Tahun 1904, Batavia
SUDAH dua hari Tuan Lodewijk van Heerens menatap surat-surat yang datang kepadanya dengan muka bingung. Namun, surat yang datang dari Komisi Imigrasi di Amsterdam tak kunjung datang juga. Tuan Lodewijk bermaksud untuk menerima sebuah amplop yang berisi persetujuan mengenai kepindahannya dari pemerintah pusat kerajaan di Den Haag ke Batavia di Hindia Timur.
Mentari pagi menyoroti jendela kantor Tuan Lodewijk. Ruangan yang ditempati oleh Tuan Lodewijk tentu tidaklah ruangan yang sempit. Ruangan klasik itu luasnya lebih dari luas kantor direksi perusahaan dagang pada umumnya. Sampai-sampai, ia mampu untuk menaruh sekitar tiga rak buku berukuran besar dan lebar.
Karena merasa bosan, Tuan Lodewijk kemudian menyeduh biji kopinya yang ia dapatkan dari pedagang pribumi. Tak lupa ia juga mengambil beberapa buku dari raknya dan memutar piringan hitam pada gramofon. Corong alat pemutar musik lawas itu memberikan suara dari sebuah lagu klasik bergaya Eropa. Terlihat dari suara violin yang sangat dominan, sehingga membuat Tuan Lodewijk sedikit bersenandung.
Sementara Tuan Lodewijk menyeruput cangkir kopinya dan mencoba untuk menggerakkan tangan dan menghentakkan telapak sepatunya mengikuti irama musik yang diputarnya, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar.
“Ya?” Tuan Lodewijk berhenti meminum kopinya.
“Permisi, Tuan Van Heeren. Ini dengan Reynerdies Oosteere.” Seseorang di balik pintu itu menjawab.
“Oh, Kolonel Oosteere, ya? Masuklah.”
“Permisi.” Kolonel Reynerdies membuka pintu. Tampak seorang pria dewasa yang gagah dengan seragam militer serba biru gelap dilengkapi pangkat yang terletak di bahu dan beberapa lambang kehormatan. “Mohon maaf apabila kedatangan saya mengganggu Anda. Seorang dari kantor pos menitipkan ini,” kata Kolonel Reynerdies sambil menyerahkan sebuah amplop. Amplop itu berstempelkan Komisi Imigrasi Kerajaan. Dengan kata lain, surat ini adalah yang dicari oleh Tuan Lodewijk.
“Aku mencari surat ini. Apakah baru saja datang?” Tuan Lodewijk kelihatan girang. “Sangat disayangkan bahwa mereka menjanjikan bahwa suratnya akan sampai pada dua hari yang lalu.”
“Mereka memohon maaf atas keterlambatannya,” kata Kolonel Reynerdies. “Mereka bilang, mereka memiliki kendala dalam pengiriman,”
Tuan Lodewijk berubah raut menjadi curiga.
“Tumben sekali. Biasanya mereka sangat tepat waktu. Jangan-jangan, telah terjadi sesuatu?”
“Entahlah, Tuan Lodewijk. Mereka tidak memberikan keterangan apapun,” jawab Reynerdies. “Selain itu, kita sepertinya mempunyai sebuah masalah.”
Tuan Lodewijk mengernyitkan dahi. “Apakah ini berkaitan dengan pemerintahan kolonial?”
“Lebih daripada itu. Termasuk juga ‘pemerintahan alternatif’ yang kita kelola.” Reynerdies menjawab.
“Jelaskan apa yang terjadi.”
“Baik.” Kolonel Reynerdies kemudian mengarahkan tangannya ke gagang pintu, dan seketika itu juga sebuah lingkaran bercahaya keluar dan menghapus gagang pintu ruangan Tuan Lodewijk. “Tuan Lodewijk, bisakah saya meminjam ‘proyeksi’ milik Anda?”
“Itulah sebabnya mengapa Anda ‘mengunci pintu’, ya? Sepertinya ini bukan masalah untuk khalayak awam.” Tuan Lodewijk lanjut menyeruput kopinya.
Tuan Lodewijk kemudian mengarahkan tangannya ke depan, dan sebuah lingkaran yang sama dengan yang dikeluarkan oleh Kolonel Reynerdies. Sebuah kotak berwarna abu-abu polos muncul. Kotak abu-abu itu kemudian terbang, dan mengeluarkan sebuah proyeksi peta Kota Batavia. Proyeksi yang ditimbulkan adalah layar sentuh, sehingga Kolonel Reynerdies memperbesar rasio petanya menjadi fokus ke sebuah daerah yang bernama Priok.
“Itu di wilayah Priok, kan? Ada apa dengan yang ada di sana?” tanya Tuan Lodewijk.
“Disana terletak sebuah pelabuhan yang baru rampung setelah pembangunannya dimulai oleh Gubernur Jenderal Van Lansberge pada tahun 1877. Aku dan beberapa pasukanku telah menyelidiki berbagai kasus penyelundupan barang ilegal di pelabuhan ini, misalnya penyelundupan tanaman ilegal, obat-obatan, dan senjata. Memang, hal tersebut di dunia pelabuhan hanyalah sebuah klasik. Tidak ada yang patut terlalu dicurigai di sana.
“Akan tetapi,” Kolonel Reynerdies memperbesar ke arah wilayah dek kapal di pelabuhan, “Kami menemukan sebuah kejanggalan di sini. Kami mendapat laporan bahwa terjadi beberapa penyerangan terhadap orang-orang yang turun dari kapal.”
“Termasuk penyerangan terhadap putra seorang konglomerat pada dua minggu yang lalu, bukan?” Tuan Lodewijk menambahkan.
“Ya. Akan tetapi, ini terjadi setiap malamnya. Mereka berusaha untuk tidak terlihat. Salah satu pengintai kami—seorang yang terbaik dari pasukanku—menyusup ke pelabuhan kemarin malam. Ia melihat beberapa orang dengan jas dan topi serba hitam yang beraksi di balik kotak-kotak muatan besar. Jumlahnya sekitar dua puluh orang. Mereka terlihat menyerang beberapa pengurus kargo dan juga pemilik kapal yang berlabuh, lalu mereka menembaki kapal itu sampai tenggelam. Saya menugaskan pengintai ini dengan beberapa pasukan lainnya untuk mengamankan korban ketika para penyerang itu sudah pergi. Kami sampai pada saat ini belum mendapatkan keterangan apapun dari korban.”
“Hmm, mungkin ini bisa menjelaskan mengapa surat dari Kantor Imigrasi Kerajaan terlambat,” gumam Tuan Lodewijk pelan. “Untuk saat ini, lanjutkan saja pengintaianmu, Kolonel. Sisanya, serahkan kepadaku.”
“Baik.” Kolonel Reynerdies kemudian melakukan hal yang serupa ketika ia ‘mengunci pintu’—lebih tepatnya, dia mengembalikan gagang pintu itu seperti semula. Reynerdies akhirnya keluar dari ruangan.
Hanya tinggal Tuan Lodewijk di ruangan. Ia lalu mengambil telepon kabel model lama yang terletak kanan meja kerjanya. Ia menekan tombol angka-angka yaitu angka dua, angka tiga, angka lima, dan angka tujuh secara berurutan. Sebenarnya, teknologi ini bukanlah teknologi yang digunakan oleh masyarakat umum. Publik masih menggunakan telepon putar. Teknologi ini selangkah lebih maju. Namun, teknologi seperti ini harus dirahasiakan dari publik sebelum seorang penemu biasa menemukannya.
“Halo?” Suara yang familiar berbicara datang dari telepon. Logatnya adalah logat medok.
“Tuan Raden, maaf mengganggu Anda seperti ini,” kata Tuan Lodewijk sopan. Aksennya mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa lokal. Tuan Lodewijk memang fasih dalam berbahasa Jawa ketika dia ditugaskan di Hindia.
“Meester Lodewijk!” Suara dari telepon itu terkejut senang. Dia bisa mengenali suara Tuan Lodewijk. “Bagaimana kabar Anda? Anda tidak main-main lagi ke pakuwon? Saya baru saja menambah beberapa tempat di sana.”
“Sudah lama sekali, ya? Tuan Raden. Terutama sejak Anda diberikan kewajiban untuk mengurus Trenggalek. Saya paham kalau Anda akan sangat sibuk, jadi saya merasa tidak enak kalau sering mampir sementara Anda sedang dalam pekerjaan.” Tuan Lodewijk tertawa ringan.
Raden itu juga tertawa. “Tentu saja saya tidak sesibuk itu,” katanya santai. “Ngomong-ngomong, ada apa gerangan, toh? Sampai-sampai Meester menghubungi saya,”
“Begini, Tuan Raden. Saya baru saja mendapat laporan dari Kolonel Reynerdies Oosteere yang bekerja atas arahan saya. Di pelabuhan Priok, sepertinya—”
“Sepertinya telah terjadi sesuatu yang mencurigakan, kan? Kumpulan orang dengan mantel hitam yang menembaki kapal-kapal yang berlabuh di dermaga itu, ditambah lagi penyerangan terhadap para awak kapal dan pemilik kapal,” sela Raden itu jelas.
Tuan Lodewijk menghela napas. “Anda tahu terlebih dahulu daripada saya, ya? Anda benar.” Ia kemudian mengambil beberapa kertas dari mesin tiknya. “Karena itu, apakah Anda bisa mengirimkan beberapa ‘orang’ di pakuwon Anda untuk membantu penyelidikan ini?”
Tanpa pikir panjang, Raden itu langsung mengiyakan. “Tentu saja. Aku akan memastikan mereka sampai di sana esok lusa. Di kantor Anda, di Batavia, bukan? ”
Tuan Lodewijk tersenyum ringan. “Ya. Terimakasih banyak, Tuan Raden,” katanya takzim.
“Bukan masalah, Meester Lodewijk.”
Telepon ditutup. Tuan Lodewijk kemudian segera beranjak dari mejanya dan merapikan pakaiannya. Ia merapikan segala barang yang tidak pada tempatnya. Ia mengambil koper kerjanya, memasukkan beberapa buku dan dokumen penting, mengenakan jaket launsnya dan topi bowlernya. Ia lalu meninggalkan ruangannya.
Tahun 1904, Trenggalek
KESIBUKAN masyarakat di Trenggalek sebenarnya merupakan hal yang umum untuk setiap wilayah di Hindia. Mulai dari perdagangan, transportasi, pembangunan, dan pertanian, semua aspek telah menjadi bagian dari penduduk lokal. Raden Mansyur Haris, seorang pejabat di Trenggalek yang baru saja diangkat, terlihat berkeliling di sekitar kota dengan berjalan kaki, ditemani dengan beberapa tentara pemerintahan kolonial dan pejabat Eropa yang lain.
Raden Haris baru saja menerima telepon dari seorang rekannya yang berada di Batavia, Tuan Lodewijk van Heerens. Tentu saja, ini masih menyangkut masalah penyerangan di pelabuhan Priok. Memang, peristiwa ini tidak diketahui oleh khalayak umum, karena ini bukanlah urusan mereka ataupun kepentingan dari pemerintahan awam.
Ini adalah masalah di antara para magi. Raden Haris merupakan seorang magus yang kompeten dari keluarga bangsawan kecil lokal yang bekerja untuk para magi di pemerintahan kolonial. Masalah penyerangan itu juga diyakini sebagai masalah bagi para magi. Banyak para magi yang khawatir akan tereksposnya dunia mereka. Alam para magi sebenarnya telah dirahasiakan dari masyarakat. Magi telah bersembunyi di balik dimensi yang mereka ciptakan sendiri.
Sebab itu Raden Haris berusaha untuk mencegah masalah ini dengan sungguh-sungguh. Dengan mengirimkan para magi yang bekerja bersamanya ke Batavia, ia yakin bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan cepat. Namun, Raden Haris juga harus menghadapi ancaman dari “pemerintahan dunia umum”, atau pemerintahan non-magis. Pemerintah kolonial sangat kejam dalam memberlakukan aturan untuk pribumi.
Raden Haris tengah menuju ke sebuah bangunan bergaya Barat yang merupakan bangunan Kantor Kontrolir Kolonial Trenggalek. Kantor itu ditempati oleh seorang pengawas yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk mengawasi jalannya pemerintahan pribumi di Trenggalek. Sudah menjadi kewajiban sang Raden untuk selalu melapor ke sana setiap minggunya.
Gedung itu dilengkapi dengan empat pintu yang menempati seluruh penjuru mata angin. Raden Haris terlihat masuk melalui pintu utama yang selalu dilalui oleh para pejabat lokal, pintu barat, karena lokasinya dekat dengan jalan raya. Bangunan itu lebih menekankan warna bata putih dibandingkan interior-interior bangunan kolonial lainnya.
Di dalamnya, di lantai dasar, terdapat bagian administrasi. Di sana, ada sebuah tangga yang menghubungkan dari lantai ke lantai. Raden Haris beserta rombongannya kemudian menaiki tangga bangunan itu. Karena ruangan kontrolir yang sekarang sedang direnovasi akibat banjir, ruangan kontrolir sementara dipindahkan ke lantai dua.
Mereka sampai di depan pintu ruangan sementara sang kontrolir. Haris mencoba untuk mengetuk dengan sopan.
“Permisi, Meester Kontrolir. Kami dari Pakuan.”
Pintu pun terbuka. Seorang laki-laki dewasa dengan kumis yang sedikit tebal menyambut sang Raden itu. Dia mengenakan dengan rapi seragam militernya. Rambutnya yang berwarna hitam itu—sebuah warna yang jarang untuk rambut orang barat pada saat itu—disisir rapi ke belakang. Walaupun umurnya sudah kepala tiga, dia masih terlihat muda.
“Tuan Raden! Silakan masuk.”
Dialah Kontrolir Trenggalek, Mayor Ulrich van Zeesterist. Dia adalah salah satu orang militer kepercayaan oleh Gubernur Jenderal Hindia, terutama saat mengatasi pemberontakan di timur Jawa sekitar dua tahun yang lalu.
“Bedankt, Meester.” Rombongan Haris melangkah masuk ke ruangan Ulrich.
Ruangan Ulrich memanglah klasik seperti ruangan pemerintah kolonial pada umumnya. Meja kayu klasik yang dilengkapi dengan laci dan dengan tumpukan dokumen dan telepon lama di atasnya terletak di sisi utama ruangan. Di belakangnya terdapat sebuah lemari besar yang berisikan banyak buku dan hiasan patung. Di sisi kanan meja, terdapat lukisan seorang raja klasik yang matanya terlihat melirik ke arah pintu masuk. Tampak raut wajah sang Raden sedikit tegang ketika memasuki ruangan Ulrich, akan tetapi Raden lebih memilih untuk tidak jujur kepada dirinya sendiri dan berusaha bersikap normal.
“Silakan duduk, Tuan Raden,” kata Ulrich sopan.
Raden itu kemudian duduk di sebuah kursi di meja tamu ruangan. Sementara sebagian rombongannya menunggu di luar. Hanya dua orang tentara yang bertugas untuk menjaganya dan dua orang pejabat Eropa lain yang duduk bersama Haris. Ulrich tanpa basa-basi langsung membawa nampan berisi berisikan empat cangkir beserta dengan teko berisi teh dan sekotak biskuit—sebuah hal yang sangat langka untuk dilakukan oleh seorang pejabat kolonial pada saat itu kepada pribumi.
Raden Haris menyeruput tehnya. Begitu pula dengan pejabat lain. “Anda cukup ramah, ya? Terutama untuk orang-orang pribumi seperti kami,” kata Haris memuji.
“Ah, tidak juga, Tuan Raden,” balas Ulrich mengelak. “Sudah kewajiban bagi setiap pemerintah untuk memperlakukan rakyatnya dengan baik, bukan? Entah itu rakyat tanah inti atau jajahan, mereka tetaplah rakyat dari sebuah negara. Konstitusi bagi mereka haruslah sama. Apakah Anda pernah ingat bahwa Aleksander Agung ketika menaklukan Mesir dia memperlakukan orang-orang Mesir sama dengan orang-orang Yunani? Bahkan dirinya pun melakukan hal yang sangat kontroversial pada saat itu—dia memberikan penghormatan kepada dewa-dewi Mesir meskipun dia seorang Yunani. Ibaratnya, toleransi. Setiap rakyat semestinya punya hak yang sama entah dia jajahan ataupun non-jajahan, Tuan Raden.”
Raden Haris terkejut akan pernyataan Ulrich. Dia bahkan menghentikan meminum tehnya ketika mendengar penjelasan Ulrich. “Kurasa, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi, ya? Masih ada orang baik seperti Anda walaupun di tengah-tengah ketidakadilan.”
“Begitulah, Tuan Raden. Sangat susah untuk mengubah pola pikir satu kelompok yang besar,” kata Ulrich menyindir pemerintah kolonial.
Sementara percakapan itu berlangsung, salah satu pejabat Eropa yang bersama Raden Haris, Thomas von Husselberg, seorang keturunan Prusia, tertuju kepada sebuah jam dinding antik besar yang loncengnya berbunyi lantang setiap jarum panjang berada di angka dua belas.
“Mayor Zeesterist, jam dinding Anda itu benar-benar cantik. Dari mana Anda mendapatkannya?” tanya Tuan Thomas.
Thomas memang merupakan seorang kolektor barang antik yang terkenal di seantero Trenggalek. Sebagai pejabat tinggi keuangan, dia selalu menyisihkan beberapa penghasilannya untuk membeli koleksi peninggalan bangsawan terdahulu saat masih di Utrecht, Belanda. Meskipun demikian, dia tidak terlalu suka memamerkan hartanya. Dia selalu berpakaian seadanya bila tidak dalam kunjungan resmi.
“Oh, jam itu! Aku mendapatkannya ketika berkunjung ke kediaman Adipati Mangkunegara bulan lalu. Dia memberiku hasil tempahan dari daerahnya. Kayu yang digunakan sangat bagus untuk membuat jam lonceng ini.”
“Anda benar, Mayor. Kayu seperti ini sangat langka, bahkan untuk di kerajaan sendiri pun.” Thomas kembali menyeruput tehnya.
“Jadi,” Ulrich melipat kedua tangannya, “apa sebenarnya maksud kedatangan Anda kemari?”
Raden Haris langsung berhenti menyeruput tehnya. Dia kemudian menginstruksikan Thomas untuk mengambil koper yang ada di sebelahnya. Haris kemudian mengambil beberapa kertas yang ada di dalamnya, dan menyerahkannya kepada Ulrich.
“Ini, Meester Zeesterist,” kata Haris singkat.
“Apa ini?”
“Sebuah titipan dari Meester Kolonel Reynerdies Oosteere,”
Ulrich membaca laporan itu satu per satu dengan seksama. Raut mukanya serasa bahwa dia tidak percaya dengan apa yang terjadi seperti yang dilaporkan oleh kertas-kertas itu.
“Tidak mungkin! Aku tahu mereka!” kata Ulrich.
“Maksud Anda, orang-orang berjubah itu, bukan?” tanya Haris.
Ulrich mengangguk. Tanpa berlama-lama, dia langsung beranjak dari kursinya. Dia merogoh-rogoh kopernya, dan mendapati sebuah kumpulan berkas yang memiliki stempel lambang kelopak tulip merah bersilangkan tongkat sihir dan pedang serta tulisan “K.C.M.N.”—yang berarti bahwa hal tersebut untuk para magus di Belanda dan koloninya adalah sangatlah rahasia—lalu memberikannya kepada Haris.
“Apa ini, Meester?” Haris kebingungan.
Ulrich kembali duduk. “Semua yang penyelidikan yang kami lakukan terkait dengan para penyerang yang Anda sebutkan, Tuan Raden.”
Raden Haris membacanya dengan saksama. Satu per satu lembaran, kata demi kata, gambar demi gambar, dibacanya dengan tepat. Betapa terkejutnya Raden Haris setelah selesai membaca laporan dari Ulrich tersebut. Dia bahkan hampir gemetaran ketika memegang cangkir tehnya.
“Tidak mungkin, bagaimana bisa mereka?”
Ulrich menghela nafas. “Itulah kenyataannya, Tuan Raden. Kita baru saja menemui jalan yang lumayan berbahaya,”
Raden Haris mencoba untuk tenang. Sementara Thomas mengambil laporan itu lalu membacanya. Raut mukanya terlihat bahwa dia pun juga terkejut akan laporan dari Ulrich.
“Sepertinya, kita tidak bisa main-main lagi, ya?” Thomas meletakkan laporan itu di atas meja.
“Yah,” kata Haris yang tengah mengacak rambutnya, “situasinya sudah gawat. Kita harus segera bertindak. Kalau tidak, sesuatu yang lebih berbahaya akan terjadi.”
“Tapi, apa yang akan kita lakukan?” Thomas kemudian bertanya.
Ulrich kemudian tersenyum kecil. “Tuan Thomas, Tuan Raden, sepertinya aku punya ide.”
Haris dan Thomas kemudian menatap Ulrich bingung. “Mayor, ‘ide’ seperti apa yang akan Anda ambil?” Thomas bertanya.
“Aku mungkin tahu bahwa basis dari ‘kelompok kekacauan’ ini. Dilihat dari perawakan mereka ketika aku mencoba mengintai mereka di loji mereka sewaktu di Malang, mereka berasal dari negeri-negeri di Timur. Aku sangat yakin akan hal itu. Kulit mereka kuning langsat. Dan beberapa dari mereka ada yang membawa sebuah katana. Dugaan kuat bahwa mereka adalah orang dari ras Timur.
“Dengan begitu, aku akan meminta sekutu kita di Timur untuk membantu penyelidikan ini. Aku memiliki kenalan yang dari sana ketika melawan ancaman di Daratan Tiongkok. Dia menyelamatkan hidupku saat itu. Dia mungkin bisa membantu kita dalam koordinasi penyelidikan di Timur.” Ulrich melipat kedua telapak tangannya, pertanda dia optimis dengan langkahnya.
Haris mengangguk setuju. Namun, Thomas terlihat masih bingung.
“Aku merasa bahwa aku tidak perlu menentang Anda, tetapi bagaimana caranya kita dapat mempercayai mereka?” Thomas bertanya ragu. Dia memang bukanlah tipe orang yang langsung percaya kepada seseorang.
“Tenang saja, Meester Thomas. Aku bisa menjaminnya.”
Raden Haris menaruh cangkirnya kembali setelah menyeruput tetesan terakhirnya.
“Meester, kalau aku boleh tahu, siapa sebenarnya yang akan menjalankan tugas ini di Timur?”
Ulrich tersenyum tipis. Dia kemudian menyilangkan kakinya rileks. Suasana terlihat sedikit tegang. Matanya menjadi serius.
“Seorang keturunan murni dari Klan Penyihir Timur.”
Dermaga Yokohama, Januari 1908
KALI ini dermaga benar-benar cukup sibuk. Sambutan yang hangat untuk orang sepertiku yang baru turun dari kapal uap “Grisseiler-912” yang bertolak dari Okinawa. Aku menyadari bahwa Yokohama merupakan pelabuhan baru yang dibuka pada Era Meiji setelah Nagasaki dibuka kembali sejak Kebijakan Isolasi pada tahun 1653.
Orang-orang di sana sepertinya sudah mulai mengadopsi gaya busana Barat. Mereka mulai menggunakan jas dan kemeja. Namun, pakaian seperti kimono masih terlihat melekat di para wanita setempat, walaupun mereka menyederhanakan bentuknya seperti dari buku yang pernah kubaca. Keberadaan samurai—tentu saja—sudah dihapuskan semenjak reformasi oleh Kaisar Mutsuhito. Satuan militer telah menggunakan seragam militer bergaya Eropa. Beberapa personel berjaga di sekitar situs labuhan kapal dan beberapa lainnya berpatroli di seluruh penghujung dermaga.
“Berhenti!” Seorang petugas pengamanan dermaga menghentikanku. Dia membawa sebuah catatan.
Aku menoleh kepadanya. Bingung, karena aku tidak tahu apa yang telah kulakukan yang melanggar hukum. Mungkin mereka mencurigaiku karena aku seorang warga negara asing.
“Aku baru saja turun dari kapal.” Aku membela diriku sendiri.
“Tentu saja. Anda tidak melakukan kesalahan apapun. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu kami pastikan. Sesuai dengan aturan, silakan ikut kami terlebih dahulu ke kantor dermaga.”
Dua orang petugas telah berada di belakangku. Sepertinya aku tidak bisa mengelak. Baiklah, aku menuruti mereka. Aku tidak melakukan perlawanan apapun. Aku mengikuti mereka ke mana mereka membawaku pergi. Lagipula, aku hanyalah seorang pendatang dari Hindia. Aku tidak akan membuat masalah di Pulau Utama.
* * *
“Selamat datang, Baskara-kun.”
Suara parau orang tua menyambutku. Tepat di depanku berdiri seorang pria tua dengan pakaian tradisional, seperti seorang daimyo—mungkin saja dia masih demikian—meskipun sistem feodalisme dan han di sini sudah dihapuskan sejak tahun 1871. Mungkin saja, dia adalah sisa-sisa dari tuan-tuan tanah yang secara turun-temurun pernah berkuasa di sebagian kecil wilayah Kanagawa.
“Sebelum itu, perkenalkan, namaku Yonezawa Tsunemori. Aku bertanggung jawab untuk Klan Yonezawa di Kanagawa.”
Yonezawa. Aku mengetahui klan itu dari informasi yang kudapat ketika aku berada di Batavia. Dari penguasa untuk urusan magis di seluruh Jepang, Klan Yonezawa adalah salah satu klan feodal turunan Klan Uesugi sang penguasa utara Honshu. Klan Yonezawa merupakan nama yang tidak terkenal di telinga umum. Hanya segelintir yang tahu tentang kebesaran klan itu. Mereka hidup dalam bayang-bayang. Di permukaan, mereka hanyalah menggunakan marga-marga biasa yang bisa jadi bukan marga keturunan klan samurai. Mereka biasanya menggunakan marga Yamazaki, Yotsuya, Uesugi dan Nagao—mengikuti keluarga asal, dan sebenarnya masih ada lagi.
Klan Yonezawa merupakan klan di permukaan yang dikenal kebanyakan bekerja sebagai pegawai sipil maupun pengusaha sedang setelah Restorasi Mutsuhito. Mereka tidak suka untuk tampil terkenal. Mereka khawatir—seperti banyak keluarga magis lainnya—akan identitas mereka sebagai pengguna ilmu magis akan terekspos ke khalayak umum. Namun, dibalik itu semua, di dunia magis, mereka menguasai seperempat bagian negeri ini. Aku masih belum tahu bagaimana bisnis dan properti mereka di permukaan dan di bayangan, tetapi aku sangat yakin bahwa itu lebih besar dari yang kukira.
Aku tidak langsung bicara. “Em … senang bertemu dengan Anda, Tsunemori-sama.” Aku membungkuk takzim seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang. “Nama saya Baskara, siswa yang dikirim dari Komisi Urusan Magis Kerajaan Belanda untuk belajar ilmu magis di Jepang. Mohon kerjasamanya.”
“Aku sudah tahu, sebab itu aku membawamu kemari.” Tuan Tsunemori menutup gorden jendelanya. “Aku yang bertanggung jawab akan dirimu nantinya selama kau berada di sini, Nak.”
“Oh, terimakasih banyak, Tsunemori-sama.”
Aku mengangguk sopan.
“Tidak usah terlalu formal begitu, Baska. Aku bisa berbahasa Hindia.”
Baska? Ternyata dia memang suka menyingkat nama seseorang. Seperti seorang kakek yang berusaha akrab dengan cucunya. Namun, bukan masalah bagiku. Aku tidak terlalu peduli orang-orang memanggilku apa. Mengejutkan juga bahwa dia mendadak bisa mengganti bahasanya. Seperti mesin penerjemah saja, kalau teknologi semacam itu memang ada di dunia ini pada saat ini.
“Baik, Tsunemori-sama.”
Mulai sekarang, aku memanggilnya—bila itu diterjemahkan dalam homonim lain—Pak Tsunemori. Dia menatapku senang, sepertinya. Pak Tsunemori kemudian mempersilakanku untuk duduk di sofa yang ada di depan meja kayu hitam besarnya itu.
“Jadi,” Pak Tsunemori mengambil sebuah papan klip berisi selembar kertas. Itu tampaknya merupakan biodataku. “Nama lengkap, Baskara Alois. Usia beranjak 15 tahun pada tahun ini. Tempat tinggal, Tenggarong.” Dia mengecek biodataku. “Baska-kun. Kamu akan tinggal di asrama sekolah. Kamu tidak keberatan, bukan?”
“Bukankah itu memang ketentuannya, Tsunemori-sama,”
“Siapa tahu kau tidak ingin berada di sana, kan? Aku bisa mencarikan tempat lain kalau kau mau.” Pak Tsunemori tertawa. Dia sedang bercanda.
“Tidak perlu, Tsunemori-sama. Lagipula Komite Nasional mengirimku kesini untuk belajar sihir sekaligus budaya. Aku harus bisa berbaur dengan yang lainnya.”
“Haah, baiklah.” Pak Tsunemori berhenti tertawa. Tangannya kemudian memberi isyarat kepada salah satu tentara yang menjaga di sudut ruangan dekat pintu.
Tentara itu mendekat ke meja Pak Tsunemori. Dia tampak berwibawa. Wajahnya sangat tegas. Dilihat dari pangkatnya yang ada di kerah seragamnya, dia adalah seorang rikutai (kapten) dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
“Siap, Tsunemori-sama.”
“Yuuto-kun, Aku ingin agar kau mengantarkan Baska-kun ke tempatku sebelum upacara masuk sekolah. Usahakan untuk memperhatikan kebutuhannya. Dia juga adalah tamu kita. Pastikan dia aman berada di kediamanku. Sebelum itu, perkenalkan, Yuuto-kun, ini Baskara Alois-kun. Murid pertukaran dari Hindia. Baska-kun, ini Takagi Yuuto-kun. Dia adalah anggota Rikugun.” Pak Tsunemori saling mengenalkan kami berdua.
“Takagi Yuuto.” Dia mengulurkan tangannya untuk dijabat olehku.
Aku pun menjabat tangannya. “Baskara Alois.”
“Kalau begitu, kalian sudah bisa berangkat. Yuuto-kun, aku percaya kepadamu.”
“Dimengerti, Tsunemori-sama.
Aku dan Yuuto keluar dari ruangan Pak Tsunemori. Sepertinya perjalananku yang lumayan panjang ini akan segera di mulai. Tetapi, aku sadar bahwa aku masih mempunyai tujuan. Dan dimulailah lembaran pertama dari buku masalah yang menanti kami.
Sebuah ledakan besar terjadi di tengah-tengah dermaga Yokohama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!