NovelToon NovelToon

Puzzle Yang Ku Rangkai

Kejadian

"Ayo Ellia, Pak Raffan baik kok. Lagian kamu kan juga sekertarisnya. Pasti boleh dong gabung sama kami. Di sana bukan cuman atasan aja yang bergabung. Banyak karyawan lainnya. Ini kan sudah acara bebas." Namanya adalah Terra, di teman satu kantorku dimana aku bekerja.

Dialah yang memberi tahu aku lowongan pekerjaan sebagai sekertaris di kantor ini. Perusahaan yang ku tempat bekerja adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi otomotif, PT Luke Otopart. Perusahaan yang memang baru berkembang beberapa tahun belakangan ini namun cukup di kenal banyak orang sebab perkembangannya yang memang begitu cepat. Itulah sebabnya aku pun tertarik untuk bergabung di perusahaan yang mana di dalamnya rata-rata wajah yang muda.

Usia para pekerja di perusahaan ini masih sangat fresh. Katanya sih karena ingin jauh lebih canggih dan update makanya memperkerjakan yang masih muda dan energik.

Tubuhku bergerak cepat melawan angin pantai di malam itu ketika tanganku di tarik kuat oleh Terra. Hingga tubuhnya terhempas di kursi balon yang di tata melingkar di pantai itu. Satu wajah yang menjadi pusat perhatianku pertama kali. Yah wajah tampan yang paling bersinar di sana sudah pasti adalah Pak Rafa, Rafan Luke pemilik perusahaan yang ku tempati bekerja. Dan aku adalah Ashana Ellia yang bekerja sebagai sekertarisnya.

Semua tampak berbicara terdengar begitu asik sekali, sedangkan aku hanya menunduk saat sempat bertemu pandang pada pria tampan di depanku. Suasana pantai di bali yang dingin malam ini tak membuat kami ingin melewatkan begitu saja di dalam villa. Besok kami sudah harus kembali untuk ke ibu kota bekerja. Sebab sore tadi acara gathering telah usai dengan baik.

"Ayo minum," ajak Terra dan lainnya yang mengangkat gelas itu di udara. Jujur aku tak mau meminumnya sebab aku bukan penikmat minuman yang menyiksa itu.

Yah aku katakan minuman penyiksa karena siapa pun yang meminumnya pasti akan muntah-muntah. Namun, demi menghargai semua rekan kerja aku terpaksa meminum minuman itu. Di depanku Pak Rafan yang sejak tadi menampakkan wajah datarnya pun ikut meminum. Tak ada satu pun dari kami yang tidak meminum. Ku teguk begitu sulit minuman itu bahkan aku sampai memejamkan mata merasakan sangat tak enaklah minuman itu.

Hingga entah mengapa aku tidak sadar ketika lama duduk mendengarkan semuanya berbicara dan tertawa ada yang bermain gitar juga, tiba-tiba ketika aku menoleh di sekelilingku...

"Kemana mereka semua?" begitu tanyaku dengan lirih. Tidak ada orang yang aku kenal di pantai saat ini kecuali pria yang duduk di depanku masih terus meneguk minuman. Samar wajah tampan itu ku lihat, beberapa kali mataku mengerjap berusaha menyadarkan diri namun tak juga bisa melihat jelas.

Kepalaku pusing dan aku tidak begitu sadar ketika tubuhku ada yang memapah menuju kamar. Pandanganku begitu berputar ketika merasa tubuhnya terhempas di atas tempat tidur. Tanganku melayang begitu sulit untuk bangun dari tempat tidur itu. Langit kamar yang ku tatap saat ini tak bisa berbentuk lagi. Hingga kedua mataku terpejam ketika merasakan sebuah rasa yang sangat sakit berganti seketika menjadi nikmat yang tak pernah aku rasakan. Kepalaku yang pusing terus merasakan pergerakan yang semakin membuat aku merasa sesuatu yang tidak bisa di jelaskan.

Bibirku terus bersuara yang aku sendiri tidak tahu bagaimana terdengar yang jelas aku begitu menikmati malam ini yang membawaku terasa melayang di langit.

***

"Kepalaku..." gumamku lirih memijat kepala dan pangkal hidungku di dalam selimut saat ku rasa waktu tidurku sudah cukup.

"Ah ini pasti gara-gara minuman semalam." umpatku kesal dan di detik berikutnya kedua mataku membola sempurna mengingat kata minuman.

Segera ku singkap selimut tebal dan lihat dada bidang yang tepat di depanku kini masih terbaring dengan lelap. Rasa bagai mimpi pagi ini aku bangun dan melihat kejadian yang aku sendiri tidak sadar akan kejadiannya. Jatuh sudah air mataku melihat kenyataan mengejutkan ini. Tanpa aku mengingat semuanya sudah jelas jika semalam aku telah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal.

"Brengs*k!" Aku marah dengan melempar selimut dan bantal pada pria di depanku. Air mataku terus jatuh tanpa bisa aku tahan saat ini.

"Apa yang kau lakukan padaku? Apa yang kau lakukan?" aku berteriak sekencang mungkin saat ia bangun dari tidurnya.

Bukan hanya aku yang terkejut, dia pun sama. Kepalanya mungkin juga terasa pusing saat ini sebab aku melihat tangannya yang kekar memegang kepalanya dan keningnya. Ia menatapku dengan perasaan bingung juga. Hingga berikutnya ia memperhatikan sekeliling dimana kami tidur berdua. Yah, ini adalah kamarku.

Bukan eskpresi yang kaget sepertiku, namun ia terlihat bergegas berdiri dan merapikan tubuhnya. Aku tahu dia pasti akan pergi setelah ini. Pasti orang kaya sepertinya tidak akan mau meminta maaf dan menganggap akulah wanita miskin yang merencanakan ini semua. Sumpah aku tidak akan diam saja melihatnya pergi dari kamar ini.

"Pakailah pakaianmu. Kita bicara di luar setelah ini." pintahnya yang tak ku duga jika justru berniat untuk berbicara denganku.

Aku pun menurut sebab tak ada waktu lagi untuk kami berlama-lama di dalam kamar. Jangan sampai teman kerjaku mengetahui ini semua nantinya. Ku pakai semua pakaianku dengan lengkap hingga aku merasa sakit di area intiku setelah membersihkannya barusan. Berjalan keluar kamar dimana ada gazebo santai untuk menikmati suasana pagi di bibir pantai bersih itu, ku lihat pria tampan itu sudah duduk dengan kaca mata hitam di matanya.

Kami duduk berhadapan tanpa mau pria itu memandang wajahku. Aku pun bingung saat melihat sikapnya yang terus diam tanpa berbicara.

"Aku akan bertanggung jawab. Itu yang kau mau bukan?" tanyanya tiba-tiba tanpa berbicara apa pun. Aku mengangkat wajahku dengan rasa tak percaya. Bibirku berdecih kesal.

Tanggung jawab? Apa dia pikir tanggung jawab dengan uang akan mengembalikan kesucianku?

"Apa anda pikir semudah itu, Pak Rafan? Masa depanku sudah hancur." ujarku menatap marah padanya.

Membayangkan siapa yang mau menikah denganku kelak? Bahkan aku harus menjawab apa jika kelak suamiku bertanya siapa yang mengambil kesucianku? Sungguh rasanya membayangkan itu semua membuatku malu.

"Jika pernikahan masih belum cukup? Lalu apa lagi yang kau butuhkan? Aku tidak punya banyak waktu. Cepat katakan!" Suara tegas itu benar-benar sangat memuakkaan bagiku.

Gambaran pria angkuh benar-benar pas untuk wajah pria di depanku saat ini. Tidak bisakah ia berkata dengan memulai meminta maaf padaku? Apa pria seperti ini kah yang mengambil kehormatan yang aku jaga susah payah? Sungguh terluka rasanya mengetahui dia sama sekali tak memiliki rasa bersalah padaku.

Kepulangan

Aku muak berbicara dengan pria yang tidak punya perasaan sepertinya. Ingin sekali rasanya wajah itu ku lempar dengan jus pepaya busuk, sayang di depanku tidak ada yang bisa ku gunakan saat ini untuk melempar selain kursi di sebelahku. Tapi, rasanya itu tidak mungkin ku lakukan. Aku enggan bicara dengannya, memilih pergi berkemas setelah sadar waktu semakin siang. Kami akan segera menuju bandara sebentar lagi. Mungkin ketika tiba di kota aku akan bisa bicara dengannya, setidaknya pikiran pria itu sudah bisa mencerna kejadian yang mengharuskan dirinya meminta maaf padaku.

"Jika bukan pernikahan, kau menginginkan apa lagi?" teriaknya untuk mengulangi pertanyaannya barusan. Aku yang melangkah menoleh padanya sekilas lalu melanjutkan langkah kembali pergi. Pria benar-benar sama semua setelah menikmati akan lupa dengan segalanya. Tapi tidak dengan kekasihku. Kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun tapi tak pernah sekali pun ia berani menyentuhku karena begitu menghargai prinsip hidupku.

Di kamar aku bergegas mengemasii barang-barangku. Air mataku tiba-tiba saja jatuh saat melihat noda darah di sprei putih tempatku tidur bersama pria itu semalam. Bagaimana dengan Khalid? Apa dia mau menerimaku yang seperti ini? Bagaimana reaksinya ketika tahu jika aku sudah tak lagi suci?

Ku dengar di luar vila semua sepertinya tampak begitu bahagia setelah berlibur dengan waktu singkat di sini. Mereka tertawa bersama-sama sementara aku di sini begitu menyedihkan tanpa mereka tahu. Andai saja semalam aku tidak menuruti ajakan Terra mungkin aku masih baik-baik saja saat ini. Pria yang aku pikir begitu baik justru menghancurkan hidupku.

"Ellia!" panggilan dari luar yang aku bisa menebak siapa pemilik suara itu. Segera ku lepas seluruh sprei tempatku tidur dan ku gulung. Barulah aku membuka pintu kamar.

Benar, yang datang adalah Terra. Ia melangkah masuk tanpa aku persilahkan. Sedangkan aku sedang menarik resleting koper ku. Buru-buru aku melakukan persiapan agar tak banyak pertanyaan yang mungkin tidak aku inginkan.

"Hei...ada apa dengan spreimu? Kamu tidak mungkin buang air kecil saat tidur kan?" tanyanya padaku.

Hanya wajah tersenyum kikuk yang aku berikan. Setidaknya itu sedikit bisa menjawab pertanyaan dari Terra. Tentu saja wajah wanita itu sangat syok mendengar kenyataan yang sengaja aku buat.

"Sudahlah, itu tidak penting. Ayo keluar." ajakku setelah selesai memastikan semua barangku aman di koper. Beruntung aku bisa mandi dengan cepat saat tadi.

Ku tarik kuat tangannya keluar dari kamar itu dan kami berkumpul menjadi satu untuk menunggu bis menuju bandara. Ku lihat pria kurang ajar itu belum ada di sekitar kami. Aku maklumi sebab dirinya adalah orang paling penting pasti akan sengaja mengulur waktu agar kamilah yang menunggunya. Tak lama kemudian suara bisik-bisik teman kerjaku terdengar lagi, pertanda jika pusat perhatian mereka pasti adalah Pak Rafan.

Segala pujian mereka terus lontarkan dan aku melihat sosok itu muncul dengan kaca mata hitam serta koper yang di tarik oleh asisten pribadinya di belakang. Jika biasa aku selalu menatapnya kagum, tidak kali ini. Segera ku buang pandanganku dari arahnya. Aku benar-benar tidak sudi lagi menatap wajah itu.

Langkahnya semakin mendekat dan aku masa bodoh. Pastilah pria itu akan lewat begitu saja tanpa menyapa kami semua. Di depan sana bus sudah datang. Jangan salah, bus yang kami naiki sangat mewah. Di dalam lengkap segala fasilitas dari tempat tidur, kamar mandi serta ruang karaoke. Beberapa bus di belakang pun juga sudah berjajar sebab jumlah kami lumayan banyak.

"Ayo masuk," mataku tampak membulat sempurna kala tubuhnya terseret begitu cepat oleh tangan yang menarikku ke dalam bus. Bibirku tercengang mendapati perlakuan aneh itu.

"Pak, saya bisa naik sendiri." jawabku masih berusaha sopan sebab banyak orang di sekitar kami. Dan anehnya pria itu tak bersuara sama sekali justru terus menarik tanganku dan di dalam bus kembali aku di kejutkan ketika ia mendorongku masuk di kursi yang bersebelahan dengannya. Ingin rasanya aku meninggalkan kursi itu saat ini, namun banyak pasang mata yang memperhatikan kami dan aku tidak ingin membuat mereka jadi penasaran dengan kisahku dan Pak Rafan.

Kendaraan bermuatan banyak itu pun melaju meninggalkan tempat kami yang menciptakan nasib buruk padaku dalam waktu satu malam. Momen yang akan sangat sulit sekali untuk ku lupakan. Dan kami berdua sama sekali tak berbicara apa pun sepanjang jalan hingga tiba di bandara.

Ku pikir keadaan itu sudah berakhir, ternyata tidak. Pak Rafan kembali menarikku lagi di saat melakukan check in. Ia menyerahkan tiket kami dan meminta untuk kursi kami di samakan. Sungguh aku terkejut. Sebenarnya apa mau pria ini? Begitu menyebalkan rasanya. Oke mungkin di pesawat nanti aku akan membicarakan semuanya perihal tadi malam. Yah, aku harus benar-benar memikirkan semuanya dengan baik. Hingga tibalah kami di kursi pesawat dan benar-benar hanya kami berdua yang bersampingan. Tak lagi ku perdulikan suara bisik-bisik teman kerjaku di belakang sana.

"Aku ingin kejadian semalam kita lupakan dan anggap saja tidak pernah ada." ucapku berusaha tegar. Mungkin dengan bagitu hubunganku dengan Khalid akan baik-baik saja. Jujur aku takut sekali hubungan kami hancur meski pada akhirnya aku juga harus mengatakan sebenarnya pada Khalid.

Di sampingku pria itu justru hanya diam tanpa menanggapi apa pun. Rasanya semakin kesal berbicara padanya. Tidak ada kata maaf, tidak ada itikad baik bertanggung jawab, dan sekarang ia mengacuhkan ucapanku. Jangan bilang jika Pak Rafan sudah tak ingat tentang kejadian semalam. Rasanya ingin sekali aku menampar wajah itu.

"Aku berpikir anda adalah pria bertanggung jawab." cibirku kembali ku layangkan dengan gelengan kepala, ternyata pria itu masih diam tanpa berkata apa pun. Aku menyerah kali ini. Yah, sebaiknya aku melupakan satu malam panas itu dengannya. Aku harus memikirkan tentang hubunganku ke depannya dengan Khalid.

Tak terasa perjalanan di udara akhirnya selesai dimana pesawat mulai menapakan rodanya di tanah. Aku lega setidaknya perjalananku dengan pria aneh di sampingku telah usai. Dimana kami fokus mengambil bagasi masing-masing. Ketika kami semua keluar dan hendak pulang ke rumah masing-masing, senyumku mengembang melihat sosok pria yang sangat aku rindukan sudah berdiri menungguku di pintu kedatangan.

"Kakak," panggilku mendekati pria yang bernama Khalid. Usianya memang lebih tua sedikit dariku maka itu aku memanggilnya kakak.

Ia tersenyum melihat kedatanganku dan mengusap puncak kepalaku. Yah, hanya itu saja yang kami lakukan. Tidak ada momen peluk pelukan.

"Bagaimana kabarmu?" ia bertanya.

"Aku baik, Kak. Ayo kita pulang aku tidak sabar makan masakan ibu." ujarku yang memang sudah di tunggu kepulanganku dengan ibu di rumah.

Namun, ketika Khalid ingin menarik koper di tanganku tiba-tiba saja suara menggema memanggil namaku.

"Ellia!" panggilan itu jelas aku tahu jika suara dari pria yang sejak tadi membisu.

"Iya, Pak." sahutku dengan baik di depan banyak orang.

"Ikut denganku ada kerjaan yang harus kau selesaikan dulu sebelum pulang." ucapannya begitu membuatku dan Khalid kecewa.

Tidak bisakah di kerjakan besok saja, bahkan ini hari masih termasuk hari perjalanan dimana semua akan istirahat agar bisa kerja besok pagi.

Kemarahan Khalid

Lama kami berdua menikmati perjalanan yang kata Pak Rafan hendak mengerjakan sesuatu di kantor, tapi aku merasa tak asing dengan perjalanan kami saat ini. Di depan sopir terus melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya aku ingin sekali protes. Tubuhku begitu terasa lelah saat ini. Ingin segera tiba di rumah seperti pekerja lainnya dan membersihkan diri lalu tidur.

“Jangan mengumpatku!” Mataku mendelik kala ucapan itu terdengar begitu santai namun menusuk.

“Saya pikir anda pria yang hanya tidak punya rasa kemanusiaan, Pak. Ternyata hati anda juga mati.” tuturku kesal namun pria itu hanya diam saja.

Ku toleh kepalaku ke depan usai menatapnya di samping. Keningku mengerut dalam mendapati rumah yang sangat familiar di depanku saat ini.

Di sana bahkan aku melihat sosok pria yang baru saja berpisah denganku beberapa menit lalu. Tentu aku merasa heran. Apa ini? Aku di bawa pulang? Bukankah barusan Pak Rafan mengatakan aku akan ke kantor dengannya sebab ada urusan pekerjaan.

Lama aku terdiam menatapnya penuh tanya. Sebab pria itu bahkan tak melakukan apa pun saat ini. Beberapa detik aku menunggu bibirnya masih saja bungkam dengan kaca mata yang melapisi kedua mata indah itu. Yah, matanya begitu indah memang saat ini.

“Apa kerjaannya kita kerjakan di rumah?” Ragu aku bertanya padanya.

Pria itu nampak menutup tab di tangannya. “Turunlah. Tidak ada kerjaan.”

Sungguh rasanya aku begitu muak sekali, segera aku turun dan menutup kasar pintu mobil itu. Tak perduli jika mobil mewah itu rusak. Apa maksudnya mengatakan tidak ada kerjaan bahkan aku seharusnya tiba sejak tadi dengan kekasihku.

“Loh Ellia, katanya mau kerja?” tanya Khalid yang langsung berdiri dari duduknya melihat kedatanganku. Yah pria itu justru menunggu ku di rumah setelah tak bisa bersapa rindu denganku di bandara tadi.

Kesal masih menguasai hatiku saat ini. Tapi, melihat Khalid yang begitu setia menungguku membuat aku tidak tega mengabaikan kehadirannya.

“Kak, masuklah. Ibu di dalam kan?” tanya ku menatap ke dalam rumah. Di depanku Khalid menganggukkan kepala mengiyakan.

“Ibu di dalam. Tadi lagi masak katanya.”

Beruntung tawaranku justru di tolak oleh Khalid. Ia hanya ingin melihat aku pulang ke rumah dan segera ia pun meninggalkan rumahku. Sedih tentu saja aku merasa menjadi kekasih yang begitu jahat. Mengkhianati kekasihku bahkan aku pulang naik mobil bosku tanpa ikut dengannya.

Dan kini justru aku mengucap syukur kala ia pamit pulang. Semua itu karena aku merasa sangat lelah saat ini. Ingin segera istirahat.

“Ibu,”

“Ellia…sudah pulang? Kata Khalid kamu ke kantor dulu tadi? Ayo mandi dan ajak dia makan.” Ibu menyapaku dengan memeluk tubuhku begitu hangat. Sungguh aku sangat senang rasanya saat ini.

Tak apa nasib sial berkali-kali menghampiri aku. Yang terpenting ibu selalu di sampingku. Melihat wanita malaikatku sehat dan panjang umur sebuah rasa syukur yang selalu aku ucapkan tanpa henti.

Ibu kaget mendengar ucapanku jika Khalid justru sudah pulang. Kini aku segera menuju kamar untuk membersihkan diri dan makan lalu istirahat. Sejak kepulangan ku dari Bali saat itu aku merasa semua baik-baik saja. Aku berusaha melupakan semua yang terjadi. It’s okey saat ini zaman sudah semakin aneh. Mungkin ada baiknya aku bersikap seperti wanita liar di luar sana yang menganggap kesucian hilang itu hal biasa. Jujur berat sekali rasanya untuk menerima ini semua. Namun, aku merasa tidak ada yang bisa aku lakukan. Meminta pertanggung jawaban? Rasanya tidak mungkin. Aku tidak akan rela menikmati peran menjadi istri dari pria seperti Pak Rafan. Memikirkan semuanya? Tentu hanya akan membuat pikiran ku semakin kacau dan ibu pasti akan ikut kepikiran tentangku.

Oke keputusan yang paling tepat aku tetap baik-baik saja. Berusaha iklas. Rasanya tidak mungkin jika aku harus melaporkan kasus ini. Dimana kami berdua sama-sama dalam pengaruh alkohol.

Yang utama adalah bagaimana Khalid akan mau menerimaku. Mungkin suatu waktu aku harus ikhlas jika akhirnya ada hinaan yang aku dapatkan darinya, walau aku tidak yakin Khalid setega itu padaku.

Bekerja seperti biasa, aku tak pernah bertegur sapa lagi dengan atasanku yang lari dari tanggung jawab itu. Meski aku merasa tingkahnya sering aneh. Seperti yang terjadi malam ini.

“Pulang, tidak ada lembur.” Begitu ucapan dinginnya terdengar di telingaku saat ini.

Padahal jelas biasanya setelah ada meeting aku akan lembur menyelesaikan semua revisian yang baru di bahas tadi.

Tanpa bantahan aku patuh untuk segera pulang. Itu jauh lebih menyenangkan untukku. Hingga aku di kejutkan lagi dengan mobil Pak Rafan yang sudah standby di depan lobi perusahaan. Padahal aku melihat ia sudah duduk sejak tadi dengan supir yang menyalakan mesin mobil.

Aku acuh, senyumku mengembang ketika melihat sebuah mobil lain yang sudah parkir dengan Khalid melambaikan tangan padaku. Baru saja aku ingin melangkah menuju mobil kekasihku, tiba-tiba kaca yang hendak ku lewati terbuka turun.

“Masuk!” Ucapan itu seketika membuat aku hanya berdiri tanpa melangkah. Ku toleh ke samping, wajah Pak Rafan hanya menatap ke depan. Lalu siapa yang ia suruh masuk? Aku?

Lama aku terdiam hingga pak supir berbicara, “Non Ellia ayo masuk.” Dengan bibir terkunci aku menatap jendela mobil di sampingku berganti menatap pada Khalid di depan sana.

“Iya, Pak. Saya ke sana dulu…” ujarku hendak melangkah namun justru suara Pak Rafan terdengar lagi.

“Masuk atau aku yang memasukkan mu?”

Ya Tuhan ada apa dengan orang ini sebenarnya? Aku sangat bingung. Aku menghela napas. Entah apa maksudnya padaku seperti ini. Ku lihat wajah Khalid tampak menghilangkan senyum saat melihatku masuk ke mobil mewah di sampingku. Tak apa aku akan mengirimkan pesan padanya.

“Kak, aku ada kerjaan dengan atasan. Kakak pulanglah besok kita jalan-jalan setelah aku pulang kerja.” Itu janjiku padanya demi meminta maaf soal hari ini.

Ku lewati Khalid yang menatap ke mobil Pak Rafan. Aku pikir ia akan segera pergi juga dan menuju rumahku menunggu seperti biasa, ternyata tidak.

Sepanjang jalan kami hanya larut dalam keheningan saja. Hingga akhirnya aku di buat kembali heran ketika mobil berhenti di pelataran rumahku.

Sumpah demi apa pun rasanya aku ingin sekali memaki saat ini. Bahkan aku pulang dengan Khalid pun juga sama akan tiba di rumah. Tunggu…apa maksudnya mengantarku pulang tanpa memberi izin aku bersama kekasihku? Apa dia cemburu? Pria setampan dia cemburu denganku?

Huh Ellia rasanya kau terlalu bermimpi tinggi.

Hingga mobil itu pulang saat aku turun tanpa pamit apa pun. Dan setelah mobil mewah itu pergi, tubuhku kembali memutar kala merasa ada pantulan sorot mobil yang datang. Aku pikir Pak Rafan akan kembali untuk pamitan. Ternyata Khalid yang datang sore itu.

“Kak…” aku mendekati mobilnya dan menyapa dengan senyum di wajahku.

“Apa maksud semua ini, Ellia? Kalian mau mempermainkan aku?” Aku melihat untuk pertama kali wajah Khalid begitu kesal.

Aku tahu ia sudah sering kali mendapat hal seperti ini. Bahkan entah mengapa aku sendiri begitu sulit untuk menegaskan semua yang terjadi padaku.

“Kak, aku tidak ada bermaksud seperti itu. Kakak jangan salah paham…”

“Salah paham apa, Ellia? Kamu pulang sering kali di antar. Bahkan kamu sendiri tidak bisa mengatakan ingin pulang denganku. Di luar jam kerja dia bukan siapa-siapa.” Suara Kak Khalid terdengar begitu nyaring.

Aku takut ibu mendengar dan sedih melihat kami bertengkar. Ibu begitu sangat setuju dengan hubungan kami.

“Jawab, Ellia! Apa yang sudah kalian lakukan selama di Bali? Apa ada sesuatu yang sudah kamu berikan sampai membuat kita jadi seperti ini?” Mataku menatap nyalang dan reflek tanganku melayangkan tamparan di pipi Khalid saat itu.

Mungkin apa yang ia ucapkan benar seratus persen. Tapi itu bukan aku yang memberikannya. Aku sama sekali tidak mau itu terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!