"Anda yakin dok?"
Dokter itu mengangguk sedih. Seragam operasinya yang berwarna hijau masih bersih, menandakan bahwa ia tidak cukup lama berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya keringatan. “Maafkan saya, nyonya Gemintang. Penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana.”
“Tak ada cara untuk menyembuhkannya?”
“Tidak ada, yang ada hanya obat untuk mengurangi rasa sakitnya.” Sang dokter menyentuh lengan Gemintang dan melirik pria yang berdiri di samping wanita itu dengan penuh arti. “Ia tidak akan mampu bertahan lama. Maksimal hanya beberapa minggu saja.”
“Ya, saya mengerti.” gemintang menyeka matanya dengan tisu yang sudah basah dan kusut.
Sang dokter manaruh rasa iba terhadap Gemintang. "Andai suami Anda memeriksakan dirinya lebih cepat, mungkin saja…”
Gemintang menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan. “Tetapi dia tidak mau. Saya sudah berusaha untuk membujuknya agar memeriksakan perutnya yang tidak enak. Namun ia berkeras bahwa itu hanyalah masalah pencernaan.”
“Kita semua tahu Guntur memang pria yang keras kepala,” pria yang berdiri di samping Gemintang menyela. Dengan lembut Randy menggenggamkan jari-jari Gemintang Dahayu di lengannya. “Apakah Guntur sudah bisa di jenguk?”
“Beberapa jam lagi,” sahut sang dokter. “Pengaruh obat biusnya baru akan hilang nanti sore. Bagaimana kalau kalian berdua pulang saja dulu dan beristirahat?”
Gemintang mengangguk. "Baiklah kalau begitu dok, kaminpermisi dulu. Terima kasih." ia membiarkan Randy, pengacara yang juga sahabatnya, menggandengnya menuju lift.
Mereka terdiam menanti pintu lift terbuka, Gemintang merasa agak bingung, tapi tidak terlalu terkejut dengan informasi yang di sampaikan dokter. Sejak awal ia memiliki firasat bahwa Guntur bukan hanya mengidap usus buntu biasa.
“Kau baik-baik saja?” Randy bertanya lembut ketika pintu lift terbuka dan mereka masuk, kemudian Randy menutupnya.
Gemintang menarik napas panjang. "Menurutmu bagaimana? Apa yang dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan meninggal.”
“Aku mengerti, maafkan aku.”
Gemintang menatap Randy dan tersenyum. "Terima kasih kau selalu ada di masa-masa sulitku, betapa beruntungnya aku punya sahabat seperti dirimu.”
Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi. Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik Gemintang, tapi kemudian cepat-cepat membuang pandang. Wajah-wajah yang dipalingkan itu dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap penuh rasa hormat. Semua orang sudah tahu. Saat warga terpandang di kota sekecil ini sakit berat. Beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota.
Randy menemani Gemintang sampai ke mobil dan membukakan pintu untuknya. Gemintang masuk ke mobil tapi tidak langsung menghidupkan mesinnya. Ia duduk, pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas, sedih. Begitu banyak yang harus diurusnya. Dari mana ia mesti mulai?
“Raden harus diberitahu.”
Nama itu menghunjam tubuh Gemintang bak pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama tersebut seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Nama laki‐laki itu menggemuruh di dalam benaknya. Perasaan sakit saat mendengar nama itu membuat Gemintang merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh seketika.
“Gemintang, kau dengar apa yang kukatakan? Aku bilang...”
“Ya, aku dengar.”
“Sebelum masuk ke ruang operasi, Guntur memintaku segera menghubungi Raden bila hasil pemeriksaan dokter tentang penyakitnya buruk.”
"Guntur memintamu menghubungi Raden?”
“Ya. Dia dengan tegas meminta aku mengontak Raden.”
“Aneh. Kukira permusuhan di antara mereka tidak akan pernah terdamaikan.”
“Guntur hamir sekarat. Kurasa ia menyadari, begitu masuk rumah sakit ia tidak akan pernah keluar lagi. Ia ingin melihat putranya untuk yang terakahir kali sebelum meninggal.”
“Mereka tak pernah berjumpa atau bicara pada satu sama lain selama dua belas tahun. Aku tak bisa memastikan apakah Raden bersedia datang.”
“Raden pasti datang kalau tahu kondisi ayahnya sekarat seperti ini.”
Akankah ia datang ke sini? Oh, Tuhan, apakah laki-laki itu akan datang ke sini? Apakah ia akan bertemu Raden kembali? Bagaimana perasaannya bila mereka benar‐benar bertemu? Bagaimana rupanya sekarang? Peristiwa itu sudah lama berlalu. Dua belas tahun yang lalu.
Jari Gemintang mencengkeram kemudi mobil Mercedes Benz yang empuk. Telapak tangannya basah. Gemintang merasa sekujur tubuhnya juga basah.
“Jangan terlalu khawatir,” ujar Randy, yang turut merasakan keresahan yang menyergap Gemintang. “Kau tak begitu mengenal Raden, biar nanti aku yang menelepon dan menyampaikan berita ini padanya.”
Gemintang tidak ingin mengoreksi pendapat Randy yang mengganggapnya tidak mengenal Raden. Bahwa mereka saling mengenal dengan baik merupakan rahasia yangnia sembunyikan selama dua belas tahun. Ia tidak ingin menyingkap rahasia itu saat ini. Ia malah menumpangkan tangannya di tangan Randy yang diletakkan di jendela pintu mobilnya. “Terima kasih untuk semua bantuannya.”
Wajah Randy yang bersahaja merah padam ketika Gemintang memegang tangannya. “Aku senang bila bisa menolongmu. Apa ada lagi yang bisa kubantu?”
Gemintang menggeleng. Ia lega Randy bersedia menelepon Raden, dirinya tak sanggup jika harus menghubungi Raden. "Aku harus memberitahu Laura, menyampaikan berita seperti ini pada Laura bukan hal mudah.”
“Kau yang paling mampu melakukannya.” Randy mengelus tangan Gemintang lalu melangkah mundur. “Nanti sore kutelepon lagi. Kalau perlu, aku bersedia mengantarmu kembali ke rumah sakit.”
Gemintang mengangguk, menyalakan mesin mobil, dan memasukkan gigi, lalu pergi.
Lalu lintas kota cukup padat ketika mobil Gemintang melaju, di perjalanan ia memikirkan Guntur yang dijadwalkan dioperasi pagi tadi. Selesai operasi, untuk kesekian kalinya, Gemintang merasakan seakan dunianya terjungkal.
Pria yang disayanginya, yang semula adalah majikannya, kemudian menjadi suaminya, akan meninggal. Masa depannya, yang selama ini tampaknya aman, akan kembali mengalamai kekacauan. Jika Guntur meninggal tidak hanya akan membuat Gemintang kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, tetapi juga kehilangan kehidupan barunya.
Gemintang mengemudikan mobil melewati perkebunan, ia akan panen raya karet tahun ini. Mandor-mandor pabrik harus segera diberitahu perihal keadaan Guntur. Ia yang harus memberitahukannya, karena selama beberapa bulan ini, sejak kesehatan Guntur tak memungkinkannya menjalankan bisnis, ialah yang melakukan mengambil alihnsemuanya. Para mandorlah nantinya yang akan meneruskan berita tersebut kepada para karyawan. Dalam waktu singkat, seluruh warga kota akan tahu bahwa Guntur sakit berat.
Pernikahan Gemintang dengan Guntur menjadi peristiwa yang paling hangat digosipkan di seluruh penjuru kota, karena pria yang menikahinya itu tiga puluh tahun lebih tua dari dirinya. Mereka mengatakan putri sulung dari keluarga Jagadita yang melarat berhasil menaikkan status sosial keluarganya, tinggal di rumah mewah, memiliki mobil Mercedes Benz yang mengilap, dan selalu berpakaian bagus. Hebat! Memangnya siapa dia? Seingat mereka, Gemintang hanyalah gadis berpakaian lusuh yang bekerja di rumah mewah itu setiap pulang sekolah. Kini setelah menjadi Nyonya Buana, istri orang terkaya di kota, ia berlagak betul!
Sebenarnya, Gemintang menghindari warga kota karena tidak tahan melihat cara mereka memandang dirinya, pandangan yang dirasanya penuh prasangka, sorot mata penuh tuduhan bahwa ia memakai ilmu pelet untuk membuat Guntur menikahinya setelah bertahun-tahun menduda.
Pohon‐pohon besar yang rindang tumbuh mengelilingi rumah mewah itu, dindingnya dicat putih bersih, pilar bergaya Corinthian tegak menjulang di bagian depan, tiga pilar di setiap sisi pintu depan. Pilar-pilar itulah yang menyangga lantai dua rumah dengan teras yang luas di sekelilingnya.
Keheningan menyelimuti rumah bak kabut sihir yang mengelilingi puri dalam dongeng, Gemintang yakin bahwa rumah tersebut merupakan damban semua orang di dunia ini.
Kini ia menjadi penghuni rumah tersebut, namun setelah operasi pagi tadi, Gemintang sadar dirinya hanya penghuni sementara rumah mewah itu.
Gemintang menghentikan mobil di halaman yang berbatu-batu, yang dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak Gemintang berusaha menenangkan pikiran dan mengumpulkan seluruh kekuatan karena petang ini tidak akan menjadi petang yang menyenangkan.
Gemintang berjalan dengan anggun menuju lantai dua, menuju kamarnya. Ia melepas blazernya dan menaruhnya di gantungan.
“Bagaimana keadaan tuan Guntur?” tanya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu sejak mendiang istri Guntur, Camila Agatha, menikah dengan Guntur Rimba Buana.
Sang asisten itu berdiri di ambang pintu, kemudian perlahan Gemintang menghampirinya lalu memeluknya. Lengan pengurus rumah tangga yang gemuk itu membalas mendekap tubuh Gemintang yang ramping. “Apakah kondisi tuan buruk?” tanyanya lembut sambil mengelus-elus punggung Gemintang.
“Suamiku terkena kanker, dokter mengatakan kemungkinan dia tidak akan pulang ke rumah lagi.”
Dada Heny yang besar bergetar karena menahan tangis. Kedua perempuan itu saling menghibur. Haney tidak begitunsuka dengan Guntur, kendati ia sudah bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun. Kesedihan yang dirasakannya terutama ditujukan pada orang-orang yang di sekelilingnya terutama Gemintang, yang mungkin saja akan menjadi janda di usianya yang masih sangat muda.
Semula Heny menolak kedatangan nyonya baru di rumah mewah itu. Tetapi ketika melihat Gemintang tidak mengubah tatanan rumah sama sekali, tetap membiarkannya sebagaimana ketika almarhumah Camila masih hidup, mulailah ia menyukai Gemintang. Selain itu Gemintang menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Laura, hal itu sudah cukup bagi Heny untuk menganggap Gemintang memiliki hati bak malaikat.
“Bik Heny? Tante Gemintang? Ada apa?” Keduanya berbalik dan melihat Laura berdiri di anak tangga bawah. Dalam usia dua puluh dua tahun, putri Guntur itu kelihatan masih seperti gadis remaja saja.
Rambutnya yang cokelat dibelah tengah dan tergerai lurus ke bawah, rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya seputih porselen, ,atanya besar dan berwarna cokelat, dengan bulu mata yang panjang.
“Operasi Daddy sudah selesai? Kapan daddy akan pulang? Hari ini atau besok?”
“Selamat siang, Laura,” sapa Gemintang sambil menghampiri anak tirinya, yang lima tahun lebih muda darinya. Digandengnya lengan gadis itu. “Mau menemaniku jalan-jalan di luar? Udara cerah hari ini.”
“Mau. Tetapi kenapa Bik Heny menangis?”
Heny tampak tengah menyeka mata dengan kain handuk.
“Ia sedih," jawab Gemintang.
“Kenapa?”
Gemintang menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan menggandengnya menuju ke teras. “Karena daddymu, sakitnya lumayan parah."
“Aku tahu. Daddy selalu mengeluh sakit perut.”
“Ya, kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi.”
Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat rapi, Laura memetik sekuntum bunga daisy yang tumbuh di dekat jalan setapak batu yang penuh lumut. “Daddy kena kanker?”
Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka. “Ya, benar,” sahut Gemintang. Ia tidak ingin menutup-nutupi keadaan ayahnya.
“Aku banyak mendengar soal kanker di televisi,” ucapnya sambil menghentikan langkah dan menatap Gemintang. Kedua perempuan yang hampir sama tinggi itu saling memandang. “Daddy bisa meninggal karena kanker.”
Gemintang mengangguk. “Daddy memang akan meninggal, Laura. Kata dokter, daddymu bisa meninggal dalam waktu seminggu atau lebih.”
Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca-kaca. Laura mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya. Kemudian ia menoleh pada Gemintang lagi. “Ia akan ke surga, kan?”
“Kurasa begitu… Ya, ya, pasti, ke surga.”
“Kalau begitu Daddy akan bersama Mommy lagi. Sudah lama Mommy berada di sana. Pasti Mommy senang berjumpa dengan Daddy. Dan aku masih tetap punya tante Gemintang, Bik Heny, dan Mang Adit.” Ia melirik ke arah kandang kuda. “Dan Kak Raden. Kak Raden selalu mengirimiku surat setiap minggu. Katanya ia selalu menyayangi dan akan menjagaku. Apakah kak Raden benar-benar akan menjagaku?”
“Tentu saja.” Gemintang mengatupkan bibir, menahan tangis. Akankah Raden pernah menepati janji? Bahkan terhadap adik perempuannya?
“Tetapi mengapa Raden tidak mau tinggal bersama kita?” tanya Laura.
“Mungkin ia akan segera pulang.” Gemintang tidak ingin memberitahu Laura bahwa tidak lama lagi Raden memang akan tiba di rumah sampai ia melihat sendiri Raden muncul.
Laura terlihat tenang. “Mang Adit menungguku. Kuda betinanya melahirkan semalam. Ayo kita lihat." Diraihnya tangan Gemintang , lalu ditariknya menuju kandang kuda. Gemintang iri melihat kegembiraan Laura dan berharap ia pun bisa menerima keadaan Guntur dengan pikiran sesederhana Laura.
Udara di kandang kuda hangat, berbaur dengan bau kuda, kulit, dan jerami yang tajam. “Mang Adit,” panggil Laura riang.
“Di sini,” jawab suara bernada rendah.
Mang Adit bekerja sebagai pengurus kandang kuda keluarga Guntur, Adit Mengembangbiakkan kuda-kuda ras murni termasuk salah satu kesukaan Guntur, tapi ia tidak terlalu memedulikan perawatan kuda.
Adit muncul dari lorong salah satu kandang kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi sangat tegap wajahnya persegi seperti tokoh kartun Spongebob, namun terkadang terpancar ekspresi yang melembutkan. Ia membiarkan rambutnya tumbuh panjang, seperti biasanya sehelai bandana diikatkan di kepalanya, dan topi koboi dari jerami menutupi kepalanya. Celana jinsnya sudah tua dan kumal, sepatu botnya penuh debu, kemejanya penuh bercak keringat, ia berusia tiga puluh tahun.
Ia tersenyum berseri-seri ketika melihat Laura berlari mendekatinya. “Mang Adit, kami ingin melihat anak kuda itu,” ucap Laura terengah-engah.
“Di sana.” Adit menoleh ke arah kandang kuda yang baru ditinggalkannya.
Laura masuk ke kandang kuda. Adit menatap Gemintang dengan pandangan bertanya. “Kanker,” ujar Gemintang menjawab pertanyaan Adit yang tak terucap.
"Anda sudah memberitahunya?”
“Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik dari pada kita semua.”
Adit menggangguk dan tersenyum sendu pada Gemintang. “Ya. Pasti.”
“Oh, Adit. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?”
"Iya," Adit masuk ke kandang, dan Gemintang mengikutinya, ia mengawasinya saat pria itu dengan gerakan kaku berlutut di sebelah Laura. Kecelakaan membuat Adit kehilangan separo kaki kirinya. Ia tidak begitu terlihat memakai kaki palsu, kecuali bila ia harus berlutut, seperti saat itu.
“Ia cantik sekali, kan? Dan induknya kelihatan sangat bangga pada anaknya.” Adit mengelus punggung kuda betina itu, tetapi matanya tetap tertuju pada Laura. Gemintang terus memerhatikannya, ketika Adit menjulurkan tangan untuk menjumput jerami yang menempel di rambut Laura. Jari-jarinya mengelus pipi Laura yang sangat halus. Laura menatap Adit dan mereka saling tersenyum.
Sejenak Gemintang tertegun menyaksikan kemesraan di antara kedua orang itu, ia bingung jika Laura menyukai Adit sungguhan. Gemintang bersikap tak begitu mengambil pusing, ia berniat meninggalkan tempat itu, namun Adit melihatnya. “Nyonya, ada yang bisa saya bantu…” Adit tak melanjutkan kata-katanya.
“Terima kasih, Adit. Untuk sementara ini lakukan saja apa yang menjadi tugasmu seperti biasa.”
“Baik, nyonya.” Adit tahu, Gemintang-lah yang menolongnya bisa menjadi karyawan Guntur. Wanita itu masih karyawan Guntur ketika Adit melamar pekerjaan sebagai pengurus. Gemintang membujuk Guntur agar bersedia mempekerjakannya.
Guntur tak pernah menyesali keputusannya menerima Adit, karena ia bekerja dengan giat, sepenuh hati, dan membuktikan kemahirannya dalam merawat kuda-kuda ras murni. Pria itu hanya butuh dukungan untuk memantapkan rasa percaya dirinya karena kakinya.
Gemintang merenungkan semua itu ketika kembali ke rumah. Adit dan Laura saling mencintai. "Tidak, tidak mungkin." Ia menggeleng dan tersenyum, saat memasuki serambi. Telepon berdering, Gemintang mengangkatnya sebelum Heny datang.
“Halo?”
“Gemintang, ini Randy.”
“Ya?”
“Aku sudah bicara dengan Raden. Ia akan datang secepatnya, mungkin malam ini.
Banyak hal yang harus diselesaikan petang itu, banyak orang yang harus diberitahu. Guntur tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan. Tetapi penduduk kota, kolega bisnis Guntur, ingin tahu masalan penyakit yang di derita Guntur. Gemintang berbagi tugas dengan Randy untuk menghubungi mereka lewat telepon.
“Heny, sebaiknya kau segera siapkan kamar Raden. Dia akan datang malam ini.”
Mendengar berita itu, asisten rumah tangga tersebut tampak seperti ingin menangis. “Puji Tuhan, Puji Tuhan. Aku sudah lama berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga pasti menari-nari hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari ia kembali menempatinya. Tuhan, Tuhan, aku ingin sekali segera berjumpa dengannya.”
Gemintang berusaha tidak memikirkan saat ketika ia harus berjumpa anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Ia menyibukkan diri dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikannya.
Ia juga tidak memikirkan kematian Guntur yang semakin dekat. Itu akan dipikirkannya nanti, saat ia sendirian. Pada petang, waktu kunjungannya ke rumah sakit, Gemintang duduk di samping ranjang suaminya, ia tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran Guntur tidak akan pernah meninggalkan dirinya.
Suaminya masih di bawah pengaruh obat bius, tetapi Gemintang merasa tangannya ditekan pelan waktu ia menggenggam tangan Guntur dan mer*masnya sebelum pamit pulang.
Saat makan malam, ia memberitahu Laura tentang kabar kepulangan Raden. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Heny, dan menari-nari mengelilingi ruangan. “Ia memang berjanji suatu hari akan pulang, bukan, Heny? Sekarang Raden pulang. Aku ingin memberitahu Adit.” Laura langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Adit.
Sementara Gemintang mengambil gelas es teh lalu berjalan ke teras depan, ia duduk di kursi goyang bercat putih, dan menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain kembang-kembang dan memejamkan mata.
Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni rumah mewah ini, malam hari, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata. Bayang-bayang memanjang dan berwarna-warni, saling menyatu sehingga tak ada sudut atau bentuk yang jelas. Pepohonan menjulang di latar depannya. Kodok mengorek di sungai. Suara jangkerik menggema di udara dengan nada tinggi melengking. Tanah menyebarkan bau yang subur, dan setiap kuntum bunga menghamburkan harum yang unik dan memabukkan.
Setelah lama beristirahat, Gemintang membuka mata. Ketika itulah ia melihat pria tersebut.
Ia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon yang menjulur. Jantung Gemintang seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Ia tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening, dicengkeramnya gelas es teh erat-erat supaya tidak lolos dari cengkeraman jemarinya yang kaku dan dingin.
Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan seperti harimau dan dalam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya ia tiba di anak tangga batu yang menuju teras.
Siluet maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka lebar, ia tidak lebih kurus dari pada saat pertama kali Gemintang berjumpa dengannya. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pria itu dari pandangan Gemintang, tetapi Gemintang dapat melihat kilatan giginya yang putih ketika ia mulai tersenyum.
Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya. “Well, kalau tak salah, kau Gemintang Dahayu atau nyonya Buana.” Ia meletakkan sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bot di anak tangga dan membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia menatap Gemintang, sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya. Dada Gemintang terasa sesak oleh perasaan sakit… dan cinta.
“Ya, aku Nyonya Buana sekarang, Raden.”
Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi dan khayalannya. Wajah yang paling memesona yang pernah dilihatnya. Tampan ketika berusia dua puluhan, dan makin tampan dalam usia tiga puluhan. Rambut hitam, sorot matanya, yang memikat Gemintang sejak pertama kali melihatnya, menggugah perasaannya lagi.
Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah. Besok… sayangku. Aku akan datang ke tempat kita ini. Gemintangku, cium aku lagi. Kemudian, Besok, besok. Ia tidak muncul lagi keesokan harinya, dan selamanya.
“Lucu,” komentarnya dengan nada yang membuat Gemintang berpikir sebaliknya, “kita menyandang nama keluarga yang sama.”
Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Gemintang berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama beberapa tahun yang lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diungkapkan. “Aku tidak melihat mobilmu.”
“Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini.”
Landasan pesawat kira-kira hanya satu setengah kilometer jauhnya. “Oh. Mengapa?”
“Aku ingin tahu bagaimana sambutan yang akan kuterima.”
“Ini kan rumahmu, Raden.”
“Yeah, tentu rumahku.”
Gemintang membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya keberanian untuk tetap menghadapinya. Ia takut kakinya tak mampu menopang tubuhnya. “Kau tidak menanyakan kabar ayahmu?”
“Randy sudah memberitahu aku.”
“Kalau begitu kau tahu ia hampir sekarat?”
“Ya. Dan ia ingin bertemu aku. Rupanya keajaiban tak pernah lenyap.”
Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Gemintang bangkit dari duduk tanpa berpikir dua kali. “Ia sakit keras, Raden. Bukan seperti yang kau kenal dulu.”
“Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun, ia persis seperti aku mengingatnya.”
“Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu.”
“Aku bukan mau berdebat.”
“Dan aku tidak akan membiarkan kau mengecewakannya atau Laura atau Heny. Mereka ingin bertemu denganmu.”
“Kau tidak akan membiarkan? Astaga, astaga. Kau betul-betul menganggap dirimu nyonya di rumah ini, ya?”
“Tolonglah, Raden. Beberapa minggu ke depan segalanya akan cukup sulit tanpa…”
“Aku tahu, aku tahu.” Tarikan napas panjangnya terdengar sampai ke tempat Gemintang berdiri tegang di teras, tangannya mengepal erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena takut menjatuhkannya. “Aku juga tidak sabar hendak bertemu mereka,” katanya dan melirik ke arah kandang kuda. “Aku lihat Laura keluar dari rumah itu beberapa saat yang lalu, tetapi aku tidak ingin muncul tiba-tiba dalam gelap dan mengejutkannya. Aku mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah dewasa sekarang.”
Ingatan akan Laura dan Adit yang berlutut di tumpukan jerami di kandang kuda, jari-jari Adit mengelus pipi Laura, melintas di benak Gemintang. Ia tidak tahu apa pendapat Raden bila tahu hubungan asmara adik perempuannya itu. Ia jadi resah menerka-nerka. “Ia perempuan dewasa sekarang, Raden.”
Gemintang merasakan tatapan mata Raden pada dirinya, menelusuri, menganalisis, menilai. “Dan kau,” katanya lembut. “Kau juga perempuan dewasa sekarang."
Gemintang sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas tahun yang dikenalnya kini mendewasa.
Ia berharap bertemu Gemintang yang gendut, kumal, kusut, berambut kusam, dan berpaha besar. Ternyata ia masih ramping, dengan pinggang yang seolah akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut, namun tetap tegak, bulat, dan mengundang. Sialan! Seberapa sering ayahnya menyentuhnya?
Ia menaiki anak tangga perlahan-lahan, seperti pemangsa yang kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya. Matanya berkilat dalam kegelapan, nanar menatap Gemintang. Senyum lebar di bibirnya menyiratkan sesuatu yang licik, seakan pria itu tahu apa yang ada dalam benak Gemintang yang ingin dilupakannya, bagaimana bibir pria itu menyentuh bibirnya, lehernya, dadanya.
Gemintang berbalik. “Aku panggilkan Heny. Mungkin ia…”
Tangan Raden menyambar pinggang Gemintang, membuat langkahnya terhenti. Ia memaksa Gemintang menghadap ke arahnya “Tunggu sebentar,” katanya tenang. “Setelah dua belas tahun, tidakkah kau merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?”
Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Gemintang dan mendorong wajah wanita itu ke wajahnya. “Ingat, kita sekarang keluarga,” bisiknya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya mencium bibir Gemintang, kasar dan penuh kemarahan. Diciuminya bibir Gemintang dengan liar, seakan hendak menghukumnya karena malam-malam ketika ia memikirkan Gemintang, Gemintang-nya yang polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya.
Gemintang menyarangkan tinju ke dada pria itu. Terdengar suara mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia memberontak lebih keras. Karena ia ingin memeluk laki-laki itu, mendekapnya erat, merasakan kembali getaran yang pernah dirasakannya ketika berada dalam pelukannya.
Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Ia bergulat sekuat tenaga untuk membebaskan bibirnya.
Ketika ia berhasil melepaskan diri, Raden memasukkan tangan ke saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi marah dan bibir merah Gemintang. “Hai, Mom,” dengusnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!