Aku gadis biasa yang hidup dengan derita yang sama seperti manusia pada umumnya.
aku- aku banyak menangis seperti gadis biasanya, aku juga sering tertawa akan hal-hal yang lucu seperti manusia seharusnya, dan aku juga bisa sakit seperti orang lain dikala pulihku membutuhkan kurun waktu yang cukup lama.
aku gadis yang paling tidak beruntung namun mengharapkan setitik pengharapan.
malam ini dan mungkin akan berlanjut, aku akan jadi gadis yang satu-satunya menangis hanya karna terlalu lelah untuk tertawa akan sesuatu yang bosan.
aku ini rumit dan mudah retak. dalam setiap detik hidupku penuh dengan drama yang memuakkan but it's okay. everything gonna be alright seperti yang sering ku dengar dari mulut orang-orang.
Aku suka akan Feeling blue dan empty karna aku tahu rasanya. sama halnya dengan malam yang panjang tanpa bicara dan merenung dalam keheningan itu menyesakkan tapi tanpa pernah sekali pun aku melewatkannya. karna aku menikmatinya. sangat.
Ketika waktu beranjak malu-malu menunjukan pukul setengah 3 dini hari aku hanya akan tersenyum tipis dan bergumam pelan, "Not insom, hanya saja aku yang mau."
Aku bukan tipe gadis yang suka memaksakan. simplenya kalau ingin tidur maka aku akan tidur sekalipun suasana, tempat dan waktunya yang tidak mendukung.
aku tidak menyukai sesuatu yang terang, entah itu lampu yang menyala dikamarku ataupun sekedar jendela yang terbuka.
Aku paling benci saat seseorang masuk kekamarku tanpa menutup rapat kembali pintu, jika hal itu terjadi yang selalu kulakukan adalah berteriak satu oktaf lebih tinggi hanya sekedar mengatakan, "TUTUP PINTUNYA!"
yang membuatku sedikit berbeda dari manusia dibumi ini adalah ketika biasanya semua orang akan bangun dipagi hari lalu memulai aktivitas mereka dengan mengawali hari dari hal sederhana membuka jendela mereka contohnya sedangkan aku tidak akan pernah.
Alasannya cukup simple karna aku tidak suka terang dan tidak suka panas.
hariku tidak sespesial yang seperti orang dambakan. aku hanya hidup mengalir terus mengikuti waktu membawaku hingga sampai saatnya aku harus terlelap kembali malam harinya tanpa pernah tahu bagaimana caranya aku menghabiskan waktu sepanjang hari ini.
Tapi yang pasti setiap kali aku bangun yang selalu kutahu bahwa hidup benar-benar butuh seseorang disampingmu.
bukan seseorang yang sekedar berkata 'Cinta' semata tapi mengerti lebih dalam apa arti aku, kau, dan diri kita masing-masing.
dulunya aku selalu berekspetasi memiliki pasangan yang sempurna disetiap mata orang lain karna dengan begitu aku akan selalu bangga menjadi satu-satunya gadis yang meluluhkannya.
Tapi berbeda dengan sekarang. aku ingin hidup lebih realistis namun aku tidak ingin membuat itu terlihat gampang.
Aku tertarik akan sebuah tantangan. aku menyukai hubungan tarik-ulur, aku suka menjadi gadis yang patah akan 'someone' , dan aku mengidolakan cinta yang begitu berat dan sulit untuk kutaklukkan. Aneh memang, tapi inilah aku.
bagiku menjadi dewasa bukanlah kesalahan. hanya saja begitulah siklusnya ketika hidup menjadi semakin rumit dengan hal-hal yang entah datangnya dari mana.
aku perlu jatuh, tertatih-tatih, lalu bangkit kemudian patah lagi. begitulah hidup membodohiku.
banyak hal didunia ini yang membosankan. mulai dari bangun dipagi hari ataupun sekedar menarik napas. aku memang tidak tahu bersyukur tapi setidaknya faktanya memang begitu.
bertemu dengan berjuta orang dalam setiap detik mungkin tidak akan pernah membuat kekosongan didalam hatiku melega. aku tidak pernah menemukan dikala sebenarnya aku tengah mencari solusinya.
dari sekian yang pernah tinggal atau sekedar singgah hanya ada satu-satunya sosok yang membekas dengan begitu dalam.
Dia- aku tidak ingat dengan pasti. karna sama halnya dengan puzzle aku juga sedang ingin menyempurnakan kisah-kisahku yang masih tercecer ini.
Tapi seakan takdir sedang mengujiku. aku selalu lupa akan cara mata teduhnya menatapku.
aku tidak ingat sejak kapan perasaan ini seakan de javu setiap kali dia tidak sengaja berada sangat dekat denganku.
aku selalui mengakui keberadaannya namun tidak mengetahuinya dengan pasti.
Setiap kali aku mendengar lagu-lagu kesukaanku, seperti khalid ataupun virzha mungkin jiwa rapuhku akan senantiasa keluar.
Tidak ada satupun yang tahu dan mengerti. bahwa ketika aku tersenyum sebenarnya aku sedang benar-benar menangis.
Tapi sekali lagi. masalahmu adalah deritamu, begitulah manusia memahaminya.
Sampai akhirnya kau benar-benar datang dengan segala kerumitanmu yang tidak kalah rumit dariku.
Kau dengan rasa hampamu, dan dengan segala rasa putus asamu.
Kau juga sama retaknya denganku, maka kurasa perlu bagiku melengkapimu tanpa pernah tahu bahwa kita bisa saling menghancurkan nantinya.
dan satu-satunya yang kuingat saat terakhir kali kita bertemu kau hanya mengatakan, "I'm not fine,"
Mungkin sejak itu aku sadar bahwa ada bagian tepenting dalam diriku yang seakan hilang entah kemana.
Kalau saja kau melihatku tengah tersenyum dimanapun itu mungkin kita perlu untuk berkenalan.
Aku si gadis pecinta warna hitam akan selalu bercerita pada kalian bagaimana menghargai perasaan disaat kau sudah cukup perasa dan tersenyum dengan tulus disaat rasanya kau sudah melakukannya dengan begitu baik.
Aku tersenyum. kutarik dalam-dalam napasku lalu kuhembuskan, sedang kuusahakan menghirup oksigen sebanyak mungkin.
Itu salah satu caraku untuk menguatkan hidupku agar bertahan hingga pagi ini.
tempat ini sangat tidak asing lagi bagi orang- orang sepertiku, bau obat-obatan hal yang biasa bagiku.
Aku tersenyum menyambut dokter yang sudah beberapa bulan belakangan ini menanganiku, dia malaikat tak bersayapku.
ini adalah rutinitasku, selalu datang kerumah sakit, lalu pulang dengan obat-obatan yang seperti hadiah setiap minggunya dari Dr. Billy
aku sungguh tidak apa-apa. aku masih tersenyum menyambut hariku yang piluh ini. aku masih tersenyum menatap langit, dan aku masih tersenyum menanti sebuah keajaiban.
Kata Dr. Robert beberapa bulan yang lalu, aku divonis menderita kanker darah stadium 4. tenang. jangan khawatir. itu memang hal yang buruk.
aku pernah bertanya pada salah satu perawat dirumah sakit ini, seberapa lama penyakit kanker darah stadium akhir dapat bertahan dan yang dikatakankannya kalau sudah di stadium akhir, peluang sembuhnya sudah rendah.
aku tidak tahu harus berkata apa pada Tuhan, karna seketika aku tidak percaya akan keberadaannya.
Menangis? aku pikir itu sudah lewat masanya. aku pernah menangis seharian lalu mengurung diri dikamar. Itu dulu, saat aku pertama kali tahu bahwa penyakitku adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
Dan sekarang? aku lebih mencoba menerima diri, dan menikmati setiap proses yang terjadi.
Aku hanya tidak ingin membebani hidupku, disaat-saat terakhirku.
Aku hanya ingin, Jika nanti tiba saat dimana tidurku akan memakan waktu yang sangat lama, aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana caranya untuk bangun dari tidurku.
aku seperti boneka yang kesepian, aku seperti angin yang berlalu, dan aku seperti langit yang mendung.
Cocok! kalimat itu terlihat sempurna untuk mengibaratkan tentang ku.
This is my dark life.
Aku menatap lelaki seusiaku yang berdiri didepan ruangan Dr. Billy sepertinya dia kebingungan, terlihat dirinya beberapa kali mencoba ingin membuka pintu namun terlihat ragu.
Kuberanikan diriku untuk mendekat "apa kau butuh bantuan?"
dia sempat terkejut, lalu tersenyum ramah padaku "Ah apa ini benar ruang Dr. Billy?"
aku tersenyum lalu mengangguk "Benar, masuklah"
"Terima kasih"
Aku hanya tersenyum, ini salah satu kebiasaanku. hampir setiap hari aku ditempat ini selalu membantu orang-orang yang mengalami kesusahan.
Aku hanya ingin jika saat aku harus pergi nanti, aku ingin dikenang sebagai orang yang hangat dan periang.
Aku memang terbilang sering duduk dikursi yang berada berhadapan langsung dengan ruangan Dr. Billy. itu tempat favoritku.
Aku biasa menghabiskan 4 jam hanya duduk menatap ruangannya, kurasa berada disana akan terasa lebih baik.
pintu terbuka, lelaki tadi keluar dari ruangan Dr. Billy. Aku mengamati sosok lelaki yang tidak jauh dari pandanganku. tinggi. jika aku disandingkan dengannya, mungkin aku sebahunya saja. hidungnya mancung, alisnya tebal sangat indah. dan matanya terlihat berbinar. aku mengagumi ketampanannya.
tanpa kusadari ia berjalan mendekatiku, "Hey, terima kasih untuk tadi. Boleh kutahu siapa namamu?"
aku bergeser, "duduklah, tidak enak melihatmu berdiri disitu"
ia tersenyum lalu duduk, sepertinya dia menunggu aku menjawab pertanyaannya.
"namaku Selin Priska Tresya"
"nama yang cantik" katanya
Aku tersenyum, lalu ia mengulurkan tangannya. "aku Seam Jamez. Panggil saja Seam"
ku sambut tangannya. "Senang berkenalan denganmu, Seam"
Dia tersenyum, "Senang berkenalan denganmu juga, Selin? apa seperti itu memanggilmu?"
Aku terkekeh, "terserah. kau boleh memanggilku dengan apa saja"
ia berdiri, "Selin, sepertinya aku harus meninggalkanmu."
Aku tersenyum, "Iya, semoga bertemu kembali, Seam"
ia mengulurkan ponselnya, lalu dengan cepat ia menggeleng, kemudian yang dilakukannya memasukan kembali ponsel itu kesakunya. Aku bingung apa maksudnya.
"apa ini rumahmu?"
ah! lelaki ini apa dia juga sama sepertiku?! dia terlihat sehat.
pertanyaan Seam barusan adalah kode sesama kami agar mengetahui identitas penyakit yang kami derita masing-masing.
bukannya tidak ingin diketahui orang lain, hanya saja kami sedikit tidak enak untuk bertanya terlalu jelas. pada dasarnya, kalimat itu menyakitkan.
aku mengangguk "Iya"
kupikir dia akan terkejut, namun nampaknya dia sudah menebaknya.
"kita pasti akan sering bertemu.
jadilah temanku, Selin"
"tentu saja, kau temanku sekarang"
Ia tersenyum lebar, "Sampai jumpa lagi, teman!"
aku melambaikan tanganku, punggung lelaki itu semakin menjauh dan hilang diujung lorong.
"apa yang membuatmu bahagia, Selin?" aku mencari asal suara. lalu menemukan Dr. Billy yang sudah berdiri dibelangku.
"Ah kau Billy! kemarilah!" ia mendekatiku dengan senyum yang masih merekah.
"apa kau sudah meminum obatmu?" tanyanya
Ah! aku lupa!
aku tidak menjawab, hanya menatapnya.
"kau belum meminumnya. apa aku harus menyuapinya untukmu, Selin?" wajahku merah padam, jantungku ikut berdebar. kurasa aku hampir gila!
"berhenti menggodaku, Billy!"
Dia terkekeh, lalu menarikku memasuki ruangannya. aku hanya mengikuti.
"duduklah disini. aku akan mengambilkan obatmu"
ku pandangi Billy yang tengah sibuk mencari obatku. kebiasaan!
ia selalu menyimpan cadangan obatku.
kemudian, lelaki itu kembali dengan segelas air dan berbagai macam obat.
ia mengulurkan obat itu ketanganku, tanpa lama aku langsung memasukan kemulutku. "Minumlah" Ia menyodorkan gelas yang berisi air.
"Terima kasih" kataku.
"kau perlu istirahat. jangan sering berkeliaran, Selin"
Aku tersenyum, "kau perhatian sekali, Billy. aku mencurigaimu."
Dia terkekeh lalu mengelus lembut pucuk kepalaku. "berbaringlah disana, aku harus kembali keruang operasi"
aku mengikut saja apa katanya, lagipula aku tidak ingin menyusahkannya.
Billy denganku sudah berteman jauh sebelum penyakit ini menyerangku.
dia adalah dokter muda yang tampan. Spesialisnya dibidang Hematologi atau dokter yang menangani masalah darah.
sudah beberapa bulan ini kami semakin dekat karna kebetulan dia yang menangani penyakitku.
dia adalah orang yang hangat, dan sangat pengertian. mungkin, aku sedikit berimpian ingin menjadi kekasihnya. Ah lupakan! kupikir itu berlebihan.
dia anak yatim piatu. sejak kecil dia dibesarkan dipanti asuhan.
jadi, wajar saja jika dia menganggapku sudah seperti adiknya.
ayah dan ibuku juga sudah mengenalinya dengan baik. jika ada waktu luangnya kami biasanya dinner bersama. dia tidak pernah menolak jika menyangkut aku ataupun keluargaku.
aku selalu merepotkannya namun dia tidak pernah mengeluh. dia selalu memberiku cinta bak putri raja jika aku bersamanya.
Sungguh! jika hidupku lebih lama, kurasa aku harus berharap untuk dinikahinya. namun sayang seribu sayang, aku perlu melupakan bagian ini.
beberapa jam berlalu, Billy belum kembali dari ruangan operasi. kutebak pasien hari ini lebih banyak dari sebelumnya.
pintu terbuka, aku menyambutnya dengan senyum. "apa aku lama?" tanyanya
aku menggeleng lalu ia menghampiriku yang tengah berbaring dipojok ruangannya. "katakan apa yang ingin kau makan malam ini, Selin"
"terserah. asal bersamamu"
dia tersenyum jahil, "kau pandai merayu sekarang" jawabnya.
"itu keahlianku!" lalu tawa kami pun pecah.
aku menatapnya lekat, dia terlihat kelelahan.
"apa kau ingin kubuatkan tea hangat?" tawarku
"boleh"
aku bangun dari ranjang pasien yang sudah disediakan Billy khusus untukku itu menuju dispenser.
"besok apa kau sibuk?" tanya Billy
aku mendekatinya lalu menaru tea didekatnya. "tidak. ada apa?"
"aku ingin mengajakmu kepesta nikahan temanku. apa kau keberatan?"
aku tersenyum riang, "tentu saja aku tidak keberatan."
"baiklah. besok jam 7 aku jemput." kubalas dengan anggukan.
Billy menyenderkan badannya ditempat duduknya. "kau senang?"
"tentu. aku senang jika bersamamu"
dia tersenyum manis, "kau menyukaiku?"
Billy memang tidak suka berbasa-basi. Ia lebih suka bertanya jika perlu dan mengatakan jika itu harus.
aku tersenyum lalu membiarkan kepalaku berbaring dimejanya.
"apa terlalu jelas?" tanyaku dengan lesu
ia mengelus lembut rambutku, "aku tidak sedang memarahimu. bangunlah. kita akan pergi makan"
kepalaku terangkat. senang rasanya bisa memandanginya dengan jarak yang dekat seperti sekarang ini.
matanya hitam bersih, bulu matanya terlihat panjang dan lentik , hidungnya mancung, dan bibirnya tipis. ditambah lagi dengan jas putih yang ia kenakan benar-benar terlihat sempurna.
Dokter muda yang digilai siapa saja jika bertemu dengannya. dari lansia hingga balita sepertinya mengidolakannya.
Salah satunya aku.
mobil berhenti disalah satu resto, malam ini Billy ingin dinner romantis.
"Selin, kita sudah sampai" lamunanku buyar, aku segera turun dari mobil begitupun Billy.
aku dan Billy berjalan berdampingan, siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau aku adalah kekasihnya.
kami disambut salah satu pelayan, lalu diarahkan kemeja nomor 24 yang berada dipojok.
aku duduk, kulihat sekitar nampak yang berjas dan berpakaian rapi. sudah pasti orang-orang disini dari kalangan atas.
"kau tidak suka disini?" tanya Billy
"aku suka" jawabku cepat. tidak ingin mengecewakannya.
"jika kau tidak suka katakanlah."
"tidak. sudah kukatakan asal bersamamu, Billy"
senyumnya mengembang, "gadis yang manis" jawabnya
sudah sangat lama rasanya aku tidak sebahagia ini. bahkan hanya sekedar menatapnya saja hatiku ikut berdebar.
seorang pelayan datang dengan berbagai macam makanan yang sudah di pesan atas nama Billy Sandres.
kami makan dengan damai hingga selesai. setelah itu memutuskan untuk pulang.
didalam mobil kami tidak banyak bicara. Billy yang fokus menyetir dan aku hanya menatap keluar jendela.
"kau tidak masuk dulu?" aku dan Billy telah sampai dirumahku.
"boleh" ia turun lalu mengikutiku.
saat masuk ruang keluarga terlihat ibu yang sedang duduk disofa dan ayah yang sibuk membaca koran.
"Selamat malam, Ibu!" sapaku
"kemarilah! Billy." panggil Ayahku
Ibu memelukku, aku memang sangat dimanjakan olehnya bahkan ayahku. wajar saja karna aku anak tunggal. ia mengelus rambutku, "kau lelah?"
"tidak. jangan khawatir." kataku mencoba agar Ibu tetap tenang.
sementara Ayah dan Billy asik berbincang, mereka memang sangat akrab.
"kalian sudah makan?" tanya Ibu
"tentu. Billy tidak ingin Ibu menganggapnya tidak bertanggung jawab jika aku pulang dalam keadaan lapar"
aku dan Ibu tertawa, aku dan Billy memang sudah sedekat itu. namun jika kalian tanya apa status hubungan kami, kuserahkan pada Billy untuk menjawabnya.
"Ibu, aku ingin tidur" rengekku
"kau seperti bayi. mari Ibu antarkan" aku hanya tersenyum menangapinya.
aku bangun lalu menghampiri Billy dan Ayahku.
"Billy, terima kasih. aku tidur dulu, maaf kutinggal" aku memotong permbicaraan mereka.
Billy menatapku dan mengangguk. "tidurlah."
setelah itu aku dan Ibu melesat menuju kamarku.
padahal seingatku hari ini yang kulakukan hanya berbaring namun tubuhku rasanya lelah.
"lekas sembuh, Putriku" Ibu mengelus rambutku lalu mengecup pucuk kepalaku dengan kasih sayang.
setelah aku tertidur lelap Ibu biasanya baru akan meninggalkanku, karna aku selalu memintanya untuk menemaniku.
diruang keluarga Ayah dan Billy terlihat sedang berbicara serius.
"apa kau menyukai, Putriku?"
Billy tersenyum, "sangat. aku sangat menyukainya" jawabnya
Ayah ikut tersenyum "jangan sakiti dia, Billy."
"tidak akan. aku akan menjaganya" Billy mengatakannya dengan mantap.
"baiklah. aku percaya padamu"
Billy tidak pernah bermain-main dengan Selin selama ini. hanya saja dia tidak pernah jujur pada Selin. dia hanya takut jika Selin berpikir jika dia menyukainya hanya atas dasar simpati.
"Ayah, besok aku ingin mengajak Selin bersamaku. apa boleh?"
Ayah mengangguk, "pergilah. kau yang lebih tahu kondisinya, Billy" kata Ayah lalu tersenyum
Billy mengangguk paham, lalu berpamitan untuk pulang karna sudah hampir tengah malam.
Rambut panjangnya sebahu tergerai indah, polesan make up yang sedikit natural dan gaun putih yang simple namun tetap terlihat anggun ditubuhnya serta high heels yang membuatnya terlihat sedikit lebih tinggi. Sangat pas!
malam ini Billy akan mengajaknya menghadiri acara pernikahan temannya.
Selin sangat senang. ia sangat mendambakan sebuah pernikahan yang sederhana namun romantis. doanya tidak pernah muluk-muluk. dia hanya ingin lebih lama bersama orang yang dicintainya.
mobil sedan hitam memasuki pekarangan rumah Selin, siapa lagi kalau bukan Billy yang datang.
lelaki itu mengenakan tuxedo serta pantofel hitam. Simple. namun mampu menambah dua kali lipat ketampanannya.
Selin menatap lekat Billy seakan terhipnotis oleh ketamanpanannya.
jantungnya kembali berdebar, ia ragu jika dirinya terkena leukimia seharusnya Ia sakit jantung. pasalnya jantungnya terlalu berdebar setiap kali dekat dengan Billy.
"Billy, dari mana kau dapatkan ketampanan seperti ini?" tanyaku asal.
lelaki itu mengerutkan dahinya, lalu terkekeh. "dari sini" ia menyentuh mataku.
aku tertawa kecil, menyadari kekonyolan pertanyaanku.
"kau sangat cantik" pujinya
wajahku pasti sudah merah seperti tomat. aku malu. "Terima Kasih"
ia mengulurkan tangannya, "jadilah pasanganku malam ini, Selin"
mataku membulat, jantungku rasanya ingin meledak. namun aku segera mengontrol ekspresiku.
"hanya malam ini?" aku setengah mati untuk terlihat biasa saja.
Ia memelukku sebentar tanpa berkata lalu ia membukakan pintu mobil yang mengharuskan aku masuk. mobil melaju dengan kecepatan rata-rata. Hening. sesekali aku meliriknya kulihat Billy nampak tenang dan fokus menyetir.
hampir 15 menit berlalu, kamipun tiba. keheningan masih menyelimuti.
Billy mengaitkan tanganku dilengannya, perlahan kami memasuki gedung pernikahan.
semua mata tertuju pada kami, mungkin karna Billy termasuk dokter yang tampan dan juga sangat populer.
ternyata Billy adalah tamu VVIP, ah tidak heran. tapi aku bersyukur karna begitu, aku bisa lebih dekat melihat dekorasi dan pengantinnya.
aku sangat ingin berada disana. nanti. jika itu mungkin.
baik aku maupun Billy tidak ada yang memulai pembicaraan. aku hanya sibuk menatap dekorasi yang sangat mengagumkan itu sedangkan Billy menyapa dan sedikit berbincang dengan beberapa temannya.
saat nama Billy disebut MC aku tersadar dari lamunanku. cepat-cepat aku menoleh kesamping. tapi lelaki itu sudah beranjak dari tempat duduknya menuju sang MC.
aku menatapnya lekat, pandanganku terkunci padanya. aku menunggu apa yang akan dilakukannya disana.
matanya beradu denganku, tatapan itu. aku tidak tahu artinya.
sorak-sorai para tamu undangan bergema, semua penasaran apa yang akan dilakukannya.
"Selin, mau kah kau bernyayi bersamaku disini?" suara beratnya mengisi seluruh ruangan. aku sempat terkejut. Ah aku malu! semua orang jadi memandangiku.
aku mencoba menutupi kegugupanku dan berjalan menghampirinya.
senyumnya mengembang, sepertinya aku lebih gugup ditatap dirinya ketimbang ratusan tamu undangan yang ada disini.
"A thousand years, apa kau bisa?" tanya Billy sangat lembut.
"I-ya. aku bisa." sumpah. tubuhku bergetar. aku malu menatapnya!
"Tenangkan dirimu. jangan gugup, aku bersamamu" katanya sedikit berbisik.
aku mengangguk. aku tidak perlu takut karna aku bernyanyi bersama Billy. aku hanya perlu mendalaminya.
suara piano terdengar, aku mulai mengatur napasku dan menepis kegugupan yang muncul.
Pada bait pertama aku mulai bernyanyi.
suaraku dan Billy kini menyatu, dan saling melengkapi.
kini giliran suara berat Billy yang bernyanyi. ia menatapku
Kupandangi matanya lekat-lekat. ku akui aku telah jatuh padanya. seolah lirik yang kami ucapkan seakan mengatakan perasaan yang selama ini terpendam diantara aku dan dia.
jantungku berdebar tak karuan, aku bahagia. saking bahagianya, rasanya aku ingin menangis. aku terharu.
aku sangat ingin dicintai, aku sangat ingin seseorang menganggapku berharga lebih dari apapun itu. seperti Billy memperlakukanku. semuanya. aku menyukai semua caranya.
hingga tiba diakhir lagu, semua bertepuk tangan. sorak-sorai terdengar kembali.
Billy tersenyum padaku, ia memegang tanganku lalu menuntun ku kembali ke tempat kami. sangat manis.
semua pasang mata tertuju pada aku dan Billy, seakan kamilah sosok yang paling menarik perhatian malam ini.
hatiku ingin menjerit bahagia. Billy sukses membuatku merasakan jadi satu-satunya gadis yang paling berharga sekaligus dicintai.
aku menatap dia sekilas. bukan hanya wajah tampan yang buatku terpana padanya. aku selalu jatuh cinta setiap kali dia tersenyum padaku, aku berdebar setiap kali dia menatapku. dan aku selalu terharu setiap kali dia memperhatikanku lebih dari dirinya.
air mataku tumpah. aku sudah sejauh ini. ya terlalu jauh berharap ditengah masa waktu hidupku yang tidak lama lagi. katakanlah aku tidak tahu diri. itu benar. tapi coba rasakanlah menjadi aku. aku hanya ingin hidup normal. aku hanya ingin bernapas dengan sempurna. aku hanya ingin tidur tanpa takut tidak bisa terbangun lagi.
Aku takut.
...🍁🍁🍁...
terdengar isakan kecil, aku menatap Selin yang berada disampingku. kepalanya menunduk, punggungnya bergetar. gadis itu menangis.
aku mendekatinya, sedikit berjongkok agar menyamakan tubuhku dengannya.
"Selin, mengangguklah jika kau ingin pulang" kataku
ia mengangguk, "Tunggu sebentar" kataku.
aku mendekati Roy yang tidak lain adalah mempelai Pria. kubisikan padanya "Roy, maaf aku tidak bisa mengikuti acaramu hingga selesai. kau lihat gadisku yang disana? suasana hatinya sedang tidak baik, jadi aku harus membawanya pulang."
Roy menatap sekilas gadis yang dimaksud Billy lalu mengangguk. "baiklah. tapi sebagai gantinya, kapan-kapan kenalkan dia padaku dan juga istriku. aku sudah menganggapmu seperti adikku, Billy"
"Terima kasih. akan ku kabari lagi nanti. Selamat menempuh hidup baru. cobalah bertahan pada satu wanita kali ini." jujur saja. selama pacaran Roy tidak pernah betah dengan satu wanitapun. sehari dengan bernama Anna, besok malamnya bersama Maria, dan lusa dengan Micelle. stok gadis semakin berkurang karnanya. dasar bejat!
Roy melotot menatapku, kutebak gadis yang disandingkan dengannya ini tidak tahu seluk-beluk kebejatannya. makanya lelaki itu terlihat menutup-nutupi.
"pergilah. apa kau perlu kusewakan jet pribadi?" sindirnya.
aku hanya terkekeh lalu bergegas pergi.
aku mendapati Selin masih menunduk, aku berjongkok menyesuaikan tinggiku lagi dengannya.
baru kusadari bahwa tangan Selin berlumuran darah. astaga dia mimisan.
"Selin, angkat kepalamu. kau mimisan." kataku
aku segera menarik tissue dimeja sebanyak mungkin lalu membendung cairan merah yang hendak keluar dari hidungnya.
"angkat sedikit lagi kepalamu, ini tidak akan lama" aku mencoba menenangkannya.
gadis itu masih saja menangis. aku tidak tau apa alasannya.
kembali Selin menjadi pusat perhatian. semua penasaran apa yang terjadi padanya. karna merasa tidak enak pada Roy yang sedikit menganggu acara pernikahannya aku memutuskan membawa Selin pulang.
saat dijalan pun gadis itu masih saja terisak, aku menepikan mobil sebentar.
aku menatapnya, "kau ingin pelukan?" kubuka tanganku lebar-lebar dan gadis itu berhamburan kedalam pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya.
dalam dekapanku, kubelai rambutnya dengan lembut, "Selin, kapanpun kau butuh sandaran katakan padaku."
Ia tidak menjawab. justru tangisnya semakin pecah.
"Jangan menangis terlalu banyak, kepalamu bisa sakit."
"a-ku haus, Billy" meskipun sesegukan aku masih bisa mendengar yang dikatakannya. aku tertawa kecil. gadis ini sangat lucu.
dia sedikit menjauh, melepaskan pelukannya. kusodorkan sebotol air mineral padanya.
"Billy, kapan kau ada waktu luang?" tanya Selin. tangisnya sudah mereda.
"kenapa? kapanpun itu aku pasti bisa."
"aku ingin mengajakmu kepanti asuhan"
aku menatapnya cukup lama.
"kau ingin kesana?" tanyaku
"iya. bersamamu."
"baiklah. kapan?"
Ia menoleh, "kau mau? apa boleh?" ia terlihat bersemangat.
aku mengangguk, "tentu. aku berniat mengajak Roy dan istrinya tapi jika kau tidak setuju. tidak apa."
Ia buru-buru menggeleng. "aku senang mereka ikut. aku tidak punya teman wanita selain ibuku."
"oke. bagaimana kalau sabtu?"
"aku setuju" katanya dengan senyum yang tidak luput. padahal beberapa menit yang lalu dia sempat terisak tapi itulah dirinya luar biasa.
mobil kembali melaju menuju rumah Selin. untung saja, tangis gadis itu sudah mereda. Billy senang bisa menghiburnya walau hanya sekedar menjadi sandarannya.
setelah beberapa menit, sampailah mereka. terlihat Ayah sudah menunggu diteras rumah.
"kau tidak mampir?" tanya Selin.
"aku akan bicara sebentar dengan Ayahmu. kau masuklah tidur." jawabnya.
gadis itu melakukan yang seperti dikatakan Billy.
"Ayah, aku tidur dulu" pamit Selin.
ayahnya mengangguk.
"duduklah, Billy" kata Ayah.
"Ayah, aku akan langsung pada intinya. Selin akan kuajak bertemu temanku yang sudah kuanggap seperti kakakku sabtu nanti. apa boleh?" Kata Billy
"tentu boleh."
"Selin juga memintaku menemaninya ke panti asuhan"
"haha anak itu. selalu saja. aku ingat dulu dia selalu merengek padaku minta diantarkan kepanti asuhan setiap bulan wajib kesana kalau tidak pasti dia akan menangis sejadi-jadinya. waktu itu dia masih SD. aku tidak tau apa alasannya."
"Selin memang berbeda dari gadis-gadis lain. aku tidak pernah bertemu orang sebaik dia." kataku
"sebagai Ayahnya, aku bangga padanya. aku senang bisa memiliki Putri secantik dan sebaik dia" ia memberi jeda sebentar,
"Jika nanti dia benar-benar pergi, kurasa aku gagal menjadi Ayahnya selama ini." matanya berkaca-kaca.
"Ayah, kita tidak boleh menyerah. Selin selalu berusaha bertahan untuk kita. tugas kita memberinya semangat dan terus mendoakannya"
"ajari aku bagaimana caranya bersyukur ditengah pergumulan ini, Billy. aku tidak sanggup menatap Putriku setiap kali ia menangis menahan kesakitan." suara lelaki itu mulai bergetar, aku tahu betapa ia sangat menyayangi Putrinya.
aku tertunduk lemah, aku juga tidak kalah sedih dari Ayahnya. namun jika semuanya terpuruk lantas siapa lagi yang akan menyemangati Selin?
"kita masih punya Tuhan. berharaplah padanya" bukannya ingin mengurui, entah kenapa hanya itu satu-satunya jawaban yang kupunya.
"aku tidak pernah mengakui keberadaan Tuhan dalam hidupku." ketusnya
aku hanya diam, tidak menjawab lagi. aku tahu Ayah hanya belum siap saja menerima kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
"Ayah, tidurlah. ini hampir larut malam. aku juga pamit pulang dulu"
Ia menghela napas dan mengangguk.
"maaf jika aku berkata kasar padamu. aku hanya terlalu emosional" katanya
"bukan hal yang serius. aku mengenalmu dengan baik, Ayah"
kami berdua sama-sama tersenyum. setelah itu aku berpamitan untuk pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!