NovelToon NovelToon

Bukan Tidur Yang Bikin Aku Mimpi, Tapi Kamu

Chapter 01 : Hujan & Restoran

Diluar  hujan, dan gue lagi  duduk di sebuah restoran yang lumayan mewah di tepi jalan raya sayur asem nomor 081525. Entah kenapa hari ini tiba-tiba aja hujan, padahal gue enggak bawa payung maupun jas hujan. Soalnya pas gue berangkat tadi langit malamnya hitam cerah bertabur bintang, seakan mendukung gue untuk dateng ke restoran ini. Tapi setelah gue sampai di sini sekitar setengah jam yang lalu, hujan malah turun deres banget. Ya, gue enggak ada masalah sama ujan,sih, tapi nanti pulangnya gimana kalau hujan masih deres kayak gini?

Gue jarang dateng ke restoran ini, bahkan gue aja lupa nama tempat ini apa, padahal baru masuk dan duduk di kursi yang posisinya deket jendela sekitar setengah jam lamanya. Gue rasa pemilik restorannya enggak jago ngasih nama, sehingga mudah dilipakan oleh pengunjung yang pelupa kayak gue.

Penyebab gue jarang dateng ke sini bukan karena tempatnya jauh dari rumah, masih sama-sama di daerah kota Merica, kok. Butuh sekitar lima belas menitan jalan kaki dari rumah untuk sampai ke sini, jadi bisa dibilang deket.

Alasan gue jarang dateng ke sini itu karena emang harga makanannya di luar nalar, mahal. Keberadaan gue disini sekarang bertujuan untuk memenuhi janji gue kepada seorang teman sekelas yang katanya mau nraktir gue. Sebagai seorang pelajar kelas 2 SMA yang lahir dari keluarga pas-pasan dan sering menderita kantong kering stadium akhir, momen ini tergolong langka. Bagi gue, makan disni sama aja kayak liburan ke Bali, terus main selancar sama Cinta Laura yang lagi pake bikini, sama-sama momen langka.

“Udah kepikiran mau pesen apa, mas?”

Tiba-tiba aja  mbak-mbak pelayan yang pakai baju setelan hitam putih khas pelayan restoran mewah dateng menghampiri. Gue yang setengah ngelamun sambil ngeliatin hujan yang membasahi aspal jalanan sambil berkhayal lagi main selancar bareng Cinta Laura seketika terseret ke kenyataan.

“Hemm..., apa ya mbak?”

Si pelayan itu memasang wajah datar. “Kan mas yang mau pesen, kenapa malah nanya saya?” Katanya dengan sedikit emosi.

Gue melihat ke arah kertas menu yang udah ada di atas meja sejak gue dateng ke sini. Ngomong-ngomong si pelayan yang saat ini berdiri depan gue udah dua kali nanya ke gue tentang apa yang akan gue pesan, dan gue selalu bilang nanti aja. Dan ini adalah yang ketiga kali, enggak enak kalau gue enggak cepetan mesen dan menjawab dengan jawaban yang sama.

Melihat ke arah tulisan dan gambar berbagai macam menu makanan dan minuman dengan harga mahal, gue jadi gugup. Beberapa kali gue membolak-balik kertas dari buku menu restoran yang tak begitu teba itul, mencoba menemukan minuman ataupun makanan yang pas di kantong.

Setelah sekitar tiga puluh detik, akhirnya gue dengan mantap mengalihkan pandangan dari buku menu ke arah wajah pelayan, terus bilang, “Kopi hitam aja, deh, mbak.”

“Udah itu aja?” Tanyanya.

“Iya, mbak...” Gue sedikit canggung. “Itu aja.”

Suara hujan yang deras di luar, terdengar samar-samar dari tempat kami berada.

Si mbak pelayan langsung memasang ekspresi wajah ketus sambil mencatat pesanan gue di atas kertas kecil yang dia bawa. Ekpresi wajah dan gerakan tangannya saat mencatat seakan menggambarkan isi hatinya yang berkata “Makan di tempat elit, padahal ekonomi sulit.” Kemudian dia pergi setelah menyuruh gue menunggu pesanan.

Enggak butuh waktu lama, kopi hitam pesanan gue pun akhirnya dateng. Gue menatap secangkir kopi hitam yang masih menjulurkan  asap tipis itu dengan seksama. “Begini doang dua puluh ribu?” Kata gue, enggak nyangka. Padahal, kalau di warkop biasa, untuk kopi dengan ukuran cangkir yang sama harganya cuma tiga ribu aja, disini bisa hampir empat kali lipatnya.

“Pahit.” keluh gue setelah menyeruput kopi.

sempet kepikiran kalau temen yang lagi gue  tungguin ini mungkin enggak jadi dateng karena ujan deres. Tapi beberapa menit kemudian saat gue menikmati kopi sambil ngeliat hujan di luar jendela, orang yang gue tunggu-tunggu akhirnya dateng. Dia keliatan kebingungan di antara puluhan tempat duduk yang ada di restoran, dan gue hanya memperhatikan sambil memegangi cangkir berisi kopi hitam yang udah mulai sedikit dingin.

Dengan memakai jaket imut tebal berwarna merah jambu, cewek itu terus ngeliat ke segala arah ruang restoran dengan wajah kebingungan, pasti lagi nyariin gue. Dari jauh gue perhatiin dia diem-diem, sengaja enggak mau nyapa duluan, seneng aja liat dia kebingungan.

Beberapa saat kemudian, dia ngeluarin handphone dari dalem saku celana levis yang keliatan basah di beberapa bagian, lalu mencoba menelpon seseorang dan gue yakin orang yang dia telpon itu adalah gue. Tersenyum sambil tetep ngeliatin dia, hati ini ngerasa cukup puas.

“Riyan!” Kata dia sambil senyum dan melambaikan tangan kayak orang yang enggak tahan lagi uji nyali di tempat angker.

Gue mencoba membalas sapaannya dengan senyuman semanis mungkin. Pandangan kita saling bertemu sesaat setelah dia manggil nama dia, lalu dia pun bergegas menghampiri gue yang duduk di dekat jendela restoran.

“Sorry, ya, gue telat. Soalnya pas gue dalam perjalanan, tiba-tiba aja hujan, akhirnya  nyuruh sopir berhenti dulu di toko untuk beli payung.” Temen gue meminta maaf dengan tulus, dia nyesel dikit.

“Iya, enggak apa-apa.” Gue menggaruk kepala sambil tersenyum, canggung. “Gue kira lo enggak jadi dateng karena ujan.”

Kita lantas duduk saling berhadapan. Setelah duduk dengan nyaman, temen gue segera memanggil pelayan, lalu membuka buku menu di meja dan membacanya dengan seksama. Selagi dia sibuk memperhatikan daftar menu yang tertulis, gue menatap dia sambil senyum. Wajahnya cantik alami, rambut panjangnya sedikit basah terkena hujan, sesekali dia senyum sembari menunjuk gambar makanan dan minuman yang dia pesan.

“Lo mau pesen apa, yan?” katanya secara tiba-tiba. “Sesuai perjanjian, malem ini lo gue traktir.” Lanjutnya.

“Terserah lo mau mesenin gue apa, gue ngikut aja deh.” Gue tersenyum menutupi kecanggungan.

Dia mesen makanan yang jarang gue makan, seperti, spageti, steak, pizza, iga bakar madu, pastel tutup, browies, fish and chip, dan es krim vanila. Gue hanya bengong ketika dia  berbicara dengan lancar menyebutkan beragam menu yang di pesan, seakan dia udah terbiasa makan di tempat kayak gini.

“Lo enggak mau mesen minum yang lain?” Dia nanya sambil ngeliatin cangkir kopi yang gue pegang. “Kita bakal makan iga, lho!” Katanya, seakan memperingati.

“Es jeruk aja juga enggak apa-apa.” Gue ngerasa sungkan.

Orang yang saat ini sedang duduk di hadapan gue namanya Nadia, temen sekelas gue. Kita enggak terlalu kenal satu sama lain,sih, awalnya, tapi beberapa hari ini kita jadi lumayan deket karena sering satu kelompok tugas pelajaran Bahasa Inggris. Alasan dia nraktir gue makan di restoran ini juga enggak begitu jelas, tadi siang pas pulang sekolah tiba-tiba dia nawarin traktiran. Pas gue tanya dalam rangka apa, dia bilang, “Kita kan udah nyelesain tugas materi Grammar yang susah, tuh, dan lo berperan penting dalam kelompok, gue rasa lo harus gue teraktir.”

Ya, emang, sih, gue adalah anggota yang paling menonjol dan paling aktif ngerjain di antara  anggota yang lain ketika ngerjain tugas Bahasa Inggris, dia bener. Dan nilai kelompok kita pun memuaskan, hampir sempurna. Tapi menurut gue, itu bukanlah hal yang patut di rayakan secara berlebihan sampe ngadain traktiran segala. Lagian, kalau mau ngadain acara traktiran kayak gini setidaknya ngajak anggota yang lain juga, bukan cuma gue aja. Jadi curiga gue, jangan-jangan dia punya maksud lain.

Es krim Vanila pesanan Nadia pun datang. Sambil nunggu datengnya pesanan yang lain, kita saling mengobrol membicarakan apa aja.

“Lo sering dateng kesini, enggak?” Nadia bertanya setelah memakan sesendok es krimnya.

Gue menggelengkan kepala, “Cuman sekali.” Kalau gue enggak salah inget, pas acara reuni SD setahun yang lalu. Waktu itu ada guru tajir yang mau ngebayarin makanan kita. Gosipnya, sih, baru aja lahiran anak pertama, jadi sekalian syukuran.

“Jadi, enggak salah, ya, kalo gue nraktir lo disini, hehe...” Nadia tersenyum dan lanjut memakan es krim vanilanya lagi.

“Ya, bisa dibilang begitu.”

Gue menyeruput kopi, kemudian ngeliat ke arah es krim yang sedang di nikmati Nadia. Setelah beberapa detik memandang es krim tersebut, gue kemudian ngeliat keluar jendela, dan di luar masih hujan deres. Heran sama ini cewek, cuaca lagi dingin begini malah makan es krim dengan riang. Semoga ketika pulang kerumah nanti badannya enggak meriang.

Alunan lagu natal berjudul Have Yourself a Merry Little Christmas terdengar dengan tak begitu kencang di seluruh ruang restoran, bercampur dengan suara pengunjung yang sedang makan sambil mengobrol. Meskipun gue enggak ngerayain natal, tapi setidaknya lagu tersebut bikin gue inget kalau ini udah bulan Desember dan sebentar lagi natal. Sumpah, gue hampir lupa ini bulan apa, jarang nge-check kalender.

“Ngomong-ngomong, gue salut sama lo, yan. Jago banget pelajaran Bahasa Inggris, rahasianya apa, sih?” Nadia secara enggak terduga memuji gue. “Padahal lo, kan, jarang belajar.” Lanjutnya.

Gue hanya terdiam. Seneng-seneng aja, sih, kalau di puji gitu, tapi kalimat terakhir Nadia lumayan nusuk. “Gue, sih, enggak ngerasa jago, ya. Cuma beruntung, aja.”

“Gue udah tau lo bakal bilang gitu.” Nadia tersenyum, lalu lanjut bertanya. “Hobi lo apa, yan?”

“Apa ya?” Mata gue ngeliat ke langit-langit ketika ditanya demikian. Jujur, gue enggak punya hal yang bener-bener gue sukai secara spesifik. “Nonton film, mungkin.” Gue asal jawab, karena emang itu yang sering gue lakukan sepulang sekolah.

“Film barat?”

Gue mengangguk. Emang gue seringnya nonton film barat, sih, terutama film MCU (Marvel Cinematic Universe.)

Nadia menatap datar. “Pantesan jago.”

“Nonton film berbahasa Inggris enggak serta merta bikin orang jadi jago pelajaran Bahasa Inggris juga.” Ketika menyeruput kopi, saat itulah gue sadar kalau kopi gue udah mulai dingin.

“Ngaruh tahu,” Nadia berusaha mempertahankan argumennya dengan menambahkan, “karena lo sering nonton film barat, lo jadi sering denger orang ngomong bahasa Inggris, dan itu bisa bikin lo jago bahasa Inggris juga.”

Masuk akal. Gue mulai mempertimbangkan pendapat Nadia. Mungkin salah satu contohnya adalah, jika bayi lahir di negara yang orang-orangnya memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, maka bayi tersebut akan otomatis dapat berbicara dengan bahasa Inggris secara lancar saat ia tumbuh meskipun tidak mendapat pelajaran bahasa Inggris secara khusus. Karena bahasa itu yang sering masuk ke telinganya sejak bayi.

“Oh, gitu,ya.” Gue mengangguk, menyetujui.”

Kita mengobrol dengan topik yang sama selama beberapa menit sampai akhirnya makanan yang  Nadia pesan tadi berdatangan satu persatu. Kita ngobrol sambil menikmati makanan.

Makanan yang pertama kali gue incer adalah steak, karena keliatannya enak banget, daging.

“Aduh-duh,” Jari gue kepanasan ketika dengan sengaja memegang hot pan.

Nadia spontan tertawa melihat gue yang kepanasan. Sementara gue menuip-niup jari gue yang sedikit melepuh. Melihat kepolosan gue, Nadia kemudian mengajari gue cara memakan steak dengan benar. Sampai akhirnya kita bisa makan dengan hikmat sambil lanjut mengobrol.

Nadia mengganti topiknya jadi tentang hewan peliharaan. Dia cerita kalau dia punya anjing Chihuahua yang imut. Kata dia, anjing peliharaannya suka buang air besar sembarangan meskipun udah sering di latih untuk buang air pada tempatnya, dan tempat buang air besar terparah anjing biadab tersebut adalah di atas muka bapaknya Nadia ketika beliau sedang tidur. “Bisa-bisanya itu anjing  poop di muka bokap gue pas lagi tidur siang di sofa ruang tamu.” Jelasnya.

Gue hanya diem. Bisa-biasanya dia ngobrolin hal itu ketika kita sedang menikmati makanan. Otak gue, kan, jadi ngebayangin bentuk kotorannya pas lagi makan brownies.

Waktu berlalu, Gue dan Nadia udah ngobrol tentang ini itu. Semua makanan yang ada di meja juga udah gue cobain satu per satu, perut gue lumayan kenyang. Karena kehabisan bahan obrolan, akhinya kita sibuk dengan diri masing-masing. Gue sibuk ngeliat keluar jendela sambil setengah ngelamun, sementara Nadia sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia selfie dengan gaya imut, kadang juga memajukan bibirnya kayak bebek.

“Riyan?”

Gue menoleh ketika di panggil Nadia.

“Kita selfie bareng, yuk!” Nadia bersiap dengan ponselnya.

Tapi gue geleng-geleng, menolak. “Enggak, ah, gue enggak suka selfie .”

Nadia menggembungkan pipinya, kayaknya sedikit kecewa. “Enggak asik banget lo.”

Entah kenapa gue enggak begitu nyaman kalau memotret wajah gue sendiri dan mengunggahnya ke sosial media. Gue adalah golongan orang yang ngerasa ganteng ketika ngaca dan menganggap diri gue jelek ketika selfie.

Setelah memotret beberapa kali wajahnya sendiri, Nadia langsung sibuk dengan ponselnya lagi. Udah pasti, dia lagi upload sana-sini, dan gue hanya mengamati dalam diam.

“Oh, iya...” Nadia keliatan panik dikit, dia ngomong sama dirinya sendiri. Kayaknya dia lupa sama hal tertentu.

“Apa?” Kata gue dalem hati.

“Gue lupa live Instagram.” Lanjutnya. “Enggak papa, deh.” Katanya lagi, masih bicara dengan dirinya sendiri.

“Narsis amat.” Kata gue lagi, dalem hati.

Gue menunggu ajakan pulang dari Nadia yang masih sibuk di dunia maya. Mau ngajak ngobrol lagi tapi bingung mau bahas apa. Mau main HP, tapi punya gue ketinggalan di rumah. Gue udah bosen ngeliat hujan di luar jendela yang enggak kunjung reda, sampai ada genangan air di beberapa bagian jalan.

Lagu barat klasik masih terdengar merdu di dalam restoran yang udah mulai agak sepi. Gue mengamati sekitar, orang-orang udah mulai pada bayar tagihan dan keluar dari restoran. Beberpa orang ada yang masih sibuk makan sambil ngobrol. Gue enggak tahu sekarang jam berapa karena enggak bawa HP, mau nanya Nadia tapi takut ngganggu. Mata gue terus mengamati sekeliling sambil nunggu Nadia kembali ke dunia nyata.

Ketika sibuk ngeliatin para pengunjung yang lain, gue menemukan sosok cewek yang gue kenal, bahkan sangat gue kenal. Berjarak beberapa meter dari tempat duduk gue, cewek itu berhasil mencuri perhatian gue sepenuhnya. Dia adalah mantan pacar gue, namanya Olivia, dan saat ini dia lagi sama pacar barunya.

Enggak tahu kenapa hati gue masih berat aja ngeliat mantan lagi sama orang lain, masih cemburu. Olivia lagi ketawa saat gue memperhatikan dengan seksama, tanda kalau dia udah bahagia sama pacar barunya. Tapi hati gue masih berat, masih enggak rela. Gue belum bisa move on.

Kalau di bilang nyesel udah dateng kesini, sih, enggak, ya. Tapi gue ngerasa enggak seharusnya gue ada disini, ngeliat mantan gue ketawa bahagia dengan yang lain. Seakan sedang merayakan kemenangan atas dirinya yang lebih dulu move on ketimbang gue. Mungkin Olivia sama sekali enggak ada pikiran kayak gitu, tapi entah kenapa gue ngerasanya gitu.

“Riyan, Riyann!!”

Gue yang setengah ngelamun karena cemburu ngeliat mantan lagi sama pacarnya, langsung kebingungan ketika memalingkan wajah gue ke Nadia.

“Iya... kenapa?” Gue bingung.

Nadia ngeliat ke belakang, memperhatikan orang-orang untuk beberapa detik, lalu ngeliat ke arah gue lagi.

“Ngeliatin apa, sih?” Tanyanya.

“Itu, mmm... ada orang yang mirip sodara gue, tapi setelah gue perhatiin ternyata bukan.” Gue berbohong sambil senyum.

“Oh, gitu.” Nadia tersenyum manis.

Gue yakin, ketika Nadia ngeliat ke belakang selama beberapa detik untuk mencari tahu apa yang gue tadi ngelamun, dia sempet ngeliat Olivia, tapi enggak tahu kalau itu adalah mantan gue karena kita beda sekolah.

“Udah malem, nih, kita pulang aja, yuk!” Ajak Nadia.

Gue mengangguk, lalu ngeliat keluar jendela untuk beberapa saat, hujannya udah mulai sedikit reda.

Dinginya udara malam yang sedang di guyur hujan terasa  sampai ketulang ketika gue dan Nadia baru aja keluar dari Restoran. Di samping gue ada sebuah papan kecil berwarna hitam yang ada tulisannya “Restoran Lada Hitam.” Huruf-hurufnya berwarna putih, di tulis menggunakan huruf tegak bersambung yang keliatan klasik.  Gue baru inget lagi nama restoran ini ketika baca tulisan itu.

Nadia berjalan menghampiri satpam yang ada di dekat kami, lalu bebicara dengannya. Satpam itu kemudian ngambil payung berwarna hitam yang ada di dalam posnya. Payung itu di serahkan ke Nadia setelah mereka saling ngomong dikit. Nadia jalan ke arah gue sambil bawa payung item yang masih tertutup.

Setelah membuka payungnya Nadia bilang, “Yuk, gue anter lo pulang dulu. Rumah lo deket dari sini, kan?”

Gue diem beberapa saat, sebelum nanya, “Enggak apa-apa, nih?”

Nadia mengangguk. “Sopir gue lagi nunggu di dalem mobil, mungkin sekarang lagi ketiduran di dalem, jadi ga masalah bagi dia buat nungguin gue sedikit lebih lama.” Nadia tersenyum.

Gue memperthatikan mobil milik Nadia yang terparkir di depan restoran. Gue tahu yang mana mobilnya karena dia berangkat sekolah selalu di anter pake mobil itu.

“Oke deh.”

Gue sama Nadia akhirnya berjalan beriringan berada di bawah payung yang sama. Kita bertukar pandang beberapa saat sebelum akhirnya melangkah menininggalkan Restoran Lada Hitam dan berjalan beriringan di tengah hujan.

Selama perjalanan, gue dan Nadia enggak banyak bicara. Cuman beberapa patah kata aja, sih. Dia nanya Instagram gue apa, tapi gue enggak punya akun Istagram, hal tersebut bikin dia agak kecewa, keliatan dari mukanya.

Derasnya hujan ngebuat jalan raya terasa sepi, kota Merica  kayak kota mati. Toko-toko di pinggir jalan sebagian besar udah pada tutup semua. Hanya ada sedikit kendaraan yang lewat ketika kita berdua berjalan di atas trotoar. Sunyi.

Tiba-tiba saja, saat kita berjalan melewati zebra cross, Nadia menghentikan langkahnya. Gue yang enggak bisa memprediksi kehendak Nadia, maju dua langkah lebih di depannya, sehingga membuat badan gue basah terkena hujan karena yang megangin payung itu Nadia.

Gue segera berteduh lagi di bawah payung. “Kenapa tiba-tiba berhenti?” Gue bertanya.

Bukanya menjawab atau lanjutin jalan, Nadia malah diem di tempat sambil menundukan kepalanya dan enggak ngomong sama sekali.

“Lo kenapa?” Gue bingung, badan kita saling berdempetan.

Sempat diam beberapa detik, Nadia kemudian menatap mata gue dalam-dalam dan berkata, “Riyan, gue suka sama lo, gue jatuh cinta sama lo...”

Hujannya jadi makin deras beberapa saat setelah Nadia mengungkapkan perasaannya ke gue. Otak gue ngelek, gue berdiri tepat di depan Nadia, satu payun sama dia di tengah derasnya hujan di malam hari.

Karena gue hanya diem membisu, Nadia memilih untuk lanjut ngomong, “Seharusnya gue mau ngungkapin perasaan gue ketika kita masih ada di restoran tadi, tapi gue enggak punya keberanian.” Nadia terdiam, lalu sekali lagi dia berkata. “Gue sayang sama lo.”

Gue merasakan dinginya air hujan, mungkin Nadia juga sama. Kalau di perhatiin, badannya agak menggigil. Perihal apa yang Nadia katakan ke gue, jujur aja gue enggak tahu harus merespon apa.

Karena gue masih sayang sama mantan, dan ngarep bisa balikan.

Chapter 02 : Murid Baru

Besok paginya.

Banyak banget piring kotor yang menumpuk di tempat cucian piring. Gue yang baru keluar dari kamar dan langsung  pergi ke dapur, seketika memasang wajah cemberut pas ngeliat tumpukan piring itu. Bingung, aktivitas apa yang harus gue lakukan terlebih dahulu, bikin sarapan atau cuci piring dulu. Ketika perut gue berbunyi, saat itulah gue memutuskan untuk bikin sarapan dulu.

Gue tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhumah nenek sejak gue kelas 1 SMA, atau kurang lebih setahun yang lalu. Karena orangtua gue sibuk dengan pekerjaannya dan jarang pulang, akhirnya gue bersama dengan kakak perempuan gue di suruh tinggal di sini biar rumah keluarga gue bisa di kontrakin. Lumayan, bisa buat nambah pemasukan.

Melangkah mendekati kulkas, otak gue berpikir untuk memasak mie instan yang di campur dengan telor serta  daun sawi sisa semalam.  Gue mengintip kulkas, menatap ke dalamnya, meratapi isinya yang tak seberapa. Gue ngeliat ternyata bener masih ada sawi dan telor, gue tersenyum sebelum mengambilnya.

Mie, daun sawi dan telor gue taruh di atas meja secara berjajar. Gue mulai memotong-motong daun sawi di atas telenan, kemudian mengupas bumbu-bumbu mie yang ada dalam kemasan dan mencampurnya ke dalam mangkok. Gue lalu mengisi panci dengan air secukupnya, meletaknya di atas kompor. Ketika airnya sudah mendidih, mie pun gue masukan ke dalamnya.

Jam setengah tujuh. Pagi ini cerah, sinar matahari masuk melalui jendela yang ruang tamu yang terbuka. Duduk di atas sofa sambil makan mie instan ala kadarnya, gue menonton berita di TV yang menyiarkan kabar  tentang gempa yang terjadi di luar provinsi. Jaraknya sekitar 700an kilometer dari tempat gue, jadi aman. Gempa berkekuatan 5,6 magnitudo itu menghancurkan banyak bangunan dan menelan banyak korban jiwa.

Selesai sarapan, gue langsung siap-siap berangkat sekolah. Gue mengunci pintu rumah, merapikan seragam OSIS yang gue pake dan mulai melangkah pergi dengan sedikit rasa males yang nempel di tubuh.

Baru aja keluar dari gerbang rumah, tiba-tiba ada tukang pos yang berhenti di depan rumah gue. “kak Riyan, ya?” tanya tukang pos tersebut tanpa turun dari motornya.

Gue mengangguk.

Si tukang pos lanjut ngasih gue amplop surat berwarna putih, “Ini kak, ada surat untuk kakak.” Lanjutnya sambil senyum dan langsung tancap gas.

Gue diem sambil ngeliat amplop berwarna putih yang sedang gue pegang selama beberapa detik sebelum lanjut jalan. Kakak perempuan gue yang lagi kuliah di luar kota ngirimin gue surat dengan seenaknya, bener-bener cara yang kuno untuk menyambung komunikasi jarak jauh. Padahal, jaman sekarang ada banyak sosmed yang bisa di pake untuk berkomunikasi, enggak tahu kenapa dia malah ngirim surat. Gue ngambil HP dari katong celana OSIS, memfoto surat yang  belum gue keluarkan dari amplopnya, lalu gue kirim foto itu ke kakak gue melalui WhatsApps tanpa menuliskan pesan apapun, cuman ngirim foto aja. Sebelum akhirnya gue membuang surat itu. Enggak penting, paling isinya tentang dia yang lagi liburan atau nyuruh gue untuk ngerawat diri dan ngelarang gue untuk maling duit SPP.

Berjalan kaki di tepi jalan raya menuju ke sekolah di pagi hari terasa menyengkan bagi gue yang kayaknya jarang menemukan hal yang bikin gue bahagia. Ngeliat jam tangan yang menunjukann pukul enam lebih empat puluh lima menit, gue masih bisa tenang dan enggak ada kekhawatiran telat masuk. Cukup beruntung rasanya tinggal di rumah yang lokasinya deket dengan sekolah.

Di sekeliling, ada juga anak-anak yang satu sekolah dengan gue sedang melakukan perjalanan ke sekolah, ada yang naik motor, ada juga yang jalan kaki. Orang-orang dewasa yang berangkat kerja juga lumayan banyak. Jalanan yang ada di samping gue juga lumayan dipadati kendaraan, pagi ini kota Merica kerasa lumayan produktif seperti biasa.

Suara gerigi rantai sepeda serta ban yang bergulir di aspal terdengar di sebelah kiri, membuat  gue menoleh ke sumber suara.

“Pagi bro!” Sambil menaiki sepeda CTB Jieyang warna merah jambu, temen sebangku gue menyapa dengan penuh semangat.

“Pagi.” Gue menjawab dengan malas.

Dia mencoba mengimbangi kecepatan berjalan gue dengan menggowes sepedanya sedikit-sedkit.

Temen sebangku gue ini namanya Adit, dia adalah orang yang penuh semangat. Rumahnya enggak jauh dari sekolah, tapi ya enggak deket juga, sih. Menurut gue berangkat sekolah naik sepeda adalah pilihan yang tepat bagi Adit.

Tapi ada yang aneh pagi ini, dia naik sepeda punya adik perempuannya, padahal biasanya dia berangkat naik sepeda gunung warna merah, punya dia sendiri.

“Sepeda lo kenapa?” Gue mencoba bertanya.

“Rusak.” Jawabnya, sambil berusaha menjaga keseimbangan sepedanya yang berjalan pelan. “Gue males benerin, jadi gue pinjem sepeda adik gue aja untuk sementara.” Jelasnya.

“Rusak apanya?”

“Rantainya putus.”

Ngebenerin rantai sepeda yang putus emang lumayan susah, sih, gue bisa memaklumi itu. “Trus, adek lo berangkat sekolah gimana?”

Adit terseyum santai, kemudian menjawab, “Dianterin ibu gue.”

“Pasti dia nangis karena sepedanya lo pake.” Gue mencoba sedikit becanda.

“Adek gue udah kelas 7, udah enggak cengeng lagi.”

Adit ngeliat kedepan sambil tersenyum entah pada siapa, mungkin kenalannya.

“Eh, gue duluan, ya. Gue belum nyelesein tugas IPS.” Katanya.

Gue ngeliat jam tangan, “Udah jam segini, IPS ada di jam pertama, emang masih sempet?”

Adit keliatan harap-harap cemas ketika menjawab, “Semoga aja sempet, sih.”

Sebelum Adit  menambah kecepatan laju sepedanya, dia sempet nawarin gue tumpangan gratis, tapi gue tolak dengan tegas. Karena kalau  dipikir-pikir, boncengan sesama cowok naik sepeda itu kebayangnya kita kayak pasangan homo yang baru jadian.

Kita emang biasa saling ketemu pas berangkat sekolah, tapi enggak tiap hari. Biasanya, Adit bakalan turun dan nuntun sepedanya biar bisa jalan bareng ke sekolah. Tapi karena dia ada tugas yang belum dia kerjain, dia harus pergi duluan.

Sampailah gue di depan gerbang sekolah. Gue bersekolah di SMA brokoli, satu dari beberapa SMA swasta di kota Merica. Alasan gue bisa sekolah disini adalah karena nilai gue yang pas-pasan sehingga enggak keterima di negeri. Otak gue enggak pinter, sih, tapi ya enggak terlalu dangkal juga, biasa aja.

Gue berjalan di antara gerombolan siswa-siswi yang memasuki gerbang, sesekali gue enggak sengaja menghirup aroma parfum cewek-cewek yang lumayan nusuk di hidung. Yang cowok-cowok pada lari-larian menuju ke dalem sekolah, seru-seruan aja sama temenya. Di antara para siswa yang penuh semangat pagi, gue mungkin salah satu dari sedikit orang yang masih males-malesan dan ngarep bisa tidur sedikit lebih lama.

Bel sekolah berbunyi, semua orang langsung pada gugup untuk masuk ke kelas masing-masing. Gue yang udah mau sampai di dekat kelas, hanya berjalan santai di antara mereka yang berlarian dan berjalan cepat.

Ketika gue tiba di teras kelas, Nadia terlihat sedang berjalan dari arah yang berlawanan sambil ngobrol sama temennya. Ketika dia hampir masuk ke kelas, pandangan kita saling bertemu. Waktu berasa bergerak lambat pas kita saling ngeliat satu sama lain, ingatan gue terbang ke kejadian tadi malem.

Tadi malem, setelah Nadia menyatakan perasaannya ke gue, di tengah guyuran hujan, di atas zebra cross, di bawah payung yang sama... gue cuman bisa diem. Gimana enggak diem, kejadian tersebut enggak gue duga sama sekali. Gue emang sempet mengira di balik traktiran semalem  itu  tersimpan maksud lain, tapi gue kira dia bakal minta bantuan ngerjain PR bahasa Inggris atau minta bantuan lain, tapi ternyata dia malah nembak gue. Jelas, gue bingung dan otak berhenti gerak.

Dengan mempertimbangkan apapun termasuk apa yang akan terjadi, gue nolak ajakan Nadia untuk pacaran. Gue pikir setelah mendapat penolakan, dia akan guling-guling di zebra cross sambil ngerengek minta seblak, atau dia bakal menjaga jarak dari gue, keluar dari naungan payung, ngebiarin dirinya terguyur hujan biar dramatis, trus bilang “Kamu jahat.” Ternyata dia enggak melakukan itu, dia tetep mau nganterin gue pulang.

Setelahnya, perjalanan pulang ke rumah bareng Nadia terasa sangat canggung dan dingin, lebih dingin dari dinginya hujan. Gue dan Nadia sama sekali enggak saling ngomong lagi, atmosfer di sekitar Nadia pun terasa kelam. Gue yang canggung setengah mati hanya bisa jalan sambil berusaha menghindari kontak mata sama Nadia hingga tiba di depan rumah gue. Sumpah enggak enak hati banget semalem.

Tanpa menyapa atau tersenyum saat melihat gue, Nadia dan temenya masuk ke dalam kelas. Gue sadar kalau dia masih ngambek dan mungkin ada sedikit rasa sakit hati. Mungkin sebaiknya nanti gue harus minta maaf ke dia kalau ada waktu.

Gue duduk di bangku pojok belakang, deket jendela kelas. Adit yang duduk di sebelah gue keliatan lagi sibuk nyontek tugas milik seseorang dengan gugup kayak maling ayam yang ketahuan maling motor. Sesekali dia ngeliat ke arah pintu, memastikan ke datangan guru. Gue hanya ngelirik dia tanpa mengatakan apapun.

Guru pelajaran IPS akhirnya memasuki kelas. Cewek-cewek yang asik ngegosip langsung pada diem, cowok-cowok yang lagi asik mabar (main bareng) langsung memasukan HP-nya ke dalem tas, dan Adit yang gugup nyontek tugas, segera ngelempar buku contekan yang dia pakai ke pemiliknya yang kebetulan duduk di seberang kanan.

“Udah selesai?” Tanya gue.

“Udah, alhamdulilah.” Adit mengacungkan ibu jarinya ke gue.

Gue menatapnya dengan tatapan aneh sambil berkata dalam hati, “abis nyontek kok alhamdulilah?”

Masuk ke dalam ruang kelas dengan langkah yang mantap, guru pelajaran IPS yang bernama pak Bejo itu memberikan sapaan seperti biasa, kemudian setelah sapaannya di jawab, pak Bejo mulai bicara.

“Nah, sebelum kita mulai pelajarannya, ada hal penting yang akan bapak sampaikan pada kalian.” Pak Bejo berhenti bicara, meperhatikan seisi kelas yang keliatan penasaran, termasuk gue. Pensaran, kira-kira pak Bejo mau bilang apa, apakah sekolah kita bakal kedatengan Cinta Laura untuk ngajarin bahasa Inggris? Kalau emang bener, gue bakal jadi orang yang paling caper dan unjuk gigi kemampuan bahasa Inggris gue yang pas-pasan. Tapi, gue terlalu nge halu, enggak mungkin banget itu bakalan terjadi.

Setelah puas ngeliat para siswa-siswinya penasaran, pak Bejo melanjutkan pengumumannya.

“Kita akan kedatangan murid baru, dia pindahan dari sekolah sebelah.”

Semua orang di kelas kecuali pak Bejo, makin penasaran, mereka menebak-nebak, siapa gerangan murid baru yang akan jadi bagian dari kelas ini. Yang cowok-cowok pada berharap dia adalah murid cewek yang cantik. Termasuk Adit, dari mukanya udah keliatan kalau dia juga ngarep itu murid adalah cewek cantik. Para cewek ngarep murid itu adalah opa korea.

Kalau gue, terserah, sih, mau cewek maupun cowok. Pada akhirnya juga gue bakal sulit jadi temenya, karena gue jarang nyapa orang duluan, juga jarang memulai pembicaraan sama orang lain. Enggak begitu peduli juga, sih.

“Silahkan masuk, enggak apa-apa, jangan malu-malu.” Pak Bejo menghadap ke pintu kelas, mempersilahkan si murid baru yang di maksud.

Sosok yang di nanti-nantikan akhirnya dateng juga, semua mata tertuju pada sosok cewek berseragam OSIS yang memiliki atribut agak beda dengan siswa di kelas, atribut seragam dari sekolah lain.  Dia langsung mencuri perhatian seisi kelas, termasuk gue. Jantung gue berdetak kencang ketika ngeliat dia, gue kaget setenga mati.

“Halo, selamat pagi. Perkenalkan Namaku Evi Selvi Olivia, atau biasa di panggil Olivia. Salam kenal semuanya.” Murid baru itu tersenyum ramah kepada semua orang setelah memperkenalkan diri.

Murid baru itu, ternyata adalah mantan pacar gue, Olivia.

Bersambung ...

Chapter 03 : Gadis Idaman

“Hah? Serius?” Adit keliatan kaget mendengar apa yang barusan gue katakan. “Si murid baru itu mantan pacar lo?” Lanjutnya.

Kita berdua sedang ada di kantin sekolah, menikmati makan siang di awal jam istirahat terakhir. Adit duduk di sebelah gue sambil makan mie instan, sedangkan gue makan pisang cokelat yang udah di sediakan di meja bersama dengan jajanan lain.

Adit keliatan  enggak nyangka kalau murid baru yang bernama Olivia itu adalah mantan pacar gue, meskipun dia mempercayai itu. Menurut kita, ini adalah sebuah kebetulan yang langka atau bisa dibilang, ini adalah keajaiban.

Kantin sekolah enggak seramai biasanya karena anak kelas 3 lagi pada sibuk latihan ujian nasional yang bakal di adakan sekitar  tiga bulan lagi. Akhir-akhir ini emang mereka keliatan sibuk, sih, dan sekolah jadi lumayan tenang ketika jam istirahat kayak gini. Lumayan sepi, dan gue merasa lebih nyaman dengan situasi kantin yang seperti i ni.

Setelah mengangguk ke Adit gue lanjut ngomong, “Iya, dia mantan gue yang pernah gue ceritain ke lo itu.”

Selama ini, gue selalu curhat masalah percintaan gue ke Adit. Saat gue lagi berantem sama Olivia, gue sering nelpon dan menceritakan ke dia tentang permasalahan kita ke Adit. Kadang Adit enggak mau tahu menahu soal itu, tapi kadang juga ngasih solusi sekenanya.

Adit enggak tahu kalau si murid baru itu adalah mantan pacar gue yang selama ini gue curhatin ke dia karena selama gue curhat, gue enggak pernah ngasih tahu identitas Olivia ke Adit, sama sekali. Sering, sih, Adit nanya-nanya soal itu, tapi gue selalu  berusaha menyembunyikan identitas Olivia rapat-rapat. Dan hari ini, ketika tiba-tiba Olivia dateng ke kelas kita sebagai murid baru, mau enggak mau emang gue harus bilang ke Adit.

“Cantik amat.”

Gue memasang wajah datar mendengar ucapan Adit. Apa yang baru aja Adit katakan seakan menandakan kalo dia enggak percaya sama gue.

Adit lanjut memakan mie instannya sebelum lanjut berkata, “Sebenernya gue percaya-percaya aja, sh. Tapi...”

“Tapi apa?”

Dia berdehem terus lanjut bilang, “Ngeliat muka dia yang cantik dan tampang lo yang pas-pasan,  agak sulit  otak gue untuk menerima kenyataan.”

Gue menghembuskan nafas, menyabari keadaan. Agak nusuk di hati, sih, tapi ya gue bisa memaklumi karena Adit emang orangnya gitu, mulutnya agak tajam.

Kalau dipikir-pikir emang bener apa kata Adit. Kalau di sandingkan dengan gue yang punya tampang pas-pasan, sosok Olivia emang bukanlah orang yang cocok. Cewek itu terlalu cantik bagi gue yang biasa aja.

Tapi pada kenyataannya, dulu justru dialah yang ngajak gue pacaran duluan, dan gue  yang  hanya bisa jatuh cinta dalam diam pun dengan senang hati menerima ajakan itu.

Gue enggak pernah cerita ke Adit tentang siapa yang ngajak pacaran duluan, lagian dia juga enggak pernah nanya tentang itu. Sebaiknya gue juga enggak perlu cerita, deh, kayaknya. Karena pasti Adit bakal ngetawain gue, dia enggak bakal percaya.

Selesai makan, gue  berencana untuk langsung ngajak Adit balik ke kelas walau waktu istirahat masih lumayan panjang. Gue bukan tipe orang yang aktif ngelakuin kegiatan fisik, capek dan males. Tapi Adit normal, dia biasanya abis makan di kantin langsung main basket sama temen-temen yang lain.

“Nggak bosen apa lo di kelas terus?”

Gue menggelengkan kepala ketika di tanya demikian.

Adit menepuk pundak gue, “Tapi, gue mau mampir ke ruang musik dulu, lo mau ikut apa enggak?”

Ngapain dia ke ruang musik? Apa dia juga mulai gabung ke ekskul musik juga? Gue enggak tahu soal itu. Emang dia bisa main alat musik,ya? Setahu gue dia sama sekali enggak bisa main alat musik, deh.

“Lo gabung ekskul musik juga, ya?”

Adit menggelengkan kepala setelah menerima pertanyaan tersebut. “Gue belum gabung ekskul musik, tapi rencananya ini nanti gue mau daftar.”

“Emang lo bisa main alat musik?”

“Hehe...” Dia menggelengkan kepala, “Kagak.” Lanjutnya.

Setahu gue, Adit udah ikut tiga ekskul yaitu, pencak silat, sepak bola serta  menjahit, dan kali ini dia mau gabung ekskul musik, mengerikan.

Kalau mau gabung sama ekskul musik itu setidaknya harus bisa memainkan minimal satu alat musik dulu, kecuali emang  dia punya suara yang bagus, bisa jadi vokalis dan perihal bisa main alat musik atau enggak, bagi vokalis itu enggak masalah. Informasi tersebut gue ketahui dari obrolan temen-temen di kelas.

Adit enggak bisa main alat musik sama sekali, suaranya juga jelek. Kalau Adit nyanyi, suara dia udah kayak burung gagak menjelang ajal, dia bener-bener enggak punya bakat di bidang musik. Jadi, menurut gue sebaiknya Adit mengurungkan niat untuk gabung ekstrakulikuler musik.

Sebenernya gue mau nolak ajakan Adit dan ngelanjutin perjalanan ke kelas,terus ngebiarin dia pergi ke ruang musik sendiri. Tapi entah kenapa dia lumayan maksa, seakan mau ngasih liat sesuatu... atau mungkin seseorang, gue pun pasrah dan ikut dia ke sana dengan rasa pensaran yang tipis.

Setibanya kita di depan ruang musik, gue dan Adit di sambut ramah oleh seseorang berbadan tinggi dan lumayan ganteng. Rambutnya di belah pinggir tapi enggak keliatan culun, justru malah ngebuat dia tampak berkarisma. Aroma wangi shampo jeruk bisa tercium ketika gue berdiri berhadapan dengan dia. Kalau gue cewek, pasti gue adalah salah satu orang yang tergila-gila sama orang yang baru pertama kali gue liat ini.

“Eh, lo, dit.”  Cowok cool itu tersenyum setelah membuka pintu ruang musik. Dia salaman dengan Adit dan ngajak salaman gue juga,  sebelum akhirnya ngajak kita masuk ke dalem. Tangannya dingin.

Ruang musik sekolah terasa begitu asing, karena selama setahun lebih sekolah disiini, ini adalah pertama kalinya gue  masuk ke dalem sini. Kedua mata melihat ke seluruh penjuru ruangan, mengagumi beberapa poster grup band yang tertempel di dinding dan alat musik yang  tertata rapi di dalem ruangan. Seorang cowok yang terlihat pake baju pramuka sibuk mengutak-atik bass, sesekali memetik senarnya. Heran, kenapa dia pake baju pramuka, ini kan bukan hari jum’at.

Kita berdua mengikuti si cowok cool yang gue belum gue ketahui namanya, kita berjalan ngikutin dia sampai dia berhenti tepat di tengah ruang musik.

“Duduk, disini, kita lesehan. Maaf ya enggak ada karpet.” Kata cowok cool itu sambil tersenyum ramah, dia langsung duduk setelah bilang gitu. Serius, gue yang cowok aja ngerasa kalau senyumnya manis banget. Sumpah gue bukan penyuka sesama jenis, tapi emang nih cowok manis banget.

Adit lantas duduk bersila di hadapan si cowok cool , gue pun mengikuti. Duduk di sebelah Adit, di atas lantai yang dingin nan wangi. Gue lanjut melihat sekeliling, mengagumi ruang musik lagi.

“Jadi, gimana, dit? Lo jadi gabung ekskul musik?”

Dengan senyum penuh semangat, Adit mengangguk mengiyakan.

“Oke deh, tapi sebelum itu, gue mau nanya sesuatu,” Si cowok cool berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Emangnya lo bisa main alat musik apa?”

Ekspresi wajah Adit  kemudian tampak berubah drastis ketika tiba-tiba dapet pertanyaan itu. Gue yakin Adit enggak menyangka sama sekali kalau dia bakal dapet pertanyaan itu di awal. Gue memandang ke arah Adit ketika dia juga memandang ke arah gue. Dia bingung, keningnya keringetan dikit.

Gue enggak tahu apa tujuan Adit gabung ke ekstrakulikuler musik. Orang tanpa kemampuan bermusik seperti Adit tiba-tiba memutuskan untuk ikut ke dalam kelompok yang anggotanya di wajibkan untuk menguasai alat musik, sedangkan dia sama sekali tidak bisa, udah pasti  dia  punya maksud lain untuk dateng kesini.

“Emm ...” Adit menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, setengah gugup, “Keyboard.” Jawabnya ngasal.

“Wah, bagus. Kebetulan banget kita kekurangan anggota yang bisa main keyboard.” Si cowok cool tampak bersemangat setelah denger jawaban dari Adit.

Dari sampingnya, gue melirik Adit yang keliatan tersenyum canggung. Dia bohong, Adit bener-bener enggak bisa main keyboard, bahkan dia enggak paham tentang keyboard sama sekali.

“Hehe... gitu, ya, kak.”

“Iya, di sini yang  bisa main keyboard kalo enggak salah cuma satu orang, kalo lo bisa main keyboard dan memutuskan untuk bergabung dengan kita, kita bakal bersyukur banget, guru pembimbing ekskul musik juga pasti bakal seneng, kok.” Si cowok cool keliatan seneng, padahal Adit berbohong.

Suara petikan bass yang di mainkan oleh cowok yang pake baju pramuka terdengar nyaring di ruangan, dia udah mulai nyolokin kabel ke sound system. Kayaknya hari ini mereka bakal ngadain latihan rutin, tapi ruangannya masih sepi, cuman  ada kita berempat, yang lain mungkin pada belum dateng.

Enggak lama kemudian, dua orang anggota membuka pintu ruangan dan masuk ke dalem, yang satunya cowok yang penuh semangat, satunya lagi cewek dengan wajah cindo (Cina Indo). Lalu, si cowok penuh semangat yang baru masuk menyapa si cowok berseragam pramuka yang lagi main bass di pojok ruangan, mereka langsung duduk sebelahan. Sementara si cewek cindo keliatan agak cuek dan langsung berdiri di hadapan keyboard yang berada tak jauh dari kedua temannya itu.

Kedua anggota yang baru masuk itu lantas menyapa kita bertiga yang lagi duduk lesehan di lantai, di tengah ruangan. Si cowok cool  yang duduk di hadapan gue dan Adit mengenalkan ketiga anggota lainya. Cewek cindo yang lagi main keyboard namanya Jane, sedangkan si cowok bahagia yang lagi ngobrol sama si cowok berseragam pramukan namanya Rehan, dan yang berbaju pramuka yang lagi main bass namanya Agung.

“Oh, iya, lo mau gabung ekskul musik juga apa enggak? Dari tadi kok diem aja.” Orang yang duduk di hadapan gue dan Adit tiba-tiba nanya ke gue. Dengan cepat, gue geleng-geleng.

Gue enggak bisa main alat musik, dan gue enggak mau berbohong juga biar bisa gabung seperti yang Adit lakukan. Kalau pun gue bisa main alat musik, gue enggak akan gabung kegiatan ekstrakulikuler juga, sih.

“Gue cuman nganter Adit aja.” Jawab gue.

“Oh, gitu ya.” Si cowok cool senyum. “Kenalin, nama gue Indra, gue drummer sekaligus ketua di ekskul ini.” Dia ngenalin diri, padahal gue enggak nyuruh, enggak peduli juga meskipun dia cool dan manis.

Tapi tunggu dulu, gue perhatiin sejak Jane si cewek cindo masuk ke dalem ruangan, Adit kayaknya ngeliat ke arah situ terus. Jelas banget kalau dia diem-diem merhatiin tuh cewek. Adit senyum-senyum sendiri setengah ngelamun ngeliat Jane yang sibuk otak-atik keyboard-nya. Dari situ gue jadi tahu alesan kenapa Adit jawab keyboard pas dia di tanya sama Indra. Dia naksir sama Jane. itu dugaan sementara gue.

Sedangkan, ketika gue mencoba memperhatikan Jane si muka cindo, sesekali dia memperhatikan Indra, curi-curi pandang ke Indra dengan wajah malu-malu dan pipi sedikit merona.

Adit  nekad gabung ke ekstrakulikuler musik meskipun dia sama sekali enggak bisa main alat musik, sepertinya dia berbohong dengan mengatakan kalau dia bisa main keyboard. Tujuan dia pasti biar bisa sering-sering ketemu sama cewek yang kayaknya (masih dugaan sementara gue) lagi dia suka, yaitu Jane si pemain keyboard. Sedangkan, setelah gue perhatikan diem-diem dalam beberapa lama, Jane sendiri keliatan curi-curi pandang ke si ketua ekstrakulikuler musik.

Gue tahu kemana arah drama percintaan Adit akan mengalir. Kayaknya, dia bakal ngalamin patah hati, karena saingannya lumayan berat.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!