau ajak kamu jalan.
Meli : Oke, siap. Pagi aja ya beib, seperti biasa.
Obrolan telah berakhir, tetapi Ocha masih melamun. Dia lantas membuka sosial media biru miliknya dan mencari tahu kembali, apa yang sebenarnya terjadi, agar hatinya bisa merasa lega.
Ocha menemukan begitu banyak bukti berupa foto dan video mesra Novi dan Devan saat mereka jalan-jalan berdua. Semuanya tersimpan di akun milik Novi.
Mata Ocha kembali berembun. Dia tidak sanggup lagi menahan air matanya, sehingga ia biarkan mengalir begitu saja di pipinya.
"Cha! Ocha!" teriak ibunya.
Dia segera menghapus air matanya, "Iya!" jawabnya dengan teriakan pula.
Ocha kemudian masuk ke rumah untuk menemui sang ibu.
"Ada apa, Bu?" tanya Ocha.
"Kamu mau nggak, dijodohkan sama keponakannya Pak Danang?" tanya ibu.
"Dih, apaan, sih. Kenapa jadi jodoh-jodohan begini, sih. Gak banget," tutur batin Ocha.
"Bu, gak usah aneh-aneh deh, Bu. Sekarang itu bukan jaman Siti Nurbaya lagi," jawab Ocha.
"Iya, ibu tahu. Tapi kamu sudah waktunya nikah, Cha. Teman-teman kamu saja sudah banyak yang punya momongan, sedangkan kamu? malah jomblo, sekarang."
"Iya ..., kalau mereka memang sudah waktunya nikah. Beda sama Ocha yang realitanya menurut Tuhan belum waktunya. Nyatanya jodoh Ocha belum datang, 'kan." Ocha tersenyum miring.
"Kamu ini kalau dikasih tahu mbanta ...h, terus." Sang ibu merasa sangat kesal dan meninggalkannya seorang diri.
Lain halnya dengan Ocha yang sama sekali tidak memiliki rasa bersalah. Gadis itu justru masuk ke kamarnya dan rebahan seraya mendengarkan lagu-lagu favoritnya.
Tung! Notifikasi aplikasi ungu masuk di ponselnya. Sebuah pesan pribadi dari orang yang tidak dia kenal.
@firmanharis : Assalamualaikum.
"Ini akun siapa, ya?" tanya Ocha di dalam hatinya.
Awalnya Ocha ragu dan enggan untuk membalasnya. Tetapi, setelah dia melihat foto profil orang asing itu menggunakan sebuah sragam polisi, Ocha menjadi sungkan untuk mengabaikan.
@caca225 : Waalaimumussalam.
@firmanharis : Terima kasih ya, sudah follow back akun saya. Salam kenal, Mbak.
@caca225 : Iya, sama-sama. Salam kenal kembali, Pak.
Emoji tersenyum, menjadi andalan Ocha saat mengobrol dengan orang melalui pesan tulisan. Polisi muda itu lantas menanyakan domisili Ocha saat ini, tetapi Ocha tidak lagi meresponnya.
Pesan pemilik akun Firman Haris tersebut sengaja tidak Ocha buka, hingga hari sudah berganti.
***
Keesokan harinya, tepat pukul sembilan pagi, Ocha berpamitan berangkat pergi nongkrong dengan Meli.
"Bu, aku berangkat ya." Dia mencium tangan ibunya.
"Hati-hati, Cha. Jangan ugal-ugalan di jalan dan jangan sampai sore, ingat waktu," ujar sang ibu.
Gadis pecinta warna pink melangkahkan kakinya pergi dari rumah bersama Meli yang sudah menjemput sejak delapan menit yang lalu.
Mereka berdua pergi nongkrong ke Rumah Ice–kafe es krim yang menjadi tempat favorit anak muda masa kini, di kotanya.
***
Sampai di lokasi, mereka berdua berbagi cerita dan candaan, sambil menunggu segelas ice cream coklat pesanan mereka datang. Namun tiba-tiba saja, ada pria yang datang menghampiri mereka dan berkata ...
"Eh, kamu Ocha 'kan? Mantannya Dev?" tanyanya sambil menunjuk Ocha.
"Iya, Mas. Kenapa ya?" tanya Ocha dengan ekspresi kebingungan.
"Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan sesosok Ocha. Bu Guru cilik sekaligus Desainer dan pengusaha termuda di kota ini." Pria muda itu sedikit meringis.
"Kenalin, gue Fajar temannya Dev." Sambil mengulurkan tangannya kepada Ocha.
"Oh, iya." Wajah Ocha menjadi berubah sebal seketika, saat berjabat tangan dengan Fajar.
Pasalnya, Ocha sudah tidak mau lagi mendengar nama Devan, apalagi membicarakannya.
"Dev sekarang sudah makin sukses, Ca. Berkat kamu juga. Andai kamu gak kenalin dia ke bos gue, dia gak bakal bisa jadi vokalis seperti sekarang," ujar Fajar.
"Dulu yang kariernya masih seujung kuku, sekarang melejit. Tapi sayangnya, kalian sudah pisah ya? Padahal kalian ini serasi lo, Ca," sambungnya.
"Ya ..., syukur deh," jawab Ocha.
"Anyway, Dev banyak cerita ke gue, katanya kamu dijodohkan karena ayahmu gak setuju dan gak merestui kalian ya?" imbuhnya.
Ocha sangat syok mendengarnya. Tentu saja, karena cerita itu berbeda jauh dari kisah yang sebenarnya terjadi.
Meli pun turut terkejut seraya melirik Ocha yang seperti enggan menanggapi cerita Fajar.
"Itu nggak benar, Jar. Oang tua Ocha setuju semua, kok. Temanmu aja yang bersikap aneh mendadak dan ingkar janji. Jadi wajar kalau Ocha putusin dia," jawab Meli.
"Lagian, Dev sendiri udah duakan Ocha, Jar. Nih bukti-buktinya, kamu lihat dengan teliti. Apa yang Ocha lakuin itu udah bener, kok," lanjutnya.
"Janji apa maksudnya? Kok gak pernah cerita itu ke gue, ya." Sesekali Fajar memandang Ocha yang sibuk menyedot es yang dia pesan.
Sahabat Devan itu juga menerima ponsel yang Meli berikan untuk melihat bukti-bukti yang Meli maksud.
Obrolan tentang Dev, benar-benar membuat mood Ocha hancur berantakan dan air matanya kembali memenuhi kedua mata cantiknya–hampir saja menetes, tapi dia masih berusaha menahannya.
"Udah berkali-kali, aku minta kepastian ke Devan. Tapi dia hanya janji-janji aja, untuk tenangkan hatiku. Aku udah gak bisa sabar lagi, Jar. Aku masih punya harga diri yang lebih layak untuk aku perjuangkan daripada memperjuangkan orang yang gak serius sama aku," sahut Ocha–setelah beberapa detik hening.
Pernyataan yang Ocha ucapkan benar-benar jauh berbeda terbalik dengan apa yang Devan katakan. Hal itu membuat Fajar terkejut dan merasa sungkan dengan Ocha karena sudah mengingatkannya kembali dengan lukanya.
"So–sorry ya, Cha. Gue kagak ada niatan buat buka luka lama lo," ujar Fajar.
"Gak papa, kok. Justru aku seneng karena bisa tahu kelakuan dia dibelakangku. Tapi ya udah, lah ..., lupain."
Ocha tersenyum tipis, sebelum akhirnya Meli mengalihkan obrolan pahit mereka ke sebuah obrolan yang cukup lucu dan menarik untuk dibahas.
Ditengah-tengah canda tawa mereka, tiba-tiba ada seorang perempuan muda yang berada di tempat parkir–hendak masuk ke kafe yang wajahnya tidak asing di mata Ocha.
"Cewek itu ... Kok aku kayak gak asing ya, sama mukanya. Tapi siapa?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!