Dua gundukan tanah yang dipenuhi rangkaian bunga tak lepas dari pandangan seorang gadis kecil. Berdiri di antara puluhan orang dewasa, gadis kecil itu mungkin saja tenggelam bila tak berada di paling depan. Wajahnya kedinginan sebab semilir angin menyusup melalui aliran air yang tak henti-hentinya keluar dari kedua manik biru mudanya.
Indra pendengarannya bahkan tak sanggup menangkap sepatah kata yang diucap orang-orang. Hanya ada pandangan kosong dan boneka beruang putih yang ia dekap erat-erat. Dunianya hancur. Ibarat kehilangan pondasi kehidupan, ia takkan sanggup menjalani hari-harinya setelah ini.
TURUT BERDUKA CITA ATAS KEPERGIAN WALES CARTER, WALIKOTA CHADERIA TERCINTA, DAN SANG ISTRI, DABBIE CARTER.
Seluruh penduduk memasang tanda itu di rumah masing-masing. Walikota Chaderia yang begitu dicintai, tewas bersama sang istri karena kecelakaan mobil.
Tepukan pelan mendarat di pundak gadis kecil itu. Jasper Houston—teman baik Wales Carter. Ia berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu.
“Jane, kau tak perlu khawatir. Paman akan menjagamu mulai saat ini."
Jane tak memberi respon. Lantas, Jasper mengusap-usap punggung Jane untuk menyalurkan ketenangan.
“Sekarang, kita harus menentukan walikota baru untuk Chaderia.” Pria jangkung bertubuh tinggi kekar, berkulit agak kecoklatan, dan rambut botak. Austin Pierce, mantan Angkatan Udara Amerika Serikat. Bukan perkara usia, melainkan cedera serius pada kaki kiri yang membuatnya terpaksa keluar dari pangkalan militer.
“Kita tak perlu bicarakan itu sekarang, Austin,” tegur Wesley. Bola matanya agak mendelik ke arah Austin.
“Lalu, kapan harus kita bicarakan, pak tua? Ini bukan waktu yang tepat untuk terus menerus berkabung,” ucap Austin.
“Austin, sopanlah sedikit pada Wesley. Dan setidaknya tunjukkan etikamu di depan makam Wales,” tegur Jasper.
Austin berdecih. Sementara pria enam puluh tahun yang beradu mulut dengannya, memilih diam.
“Hey, tak apa. Jangan menangis lagi.” Jane menoleh. Glenn Houston—putra Jasper Houston—merupakan temannya sejak bayi. Namun Jane tak begitu menyukai Glenn. Alasan klasik mereka masih berteman sampai sekarang yaitu karena ayah mereka merupakan sahabat baik.
“Apa kau dengar? Aku sedang bicara denganmu,” ucap Glenn saat tak mendapat balasan dari Jane.
“Aku tak ingin bicara denganmu,” balas Jane.
“Baiklah, terserah kau saja.” Glenn menjauh selangkah ke kiri.
Satu persatu penduduk mulai pulang. Berakhir hanya tersisa Jasper dan putranya, Wesley dan istrinya Sandra, serta Austin yang masih memandangi gadis kecil yatim piatu yang belum berhenti menangis.
“Sayang, bagaimana jika Jane pulang bersama kita?” pinta Sandra kepada suaminya.
“Tentu saja.”
“Jane, ikutlah bersama kami. Kami yang akan menjadi orang tuamu mulai sekarang,” ucap Wesley kepada Jane.
“Tidak, Wesley. Biar Jane bersamaku saja,” kata Jasper.
“Kami akan senang bila Jane menemani kami setelah kedua anak kami yang sudah besar pergi ke kota dan menikah,” ucap Sandra.
“Maaf, tapi aku tak ingin membuat kalian kerepotan di hari tua kalian.”
“Kurasa kau yang akan kerepotan bila harus mengurus dua anak sendirian. Jadi, biar dia bersama kami,” balas Sandra.
“Aku tak akan kerepotan dengan putri sahabatku. Sejak dulu Wales dan Dabbie banyak membantuku. Sekarang saatnya aku membalas mereka.”
“Tapi—”
“Sudahlah, Sayang. Mungkin Jane akan lebih baik jika diurus oleh Jasper. Akan ada Glenn juga di sana sebagai teman bermainnya.” Wesley meminta Sandra mengalah.
Tampak kesedihan di wajah Sandra, membuat Jasper merasa tidak enak hati.
“Begini, Sandra. Bukan aku tak mau kau merawat Jane, tapi aku tak mau merepotkan kalian,” ucap Jasper. “Sebagai gantinya, kalian boleh mengunjungi Jane setiap waktu. Kapanpun, aku tak melarang.”
Sandra sekadar mengangguk walaupun dirinya masih kekeh ingin merawat Jane.
“Jasper, kau harus menjadi walikota selanjutnya,” putus Austin Pierce, membuat orang-orang menghela napas. Benar-benar keras dan tak tahu situasi, begitulah Austin.
Chaderia, kota kecil di pinggiran Atlanta Timur. Berada di tengah-tengah hutan membuat Chaderia jauh dari peradaban masyarakat. Hutan belantara dan aliran sungai deras menjadi tantangan. Namun nyatanya, kata sejahtera mencerminkan kehidupan di kota ini.
Dua hari lagi, Chaderia genap berusia 130 tahun. Pesta besar-besaran akan diadakan. Para wanita sibuk memanen sayur dan buah untuk memasak besok, sementara para pria berperan sebagai tukang dekor. Tahun ini, puncak ulang tahun Chaderia akan dimeriahkan dengan acara memukul pinata berbentuk harimau.
Berjalan di tengah kesibukan penduduk, Jane jengah pada Glenn yang terus membahas hadiah yang tersembunyi di dalam pinata. Laki-laki itu tak berhenti menyebutkan dirinya akan menjadi pemenang lomba.
“Apa kau bisa berhenti?” kesal Jane.
“Ayolah, Jane. Apa kau tidak tertarik? Kudengar hadiahnya mencapai 20 ribu dollar dan beberapa barang yang diambil dari kota."
“Hey! Dari mana kau tau hadiah itu?” Seorang gadis tiba-tiba menerobos ke tengah-tengah Jane dan Glenn. Berjalan di antara keduanya.
“Hai, Ruby!” sapa Glenn. “Jelas aku tau. Kau tidak ingat aku putra seorang walikota?”
Ruby menoyor kepala Glenn dari belakang. “Pasti menguping pembicaraan walikota dan para dewan, bukan?:
Glenn tertawa, memang begitu kebenarannya. “Apa kau akan ikut lomba itu?”
“Tentu saja, mustahil kulewatkan. Kau juga, kan, Jane?”
Jane mengedikkan kedua bahu. “Kurasa aku tak tertarik.”
“Kau bercanda? Bagaimana bisa kau tak tertarik dengan hadiah sebesar itu?” kaget Ruby.
“Dia memang aneh, kita semua tau itu.” Jane memutar bola mata malas, tak berniat membalas ejekan Glenn. Lantas, Glenn tertawa. “Tidak-tidak, aku bercanda. Jangan marah, Jane.”
Lagi, Jane tak berniat membalas.
“Jane! Ruby!” Panggilan tersebut berasal dari kumpulan wanita paruh baya di depan peternakan.
“Hai!” Jane dan Ruby melambaikan tangan. Mereka membalas lambaian tangan, memanggil Jane dan Ruby untuk ke sana.
“Kami harus pergi, Glenn. Sampai bertemu nanti malam. Dadah!” Ruby menggandeng lengan kiri Jane. “Ayo, Jane!”
Tubuh Jane terseret begitu saja mengikuti Ruby. Hingga sampai di peternakan, Ruby melepas lengan Jane.
“Pasti mengumpulkan telur-telur ayam, kan?” tebak Ruby.
“Kau sudah tau itu.” Para wanita tertawa.
Joce memberikan keranjang pada Jane dan Ruby. “Kumpulkan semuanya, lalu bawakan ke rumahku.”
“Baiklah, nyonya-nyonya. Perintah dilaksanakan,” ujar Ruby.
“Berhati-hatilah, jangan sampai kalian kembali dengan lumuran kotoran ayam,” kelakar Luna. Disambut gelak dari para wanita.
Ruby menghela napas panjang. “Ayolah, bu. Jangan bahas lagi, itu sudah terjadi 5 tahun lalu.”
“Tapi bukankah itu menyenangkan?” Jane terkekeh.
“Menyenangkan? Kau lupa kejadian itu membuat kita harus mencuci rambut 3 kali untuk menyamarkan baunya. Bahkan bau itu tak benar-benar hilang sampai 2 hari,” ucap Ruby.
“Ya…, tapi itu tak membuat kita kapok masuk ke dalam kandang."
“Nona-nona, mari lanjutkan percakapan setelah pekerjaan selesai. Puluhan pekerjaan masih menunggu kita,” ucap Belinda.
“Baik,” balas Ruby, kemudian bersama Jane memasuki peternakan ayam.
...***...
“Molly, kruk… kruk….” Ruby memancing salah satu ayam betina untuk keluar dari kandangnya dengan biji jagung. Sementara Jane bersembunyi di samping kandang.
“Bagus, begitu. Kemarilah, anak manis.” Ruby terus menjauhkan Molly dari kandang. Ia mengangguk, mengisyaratkan Jane segera melakukan tugasnya.
Jane bergegas keluar dari tempat persembunyian dan memindahkan telur-telur ke keranjang. Sialnya, ia terciduk oleh Molly. Ayam itu langsung meninggalkan Ruby dan berlari menuju kandangnya.
“Astaga, tidak!” Jane bergegas menjauh. Akan tetapi dirinya telah menjadi target kejaran Molly.
“Tidak! Jangan datang ke arahku!” Panik, Ruby ikut kabur. Keduanya berlari sekeliling kandang guna menghindari patukan dan cakaran maut dari ayam betina paling galak ini.
Namun syukurnya Molly tak begitu agresif. Lima tahun lalu, sebelum Molly, ada ayam betina lain yang sangat benci bila telurnya diambil. Dialah yang membuat Jane dan Ruby terpeleset di lautan kotoran ayam.
“Hahh… hahh… akhirnya….” Napas keduanya memburu. Setelah sepuluh menit, Molly menyerah karena lelah.
Jane mengulurkan telapak tangan, lantas ditepuk oleh Ruby. Tos ala-ala. Jangan salah, Jane dan Ruby berteman akrab sejak kecil. Walaupun terkadang Jane kesal karena Ruby selalu mendukung opini dan perbuatan aneh Glenn.
“Misi sulit, selesai,” ujar Jane. Kedua gadis itu lanjut mengambil telur dari ayam-ayam lain. Tidak sesulit Molly, namun cukup menguras tenaga sebab peternakan ayam Chaderia bukanlah kecil. Terdapat ratusan ekor ayam di sini.
“Hey, Jane! Menurutmu, Glenn adalah orang seperti apa?” tanya Ruby di sela-sela bekerja.
“Dia laki-laki menyebalkan yang terus membuatku sebal atas segala tindakannya.”
“Apa dia sering mengganggumu?” tanya Ruby.
“Bukan sering lagi, tapi selalu. Kau ingat Pak Eric memberikan kita tugas sekolah biologi untuk merawat padi paling baik? Laki-laki itu justru mengambil tanamanku dan diberikan pada Molly.”
“Hahahaha….” Ruby terkekeh. “Setelah itu kau datang ke sekolah dengan tangan kosong, lalu berakhir dihukum oleh Pak Eric.”
“Berhenti tertawa,” culas Jane, sayang tak mempan menghentikan tawaan Ruby.
Jane selesai dengan bagiannya. Ia memandang Ruby yang ada di belakangnya sejenak. “Kenapa kau menanyakan Glenn?”
“Tidak, aku hanya merasa dia sedikit menggemaskan.”
“Oh, ya?” Jane agak ragu. “Di mana letak kegemasannya?”
Ruby mengedikkan bahu. “Entahlah, aku pun tak mengerti.” Ruby menghampiri Jane. Sepasang tangan keduanya dipenuh keranjang telur. “Ayo antar ke rumah Joce, setelah itu bertanya pada Belinda tugas selanjutnya yang harus kita kerjakan.”
...***...
“Wesley, kau tampak sangat sibuk.”
“Tak sesibuk kau, walikota.” Wesley tengah mengikir besi terakhir yang akan digunakan sebagai pondasi dari panggung acara pukul pinata.
Jasper tersenyum kecil, kemudian mendekati Wesley. “Kau memang pengrajin besi terbaik di negeri ini. Pantas kedua anakmu sukses di kota, berkat keahlian yang kau ajarkan pada mereka.”
“Seharusnya tiga.” Ekspersi Wesley berubah sedikit pilu, tetapi ia segera mengalihkan arah pembicaraan. “Apa seluruh persiapan berjalan lancar?”
“Tentu. Namun ada beberapa hal yang harus kuperiksa lagi.” Jasper melirik jam yang melitit di pergelangan tangannya. “Aku tak berniat mengganggu konsentrasimu, sampai jumpa di festival ke-130 Chaderia.”
Seusai berpamitan dengan Wesley, Jasper berkeliling kota kecil ini. Ia melambaikan tangan kepada Stewart, anak laki-laki berusia 19 tahun. Stewart tampak kerepotan menyiapkan perlengkapan di mobil van es krimnya.
“Sudah dapat bahan-bahan es krimmu?” tanya Jasper.
“Sudah, pak,” balas Stewart sembari tersenyum.
Maju beberapa langkah, Jasper berpapasan dengan Erland dan Anna, sepasang suami istri muda.
“Sedang jalan-jalan sore?” sapa Jasper.
“Iya. Sam berkata jalan-jalan sore memberi banyak manfaat untuk bayi,” balas Anna. Perihal Sam, dia adalah dokter profesional Chaderia.
“Hey, gadis kecil. Apa kau lihat betapa indahnya kota ini? Kau harus cepat dewasa agar bisa ikut mengindahkannya.” Jasper membungkuk untuk melihat bayi perempuan yang ada di dalam stroller.
“Baiklah, pak walikota. Bila sudah besar nanti, akan kubuat Chaderia bangga akan pencapaianku!” Erland berbicara bak putrinya—Alycia— yang bicara.
“Hahaha…, aku menantikan itu. Sampai nanti.”
Jasper melanjutkan langkah. Tiba di rumah persinggahan miliknya, Jasper menuju ruang kerja. Ia membaca beberapa dokumen di atas meja, memang sengaja disiapkan oleh sang asisten.
Tok! Tok! Tok!
Setelah mendapat izin, seorang wanita masuk ke ruangan Jasper. Alice White, asisten walikota. Ia membawa tambahan dokumen lagi untuk Jasper.
“Hugo meminta izinmu untuk mengadakan pesta kembang api di malam hari, pak,” ucap Alice.
Jasper mengangguk. “Tentu.”
“Lalu di sore hari, Drake berencana menayangkan pertunjukan film.”
“Lakukan saja. Pasti anak-anak akan senang dengan itu.”
“Baik, pak. Aku akan segera memberi tahu mereka. Permisi.” Alice keluar.
Menggurat beberapa tanda tangan, akhirnya Jasper selesai dengan semua dokumen. Obsidiannya tak sengaja menangkap bingkai foto di ujung meja. Ia menjamah bingkai tersebut.
“Andai kau masih di sini, Wales.”
...***...
Dua belas tahun berlalu sejak kejadian itu. Tak sadar tetesan air jatuh di atas permukaan album. Membalik lembar perlembar foto, benak Jane seolah merangkai kembali kejadian-kejadian yang pernah terjadi. Memorinya berusaha kuat mengingat sekecil apapun momen bersama orang tuanya. Karena bila tidak, Jane takut dirinya akan lupa.
Kulit putih dan rambut pirang, gen bawaan sang ibu. Sementara manik biru muda dan hidung mancung, gen bawaan sang ayah. Jane benar-benar penggabungan dari kedua orang tuanya.
“Jane…”
Panggilan lembut itu lantas membuat Jane menyeka air mata. Jane tersenyum. “Hey, paman.”
Jasper melungguh di samping Jane. Ia tahu gadis ini menangis lagi, namun ia enggan membahas. Menujuk salah satu potret di album, Jasper sedikit tertawa.
“Paman adalah fotografer gambar ini. Bagus, bukan?”
Kening Jane mengkerut. Ia melihat dengan seksama potret keluarga kecilnya di taman bunga, lalu melihat Jasper sedikit ragu. Akan tetapi kepalanya mengangguk. “Ya…, tidak buruk.”
“Kurasa lebih baik mengganti kata ‘tidak buruk’ menjadi kata ‘bagus’.”
“Aku akan berkata bagus bila hasil foto tidak buram.”
“Ayolah, Jane. Paman sudah berusaha semaksimal mungkin menangkap gambar ini. Kau tau bagimana paman bersusah payah agar kau melihat ke arah kamera? Paman bahkan sampai melompat-lompat untuk menarik perhatianmu.”
Jane tertawa kecil. “Baiklah…, paman memaksaku untuk berkata bagus.”
“Nah! Begitu seharusnya.” Jasper bangkit. “Sudah larut, paman ingin istirahat. Kau pun, jangan tidur terlalu malam.”
Jane manggut-manggut. Selang sepuluh detik setelah Jasper pergi, Glenn mengendap-ngendap keluar. Dengan hati-hati Glenn melangkah agar tidak menimbulkan suara.
“Kau mau ke mana?” tanya Jane.
“Stt….” Glenn menaruh jari telunjuk ke bibirnya. “Jangan bicara terlalu keras, nanti ayah dengar.”
Sebelah alis Jane tertaut. “Kau mau ke mana?” ulangnya lagi, kali ini lebih pelan.
“Menemui Ruby sebentar.”
Jane mengerling jam dinding. “Kau gila? Ini sudah pukul 12 malam.”
“Sebentar saja. Aku hanya ingin menujukkan sesuatu padanya.”
“Tapi ini sudah jam 12 malam, Glenn.”
“Aku tak lama. Sudah, ya. Aku pergi dulu, sampai jumpa.”
“Glenn.”
Glenn berbalik ke belakang, wajahnya seperti bertanya maksud Jane memanggilnya.
“Apa kau menyukai Ruby?”
Diam sebentar, Glenn hanya tersenyum. Tak menjawab, Glenn mencolek dagu Jane.
“Sampai jumpa, Jane!”
Jane berdecih, menepis tangan Glenn. Tak sempat membalas, sosok Glenn telah menghilang kabur entah ke mana.
...***...
Glenn berlari menghampiri Ruby yang tengah duduk di bangku taman putih. Gadis itu cemberut. Akhirnya si pembuat janji datang juga.
“Maaf… hahh… aku terlambat.” Napas Glenn tersenggal-senggal.
“Aku menunggu hampir setengah jam di sini karenamu,” desis Ruby.
“Ya, aku tahu. Aku menunggu ayahku masuk ke kamarnya. Jika tidak, dia pasti melarangku pergi.”
“Kalau sudah tahu begitu, kenapa kau membuat perjanjian selarut ini?”
“Karena aku tak punya waktu lagi sampai pekan raya nanti. Ayah menyuruhku membantunya mengurus acara.”
Ruby memutar kedua bola mata malas. Tak ingin berdebat lagi, ia akhirnya bertanya tujuan Glenn. “Kenapa kau memintaku kemari?”
Glenn merogoh kocek celananya, kemudian menyodorkan 2 lembar tiket kepada Ruby. “Aku ingin kita duduk bersama di pertunjukan film."
Senyum rekah terbit di bibir Ruby. Ia meraihnya. “Sampai jumpa di pekan raya.”
Glenn memandang punggung Ruby yang semakin menjauh. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan bulan sabit.
To be continue
Sambutan dan tepuk tangan meriah mengiringi langkah Jasper menuju podium. Jasper tersenyum, maniknya menyapu seluruh warga Chaderia. Antusias dan wajah gembira mereka membuat Jasper tersenyum bahagia.
Seluruh pelosok Chaderia dihias sangat indah. Terutama alun-alun kota, tempat berlangsungnya puncak acara, sekaligus tempat warga Chaderia berkumpul saat ini.
“Jasper! Jasper!” Seorang bocah perempuan berdiri paling depan. Melambaikan tangan sembari berteriak semangat. Jasper membalas lambaian tangannya.
Dehaman kecil Jasper berhasil mensunyikan warga. Beberapa detik kemudian, Jasper mulai angkat bicara. “Kita semua tahu betapa sulitnya mempertahankan negeri tercinta ini di tengah krisis dunia. Banyak pihak yang berusaha mengambil alih dan menjatuhkan Chaderia. Kita semua tahu alasannya. Chaderia memiliki tanah yang subur, teritori yang strategi, dan sumber daya melimpah.”
“Namun, lihatlah kita sekarang! Kita masih berada di atas wilayah yang terus kita lindungi sepanjang 130 tahun lamanya. Aku yakin, ke depannya akan tetap sama. Semua ini berkat kalian, warga Chaderia tercinta, yang rela melakukan apa saja demi Chaderia."
Kobaran semangat membakar jiwa para warga. Kata-kata Jasper membangkitkan antusias dalam diri mereka.
“Kalianlah yang menjadikan Chaderia semakmur ini! Kalianlah yang menjadi kunci dari peradaban Chaderia. Dan berkat kalian pula, Chaderia tidak kalah dari kota-kota besar. Aku ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Aku harap, Chaderia akan jauh lebih berkembang di masa mendatang. Untuk anak-anak kita, untuk generasi kita mendatang, dan untuk Chaderia, mari lakukan yang terbaik!”
Semarak tepuk tangan menjadi akhir pidato singkat Jasper. Antusias warga kian membara. Beberapa dari mereka tak kala menyerukan nama Jasper. Tak bisa dipungkiri, kesuksesan Chaderia tak luput dari kerja keras Jasper sebagai walikota.
“Untuk Chaderia!” Salah satu warga bersorak.
“Untuk Chaderia!” Diikuti seluruh warga.
“Untuk Chaderia!”
“Untuk Chaderia!”
“Untuk Chaderia!”
“Untuk Chaderia!”
“Bersenang-senanglah kalian. Nikmati semua hasil kerja keras kalian. Jadikan hari ini hari paling bahagia di hidup kita semua!” seru Jasper.
Jasper turun dari podium. Ia menghampiri dewan-dewan yang menatapnya bangga. Austin Pierce, Luna Skyler, Wesley Palmer, Joce Blossom, dan Sam Hookstone. Kelimanya merupakan dewan yang dipilih oleh warga karena dianggap paling berkontribusi untuk Chaderia.
“Kau melakukannya dengan baik, Jasper,” puji Joce.
“Tidak sebaik bila tanpa kalian,” balas Jasper. “Aku juga ingin berterima kasih kepada kalian secara langsung. Chaderia takkan sampai sejauh ini bila tanpa kalian.”
“Aku akan melakukan apapun demi Chaderia,” ucap Austin.
“Aku tahu, kami semua tahu. Kau yang paling setia, Austin.”
“Aku tidak setuju dengan itu.” Bantahan Wesley seketika mengukir garis di kening para petinggi. “Kau takkan menjadi yang paling setia bila belum mencoba es krim rasa terbaru Maxwell.”
Para petinggi tertawa. Tentu saja, mereka akan terkejut bila Wesley menganggap ada yang lebih setia daripada Austin. Pria itu bagai perisai Chaderia, sosok pertama yang akan menjaga Chaderia dari ancaman pihak lain.
“Ayolah, Wesley. Kupikir kau benar-benar dengan ucapanmu itu,” ucap Luna.
“Aku bahkan tak mengira siapa lagi yang akan lebih setia daripada Austin,” ucap Sam.
“Pujian kalian takkan membuatku menraktir kalian es krim,” gurau Austin, tetapi ekspresi wajahnya datar.
“Tidak, tidak. Hari ini adalah bagianku,” ucap Jasper.
“Aku lebih senang jika begitu,” ucap Austin.
"Ayo.” Austin menyenggol lengan Wesley, kemudian berjalan mendahului para petinggi.
Mereka tersenyum, terutama Wesley. Diamnya Austin bukan berarti tak peduli. Culasnya Austin bukan berarti tak suka. Dan kerasnya Austin bukan berarti marah. Ia hanya sulit mengekspresikan perasaan.
...***...
“Wuhuuu! Aku berhasil!” Glenn melompat kegirangan. Tembakan terakhirnya berhasil menjatuhkan kaleng. Itu artinya, Glenn dapat memilih hadiah yang ia inginkan.
Glenn menelisik satu persatu barang. Guci, cangkir, piring, keramik, dan masih banyak lagi barang yang terbuat dari tanah liat. Atensi Glenn tertuju pada vas bunga bercorak garis hitam. Ia meminta Hank-si pemilik stand-untuk memberikan itu.
“Ini cocok dipanjang di ruang tamu. Bukankah begitu, Jane?” tanya Glenn.
“Kau memiliki selera yang lumayan bagus.”
“Bila ingin memujiku, jangan setengah-setengah. Bilang saja bahwa pilihanku memang bagus.”
“Kurasa akan lebih bagus jika vas ini kuhancurkan ke kepalamu.”
Ruby tertawa berkat ancaman Jane kepada Glenn.
“Hey, hey! Kenapa kau sangat sadis? Apa kau tega membunuhku dengan cara seperti itu?”
“Mengapa harus tidak tega?” tanya Jane balik.
“Sudah, sudah. Jangan berdebat. Lebih baik kita bermain ke permainan lain,” saran Ruby.
“Aku ingin pulang terlebih dahulu untuk menaruh vas ini. Aku akan kerepotan bila harus membawanya ke mana-mana. Kalian pergi saja terlebih dahulu,” ujar Glenn. Lantas, laki-laki itu segera berlari menuju kediamannya.
Jane dan Ruby berjalan berdampingan sementara sepasang bola mata keduanya terus berkeliling mencari sesuatu yang menarik. Langkah Ruby terhenti.
“Aku tahu cara mendapat es krim gratis.”
Kening Jane mengernyit. “Bagimana?”
Tanpa menjawab, Ruby menggandeng lengan Jane dan menggereknya menghampiri walikota dan para dewan.
“Hai, bu!” sapa Ruby.
“Hai, Ruby! Hai, Jane!” balas Luna.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Ruby.
“Tentu saja membeli es krimku.” Kepala Stewart mencuat dari jendela mobil van es krimnya. Ia menyerahkan dua es krim kepada Jasper.
“Terima kasih,” ucap Jasper. Kedua es krim tersebut diberikan untuk Sam dan Luna.
“Kalian berdua ingin es krim?” tawar Jasper kepada Jane dan Ruby.
“Tentu.” Ruby secepat kilat menjawab membuat Jasper kembali memesan dua es krim tambahan. Ruby menyenggol Jane, lalu berbisik, “Caraku bagus, bukan?”
Jane tersenyum kecil. “Ya.”
“Terima kasih,” ucap Jane dan Ruby berbarengan seusai pesanannya diberikan.
“Bagaimana rasanya, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya?” tanya Stewart Maxwell.
"Aku menggabungkan daun mint dan ekstrak peppermint untuk menu terbaru ini.”
“Aku sangat menyukainya. Ini akan menjadi menu favoritku sepanjang waktu,” ujar Wesley.
“Aku setuju, tapi akan lebih sempurna bila kau menambahkan sedikit vanilla essence,” saran Joce. “Bagaimana menurutmu, Austin?”
Mantan militer Angkatan udara tersebut berekspresi datar, tetapi lidahnya lahap mengecap es krim. “Rasanya seperti memakan tanaman liar.”
Sam tertawa. “Apa kau pernah memakan tanaman liar?”
“Kau takkan bisa menjadi angkatan militer bila tak mencicipi tanaman liar.” Tak ada yang salah dengan jawaban Austin, sebab tentara Amerika diajarkan cara bertahan hidup di hutan. Salah satunya dengan mengonsumsi tanaman liar yang dapat dimakan. Hanya saja, nada bicara Austin terdengar sedikit ketus.
“Hey! Hey! Hey!” Glenn berlari datang. “Aku baru pergi sebentar dan kalian sudah makan es krim tanpaku?”
“Kau melewatkan pesta, Bung,” ucap Stewart.
“Ya…, baiklah. Tapi pesta selanjutkan dimulai sekarang,” balas Glenn. “Aku juga ingin mencicipi es krim terbarumu, Bung.”
“Harganya seribu dollar untukmu,” gurau Stewart. Ia masuk ke dalam van untuk mengerjakan pesanan Glenn.
“Akan kubayar jika aku menang dalam lomba pinata.”
“Jangan bermimpi. Aku yang akan jadi pemenang.”
Glenn mengedikkan kedua bahu. “Kita lihat saja nanti.”
“Dan, ayah…. Apa benar hadiahnya mencapai 20 ribu dollar?”
“Berjuanglah untuk menang agar kau dapat mengetahui itu,” jawab Jasper.
To be continue
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!