NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah

Prolog

Wanita muda itu terus berlari. Dia tidak tahu entah sudah berapa jauh dan berapa lama dia berlari. Ini kesalahannya, terlalu percaya kepada teman yang memang tidak pernah ada untuknya. Tiba-tiba baik, ternyata ada maunya. Dia menangis, sesugukan, memegang erat tas sekolahnya yang sudah tidak kuat dia gendong. Dia lelah, belum makan. Waktu sudah pukul 20.00 malam. Dia tersesat, dia menyesal tapi untuk apa. Tidak ada yang peduli, dia yakin ayah ibunya takkan mau mencarinya. Dia bukan Vania, kakaknya yang selalu disayang dan dimanja. Dia hanya Asya tanpa embel-embel nama keluarganya. Dia hanya Queenasya, sering dipanggil Asya. Karena merasa nama depannya tidak begitu cocok dengan dirinya. Cuaca malam ini mending, dan angin mulai bertiup kencang. Asya tidak tahu dia di mana. Dia terus saja berlari dari tempat terkutuk itu tadi. Dia menyesal mengikuti teman seperti mereka yang ternyata ingin menjerumuskannya ke neraka. Tapi, Asya tidak tahu bahwa bahaya sebenarnya sudah menanti di depan mata.

"Mau kemana gadis kecil?" Seringaian itu sungguh menyeramkan hingga dia tidak bisa bergerak untuk waktu yang lama. Dia pingsan.

..

Ingatan itu kembali...

Di luar gerimis menjelma badai-badai raksasa yang lemah gemulai luruh membasuh jalanan, tetapi tidak lebih lebat dari gerimis di dalam tempurung kepala seorang gadis yang tengah meringkuk di atas kasur. Dia akhirnya mengerti perasaan seseorang yang membenci dirinya sendiri, seperti yang sering dia tonton dalam drama-drama Korea, sebab sekarang dia tengah merasakannya. Kadang kala, ketika saking tidak kuatnya, dia sampai mencoret-coret dinding kamar dengan sebilah pisau—yang terkadang pula sampai menggores pergelangan tangannya.

Dia tidak tahu sejak kapan mulai menggila seperti ini. Ah, mungkin sejak kejadian naas itu. Kejadian di mana tidak bisa dia cegah, sebab terjadi begitu cepatnya sampai-sampai hampir seluruh kesadarannya mulai menghilang. Dia membencinya. Sungguh membencinya. Laki-laki asing yang dengan berani sekali merenggut kesuciannya yang telah dia jaga. Dia tidak tahu dia siapa dan dari mana asalnya. Namun, dibanding membenci laki-laki itu, dia jauh lebih membenci temannya. Seseorang yang telah menjebaknya ke dalam jurang kegelapan.

Hari itu, hari di mana semuanya terjadi begitu cepat dan di bawah kesadarannya. Hari di mana dunia seolah mendadak gelap gulita. Dia mendapati dirinya sudah tidak berbusana di dalam sebuah ruangan yang remang-remang. Kepalanya agak sedikit pusing. Dia mulai mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Ekor matanya menangkap bayangan tubuh seorang pria yang menghadap tembok hingga dia tidak bisa mengenali siapa gerangan yang ada di sana. Laki-laki itu, seingatnya tadi, tiba-tiba secara paksa mengajaknya memasuki ruangan ini saat kesadarannya tinggal separuh. Ya, laki-laki bajingan itu dengan berani menidurinya dan merenggut kesucian yang selama ini telah dia jaga.

************ serta hatinya terasa amat begitu perih. Dia berusaha beranjak dari ranjang dengan tertatih-tatih dan sesenggukan.

“Biadab kau!” hardiknya dalam hati pada laki-laki yang kini tengah mengenakan pakaiannya satu persatu dengan setengah mabuk. Tidak lama, laki-laki itu menatapnya dengan tatapan bingung, hampir seperti anak kucing kehilangan induknya.

Laki-laki itu bergumam beberapa kali pada dirinya sendiri. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin menyesal karena telah melakukan aksi bejadnya atau kemungkinan-kemungkinan lain. Tidak lama dia pergi meninggalkan seorang gadis yang masih meringis kesakitan. Menyisakan kelengangan.

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Dia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada mama dan papanya perihal keterlambatannya pulang. Ah, tetapi dia buru-buru mengusir pikirannya soal itu. Sebab dia tahu, kedua orang tuanya tidak mungkin mengkhawatirkan apalagi menanyai soal ini dan itu. Dia merasa dirinya menjadi orang asing di rumahnya sendiri. Padahal selama ini, dia sudah berusaha menjadi anak yang baik. Namun, sayang, kasih sayang mama dan papanya hanya untuk Vania seorang, kakak perempuannya.

Asya—begitulah orang-orang sekitar memanggilnya—pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia mengguyur tubuhnya mulai dari kepala, berharap dosa yang dia lakukan hari ini ikut luruh. Dia terisak cukup lama hingga rasa sakit di hati dan selangkangannya sedikit berkurang.

Selepas mandi, dia berkemas. Mengenakan kembali seragam putih abu-abu dan merapikan tas sekolahnya.

Asya sekarang ingat mengapa dia bisa berada di sini dan mengalami kemalangan seperti ini. Ini semua terjadi karena dia menuruti ajakan Lani untuk pergi ke tempat hiburan malam. Dia mengutuk teman satu-satunya itu.

“Jahat sekali kau, Lani,” katanya lirih, hampir tidak bisa di dengar.

Asya mulai melangkah ke luar meninggalkan tempat itu dengan badan gemetar. Takut-takut ada orang jahat lain yang akan menodainya lagi. Dia langkahkan kakinya dengan langkah-langkah panjang, setengah berlari. Tidak jauh dari sana, dia menemukan sebuah warung yang sepertinya sudah lama tidak terpakai. Tanpa pikir panjang dan karena tubuhnya juga sudah lelah, Asya memutuskan untuk tidur di situ.

...

Tadi siang, saat Asya sedang beristirahat di kantin, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya bak malaikat tanpa sayap. Bertanya apa kabar dan bagaimana pelajaran berlangsung sebab mereka berdua berbeda kelas juga jurusan.

Lani, satu-satunya teman Asya di sekolah ini, duduk menjejerinya.

“Kok tumben ngalamun? Baksonya ngga dimakan lagi. Buat aku, ya!” pintanya bersemangat.

Asya yang terkenal pendiam pun hanya menanggapinya dengan gelengan kepala, yang sama tidak semangatnya.

“Ayolah, Sya, aku laper nih!”

“Jangan, Lan. Uangku hanya cukup untuk beli ini,” jawab Asya.

“Hem, ya udah. Kamu kenapa ngalamun? Mikirin soal rumah, ya?” tanya Lani lagi. Kali ini dia ikut memesan bakso dan juga segelas jus alpukat pada ibu kanti . Yang ditanya hanya mengangguk singkat.

“Eh, kenapa lagi? Pasti gara-gara Vania sok cantik itu!”

Asya tersenyum kecut. Batinnya masih bertanya-tanya mengapa kedua orang tuanya lebih menyayangi kakaknya dibanding dirinya.

“Ah, kalo begitu, ikut aku yuk! Kita seneng-seneng bareng.” Lani memberi usul.

“Ke mana?” tanya Asya polos. Dia memang kerap kali diajak mengunjungi tempat-tempat baru yang selama ini belom pernah dia kunjungi.

“Tetapi ini sedikit rahasia,” jawab Lani dengan nada lirih. Matanya mulai menatap genit lawan bicaranya.

Keduanya kini saling mendekatkan kepala masing-masing. Berharap orang lain di sekitar tidak bisa mendengar percakapan rahasia mereka.

“Ke diskotik!”

Jawaban Lani membuat Asya terlonjak kaget. Dia langsung menggeleng cepat-cepat.

“Aku ngga mau!” ujar Asya.

“Loh, kenapa? Itu tempat yang bisa bikin kamu ngga sedih lagi. Kamu ngga percaya sama aku?” Lani mulai mengeluarkan jurus bujukan mautnya.

“Bu-bukan gitu. Kamu tahu aku ngga punya temen selain kamu, ‘kan? Dan kamu juga tahu aku ngga nyaman ada di tempat-tempat ramai.”

Lani terdiam sejenak, berpikir. Kemudian dia berucap lagi, “Aku tahu itu. Tapi bukankah kamu ngga suka ada di rumah? Sekali-kali lah keluar cari hiburan. Aku yakin, jika si Vania yang ada di posisimu, dia akan melakukan hal yang sama. Dan mama dan papamu pasti ngga akan ngelarang dia.”

Asya mencoba mencerna kata-kata Lani. Iya, ada benarnya juga. Jika Vania yang melakukannya, pasti orang tuanya santai-santai saja. Apa salahnya dia mencoba hal-hal baru. Bukankah selama ini hidupnya hanya dikelilingi rasa sepi?

“Tapi aku tidak mau minum-minum.”

“ Iya, aku juga tidak ingin minum. Aku akan pesankan air mineral atau apa lah yang tidak ada bahan pemabuknya,” jawab Lani antusias.

”Aku janji, Sya, nanti jika ada yang macam-macam denganmu, aku langsung melaporkannya ke petugas keamanan. Kita ke sana hanya senang-senang saja, tidak lebih.”

Asya mengangguk, setuju atas ajakan Lani. Lani yang merasa umpannya berhasil dimakan sasaran pun tersenyum puas. Mereka berdua tertawa-tawa sambil menghabiskan mangkuk-mangkuk berisi bakso dan juga jus alpukat.

Tidak lama bel masuk berbunyi. Mereka akhirnya pergi menuju kelas masing-masing tanpa sadar sebetulnya Asya sedang diperdaya oleh orang yang dia anggap seseorang yang paling baik.

Chapter 1. Tidak Sengaja Bertemu

Ini adalah hari ketiga bagi Asya bekerja paruh waktu di sebuah restoran menjadi pramusaji. Dia kini sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Usianya sudah genap delapan belas tahun.

Dilapnya meja-meja yang habis digunakan para pelanggan dengan teliti, tidak mengizinkan sebercak noda pun ada di atasnya. Setelahnya dia membantu pekerja lain menyapu atau mengepel lantai.

“Huff, cape juga ya hari ini,” ujarnya pada diri sendiri sembari tangannya mengelap peluh di dahi. Tiba-tiba tanpa dia sadari, bosnya sudah ada tepat di belakangnya dan menegur sapa dirinya.

“Wah, Asya, kamu memang anak yang rajin. Saya sangat suka dengan hasil pekerjaanmu,” ujar bosnya pada Asya dengan senyum mengembang di bibir.

“Ah, iya, Pak, terima kasih banyak.” Asya yang memang tipe anak pendiam, begitu mendengar pujian dia langsung menunduk malu. Dia belum terbiasa dipuji orang lain. Keluarganya bahkan sama sekali tidak pernah mengapresiasi jerih payahnya.

“Sudah, kalau begitu silahkan dilanjut kerjanya, ya. Saya mau melihat yang lain dulu,” kata bosnya pamit pada Asya.

Asya hanya mengangguk dan sedikit tersenyum kikuk. Lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.

Sementara di tempat lain, Mandala beserta Vania sedang berunding akan makan siang di mana di dalam mobilnya yang mewah.

“Sayang, hari ini kamu mau makan apa? Steak? Spaghetti? Atau bubur ayam?” tanya Vania genit pada Mandala.

Vania yang kesal karena Mandala tidak merespon pun memukul pundak Mandala.

“Ih, Sayang, kok aku di diemin, sih? Kamu ngga peka banget deh!!” seru Vania sambil pura-pura memonyongkan bibirnya.

Mandala yang melihat tingkah lucu tunangannya hanya bergumam kecil lalu membujuknya agar tidak terjadi pertengkaran hebat. Bukan Mandala tidak suka terjadi percekcokan kecil tapi memang dia malas jika itu terjadi antara dirinya dan Vania. Entah kenapa.

"Kamu mau makan apa memangnya?" Sela Mandala.

“Lho, kan aku barusan nanya, Sayang, kamu mau makan apa. Kok nanya balik sih?" Vania kesal bukan main.

"Ya udah deh, bubur ayam itu juga bergizi lagi.” sambut Mandala.

“Nggak mau. Aku ngga biasa makan di pinggir jalan,” sahut Vania galak. Iya, dia memang sedari kecil sudah dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Bahkan untuk makan pun harus di tempat-tempat mahal atau sekelas restoran bintang lima.

“Ya udah. Jangan ngambek, dong. Nanti cantiknya luntur, hehe.” jarang-jarang lho Mandala menggodanya..biasa pria itu hanya diam. Sama seperti barusan. Tidak merespon jika ditanya makan dimana. Justru nanya balik.

“Ih, apasih?! Ngga lucu deh! Oh, iya, di dekat sini ada restoran yang enak loh. Kita ke sana aja ya, Sayang, please,” bujuk Vania pada Mandala.

Memang dasar si Mandala yang terlalu menuruti, dia akhirnya menyetujui ajakan tunangan sekaligus belahan jiwanya ini. Memang Mandala tidak pernah tidak memberikan apa yang Vania mau. Itu yang disuka oleh Vania. Mandala dingin, terlebih cuek. Tapi, dia selalu menyetujui keinginan Vania.

Tidak lama, mereka akhirnya pun menuju tempat yang dimaksud Vania.

...

Tidak seperti restoran kebanyakan, restoran ini mengambil nuansa alam dengan banyak pepohonan hijau sebagai hiasannya. Kanopi yang digunakan untuk melindungi pelanggan dari sengatan sinar matahari pun terbuat dari daun rumbia. Di beberapa bagian ada yang menggunakan tanaman rambat. Jendela serta dinding-dindingnya terbuat dari bambu yang dianyam sedemikian rupa hingga tampak elok dan serasi satu sama lain. Di sinilah tempat yang dipilih Vania untuk makan siangnya bersama Mandala. Sekaligus tempat di mana Asya bekerja paruh waktu.

Seperti biasa, pelanggan langsung disambut ramah oleh penjemput tamu tepat setelah memasuki pintu kemudian ditanya mau duduk di mana. Vania memilih duduk di tepi air terjun buatan dan Mandala pun setuju-setuju saja.

Vania melambaikan tangan memanggil salah seorang pramusaji dan mulai memesan makanan.

“Mbak, aku mau chicken steak satu dan mango jus satu, ya. Oh iya, untuk saladnya ngga pake jagung bisa?”

Pramusaji itu menjawab dengan penuh keramahan. “Iya, bisa, Kak.”

“Oke, good. Kamu mau pesen apa, Sayang?” tanya Vania manja pada Mandala.

“Hemm, aku chicken katsu plus nasi putih satu, dumpling udang satu, sama minumnya orange jus satu.” Mandala menutup buku menu dan mengembalikannya kepada sang pramusaji.

“Oke, Kak. Apakah ada tambahan lain?”

“Cukup, cukup,” jawab keduanya hampir berbarengan.

Sang pramusaji izin berlalu untuk mempersiapkan pesanan. Sementara Mandala, sambil menunggu pesanan datang, dia mengerjakan satu dua hal di laptopnya.

Tidak lama, Asya, yang juga bekerja di situ mengantarkan pesanan meja nomor tujuh—meja Vania dan Mandala—tanpa sepengetahuannya bahwa kakaknyalah yang memesan pesanan tersebut.

“Silahkan pesanannya, Kak,” kata Asya pada pelanggan yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

Asya terkejut ketika mengetahui hal itu. Vania juga sama terkejutnya. Tetapi ada yang membuat Asya jauh lebih terkejut lagi ketika melihat seseorang yang sedang bersama kakaknya. Iya, tidak salah lagi, itu adalah laki-laki yang meniduri Asya satu tahun lalu. Asya dapat mengenali dari perawakannya serta garis wajahnya meski saat itu ruangan dalam keadaan remang-remang.

Laki-laki di hadapan Asya tak kalah terkejutnya sama seperti dirinya. Pada saat yang tidak tepat, dia bertemu dengan seseorang yang tidak sengaja dia tiduri. Mandala tampak sedikit gusar dan tidak nyaman, tetapi dia masih bisa mengendalikannya.

Tetapi Asya berbeda lagi. Tangan dan tubuhnya bergetar hebat karena teringat akan traumanya yang membuat dia hampir masuk rumah sakit jiwa. Dia tidak sengaja menumpahkan minuman pesanan mereka dan membasahi sebagian laptop Mandala.

Mandala yang terkejut, reflek menyambar laptopnya dan memarahi Asya.

“Heh! Kalo kerja yang bener, dong! Masa begini doang sampe tumpah si?! Lihat nih, laptop saya jadi basah. Kamu mau ganti rugi?!” teriak Mandala yang membuat mereka jadi bahan tontonan orang-orang sekitar.

“Ma-maaf, Kak. Sa-saya tidak, tidak sengaja,” kata Asya terbata-bata sambil menahan air matanya. Satu, karena dia dimarahi di depan umum. Dua, karena dia teringat akan masa lalunya yang buruk.

Vania yang melihat laptop tunangannya basah karena ulah adiknya pun ikut geram.

“Kamu tuh ya, nggak di rumah, nggak di sini, selalu buat ulah. Pembawa sial, tahu nggak?!” hardik Vania pada Asya.

Asya sudah tidak kuat membendung kesedihannya. Air matanya pun tumpah ruah membasahi kedua pipinya.

“Eh, sebentar, sebentar,” ujar Mandala, “kamu kenal sama orang ini?” Dia bertanya sambil mengelap-elap laptop kesayangannya menggunakan tissue.

“Kenal. Ini adikku,” jawab Vania singkat tanpa melirik ke arah Asya.

Mendengar fakta itu, sebetulnya Mandala tambah-tambah terkejut. Bagaimana bisa dia meniduri adik dari tunangannya. Tapi bukan Mandala jika tidak bisa bermain sandiwara.

“Oohh, jadi ini adik kamu. Lain kali bilangin, kalo kerja tuh yang becus. Masa laptop orang dia siram-siram,” kata Mandala sinis.

“Iya, Sayang. Nanti kalau udah sampai rumah, aku bakal marahin dia,” tambah Vania.

Asya yang merasa semakin dipermalukan, memutuskan untuk meninggalkan mereka dan berlari ke kamar mandi sambil terisak-isak. Di dalam kamar mandi dia menangis sesenggukan. Bertanya apa salahnya dan mengapa semua ini terjadi padanya. Rentetan peristiwa di masa lalu membuatnya takut juga tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya terasa seperti benang kusut. Semakin dipikirkan semakin membuatnya mual.

“Orang itu,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.

Tidak lama, kesadarannya mulai berkurang dan, bruk! Dia tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

Chapter 2. Ingatan Masa Lalu Asya

“Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baikan?” Mama yang berada di sebelah ranjang bertanya dengan nada yang, yah, mungkin agak terpaksa.

“Heum, iya, sudah lebih baik dibanding kemarin,” jawab Asya dengan nada lirih.

Asya sudah berada di sini hampir tiga bulan lamanya. Iya, sejak kejadian itu, kejadian di mana Asya sama sekali tidak ingin mengingatnya, membuatnya mendekam di dalam rumah sakit jiwa.

Kata Mama yang saat itu ada di rumah, Asya hampir mati bunuh diri. Pergelangan tangannya penuh dengan genangan darah. Di lantai juga terdapat banyak rontokan rambut yang dia gunting-gunting sendiri seperti orang gila. Kamarnya sudah seperti kapal pecah dan banyak barang yang rusak akibat dibanting olehnya.

Mama dan Papanya, juga Vania, sebetulnya bingung dengan apa yang membuat Asya hingga sampai seperti ini. Tetapi jika ditanya, Asya selalu bungkam. Bilang dia juga tidak tahu mengapa keadaannya bisa sampai separah ini.

“Besok Sya udah boleh pulang, kan, Ma?” tanya Asya masih dengan nada yang lirih saking belum pulih.

“Mama nggak tahu. Coba nanti Mama tanya dokter,” jawab mamanya datar.

“Tapi, Ma, beneran, Asya udah baikan kok. Pasti bakal dibolehin pulang.”

“Yakin udah bisa pulang?” tanya mamanya dengan nada seperti orang menyindir. “Nanti kumat lagi loh, bikin orang rumah jadi repot,” lanjut mamanya.

“Beneran, Ma. Asya udah baik-baik aja,” jawabnya sekali lagi.

Mamanya yang tadi sedang mengupaskan kulit jeruk, tiba-tiba langsung keluar kamar. Entah ke mana. Mungkin menuju ruangan dokter atau menyelesaikan administrasi.

Asya diam-diam menitikkan air mata. Dia tahu bahwa mamanya hanya terpaksa berada di sini. Dari dulu dia sudah terbiasa diacuhkan bahkan oleh keluarganya sendiri. Membuat dirinya kurang pergaulan dan takut mengenal orang baru. Apalagi setelah dirinya dikhianati oleh Lani, teman satu-satu miliknya.

Sejak Lani menjebaknya, Asya tidak tahu lagi keberadaannya. Seolah hilang ditelan bumi. Kata gosip yang beredar, Lani pindah sekolah karena kedua orang tuanya juga dipindah tugaskan ke kota lain.

Asya memandangi langit-langit kamar rumah sakit jiwa. Melamunkan nasibnya yang terlalu menyedihkan. Kepalanya lama-lama terasa pusing dan perutnya mual bukan main.

“Hoekkk.”

Asya muntah di atas tempat tidur. Dia tidak sempat berlari ke kamar mandi karena tubuhnya masih sangat lemas. Tiba-tiba ada ketakutan yang besar menusuk dadanya. Dia memegangi perutnya yang datar itu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

“Apa aku hamil?” tanyanya pada dirinya sendiri.

“Ah, tidak, tidak.” Dia buru-buru menghilangkan pikiran itu.

Tetapi bagaimana jika dia benar-benar hamil? Nanti apa yang akan dia sampaikan pada Papa dan Mamanya perihal ini? Sungguh dunia terasa begitu kejam padanya jika itu sampai benar-benar terjadi.

...

Sedangkan itu, Mandala yang mengingat kejadian itu cukup terkejut bahwa dia meniduri wanita yang sempat membuatnya tertarik tapi bagaimana bisa? Karena wanita itu sudah dia perawani. Astaga, bagaimana bisa Mandala menyukai anak kecil itu. Dia bahkan belum pernah menyentuh Vania. Jujur, Mandala bukanlah pria suci. Tapi, gadis itu masih anak SMA. Yang benar saja, batinnya. Anehnya, tubuhnya bereaksi dengan gadis itu ah, wanita. Dia sudah menjadi wanita sekarang. Tapi, ada hal dan rahasia besar yang tidak diketahui oleh Mandala tentang Asya, semua penderitaan dan trauma gadis itu.

.

.

Mandala tahu, bahwa gadis itu hidup sendiri. Dia mendapatkan informasi dari anak buahnya. Tapi, dia tidak menyangka akan bertemu gadis itu hari ini, dan memang dia pernah ke rumah Vania. Waktu itu dia memandang dari jauh karena takut ketahuan Vania dan kedua orang tuanya. Tapi, ada hal yang tidak ingin ditanyakan Mandala. Hingga pada akhirnya, dia terkejut bahwa gadis itu, Asya adalah adik dari Vania. Adik tunanganya. Bagaimana bisa? Setahun dia tidak bertemu, kecuali hari itu hari di mana Vania berulang tahun. Tapi, memang tidak ada Asya di sana. Makanya, Mandala berpikir bahwa Asya adalah pembantu di sana. Tapi, kenyataannya tidak.

"Tono,"

"Ya bos," suara Tono, asistennya di seberang sana menjawab panggilan Mandala.

"Kamu selidiki keluarga Vania!!" ujarnya memerintah.

"Baik bos, ada lagi?" Tanya Tono.

"Tidak," jawab Mandala.

Percakapan dengan Vania tadi masih terngiang di kepalanya.

"Dia adik kamu?" Tanya Mandala.

"Iya, kenapa sih yang nanya dia mulu?" Jawab Vania kesal.

"Oh, eh-hem. Bukan. Cuma nanya aja. Kok, dia gak pernah kelihatan di rumah kamu?" Tanya Mandala penasaran.

"Iya, anaknya pendiam banget. Tapi, jangan ketipu dia suka bikin ulah. Dia itu udah gak perawan. Hampir gila, dan banyak hal lain yang buat mama sama papa gak suka sama dia." Ujar Vania. Mengingat Asya membuat darahnya mendidih. Dan dia seakan marah, selalu marah karena perlakuan Asya yang tidak baik kepada orang tuanya.

"Kamu gak dekat ya sama dia?" Tanya Mandala,

"Gak, aku gak pernah dekat sama dia. Dia itu, anak yang dibawa papa dari tempat kerjanya. Saat, itu mama sedang mengandung adik aku. Adik kandung aku. Aku gak tau, kalau ternyata papa bawa anak. Awalnya mama pikir, itu adik aku yang sudah meninggal. Karena kamu semua gak tahu kalau adik aku udah meninggal. Gak taunya anak papa, awalnya mama terima. Sampai mama tahu kalau ternyata dia anak selingkuhannya papa. Papa pernah selingkuh, saat bekerja lama di luar kota. Tanpa ikatan. Makanya aku dan mama benci banget sama dia. Sampai akhirnya mama selalu gak kuat menatap wajahnya. Karena teringat penghianatan papa" ujar Vania.

"Oh, gitu ya?" Seolah Mandala mendengarkan padahal dia hanya tanya kenapa mereka gak dekat.

"Hem, iya udah lah sayang. Ngapain mikirin dia. Dia sama aja kaya mamanya. Dia itu pelakor. Bahkan, dia itu gak pantes banget ada di keluarga kami. Dia hanya membuat mama menjad sedih. Anak pembawa sial" ketus Vania. Dia sangat berapi-api, dan itu kelihatan dari kilat matanya dan dia sangat tidak menyukai Asya.

...

Mandala, sudah mengantar Vania ke rumah. Dia tidak menjelaskan apa-apa selain mengatakan kepada Vania bahwa dia--mereka tidak bisa makan malam bersama malam ini. Vania menerima walau dia ngambek. Memang, Selly adiknya dan mamanya Mandala, bisa menerima Vania. Karena, Vania anak yang cantik, baik dan supel. Itulah penilaian keluarganya terhadap Vania. Hanya papanya yang masih biasa saja. Tapi, pertunangan mereka pun memang sudah terlaksana bukan, dia hanya akan mengumumkan pernikahan karena berhubungan spesial dengan Vania selama tiga tahun ini, sudah membuat Mandala banyak mengenal sifat wanita itu. Setelah ditinggalkan dengan kekasihnya dulu, Mandala tidak berhubungan sampai tiga tahun lalu. Vania datang dan menawarkan pertemanan hingga hubungan. Dia tergoda, tentu saja. Tapi belum sampai ke tahap serius atau melakukan hal yang dilanggar seperti dulu dia bersama dengan Anggia. Karena rasanya dia tidak memiliki nafsu. Itu sebelum akhirnya dia bertemu dan melakukan hal tidak senonoh kepada Asya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!