NovelToon NovelToon

Spring Love : First And Last Love Story

Prolog

Baru saja pukul 22.10

Tak terasa malam semakin larut ditemani kesunyian yang menjerat dan kegelapan yang mulai merayap, di ujung atas jembatan berdiri seorang gadis yang masih bergaun putih dengan mantel coklat panjang meski lusuh—baru tiga puluh menit ia berdiri diam, terlarut memandangi sungai yang bergemerisik bagai lantunan melodi alam. Angin yang tenang di tengah malam membawa pesan yang tak ingin ia ketahui.

Pesan yang sudah lama terkuak namun rasanya hati ini masih terhimpit belum menerima apa yang sudah tersampaikan.

Wajahnya yang datar tanpa ekspresi itu hanya menyisakan bekas air mata seakan tak ada yang ingin ia harapkan lagi.

menarik napas dalam-dalam berulang entah sudah berapa kali gadis itu melakukannya. Di setiap sisi kedua tangannya yang terus menguncup dan dari balik salah satunya ternyata menyimpan secarik kertas yang sudah lecek dan remuk. Genggaman eratnya sedikit bergetar, bibirnya menggeram.

Tes... Tes.....

Cairan bening kembali menitik seakan masih mengharapkan kemustahilan. Ya, sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi.

Gadis itu menatap jengah penuh kekosongan pada sungai di bawah kaki. Arus yang sebelumnya menggelegak menghantam bebatuan kini terhenti dengan sendirinya sehingga ia dapat melihat pantulan dirinya sendiri di atas cermin air seolah sungai pun merasa iba.

Tak lama setetes hujan turun dan mengguyurnya dengan deras membasahi setiap inci tubuhnya. Perkiraan cuaca yang sebelumnya ia lihat dari ponsel beberapa saat lalu memang tak bisa disangka.

DrasHH......

Hal itu tak meredamnya kepalanya yang masih tertunduk dalam, yang bisa ia lihat dari pantulan tetesan hujan hanyalah wajah pucat bak mayat hidup dengan sisa air mata yang masih membekas dan luka di dalam yang masih menganga

Kala itu yang seharusnya menjadi kesempatan untuk menjelaskan segalanya melebur begitu saja dari pandangan.

KrrKK— BlaR—!

Ia masih meremas kertas itu meski sudah tak berbentuk.

Begitu ingatan itu menyeruak, matanya terus berair. Tak sanggup ia terima namun juga tak sanggup mengharapkan meski saat ini ia masih menyimpan sedikit harapan... Seandainya saat itu ia berteriak sekeras yang ia bisa....

Pasti.... Dia akan mempertimbangkannya sebelum pergi..

Kematian. Mungkin hanya itu yang bisa ia jadikan sebagai penebusan.

Sekarang pun rasanya ia ingin langsung terjun ke sungai sedalam 9 meter didepan matanya ini.

Tapi ada yang aneh... Dari relung hati ini ada rasa enggan yang mana dirinya sendiri pun tidak tau alasannya.

Ketika bulan mulai tertutup oleh awan hujan, wajahnya yang sudah kuyup itu mendongak dan menampilkan senyum tipis seakan-akan tersirat jika ia sudah bosan dengan perasaan yang selama ini ia pendam. Perasaan tulus yang tersia-siakan.

"Tuhan ... Jika ada kesempatan kedua, tolong pertemukan aku dengan pria itu lagi. Aku hanya masih ..." Ujarnya sempat terhenti. ".... Tidak rela untuk berpisah dengannya," kata-katanya tersamar dengan angin hujan menyusup seolah sudah menjawab pernyataannya.

Ahh ... Mustahil.

Ketika tubuhnya yang perlahan terbuai, hendak menentang segalanya dan melompat melawan rasa takut.

Tanpa ia duga, pelukan hangat menyergapnya dari belakang, menahan tubuhnya agar tidak terpacu jatuh.

Dengan suara bariton berat dan samar dan parfum maskulin yang begitu ia kenal... Namun kehadirannya tak ia harapkan untuk datang disaat-saat seperti ini.

"...Lea, kumohon jangan lakukan itu.." Kata sosok pria menjulang tinggi dibelakang, begitu samar ketika mulutnya mendekati telinga gadis itu, begitu lembut dan penuh kehangatan membuatnya terkunci.

Netra gadis itu mencengang memberi tanda tanya besar, namun mulutnya masih terkatup rapat.

"Kumohon...." Suaranya mendesis halus, tertahan dan penuh harapan yang membuat siapa saja merasa tak enak hati untuk terjun.

Deru napas gadis itu semakin naik turun dan sempat menyebut namanya di tengah hujan. "Ad- Adrian...kenapa?" pelan, nyaris tak terdengar.

Pria yang dipanggil Adrian masih tak melepaskan pelukan erat yang melingkar ditubuh gadis yang biasa disapa Lea meski dia pun juga sudah basah kuyup.

"Because of you..... Are my best friend, Lea." Bisiknya lembut dengan garis tipis yang masih melengkung namun diiringi ekspresi wajah penuh rasa takut.

Takut kehilangan. Lelaki tersebut sudah berlari keliling untuk mencarinya sepanjang hari. Jelas jika ia mengeratkan tangannya dalam dekapan.

"Sebagai sahabat. Tentu gue gak akan biarin Lo menceburkan diri ke sungai. Meski dunia ini berharap Lo pergi tapi jangan berpikir bahwa tak ada orang yang menemani Lo."

"Lo gak sendiri Lea. Lo punya sahabat! Ada gue yang selalu bersama Lo." sambungnya lagi, penuh penekanan agar sahabatnya tak langsung melakukan tindakan diluar batas.

"Lea...!" panggilnya dengan serak dan putus asa. Gadis itu hanya menyahut dalam deheman samar.

"Please. Don't be do that again! Gue gak mau kehilangan Lo!" ucapnya lembut, tapi tegas memberi isyarat dengan pelukan yang semakin kuat seakan tak ingin melepaskan.

Gadis itu semakin diam dengan kepala yang tertunduk dalam. Adrian dapat memahami semuanya dan melanjutkan perkataannya yang belum sempat terucapkan. "Gue tau Lo masih mengharapkan dia kan? Atau Lo masih tidak terima dengan surat darinya?" katanya lagi kali ini dengan nada rendah yang dalam.

"Lea....?" serunya lagi.

"Ad, apa menurut Lo gue sekentara itu mencintai seseorang?" Akhirnya Lea bersuara meski mulutnya mengunci diri setelahnya.

Adrian menjawab sambil menyenderkan dagunya di bahu Lea.

"Ya, sangat kentara" balasnya dengan senyum tipis. Senang akhirnya gadis itu mendengar gadis itu berbicara usai sekian yang sangat lama baginya meski sebenarnya hanya beberapa hari.

Isakan kecil terdengar kembali, Adrian semakin merapatkan pelukannya dan berkata.

"Menangislah. Lo boleh kok nangis lagi tapi jangan keseringan," tuturnya penuh perhatian khusus.

Lea yang tak menyadari akhirnya menangis sejadi-jadinya hingga suaranya melemah.

"Makasih Ad. Kalo ngga ada Lo, mungkin gue udah ga—" ucap Lea terhenti ketika Pria itu menundukkan kepala yang membuat bibirnya bersentuhan lembut secara spontan.

Tertegun. Ciuman singkat itu terhenti dengan Lea yang masih terdiam. Bagaimana tidak? Pria didepannya merupakan playboy, okay ia pernah menyimpan rasa tapi luntur karena tidak terbalas tapi sekarang? Apa dia salah makan?!

"A—apa ini?!" seru Lea tiba-tiba, ekspresi terguncangnya tergambar jelas.

Adrian terkekeh, "Itu hanya nafas buatan, kau pasti membutuhkannya" jawab dengan santai, untuk menghiburnya namun ada perasaan senang yang timbul dari relung hatinya.

Tersentak, tiba-tiba tinju bogem melayang hingga ke kepala Adrian.

Bugh

"Lo ini. Jangan mentang-mentang gue udah jadi mantan orang malah seenaknya!" dengus Lea. Tangannya terlipat, wajahnya penuh kejengkelan.

Mengusap rambutnya sendiri namun sedikit memanyunkan bibir. "Ya, ngga usah mukul juga kali Le, sakit tau" balas Adrian tak kalah.

Namun Lea menambahkan dengan sorot mata yang tajam, "Kita sahabat. Kita juga udah janji, dalam persahabatan kita tidak boleh ada perasaan. Masa gitu aja lupa."

"Yaudah, gue maaf" balas pria itu singkat, tersenyum kecil.

'Halah. Gua ngga peduli, Lea detik ini juga Lo milik gue, semenjak Lo pisah dengan dia... gue sudah membuat perlakuan khusus untuk Lo, gue ngga tahu but... I love you, Lea' suara hati yang begitu sulit ia pahami, mungkin itu alasan kenapa dirinya masih tak mau melepaskan pelukannya pada Lea atau.... Karena perasaan lain yang ia rindukan sebab diirinya berhari-hari tidak bertemu dengan sahabatnya itu.

"Ad, gue sesek napas. Bisa lepasin pelukannya ngga?" seru Lea, napasnya sempat tertahan.

Adrian masih merapatkan pelukannya. "Tapi Lo harus janji...! Jangan loncat!!!" serunya lantang dan tegas.

Lea tersenyum getir, "Memang Lo siapa? Ngelarang gue?" ujarnya dengan datar.

Adrian mendengus, berkata pelan penuh otoritas. "Gue udah bilang gue sahabat Lo. Sebagai sahabat gue nggak akan ngebiarin sesuatu terjadi pada Lo."

Secara spontan, ia tiba-tiba mengangkat Lea yang bertubuh pendek kurang dari 160 bak pengantin, dan menuruni satu anak tangga menuju mobilnya yang terparkir disisi jembatan. Gadis itu tersentak dengan perlakuan Adrian yang mendadak.

"Ad, apa ini?! Turunin gue nggak!!" teriak Lea memukul dada bidang Adrian.

"Gue turunin tapi jauh dari ujung..." ujar Adrian tersenyum tipis, wajah yang teduh terlihat jelas dengan rambutnya yang sudah kuyup, pandangan matanya lembut, penuh arti dan menolak akan kehilangan sangat berbeda dengan tatapan yang sering Lea lihat di saat-saat biasa.

Tak bisa berkutik, akhirnya Lea pun menurut. "Oke"

"....Lalu setelah itu jangan antar gue ke rumah" ujarnya kembali, namun terdengar menggantung.

"kenapa?" Tanya Adrian

"Ga ada apa-apa cuma gue males ketemu 'mereka'," suaranya masih serak, namun tersirat jelas dari raut wajahnya yang tak senang.

"Yaudah kalo begitu mau ke apartemen gue?"

Menggeleng pelan.

"Lalu kemana? Restoran?"

"Nah!" sentak Lea, membuat Adrian mendengus. "Giliran makanan aja langsung terdepan," celetuknya mendesis.

Lea tak menanggapi, setelah ia turun langkah kakinya melangkah tanpa suara dan langsung membuka pintu mobil berwarna silver milik Adrian, lelaki yang masih ditempatnya sedikit tercengang mendapati Lea yang sudah di dalam mobil. Rasanya ingin bertepuk jidat, Hahahaha jika Lea sudah kembali baguslah itu artinya sifat konyolnya sudah balik.

'Cepat sekali anak itu—' matanya menyipit ke arah pintu yang sudah tertutup.

"Woi, cepetan! Lo mau basah kuyup terus-terusan di luar?!" suara teriakan diiringi ketukan kaca mobil dari dalam sudah bisa ia tebak, dasar tidak sabaran!

"Iye, bawel."

Adrian masih tersenyum tenang penuh wibawa sambil melangkah mantap ikut masuk ke dalam mobil. Senyumnya yang selalu teduh itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak dapat di jelaskan.

'Ini baru Lea yang gue kenal'

Batinnya sedikit melirik ke samping, lalu melempar handuk kecil di belakangnya ke arah Lea.

"Pakailah, gue nggak mau nanti pas masuk restoran malah gak dibolehin masuk cuma karena basah kuyup, ambil aja baju dibelakang biar pas ke toilet Lo pake baju disana," jelasnya santai, sambil menyalakan kemudi.

Gadis itu masih memproses otaknya dari perkataan lelaki disampingnya, tumben banget playboy gini peduli sama sahabatnya! Hah, udah tobat Lo.

Terkekeh, "Ya, siap. pak bos!" celetuk Lea, dengan nada penuh hormat seperti tentara.

'Hahahaha, manis sekali Lea ku, well... kau hanya milikku sekarang, Lea' batinnya lagi diiringi lirikan sekilas melalui kaca spion. Senyumnya berubah menjadi seringai tipis penuh arti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara itu, di tempat lain—tepatnya di dalam sebuah mansion mewah yang megah bernuansa Eropa—seorang pria berdiri mematung di lorong koridor dekat perapian. Langkahnya berat terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi seperti kehilangan arah.

Ia tahu sesuatu, tapi memilih bungkam. Bukan karena tak bisa bicara, melainkan karena semenjak hal itu tertulis.... Pikirannya tak mau hilang dan sudah terpatri dalam ingatannya.

Semua yang diucapkan selama ini lebih seperti omong kosong belaka, tak berarti, dan menghancurkannya perlahan-lahan.

Brakk

Ditinju tembok itu hingga tangannya mengeluarkan darah segar yang merembas dari sela-sela jarinya.

Tak bisa ia terima suatu kenyataan pahit yang memilukan. Semua kertas-kertas itu ia hempaskan kedalam perapian, lalu membiarkannya hangus terbakar sampai tak tersisa kecuali kenyataan itu yang sudah diketahui oleh semua orang. Alih-alih menggeram frustasi, perasaan yang begitu dalam mencintai seseorang tetapi hubungannya kandas dalam semalam.

"Sial*n! Ada apa dengan ku?" Suaranya yang biasanya tegas melemah dan menggema di tiap sudut ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya temaram dari perapian.

Pria itu mencengkram rambutnya sendiri, amarah seketika membuncah tak terkendali dan sukses menguasai dirinya yang hampir gila, "Itu sudah berakhir.."

Mendengus kasar, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa, tubuhnya terguncang oleh gejolak emosi yang tak sanggup ia redam.

Mengingat kembali semua kenangan manis yang pernah ia lalui bersama seseorang yang sudah lama ia cintai, membuat dadanya seakan dihujam tombak besar—berulang kali, tanpa ampun. Penyesalan. Ingin rasanya ia memutar waktu jika ia bisa!

Amarah dan luka yang membusuk di dalamnya terus meledak.

Dengan sengaja, ia melemparkan satu botol alkohol besar yang masih tersegel ke lantai. Suaranya pecah menggema, sekeras hatinya yang retak tak bisa lagi ditambal.

"Keluarlah dari kepala ku!" teriakannya berat, ada nada putus asa didalamnya. Hening masih menenggelami kegelapan malam, "...Aku mencintaimu lebih dari orang itu, aku ingin kita bersama dan memperpanjangnya. Ini semua karena mereka!"

Di tengah kesunyian itu, hanya ada satu orang yang menyaksikan ledakan emosi sesaat—pelayan pribadinya, Kyle Watson.

Namun pria paruh baya itu lebih dikenal hanya sebagai Watson, seiring usianya yang telah melewati setengah abad. Rambutnya kini nyaris sepenuhnya beruban tapi sorot matanya tetap tajam, penuh pemahaman dan insting.

Pria blasteran tersebut masih menunduk dengan tangan mengepal penuh darah diatas pinggiran sofa, menatap ke suatu tempat dengan tajam. Berpikir sesaat.

Ia diharuskan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya bukan dengan pilihannya sendiri, meskipun pernikahan pertamanya hanyalah sebuah perjanjian tertulis— namun sebuah perpisahan tetap akan terjadi.

Sorot pandangannya masih tajam seperti biasa. "Aku akan menentangnya..."

"Meski akan ada konsekuensi, aku akan tetap menentangnya." Napasnya masih memburu berat, ada sedikit obsesi dan rasa tak rela yang sudah mengambil alih dirinya sejak lama.

"Tuan Muda Raymond, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Tuan dan Nyonya Besar meminta Anda untuk menghadiri makan malam pertunangan dengan Nona Lancaster," ujar pria paruh baya, di tengah kekacauan Watson melemparkan bom dengan tenang sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya.

Pria itu masih diam, lalu tubuhnya seketika berdiri dan mengenakan jas. Ia tak peduli apa yang akan terjadi kedepannya. Segalanya sudah bulat dan jelas.

Senyumnya getir dan dari atas nakas tangannya tiba-tiba menyambar cepat sebuah lembaran kertas lalu merobeknya hingga berkeping-keping seolah menghilangkan sekat di antara keduanya.

Pandangan Watson mencengang, diam.

"Watson, batalkan saja makan malam tak berguna itu. Aku tidak akan mengikuti permintaan mereka," ucapnya tegas sambil melangkah mantap.

"Aku akan kembali ke Negara itu untuk membawanya kembali. Keputusan ku sudah bulat dan aku tidak akan tinggal diam." Suaranya datar, seperti biasa.

Ia lalu menarik benda pipih dari saku celananya dan segera menghubungi asistennya.

"Will, daftarkan aku di penerbangan darurat secepatnya. Aku tidak punya banyak waktu" perintahnya dengan dingin.

"E-eh... ba-baik, Tuan!" sahut Will tergagap dari tempat lain, mengangguk cepat tanpa benar-benar memahami alasannya.

Sementara itu, Watson masih tertegun dengan keberanian yang entah datang dari mana ia akhirnya melangkah lebih cepat untuk mencegatnya tiba-tiba.

"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak bisa pergi ke negara itu sekarang. Tuan dan Nyonya Besar sudah melarangnya anda dan saya … saya tidak bisa menyampaikan pembatalan makan malam itu kepada mereka," jelas Watson, suaranya mengandung tekanan tegas.

Namun, ucapannya justru memicu reaksi tak terduga. Pria itu sontak menodongkan senjata api tepat ke dahi Watson.

Klak—!

"Ada pesan terakhir mu, pria tua?" Seringainya melebar, dingin dan acuh, namun mengandung ancaman yang terdengar seperti predator.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 1

Suasana pagi masih menyelimuti kantor kala itu, namun aktivitas sudah mulai menggeliat.

Beberapa karyawan tampak menyesap kopi hangat sambil menelusuri tumpukan email di layar mereka, sementara yang lain begitu asyik berbincang-bincang hangat.

Ting!

Bunyi khas lift yang menandakan berhenti di lantai tiga terdengar jelas, disusul dengan terbukanya pintu. Seorang wanita muda melangkah keluar, mengenakan dress blazer formal berwarna vintage yang elegan.

Saat tiba di depan ruangan, ia mendadak terkejut oleh kehadiran seseorang—rekan kerja sekaligus teman seangkatannya.

"Dorr!"

"Ehh... Ayam ayam makan kebo!" serunya refleks, latah tanpa pikir panjang.

Zana yang melihat reaksi itu langsung terpingkal.

"Hahahaha! Lea, ini nih alasan kenapa gue suka banget ngagetin lo. Latah lo kocak banget, sumpah! Aduh perut gue sakit—ngakak parah!"

"Puas, lo?" ucap Lea dengan wajah datar. Ia sudah terlalu sering mendengar candaan khas Zana, meski tak jarang juga ikut tertawa jika temannya itu berhasil melontarkan lelucon baru yang segar.

"Udah ah, gue duluan ya, Zan. Banyak kerjaan hari ini," katanya sambil mengangkat setumpuk berkas dan dokumen, lalu melangkah mendahului Zana.

"Eh, Lea! Lo nggak jadi ketemuan sama Adrian? Katanya lo mau ngungkapin perasaan lo ke dia," tanya Zana, alisnya berkerut saat tiba-tiba ketika kembali ke topik utama.

Mendengar ucapan itu, langkah Lea langsung melambat sejenak, seolah pikirannya tertahan oleh sesuatu.

Lea kembali melangkah, kali ini dengan sikap acuh. "Gak usah, Zan. Dia mungkin sekarang lagi sama pacarnya yang lain," ucapnya pelan, dengan tatapan sendu yang menerawang jauh ke depan.

Tatapan itu tak luput dari perhatian Zana, yang sejak tadi diam-diam memperhatikan perubahan raut wajah sahabatnya─ Ia melangkah mendekat lalu merangkul pundak Lea dengan lembut.

"Ada apa sih sama sahabat gue? Tumben banget, hari ini lo beda. Biasanya nggak kayak gini."

"Nggak ada kok. Tapi semoga aja dia cepet sadar. Gue capek, Zan. Gak mau terus-terusan nungguin dia," keluh Lea pelan.

Zana memiringkan kepalanya sesaat, berpikir. "Hmm, kan itu takdir Tuhan. Kalau emang udah diizinkan buat bersatu, pasti bakal ada jalannya. Intinya, bakal ada penyesalan kalau lo terus genggam tapi malah nambah luka."

Lea mengangguk setuju, lalu tersenyum tipis mendengarnya. Dalam pandangan Lea, Zana memang anak yang sulit ditebak kepribadiannya—kadang jail, kadang bodoh, tapi juga bisa bijak. Apalagi, Zana juga sering minta saran padanya, baik soal urusan formal maupun informal.

Saat mereka sibuk di ruangan kerja masing-masing, Lea menyempatkan diri membuat secangkir teh untuk dirinya. Ia melirik Zana yang tampak sibuk dengan ponselnya, lalu bertanya, "Zan, mau teh juga nggak?"

"Tapi gue cuma nawarin doang ya, bukan berarti niat bikinin," lanjutnya dengan cepat sambil nahan tawa.

"Yee, jahat banget. Minimal bikinin lah," gerutu Zana sambil manyun, matanya masih terpaku pada layar ponsel.

Lea hanya membalas dengan senyum mengejek. "Nggak mau, wlee~ Lo punya kaki sendiri kan? Ya udah, bikin sendiri," katanya sambil duduk santai di kursi kerjanya.

Zana hanya memutar mata dengan malas. "Kebiasaan nih, ama besti sendiri, pelit."

"Bodo amat," sahut Lea cepat, masih sambil tertawa renyah.

Saat hendak membuka laptop, pandangan Lea jatuh pada beberapa lembar dokumen yang tertata di atas mejanya. Ia mengernyit, bingung, lalu melirik ke arah Zana.

“Eh, ini dokumen apaan ya? Kamu yang naro, Zan?”

“Oh, itu berkas lamaran dari beberapa calon karyawan IT baru di perusahaan ini,” jelas Zana sambil menghela napas. “Udah lama banget kita nyari, akhirnya nemu juga… tapi ya gitu, cuma beberapa doang yang bener-bener punya kemampuan.”

"Lah, terus kenapa ditaro di meja gue?" dengus Lea sambil mulai membolak-balik lembaran dokumen itu.

"Hehehe… meja gue juga udah penuh soalnya," jawab Zana cepat, sambil menunjuk ke arah mejanya yang tak kalah berantakan.

Saat Lea tengah menelusuri tumpukan dokumen di atas mejanya, salah satu lembaran tanpa sengaja tergelincir dan jatuh ke lantai. Ia merunduk, mengambilnya, lalu matanya tertumbuk pada nama yang tertera di pojok atas halaman CV.

Kaito Mizuno.

Alisnya terangkat pelan. "Orang Jepang?" batinnya bertanya-tanya, sambil masih menatap lembar itu.

"Gila, Zan, pemilik CV ini muda banget. Umurnya baru 17!" seru Lea sambil mendekati meja Zana dan menunjuk lembaran itu. "Gue umur segitu masih sibuknya masa-masa SMA."

Zana melotot. "Buset, 17 tahun?! Dari mana tuh anak?"

Lea kembali melirik CV-nya, matanya masih terpaku pada baris data diri. "Dari Jepang, katanya. Tapi skill IT-nya gila sih, prestasinya banyak banget. Kalo berkasnya gue kasih ke Kak Ina, bisa langsung diterima tuh. Soalnya Kak Ina kan perfeksionis, pasti suka sama yang begini." Lea terkekeh kecil.

"Owalah, Jepang toh... Pantesan," sahut Zana, mengangguk-angguk sok paham. "Anak Jepang mah biasanya kalo pinter tuh… pinter banget."

"Bener, tuh."

"Eh, ini kalian ngapain sih? Pagi-pagi gini udah ngobrol aja. Kerja! Jangan ngobrol mulu!" suara lantang Yuna tiba-tiba terdengar, memotong percakapan mereka.

Lea dan Zana langsung tersentak, hampir menjatuhkan berkas yang tadi dipegang.

Yuna berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tajam khas atasan yang sedang memantau. Tak salah lagi—ia adalah pemimpin Divisi Operasional yang dikenal tegas dan gak kenal kompromi soal disiplin.

"Eh, Kak Yuna! Maaf, maaf. Masih pagi gini, Kakak udah galak aja. Udah sarapan belum?" ucap Lea basa-basi.

"Iya, Kak. Sarapan tuh penting lho, apalagi buat budak korporat kayak kita-kita ini," timpal Zana sambil mengangguk-angguk sok serius.

Tapi Yuna hanya mendengus, ekspresinya tetap datar. "Sarapan bisa di rumah. Sekali lagi saya lihat kalian main-main kayak gini, saya adukan ke HRD," ucapnya dingin sebelum membalikkan badan dan pergi dengan langkah tegas.

Lea dan Zana hanya bisa saling menatap dan tersenyum kecut setelah kehadiran Yuna benar-benar hilang dari pandangan.

"Galak banget Kak Yuna hari ini. Kayaknya habis berantem lagi sama suaminya," bisik Lea pelan.

"Iya tuh, bisa jadi," balas Zana, masih melirik ke arah pintu, lalu menambahkan pelan, "Atau mungkin... belum ngopi."

...----------------...

Saat duduk di depan komputer, Lea tiba-tiba membuka tas mininya dan mulai mengoprek isinya. Keningnya berkerut. Sepertinya ada beberapa barang penting yang tertinggal di mobil.

"Zan, gue ke bawah bentar ya? Kayaknya ada yang ketinggalan di mobil," ucap Lea sambil bangkit berdiri.

Zana yang duduk di sebelahnya hanya melirik sekilas sambil masih fokus pada layarnya. "Yoi, santai aja."

Tanpa pikir panjang, Lea pun melangkah cepat keluar ruangan, menuju basement parkiran.

Namun ketika Lea hendak berlari kecil kembali ke lantai atas, langkahnya terhenti mendadak.

Bruk!

Ia tak sengaja menabrak seseorang—seorang pria jangkung dengan tubuh atletis, mengenakan kemeja biru dongker yang lengannya dilipat rapi hingga siku. Tubuhnya terasa kokoh saat Lea menabraknya, membuatnya sedikit terpental mundur.

“Astaga! Maaf, saya nggak liat jalan—” Lea buru-buru menunduk, mendongak... dan membeku.

"No worries," ucap pria itu, logat Inggrisnya kental namun lembut. "Are you okay?"

Lea mengangguk cepat, "Y-Yeah… I’m okay. Sorry, I was in a hurry." Ucapnya singkat langsung pergi begitu saja, meninggalkan pria yang masih diam di tempat.

Pria itu masih tertegun, menatap arah wanita itu yang kini menghilang perlahan dari pandangannya, langkahnya terburu-buru.

Sebelum akhirnya mencoba mengabaikannya.

Namun saat hendak melangkah pergi, matanya menangkap sesuatu yang terjatuh di lantai—sebuah benda kecil, nyaris tak terlihat. Ia menunduk, lalu mengambilnya.

Sebuah kartu nama.

Nama wanita itu tercetak jelas di sana. Ia menatapnya sekilas, alisnya terangkat pelan. Sedikit perasaan familiar membuatnya janggal.

"Lea?" batinnya berkerut. "Apa itu namanya? Kenapa nama itu terasa begitu familiar?"

Entah mengapa, ada sesuatu dalam nama itu—dan sosok wanita tadi—yang mengusik pikirannya. Rentetan pertanyaan pun mulai berkelana, berdesakan dalam benaknya, tanpa jawaban yang jelas.

Tanpa pikir panjang, pria bule itu menyelipkan kartu nama tersebut ke dalam saku jasnya. Langkahnya kembali mantap saat ia melanjutkan perjalanan, sembari menyambungkan kembali panggilan telepon yang sempat terputus.

“Will, Kau bisa mendengar ku sekarang?” ucapnya datar, suaranya kembali tenang—seolah tak terjadi apa pun barusan.

Bab 2

Setibanya di ruang kerjanya, Lea mendesah pelan sambil melirik ke arah jam tangan di pergelangan. Jarumnya sudah menunjuk pukul tujuh lewat lima belas menit—artinya, ia terlambat sepuluh menit dari janji ‘lima menit’ yang ia bilang tadi saat pamit ke basement.

Ia sempat menghela napas lega dan bergumam, "Fyuh... untung tadi nggak sempat ketemu Kak Yuna."

Baru saja ia duduk, suara Zana langsung menyambut dengan nada menggoda.

"Sepuluh menit ya, bukan lima. Waktu lo kayaknya pake zona waktu Tokyo deh."

Lea melirik sinis tapi tak bisa menahan tawa kecil. "Maaf Bu Timer, tadi ada insiden kecil."

Zana menaikkan alis. "Insiden? Jangan bilang ban mobil bocor... atau Lo kejebak lift lagi?"

Lea menggeleng cepat, lalu mendekat sedikit sambil berbisik, "Enggak. Tapi... tadi gue nabrak orang."

Zana membulatkan mata. "Nabrak?! Serius? Siapa? Satpam? OB?"

Lea menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu berkata pelan, "Kayak bule tapi rambutnya item, cuma matanya aja yang biru lautnya mencolok kayak bukan dari softlens."

Zana langsung duduk tegak. "BULE?! Tunggu. Maksud lo, kayak... bule asli? Tinggi, ganteng, beraroma cappuccino mahal?"

Lea terkekeh. "Kurang lebih. Dia pakai kemeja biru dongker, lengan digulung, dan... yeah, literally smells expensive gitu."

Zana berbisik penuh antusias, "Lo ambil nomor kontaknya gak?!"

Seketika Lea menjitak kepala Zana. "Mimpi apa sih Lo? Ya, enggak dong! Gue kan tadi terburu-buru,” ucap Lea datar.

Zana menatapnya dramatis sambil mengusap kepala. "Lea sayang... itu bukan insiden. Itu takdir!"

Lea menambahi dengan tawa renyah, "Takdir? Udah ngopi belum? Mana takdir begituan, konyol banget hahahaha!"

"Ish, Lo nggak tau cerita WP, Drakor, Dracin, Anime?"

"Kagak."

"Dih. Dasar kudet!"

"Bodo amat."

Beberapa saat kemudian, Lea masih sibuk menatap layar ponselnya. Sesekali senyumnya merekah ketika membaca sebuah pesan masuk—dari Adrian.

Ting!

"Gue bakal balik ke Indonesia minggu depan. Kenapa?"

Mata Lea langsung berbinar, dan tanpa sadar bibirnya membentuk senyum semringah. Dengan semangat, ia segera membalas pesan itu, jemarinya bergerak cepat di atas layar.

“Serius? Lo punya waktu hari ini nggak? Gue pengen banget ketemu. Udah lama banget, lho, kita nggak ngobrol langsung.”

Pesan itu terkirim. Detik berikutnya, centang dua langsung berubah biru—terbaca. Wajah Lea memanas disaat yang bersamaan.

Pesan masuk: "Tentu saja! Gue akan pulang besok pagi. Tunggu gue di bandara, ya. Kita akan rayakan pertemuan ini di villa. Hari ini, perusahaan gue sedang merayakan Anniversary yang ke-100."

Deg. Deg. Deg.

Jantung Lea berdegup tak karuan. Perasaan yang selama ini ia simpan diam-diam untuk Adrian kembali muncul ke permukaan. Ia memang belum siap untuk mengungkapkan semuanya… belum saatnya.

"Oke, gue akan nunggu. Lo harus janji ya?" tulisnya, lalu menekan tombol kirim.

Tak butuh waktu lama, balasan cepat masuk:"Iya, gue janji."

Lea mematikan ponsel perlahan, lalu bersandar sambil menutup wajah dengan satu tangan—pipinya sudah memerah.

Ada secercah harapan yang menyelinap ke dalam hatinya… tapi juga keraguan yang samar. "Apa lo bener-bener bakal nepatin janji kali ini, Adrian?" batinnya lirih.

...----------------...

Setelah sibuk mengetik tanpa henti, jemarinya menari lincah di atas keyboard, beberapa menit kemudian Zana muncul di depan meja kerjanya.

"Lea, buruan. Meeting-nya mulai sebentar lagi."

Lea langsung sigap. Ia sudah menyiapkan semuanya dari tadi—laptop, catatan, bahkan slide presentasi. Tapi ada satu hal yang tak ia sadari... Kartu nama miliknya telah hilang.

"Adrian… tunggu aku di bandara. Jangan kecewakan aku lagi untuk janji yang kali ini," batin Lea, matanya masih terpaku pada layar ponselnya yang kini sudah gelap. Pikirannya melayang, tenggelam dalam harapan yang pelan-pelan tumbuh.

Namun dari jarak dekat, Zana memperhatikannya dengan dahi berkerut. Tatapan Lea yang tiba-tiba sendu namun berbinar itu membuat Zana penasaran.

"Lea, lo kenapa? Senyum-senyum sendiri dari tadi. Jangan bilang… lo lagi jatuh cinta?" godanya, separuh serius.

"Eh, enggak lah!" sela Lea cepat, sedikit gugup.

"Udah, yuk. Nanti rapatnya keburu mulai," tambahnya buru-buru, langsung melangkah mendahului Zana.

Zana yang berjalan di belakangnya sempat memperhatikan pipi Lea yang merona halus. Senyum menggoda pun muncul di wajahnya.

"Oooh... jangan bilang itu dari Adrian, ya?" godanya sambil tertawa pelan. "Lo tuh gampang banget ditebak, sumpah!"

"Ih, apaan sih! Nggak lah!" sanggah Lea cepat, berusaha tetap tenang.

"Tuh kan, buktinya wajah lo memerah," cibir Zana sambil menunjuk pipi Lea dengan telunjuknya.

Lea langsung menepis tangan sahabatnya itu sambil memalingkan wajah. "Udah ah, diam!"

Zana hanya tertawa puas, merasa menang. "Hmm… Lea lagi berbunga-bunga, nih~"

"Zana!!"

"Iya, iya, gue diam. Gue cuman bercanda kok..." ujar Zana dengan santainya.

Saat Lea dan Zana tiba di depan pintu ruang meeting, langkah Lea sempat melambat. Ada rasa gugup yang perlahan menyelinap ke dadanya.

Ini adalah kali pertama baginya mengikuti rapat bersama jajaran penting—orang-orang berpengaruh yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam dunia teknologi. Dan yang membuatnya semakin tegang, salah satunya berasal dari perusahaan ternama yang reputasinya mendunia, N.E International Corp.

Lea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Gue bisa. Santai. Profesional. batinnya menyemangati diri sendiri

Sebelum Lea sempat membuka pintu ruang meeting, Zana tiba-tiba mendekat dan berbisik pelan di samping telinganya.

"Napak tilas terakhir sebelum masuk dunia korporat elite, siap nggak lo?"

Lea melirik sekilas, berusaha menahan tawa gugup. "Napas gue aja nyangkut, tapi ya... gas."

Zana tersenyum, menepuk pelan punggung sahabatnya. "Tenang, kalau lo jatuh, gue yang ketawain pertama."

Mereka pun saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya Lea membuka pintu perlahan. Sinar putih dari dalam ruangan langsung menyambut wajah-wajah serius yang sudah menunggu.

Dari sekian banyak orang penting yang hadir dalam ruang meeting itu, pandangan Lea akhirnya berhenti pada satu sosok—seorang pria berkemeja biru dongker yang duduk di bangku tengah. Wajahnya tampan, berkarisma, dan tampak begitu tenang meski dikelilingi aura serius.

Saat insiden di basement tadi, Lea hanya sempat melihat kemejanya sekilas. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat wajah pria itu. Dan tanpa sadar, langkahnya sempat terhenti.

Ia sedikit tertegun, begitu pula pria itu—yang saat itu tengah memeriksa lembaran map di tangannya. Namun saat menyadari kehadiran Lea, pria tersebut mengangkat wajahnya perlahan, menatap balik dengan tatapan dingin namun diiringi senyum tipis yang sulit diartikan. Senyum yang tidak sepenuhnya ramah… tapi cukup untuk membuat Lea terbujur kaku.

“Hai... kita bertemu lagi, ya?” sapa pria itu dengan senyum tipis, seolah ingin memastikan sesuatu.

Lea mengerutkan kening, sedikit bingung. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa janggal. Wajah pria di depannya itu memang asing... namun entah mengapa, menyisakan rasa yang sulit dijelaskan. Seolah ada bagian dari dirinya yang pernah mengenal pria itu—tanpa ia sadari kapan dan di mana.

"Maaf, Tuan. Sepertinya Anda salah mengenali orang," sahut Lea dengan nada sopan namun tegas. "Perkenalkan, nama saya Lea Aurelia Fujisawa. Saya Account Manager dari Tuan Rangga."

Saat ia memperkenalkan diri, beberapa bisik-bisik kecil terdengar dari sudut ruangan. Beberapa peserta rapat tampak saling berbisik, menyebut namanya disertai pujian lirih—entah karena reputasinya, atau mungkin karena penampilannya yang profesional dan tenang di tengah situasi yang cukup tegang.

"Cantik juga wanita itu... ternyata benar apa yang kau katakan," bisik seorang pria kepada rekannya di sebelah.

"Kan sudah kubilang," sahut pria paruh baya bertubuh tambun yang mengenakan jas hitam mewah. Ia menyunggingkan senyum miring penuh maksud. "Perusahaan ini memang tahu cara memilih. Tak hanya kinerjanya bagus, tapi juga... penampilan yang memikat."

Itu adalah Presiden Direktur Zhou, salah satu perwakilan dari perusahaan teknologi besar asal Tiongkok—dikenal bukan hanya karena kekuatan bisnisnya, tapi juga komentarnya yang kerap menyebalkan.

Mendengar ucapan simpang siur, Lea hanya tersenyum tipis—datar dan tanpa makna. Ia segera mengambil inisiatif untuk kembali ke jalur formal, tak ingin memberi ruang pada komentar bermata keranjang seperti itu.

Ia berdiri di depan meja rapat, suaranya tenang namun penuh wibawa.

"Mohon maaf, jika diperkenankan, apakah rapat kali ini bisa segera dimulai?" ucapnya sambil menatap sekeliling dengan percaya diri.

Ruangan seketika menjadi lebih tenang. Bisik-bisik dan senyum menggoda yang sempat beredar di sudut meja pun langsung sirna, tergantikan oleh tatapan serius para peserta rapat.

Beberapa peserta langsung membetulkan posisi duduk. Sementara itu, pria bule berkemeja dongker tadi—yang duduk di sisi tengah ruangan—masih menatap Lea dengan pandangan yang sulit ditebak. Kali ini tak ada senyum tipis, hanya sorot mata yang tajam… seolah sedang mengamati sesuatu yang lebih dalam dari sekadar presentasi rapat.

Presdir Zhou hanya berdeham kecil, lalu menunduk ke dokumen di depannya tanpa berkata apa-apa lagi.

Lea mengangguk singkat, lalu mulai membuka slide presentasi di layar utama.

"Baik, terima kasih atas waktunya. Hari ini kita akan membahas rancangan proyek kolaborasi digital lintas regional antara perusahaan kita dan N.E International, termasuk strategi integrasi sistem terbaru yang akan digunakan," ucapnya dengan nada mantap.

Zana yang duduk di sisi lain ruangan mencuri pandang ke arah Lea dan tersenyum bangga dalam diam.

Dan di tengah keseriusan rapat yang mulai bergulir, sorot mata pria asing itu… tak berpaling sedikit pun dari sosok wanita yang kini berdiri percaya diri di hadapan mereka semua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!