"Aku tidak sudi menjadi budak perusahaanmu!" Lantang suaranya terdengar. Seisi ruangan bersitegang menatap getir dirinya. Eliot Alaric dengan berani menantang ayahnya, seorang pendiri perusahaan besar di negeri. "Sudah cukup menikahi wanita ini, aku tidak akan menuruti permintaan seorang ayah yang sama sekali tidak mempedulikan perasaan putranya!" teriaknya seraya berdiri dari kursi dinginnya.
"Semua demi kebaikanmu!" jawab San Alaric, ayah dari pria berusia tiga puluh tahun itu. Matanya terbelalak menahan amarah di depan istri dan menantu barunya. "Jaga sikapmu, Eliot!"
Acuh tak acuh, dia tetap pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa sepatah kata pun terucap. Baginya acara makan seperti malam ini adalah sebuah petaka. Bertemu ayah yang sejak dulu selalu mengekang dan memaksanya menjadi anak yang lebih unggul dari orang lain. Dia menghabiskan masa kecil dengan kelam, melewati masa remaja dengan suram. Dia berjalan sesuai kehendak San Alaric, namun tidak untuk sekarang, dia lelah.
Usianya kini sudah dewasa, tapi perangai layaknya remaja labil. Judi, mabuk, balap liar, bahkan bermain wanita merupakan hal wajar yang rutin dia lakukan. Satu yang membuat ayahnya murka, ketika Eliot memasuki komunitas berandalan bermotor.
Mereka mengira bahwa menikahkan Eliot dengan Selena Amaril dapat mengubah sifat kekanakannya, namun sayang, ekspektasi jauh dari harapan. Dia malah semakin membabi buta menentang ayahnya.
"Ini akibat terlalu memanjakan anak itu. Lihat sekarang, dia semakin berani melawan ku," sambung San menatap istrinya.
"Sayang ... Eliot juga butuh waktu agar bisa belajar menjadi pemimpin. Aku dan Selena akan membujuknya nanti. Lagi pula kau masih sehat dan bugar, tentu perjalanan bisnismu masih panjang," sahut Dernia meyakinkan suaminya. Sebisa mungkin amarah San harus diredam, atau semua semakin pelik.
"Sehat? Rambutku separuh putih, siapa yang tahu berapa lama lagi umurku? Semenjak berteman dengan bocah liar bermotor itu, Eliot sering membantah. Dimana Eliot kecil yang selalu mengangguk patuh itu? Akan aku hancurkan markas mereka, agar anak itu bisa jera," pungkas San melampiaskan kekesalannya.
Lantas wanita berwajah mungil itu menunduk. Dia enggan menatap mertuanya yang terus saja menggerutui Eliot. Kisah keluarga Alaric yang terpandang ini sangatlah rumit, bahkan dia belum bisa beradaptasi dengan mereka. Selama tiga bulan pernikahannya dan Eliot, Selena belum pernah melihat ayah dan anak itu berbaur.
"Selena pamit." Unjuknya undur diri. Dia membungkuk memberi salam kepada ayah juga ibu mertuanya selepas makanan di pinggannya habis. Sebenarnya dia tidak peduli dengan urusan mereka, namun bagaimanapun juga Eliot adalah suaminya. Sebaiknya dia mengambil peran untuk membujuk Eliot.
Kring-Kring!
Dering suara ponselnya berteriak mengabarkan sebuah panggilan. Dengan buru-buru Selena merogoh tas putihnya yang tersandang di lengan. Ternyata itu Eliot.
"Lama sekali kau. Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Eliot mengamuk. "Aku tunggu di garasi, cepat!" suruhnya menekan.
Selena langsung berlari menuju tempat Eliot sekarang berada. Dia dengan cekatan melangkahkan kakinya agar suaminya yang tempramental itu tidak berulah menggusari dirinya.
~Garasi~
"Apa kau mengadukan padanya kalau selama ini aku tidak tidur di rumah bersamamu?" tanyanya penuh curiga.
"Tidak," geleng Selena membantah tuduhan itu. "Tapi malam ini kau harus kembali. Tidur di rumah denganku walau semalam," pinta Selena. Semenjak pernikahan mereka, pria ini sama sekali belum pernah tidur seranjang dengannya, bahkan makan berdua di meja yang sama pun tidak. Pernikahan mereka hanyalah demi keuntungan bisnis keluarga, wajar jika Eliot memperlakukan Selena bagai orang asing. Toh mereka tidak saling mencintai.
"Cih, jangan berharap. Aku tidak suka dengan wanita polos dengan pakaian longgar sepertimu. Belajar dari pelacur dulu sana!" Mulutnya begitu ringan mencemooh Selena.
Selena melirik tajam manik Eliot. Dia tersenyum seolah merendahkan. Dibalik wajah lugunya, Selena adalah wanita liar yang gila. Selama ini dia diam menerima perlakuan Eliot terhadapnya, namun sepertinya semakin hari suaminya itu melunjak. "Tsk, menyedihkan ... kau sungguh menyedihkan. Periksakan dulu kesehatanmu, barang kali penyakit kelamin sudah bersarang di sana," tunjuk Selena dengan tatapan penistaan. Dia menyeringai lebar kemudian berjalan meninggalkan Eliot. Dia sudah jenuh berhadapan dengan suaminya yang tidak berakal. "Akan aku perkenalan padamu seperti apa Selena Amaril," gumamnya kesal bersuara pelan.
Eliot terhenyak sekejap mendengar istri polosnya berkata demikian. Dia tidak tahu ternyata wanita berambut panjang hitam tebal itu sungguh lancang terhadapnya. Pria ini tidak terima, lantas dia mengejar Selena menggunakan motornya.
"Berhenti!" teriaknya menghentikan langkah Selena yang sudah berada di pagar mansion. "Sepertinya kau harus diberi pelajaran hari ini," bisiknya ke sebelah Selena. Dia menarik paksa tubuh ramping Selena ke atas boncengannya, lalu membawa wanita itu jauh ke sebuh tempat perkumpulan geng motornya.
"Turunkan aku!" perintah Selena murka.
"Diam! Jangan banyak bergerak kalau tidak ingin kita mati berdua!" jawabnya.
"A-Aku takut! Kau terlalu kencang mengemudikan motormu!"
Bukannya melambatkan gas motor Harley mewahnya, justru Eliot menambahkan kecepatan laju kendaraannya. "Pegangan, ini pertama kalinya bagiku membonceng orang lain!" Gelak tawanya terdengar keras di telinga Selena. Seperti orang gila, sampai wanita itu terpaksa mengencangkan pegangannya memeluk Eliot.
Tidak berapa lama, tibalah mereka di sebuah tempat cukup jauh dari kota. Tidak terlihat pemukiman warga di sekitar sana. Hanya bediri konstruksi bangunan yang belum selesai menghiasi pinggir jalanan yang kering.
"Kenapa kau membawaku kemari?" tanya Selena cemas. Dia melihat sekeliling, sekumpulan pria berwajah carut menatapnya dengan pikiran kotor. Mereka tersenyum lebar menyambut kedatangan Selena dan Eliot.
"Wah ... siapa ini? Cantik sekali, lihat pakaian sopan ini. Darimana kau dapatkan dia?" tanya seorang pria hidung belang. Lidahnya sampai terjulur keluar menikmati tubuh wanita itu dari ujung kaki hingga setiap helai rambutnya.
"Dia istriku," terang Eliot. Dia turun dari motornya, lalu menghampiri teman-teman bertato itu. "Dia belum pernah disentuh, ada baiknya dipergunakan untuk kesenangan kalian malam ini," pungkasnya kurang ajar. Meski suaranya tidak menggelegar, namun kalimat itu sampai ke telinga Selena.
Meski samar-samar, dia yakin bahwa Eliot memiliki niatan buruk terhadapnya. Dia pun berlari meloloskan dirinya dari jeratan suaminya. Berusaha berlari sejauh mungkin dari sekumpulan manusia tanpa akal itu. Dia ketakutan, tubuhnya terasa lemah akibat panik yang terus menggerogoti keberaniannya.
"Lihat, dengan polosnya dia berlari menggunakan kaki rapuh itu!" seru salah seorang pria di sana.
"Bukankah dia naif berpikir bisa lolos dariku?" Eliot terkekeh menonton Selena berlari sambil mengangkat gaun putihnya yang panjang. "Berlari lah! Hahaha ... semakin menarik saja," pekiknya seraya mengejar Selena menggunakan motor kencangnya.
Wajah Selena berubah pucat, dia tersandung batu kecil yang berserak di jalanan. Hingga pansus datarnya sampai terlepas dari kaki karena tergopoh-gopoh mengindari kejaran suaminya.
"Jadilah wanita penurut," suruhnya dengan senyum licik. Langsung Eliot mengikat Selena menggunakan tali tambang yang selalu dibawa oleh temannya.
Selena Amaril berdiri dengan dua kaki lemas bergetar. Tubuhnya yang rapuh terikat kuat pada sebuah tiang di distrik kosong tak berpenghuni. Dari balik mata basahnya, dia melihat segerombolan pria berjejer menunggangi motor besar dengan masing-masing pengendara memakai helm. Cahaya bulan sampai malu karena kalah terang dibanding sorot lampu motor mereka.
"Yang menang malam ini akan tidur bersama istriku," soraknya dengan senyum bengis. Dia melirik Selena dengan tatapan penuh hina. Semakin istrinya tersiksa, semakin puas hatinya.
"Wah! Hadiah yang menggiurkan. Kalau begitu malam ini aku akan menang, agar bisa menyicipi bibir merah istrimu itu," sahut pengemudi lain. Dion menyeringai, wanita terikat sana sungguh menggoda. Kaki jenjang putih mulusnya sungguh menggairahkan naluri Dion. Terlebih mengingat bahwa Eliot belum pernah menjamah wanita itu.
"Cih, berusahalah. Aku juga muak melihat wanita lugu itu," decaknya sebal merujuk Selena.
Brum!
Ban motor mereka berderit menghantam aspal hitam yang kasar. Eliot sigap memegang penuh handle motornya lalu mengencangkan tangannya. Dalam sekejap mata dia bersama sekawannya menghilang bersama laju angin. Mereka berlomba-lomba mencapai garis finis demi mendapatkan wanita seelok pertama itu.
"Kau akan menyesal karena sudah mempermainkan ku, Eliot." Selena mengatupkan gerahamnya, menahan murka atas perbuatan keji suaminya.
Teganya Eliot mempertaruhkan istri sendiri demi kesenangan sesaat. Meski tidak mencintai Selena, bukan berarti dia dapat memperlakukan istrinya seperti barang sanderan. "Menjijikkan," rutuk Selena seraya meludah.
Setelah asap knalpot motor itu padam dari pandangan Selena, tiba-tiba suara tembakan di udara terdengar keras di telinganya. Selena tergemap takut menghindari asal auman peluru tersebut. Jantungnya berdegup kencang, kakinya pun tak kuat lagi menopang lampai tubuhnya.
Riuh kemenangan saling bersahutan, Eliot dengan bangganya berjalan mendekati Selena. Kemudian dibukanya tali yang terikat di tubuh wanita itu. "Berterima kasih lah padaku, karena malam ini kau tidak jadi melayani orang-orang bodoh sana," bisik Eliot tak tahu malu. Seringai mengerikan itu berhasil membuat murka Selena semakin membara.
Plak!
Tamparan keras dari tangan dingin Selena berhasil menderam wajah tampan Eliot. Dia meluapkan kekesalannya terhadap suaminya, disambut isak tangis yang pecah setelah sekian lama terbendung.
"Sebegitu ingin 'kah kau mempermainkan aku di depan teman-temanmu?" tanya Selena berderai air mata. Dia mengepal tangannya yang bergetar agar tidak tumbang menghadapi sosok pria bejat di depannya.
"Jangan terlalu serius, aku juga tahu akan menang makanya berani mempertaruhkan mu," jawabnya enteng. Mimik mukanya sama sekali tidak melukiskan penyesalan, dia dengan angkuhnya menunjukkan wajah datarnya. "Kalau tidak begini, mereka tidak akan bersemangat untuk mengalahkan ku," sambungnya. "Kalau sudah tidak kuat berhubungan denganku, kau boleh menggugat cerai," bisiknya berterus terang.
Selena terkesiap sesaat setelah mendengar kalimat sembarang dari mulut Eliot. Hatinya teriris perih ******* kasar perlakuan suaminya, kehadirannya benar-benar tidak berharga di mata Eliot. "Minggir! Menjauh dariku, kau menjijikkan!" Selena mendorong tubuh kekar Eliot dengan sisa tenaganya. Langkahnya terhuyung-huyung menuju pintu keluar distrik tua itu. Meski harus menempuh jalan panjang yang cukup jauh, Selena dengan tampang menyedihkan berjalan tanpa mengenakan alas kaki pelindung telapaknya.
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu sebelum berhasil membuat mu bertekuk lutut mencintai ku," pungkasnya berapi-api.
Ketika harapnya telah pupus, sebuah mobil kecil melintas dengan sirene yang lantang meneriaki telinganya. Selena berlari ke tengah jalanan memohon tumpangan.
Beruntungnya Selena, kebetulan malam ini polisi bertugas mengamankan para pembalap liar di distrik tua itu, sehingga bisa dikatakan dia masih terselamatkan.
"Tolong ... tolong aku!" lirih Selena putus asa.
Dua petugas keamanan itu lantas mempersilahkan Selena duduk di kursi bagian belakang mobil mereka, untuk ditanyakan keterangan kejadian yang menimpanya.
Selang berapa menit, sebuah rencana gila tercanang di kepalanya. Langsung wanita itu melirik ke arah saku celana polisi tersebut, memastikan sebuah benda penting yang nantinya akan dia gunakan untuk menjalankan aksinya. "Malam ini kau akan kubuat jera, suamiku tercinta," ucapnya bertekad dalam benak.
Selena kembali menitikkan air mata, walau yang satu ini hanyalah sebuah sandiwara. Dia menampilkan matanya yang berkaca-kaca, memelas bujuk dua polisi di depannya. "Adikku masih berada di sana ... hiks. Apa kita bisa menjemputnya, aku mohon. Dia pasti ketakutan, segerombolan geng motor menyergap dia," bual Selena bersilat lidah.
Rencana awalnya berjalan mulus. Kedua polisi itu langsung putar setir menuju distrik kosong untuk menyelamatkan seseorang sesuai isi cerita Selena. Tanpa rasa curiga sama sekali, kedua polisi tersebut malah mempercayai bualan wanita itu.
Mendengar bising sirene mendekat, Eliot dan sekawannya terbirit-birit meninggalkan tempat untuk menghindari petugas. Bagaimanapun jika sampai tertangkap akan panjang urusannya.
"Nona, prioritas kami adalah menyelamatkan adikmu. Katakan, dimana dia?"
Selena membuka kaca jendela mobil, berusaha mendilik sasarannya, tidak perlu waktu lama untuk mengenali punggung suaminya yang kokoh. Dalam sekejap dia berhasil membidik Eliot. "Ketemu kau," ujarnya senang dalam hati. Langsung Selena merogoh paksa saku polisi itu, kemudian diambilnya pistol berisi peluru.
Dor!
Tembakannya tepat mengenai ban motor Eliot. Pria itu jatuh dan terkapar di atas aspal kering yang berpasir. Motornya terhempas jauh darinya, hingga untuk kabur pun tidak sempat.
"Itu ketua geng motornya!" teriak Selena kepada dua polisi tersebut.
Meski perbuatan Selena diluar peraturan, namun polisi tersebut turun mengamankan Eliot. Mereka dengan cepat memborgol tangan Eliot, lalu memasukkannya ke dalam mobil.
"Anda bisa jelaskan sisanya nanti."
Ujung cerita, kedua pengantin baru itu duduk berdempetan di dalam mobil polisi. Untuk pertama kalinya setelah tiga bulan menikah mereka saling bertatapan. Bersirobok sangat lama, sampai tak sadar bahwa kini mobil itu sudah sampai di kantor polisi untuk dimintai keterangan masing-masing.
...****************...
"Nona, Anda akan dihukum denda karena lancang menggunakan senjata api, terlebih itu milik pihak kepolisian," jelas Kepala Penyidik.
"Kalau bisa penjarakan saja dia. Bagaimana kalau tadi salah bidik? Nyawaku bisa melayang," tambah Eliot memanasi.
"Dia menculik ku, lalu menjadikan ku bahan taruhan. Tolong penjarakan dia juga, Pak! Aku melakukan itu semua juga karena ingin membalas perbuatannya," jawab Selena membela diri. Matanya melotot melemparkan semua kesalahan pada suaminya, berharap agar Eliot dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
"Apa kalian berdua bisa tenang?" Kepala Penyidik itu sampai geleng kepala menikmati perdebatan tak berujung ini. Keduanya sama-sama terancam pidana, tapi masih sempat saling menyalahkan. "Mereka suami istri yang sangat serasi. Lihatlah betapa kompak keduanya," sulaknya kepada petugas di sebelah. "Apa kalian berdua ingin dijebloskan ke penjara yang sama?!"
"Tidak," tolak pasangan suami-istri itu serentak.
Entah darimana Informasi tertangkapnya Eliot dan Selena bisa sampai di telinga San Alaric, ayah Eliot, tiba-tiba saja dia sudah sampai di kantor polisi dengan wajah merah murka.
Seketika raut Eliot membeku menyambut kedatangan Sang Ayah. Dia berdiri dari duduknya, seolah menantang. "Tamu tak diundang akhirnya datang juga," celetuknya risih memandangi gajak tegap San Alaric.
Terpaan angin malam yang menusuk sukses membungkam riuh perselisihan antara Selena dan Eliot. Seorang pria setengah baya berjalan dengan amarah membuncah. Dia berjalan seolah perpijakan yang lenggang menepi menyambutnya.
Bugh!
Pukulan keras dilayangkan San Alaric tepat mengenai wajah tangkas putranya. Dia tidak dapat mengontrol emosi yang sejak awal menggebu-gebu ingin mengirimkan tinjuan pada Eliot. Diam di tempat menunggu putranya tobat ternyata tidak mujur menyadarkan. "Sampai kapan kau akan seperti ini?! Lebih baik mengasuh binatang daripada manusia yang tidak menggunakan akalnya!" pungkas San geram.
Tidak peduli tempat, San yang sudah gelap mata ceracam memukul putranya di depan polisi. Sangat keras, hingga terjadi robekan kecil di sudut bibir putranya itu. Tubuh bidang Eliot sampai berangsur mundur ke belakang hingga terjerembab di lantai.
"Bagaimana kondisimu, Selena? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" San dengan panik mengelih wajah pucat menantunya. Sehelai rambutnya bahkan tidak boleh berkurang, atau dia benar-benar akan mendera putranya sendiri. "Maafkan Papa karena tidak cepat menyelamatkan mu," katanya seraya memeluk Selena. Betapa dia menyayangi putri dari mendiang sahabat lamanya itu.
"Ehm, Selena baik-baik saja. Hanya saja Eliot terluka," toleh Selena berjongkok memeriksa luka kaki Eliot yang tergores aspal ketika jatuh dari motor. "Biarkan aku melihatnya," pinta Selena peduli. Dia mencoba menggapai luka tersebut berniat untuk menjauhkan beberapa kotoran yang menempel.
Langsung Eliot menepis tangan kurus wanita itu. Dia mendelik tajam manik Selena lalu bangkit dari posisi tersungkurnya. "Jangan berlagak peduli. Bukankah ini yang kau inginkan?"
"Eliot! Mulai hari ini kau akan tinggal di mansion. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau selama ini kau tidak pernah menginjakkan kakimu di rumah kalian?!" Mata San nanap memandangi putranya. "Seharusnya kaki dan tanganmu dipasung saja agar tidak bisa melangkah!"
"Urus sisanya," perintahnya dengan nada berat kepada manajernya yang dari tadi berdiri tepat di belakangnya.
Tidak ada satu pun polisi berkomentar menahan kepergian kedua tersangka pidana itu. Mereka dengan mudahnya terbebas dari jeratan hukum mengingat latar belakang San Alaric. Seisi kota mengenal sosok pengusaha kaya raya dan memiliki pengaruh penting di negeri, tentu pihak kepolisian pun tunduk pada sogokannya.
"Sudah tiga kali putranya itu keluar masuk sel penjara, tapi terus saja dibebaskan. Aku iri padanya karena punya ayah seperti San Alaric," celetuk Kepala Penyidik seraya menonton kepergian dua bocah bermasalah itu.
****************
~Mansion~
"Aku sudah menghancurkan markas geng motor mu itu, beserta cecunguk nakal yang sudah mempengaruhi putraku," ucap San setelah kaki Eliot beranjak menaiki tangga menuju kamar.
Pria itu berbalik. Memandang Sang Ayah yang tengah berdiri dengan wajah tegang. Dia setengah percaya. Jika memang benar, maka dialah orang yang patut disalahkan. "Apakah ini hukuman bagiku?" tanya Eliot tanpa ekspresi. Dia bergeming dalam bayangannya, sungguh dia kecewa. "Aku harap ini yang terakhir, jangan pernah sentuh teman-teman ku lagi!" pinta Eliot sebelum meninggalkan percakapannya dengan San. Dia benar-benar marah, ingin rasanya menunjukkan emosi duka dalam benaknya, namun tidak ada gunanya.
San Alaric sebelumnya mendapatkan informasi dari pos satpam yang menjaga pagar mansion miliknya itu bahwa Eliot membawa paksa Selena setelah terjadi pertengkaran. Merasakan ada yang janggal, lantas San menyuruh orang kepercayaannya untuk mengawasi putranya itu.
Kemudian mobil patroli polisi yang bertugas melintas dari hadapan Selena waktu itu bukanlah semata karena kebetulan. San dengan kekuasaannya memerintahkan atasan kepala pusat kepolisian untuk menugaskan anak buahnya mengawasi kawasan distrik tua itu. Semua sudah direncanakan oleh San. Dia sesungguhnya sudah membaca pergerakan putranya yang degil.
"Ayah mertuaku mengerikan sekali," gumam Selena tidak habis pikir.
Dalam semalam dia meratakan bangunan yang selama ini dijadikan Eliot dan sekawannya sebagai persinggahan geng motor. Terdengar tega, namun dia benar-benar melakukannya. Tidak ada yang bisa melerai pria berkuasa itu jika sudah bergerak.
"Selena ... apa kau keberatan tinggal di sini untuk beberapa saat? Hanya sampai Eliot jera," bujuknya mengendurkan suara kerasnya. "Papa khawatir jika anak itu mempersulit mu. Sebaiknya ...."
Selena langsung menimpali seraya melempar senyum riang merekahnya. "Baik, Pa. Aku dan Eliot akan tinggal di sini," timpalnya menurut. Baginya sosok San Alaric adalah penyelamat. Dia selalu percaya bahwa mertuanya itu akan melakukan yang terbaik deminya. Bahkan meminta dirinya menikahi Eliot pun adalah sebuah jalan pemberian San semata untuk kebaikannya. "Kalau begitu ... aku ke kamar dulu membersihkan diri. Pakaianku kotor ... a-aku naik, Pa," pamitnya gugup. Meski sudah sering bertatap muka dengan Tuan San, Selena masih belum terbiasa menyikapi San Alaric sebagai mertuanya kini.
~Kamar~
Tok-Tok-Tok!
"Aku masuk!" teriak Selena dari balik pintu yang tertutup rapat meski tidak dikunci sama sekali. Dia menunduk tak berani menatap wajah masam suamimu itu. Eliot tengah kalang kabut, takutnya malah memperkeruh suasana.
Bola matanya terus mengindari pemandangan mendung suaminya.
Pria itu sungguh menyedihkan, bahkan mengganti celana sobeknya pun tak sanggup. Dia tidur terlentang dengan mata terpejam ketat. Telapak kakinya masih menyentuh lantai, dengan lutut tertekuk di tepian ranjang.
"Kenapa kau menatapku begitu? Kau sedang mengejek?" Lirih suara Eliot terdengar padam.
Selena langsung berbalik dan lari menuju kamar mandi. Sebisa mungkin berpura-pura tidak mendengar apa pun. Dengan cepat, Selena menutup kancing pintu kamar mandi itu agar terhindar dari tatapan mematikan suaminya.
"Kenapa wajahnya muram begitu? Aku takut ... sangat menyeramkan.Sepertinya aku akan cepat menua jika terus-terusan berhadapan dengan anak dan ayah keluarga Alaric," celetuk Selena sambil mengelus dada.
Selena merangkak pelan ke arah cermin besar yang tergantung di pinggir dinding berwarna putih itu. Dia menghayati detail wajahnya. "Apa aku kurang menarik makanya Eliot sama sekali tidak menatapku?" tanyanya bergumul dengan pikirannya.
Semua orang juga tahu dia wanita cantik dan menawan. Bulu mata lentik juga mata amber dengan warna langka itu. Dia wanita yang sempurna. "Dia buta karena tidak bisa menghargai istri cantik seperti ku," sambungnya terus menyeletuk.
Setelah selesai membersihkan diri, Selena pun mengayunkan kaki jenjangnya. Sedetik kemudian Selena terdiam, sepertinya dia melupakan sesuatu yang penting. Dia menunduk melirik tubuhnya. "Astaga!" teriaknya, langsung Selena mengambil handuk kimino putih yang tergantung lalu dipasangkannya cepat.
"Sialan, bagaimana mungkin aku bisa keluar tanpa busana?" Dia berdebat dengan dirinya sendiri. "Aku memang bodoh sampai tidak memikirkan pakaian ganti. Kalau sudah telanjur begini, aku harus bagaimana?"
"Sampai berapa lama lagi kau di dalam sana, ha?!" pekik Eliot yang sudah tidak sabar menunggu wanita itu keluar. Dia juga gerah dengan tubuhnya yang berdebu. "Aku juga perlu mandi!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!