Anak lelaki dalam balutan kaos berwarna hitam pekat yang dipadukan dengan celana pendek warna senada itu masih asyik memainkan bola basket di tangannya. Sesekali ia melempar benda bundar tersebut ke dalam ring dan tertawa lebar ketika bolanya tepat sasaran. Ia kemudian tersenyum bangga pada seorang anak lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Ia membusungkan dada seolah ia adalah orang yang hebat dalam permainan bola basket. Hal itu lalu membuat iri anak lelaki yang duduk di pinggir lapangan dan hanya bisa menjadi penonton permainannya. Kentara sekali jika anak itu ingin bergerak bebas di tengah lapangan. Men-drible bola dan memasukkan ke dalam ring.
Gara orang-orang memanggilnya. Anak yang kini memainkan bola basket pemberian sang ayah di usianya yang menginjak angka lima belas tahun tepat tiga minggu lalu. Memang cita-citanya ingin menjadi seorang atlet basket yang handal dan terkenal. Bahkan, di dalam kamar Gara, dindingnya dipenuhi poster-poster tentang bola basket. Dan hampir segala hal yang berhubungan dengan Gara tidak lepas dari salah satu olahraga favoritnya itu. Ia juga mendapatkan dukungan penuh dari Edward dan Olivia—kedua orang tuanya—untuk mengasah bakatnya. Tak hanya kedua orang tua, Gara juga selalu memiliki support system pada setiap langkah yang ingin ia ambil. Adalah anak laki-laki yang duduk di pinggir lapangan sana. Chandra Callisto Xander—sang kakak.
Suara tepuk tangan itu terdengar ketika Gara lagi-lagi berhasil memasukkan bolanya ke dalam ring. Suara itu sukses mengalihkan pandangan Gara dan menghipnotis sudut bibirnya terangkat dengan sempurna membentuk lengkungan yang indah. Lengkungan yang kemudian berpengaruh dan memunculkan sepasang lesung pipi tipis di wajahnya. Selalu saja begitu. Chan selalu mengapresiasi apa yang Gara lakukan meski hanya dengan hal-hal sederhana. Seperti hanya dengan sebuah tepuk tangan sekalipun. Namun, itu sudah cukup bagi Gara untuk merasakan dukungan dari kakak semata wayangnya yang istimewa itu.
Gara mengambil bola basket yang menggelinding di pinggir lapangan yang tentu saja luasnya tidak seluas lapangan basket pada umumnya. Lapangan yang ia tempati kini hanya lapangan kecil yang sengaja Edward buat untuk Gara di halaman depan rumah megah itu, untuk bermain dan mengasah terus bakatnya dalam permainan bola basket. Ya, sebut saja sebagai dukungan sarana untuk Gara.
Gara mendaratkan bokongnya di samping Chan. Ia kemudian memukul-mukul bola basketnya sembarangan dengan sebelah tangan. Sedang tangan lainnya ia gunakan untuk memegang botol minum dan meneguk isinya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Setelah itu, ia menatap Chan yang hanya diam dengan tatapan menerawang lurus ke depan. Entah apa yang tengah ditatap oleh kakaknya itu.
"Kapan, ya, Dek, Abang bisa main bebas kayak Adek."
Gara tertegun mendengar suara lirih kakaknya. Terlahir menjadi anak istimewa membuat Chan harus menghabiskan waktunya hanya dengan mimpi-mimpi belaka. Takkan ada satupun mimpi Chan yang bisa terlahir menjadi nyata seperti mimpi dan cita-cita Gara. Jelas sebagai seorang adik, Gara pun merasakan kesedihan sang kakak. Namun, ia sendiri tidak punya kuasa untuk membuat Chan menjadi seperti yang kakaknya itu inginkan. Tubuh Chan tak sekuat Gara. Ruang gerak Chan tak seluas ruang gerak Gara. Semua hal menjadi terbatas dalam hidup Chan. Bahkan, lingkungan Chan pun memiliki batasan. Itu disebabkan oleh salah satu penyakit yang diderita Chan sejak lahir.
Gara merangkul pundak kakaknya. "Ini memangnya lagi ngapain? Lagi main, 'kan?" Gara tertawa garing. Ia tidak pandai membuat suasana hati Chan menjadi lebih baik. Di hadapan Chan, ia lebih sering tampak cengeng karena menangisi kondisi sang kakak. Namun, Gara selalu berusaha menjadi orang yang kuat seperti Edward. Ia selalu ingat kata Edward dan Olivia padanya. "Untuk menguatkan Abang, Adek haruslah berkali-kali lipat lebih kuat. Adek nggak boleh cengeng." Itulah kalimat yang selalu Gara pegang saat berhadapan dengan Chan. Kalimat yang menampar telak Gara ketika air matanya lolos saat melihat Chan dalam kondisi terburuk.
"Kan yang main cuma Adek. Abang cuma nonton doang," balas Chan seraya tersenyum miris.
Hening. Hanya deru angin sore yang menjadi instrumen yang menemani pasangan adik kakak itu.
Chan menoleh. "Boleh Abang main basket. Sekali saja."
Belum sempat Gara menjawab. Bola yang dipegang Gara secepat kilat berpindah tangan. Chan dengan segera bangkit sebelum Gara melarang dan mengambil alih bola tersebut dari tangannya. Lalu, Chan memainkan bola tersebut dengan sangat lincah. Seakan ia bukanlah manusia istimewa dengan segala kelemahannya. Chan tampak bugar dan sehat. Persis seperti manusia normal dan pada umumnya. Tidak terlihat seperti manusia yang ... ya penyakitan.
Gara sendiri tercengang melihat permainan Chan. Ia tahu Chan baru kali ini bergerak di lapangan. Namun, ia tidak tahu kalau kakaknya itu jago bermain bola basket. Bahkan, permainan Chan jauh lebih baik dari dirinya yang notabene bermain hampir setiap hari. Apa yang Gara saksikan saat ini membuat Gara lupa siapa kakaknya. Ia justru bertepuk tangan ketika melihat Chan berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Gara semakin bersemangat melihat permainan Chan. Bahkan, tanpa sadar ia ikut melompat kegirangan.
Namun, gerakan Gara terhenti ketiak Chan melepaskan bolanya begitu saja. Lalu, tubuhnya membungkuk dan tak lama ambruk di tengah lapangan. Tanpa ba-bi-bu Gara langsung berlari mendekati sang kakak. Ia meraih tubuh Chan yang terkulai lemas dengan keringat membasahi dengan sempurna. "Abang," panggil Gara dengan suara bergetar. Ia sedang berusaha untuk tidak menangis. Ia sedang berusaha menjadi kuat seperti yang sering dilakukan Edward.
Kelopak mata Chan terbuka perlahan. Ia kemudian tertawa kecil seraya berusaha bangkit dan duduk meski masih dibantu oleh adiknya. "Jadi, begini rasanya main basket," ujar Chan dengan nada suara lemah dan terbata diiringi deru napas yang terdengar berat. Bahkan, di setiap tarikan napas Chan terdengar bunyi "ngik" yang membuat Gara takut. "Abang suka. Abang mau main lagi nanti."
Gara menggelengkan kepala. "Nggak. Abang nggak boleh main lagi. Nanti Abang sakit."
Baru juga Gara selesai bicara. Tubuh Chan kembali ambruk ke samping dan kepalanya terbentur di dada Gara. Namun, bukan itu yang membuat Gara terlonjak dan nyaris melepaskan topangannya di tubuh Chan. Adalah suara berat yang menyerukan namanya.
"Gara!"
Gara menoleh dan mendapati tatapan nyalang itu. Tatapan mematikan dari Edward. "Papa," bisik Gara dengan nada takut. Apalagi melihat langkah lebar Edward yang mendekat ke tengah lapangan.
"Apa yang terjadi sama Abang? Kamu ngajak Abang main, hah?!" teriak Edward seraya meraih tubuh Chan yang sudah kehilangan tenaga. Ia melihat wajah pucat dan napas pendek Chan. Hal itu membuatnya murka pada Gara.
"Nggak, Pa. Tapi, Abang yang ngambil sendiri bola basket Adek," jawab Gara dengan nada takut. Ia menunduk dalam. Tak berani menatap wajah merah padam dengan tatapan nyalang milik Edward.
"Bodoh! Kalau kamu nggak ngasih, nggak mungkin abangmu akan mengambilnya." Edward menolak percaya. Karena, ia yakin Chan tidak mungkin melakukan hal itu. Chan pasti sadar dengan kondisinya.
"Adek nggak bohong, Pa."
Edward mendorong tubuh kecil Gara dengan keras hingga terjatuh. Siku anak itu lebih dulu mendarat di lapangan dan sangat menyakitkan. Gara bisa memastikan sikunya pasti akan memar atau terluka, karena benturan yang cukup keras.
"Ini semua gara-gara kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan abangmu. Kamu adalah orang pertama yang akan bertanggung jawab, Gara!"
Gara bingung. Ia tidak salah apa-apa. Namun, kenapa Edward justru menyalahkannya?
Gara mengangkat pandangan menatap tubuh Edward yang perlahan menjauh dari pelupuk mata. Edward meninggalkannya bahkan di saat Gara juga butuh dibantu. Tangannya kini sakit sekali.
Pandangan Gara saling bertubrukan dengan sepasang bola mata milik seseorang yang berada di dalam gendongan Edward. Tatapan yang sangat sendu dan tak berbinar. Tatapan penuh rasa bersalah milik Chan. Namun, apa yang terjadi pada Chan memang salah Gara. Kenapa ia tidak melarang Chan? Kenapa ia justru senang dan bangga melihat permainan kakaknya? Dan hal itu kini melahirkan benci di hati Edward padanya.
Dan dari sini. Cerita tentang seorang Gara dimulai. Tentang keadilan yang sirna. Kasih sayang yang punah. Perlakuan yang berbeda. Serta sakit demi sakit yang merubah jalan hidup seorang Sagara Casildo Xander.
Dan semuanya ... Gara-gara Gara.
Matahari masih dengan malu-malu menampakkan wajahnya di hadapan semesta. Sedang seseorang di dalam kamar bernuansa gelap itu sudah bersiap-siap dengan seragam putih abunya tengah mempersiapkan buku pelajaran yang akan ia bawa untuk menimba ilmu. Ya, meskipun pada akhirnya nanti remaja dalam balutan seragam SMA itu lebih sering menghabiskan waktunya di kantin atau di rooftop daripada di kelas. Paling tidak, ia sudah pergi dari rumah yang baginya bukan rumah yang sebenarnya. Ia merasa bangunan megah yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang kompleks itu hanya sebagai tempat singgah saja ketika merasa lelah di sekujur tubuhnya. Selain itu, sebagai tempat untuk menumpang mengisi perutnya yang keroncongan.
Apa terkesan berlebihan? Ya, memang begitulah yang dirasakan Gara. Di rumah itu ia tidak menemukan dan mendapatkan haknya. Ia hanya dituntut tentang kewajiban saja. Kewajiban yang tak seharusnya menjadi tugas Gara—menjadi sempurna dan selalu bisa menjaga Chan agar baik-baik saja. Padahal, perihal kondisi Chan, siapa yang tahu apa yang akan terjadi setiap detiknya dengan laki-laki yang sekarang menginjak usia di angka Sembilan belas itu? Tidak ada yang bisa menjamin bahwa Chan yang tersenyum lebar akan tetap seperti itu detik berikutnya. Kondisi Chan seperti mempermainkan hidup Gara. Kenapa? Karena, hal itu menjadi pemicu amarah Edward dan Olivia pada Gara.
Tangan Gara yang sudah bersiap menyampirkan tas sekolah di sebelah pundaknya terpaksa terhenti bergerak ketika suara ketukan pintu itu terdengar. Ada dua kemungkinan orang yang mengetuk pintu kamarnya pagi-pagi buta seperti ini. Jika bukan Mbok Fiah—pembantu rumah tangga keluarga Xander—itu berarti Chan. Hanya dua manusia itu yang selalu mengetuk pintu kamar Gara untuk membangunkan anak itu dari tidurnya. Atau hanya sekadar menginformasikan jadwal mengisi perut setiap harinya. Meski Gara jarang sekali ikut bergabung dengan keluarganya di meja makan. Apalagi saat makan malam. Gara lebih sering absen, karena ia yang seringkali pulat larut ketika semua isi rumah itu sudah tenggelam di dalam mimpi indah mereka. Kecuali, Chan yang selalu berusaha menunggu kepulangannya.
“Siapa?” seru Gara dengan nada malas.
“Abang, Dek. Abang boleh masuk, nggak?”
Gara menghela napas kasar dan memutar bola matanya malas. Kenapa harus Chan? Kenapa harus kakaknya itu yang datang pagi-pagi dan mengetuk pintu kamarnya. Gara sedang tidak ingin merusak suasana hatinya hari ini. Sebab, ia harus mengikuti lomba. Jika suasana hatinya rusak, Gara takut tidak fokus dan lebih mendahulukan emosi. Namun, Gara juga tidak bisa menolak untuk mempersilakan kakaknya itu masuk. Bisa-bisa jika ayah atau ibunya tahu. Masalah akan tambah parah dan benar-benar merusak harinya.
Gara beranjak menuju pintu kamar. Ia memutar kunci ke kiri dan membuka pintu tersebut. Dan benar saja, Chan sudah berdiri dengan pakaian yang seperti biasanya. Sweater tebal membungkus tubuh, syal yang melingkar di leher, dan nampan kecil berisi sepotong sandwich favorit Gara serta segelas susu. Tak lupa dengan seulas senyum yang tidak pernah memiliki rona itu. Namun, Gara malas menatap wajah Chan. Bukan karena ia tidak suka, tetapi ia tidak tega. Ia takut menjadi rapuh. Ya, meskipun Gara juga tak ayal menyalahkan Chan sebagai penyebab ia tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak bermarga Xander.
“Kenapa?” tanya Gara dengan nada dingin. Lebih dingin dari udara pagi ini.
“Abang bawain sarapan buat Adek,” jawab Chan seraya menyodorkan nampan tersebut pada adiknya.
Gara menatap isi piring di atas nampan. Bohong jika ia tidak ngiler melihat makanan favoritnya itu. Namun, mengingat siapa yang biasa membuat makanan tersebut. Entah kenapa rasa malasnya justru memuncak. Lebih banyak timbul amarah di dalam diri Gara. “Gue nggak butuh sarapan. Lo saja yang makan,” jawab Gara dengan ketus.
Chan menghela napas panjang. Entah harus bagaimana lagi ia mengambil hati adiknya agar kembali seperti dulu. Dua tahun usahanya hanya berakhir sia-sia saja. “Kalau Adek nggak makan di sini, biar Abang siapkan jadi bekal di sekolah, ya, Dek,” ujar Chan lagi membujuk adik semata wayangnya.
“Gue bilang nggak, ya, nggak. Jangan maksa gue bisa nggak sih?” Nada suara Gara naik dua oktaf. Benar ‘kan apa yang tadi sempat dipikirkan Gara? Kedatangan Chan hanya akan merusak suasana hatinya.
“Dek, nanti Adek sakit kalau nggak sarapan.” Chan masih belum menyerah.
“Gue nggak kayak lo yang penyakitan. Telat makan saja sudah kayak orang sekarat.”
Ada denyut menyakitkan di lubuk hati Chan. Padahal, ini bukanlah kali pertama Gara mengatakan hal itu padanya. Lagi pula, tidak ada yang salah dengan ucapan Gara. Chan memang penyakitan, bukan?
Gara yang melihat perubahan wajah Chan pun merasa bersalah. Namun, ia tidak akan meminta maaf. Tidak akan. “Mending bawa balik ke dapur saja deh, Bang. Gue sarapan di kantin saja nanti. Di sana ibu kantinnya bikinin masakan pakai cinta buat gue,” ucap Gara sarkas. Berharap apa yang ia katakan bisa terdengar di telinga ayah dan ibunya. Barangkali dengan begitu, Edward dan Olivia bisa sadar bahwa Gara juga butuh kasih sayang seperti dulu.
Gara melirik jam dinding di kamarnya. “Gue mau berangkat dulu. Takut telat.” Gara menutup pintu kamarnya dan meninggalkan Chan begitu saja yang diam terpaku diperlakukan dingin seperti itu.
Hingga suara yang lebih terdengar mengerikan itu menggelegar.
“Nggak tahu diuntung memang. Sudah dibawakan sarapan sama abangnya malah dicuekin seperti itu.”
“Ma, sudah. Jangan diperpanjang gitu dong, Ma,” ucap Chan seraya menyentuh lengan ibunya yang sudah terlihat sangat marah.
Gara. Anak itu menghentikan langkahnya yang sudah bersiap memijak anak tangga. Ia menoleh ke belakang dan melihat sang ibu yang sudah berdiri berdampingan dengan Chan. Gara menunjukkan evil smirk-nya pada wanita itu. “Gara nggak pernah minta dibawain sarapan sama dia kok, Ma. Dia saja yang mau,” ucap Gara seraya menatap tajam Chan yang kini hanya menundukkan kepala. Memang hal seperti inilah yang selalu Gara coba hindari. Namun, Chan memang tidak ada kapok-kapoknya.
Olivia terpancing dengan jawaban Gara. Ia melangkahkan kaki dengan lebar mendekati si bungsu. “Itu karena abang kamu peduli sama kamu.”
“Peduli?” Gara tertawa sinis. “Lebih baik nggak usah peduli sama sekali. Daripada kepeduliannya itu menjadi masalah buat Gara.”
Plak!
Baik. Tangan Olivia mendarat dengan sempurna di pipi kanan Gara. Dan itu sangat menyakitkan sekali.
“Mama!” pekik Chan dan melepaskan begitu saja nampan yang ia bawa. Membiarkan isinya terjatuh menyentuh lantai. Ia mendekati Olivia dan menahan tangan ibunya.
Sedang Gara. Anak itu hanya tersenyum miring. “Lumayan lah pagi-pagi sudah pemanasan. Kebetulan banget di sekolah nanti ada jam pelajaran olahraga,” ujar Gara terdengar santai seraya menyentuh pipinya yang terasa panas. Mungkin sekarang di pipi kanannya sudah tercetak jelas bekas tangan Olivia di sana.
“Adek nggak apa-apa?” Chan mencoba mendekat.
“Makanya pakai kacamata lo biar lo bisa lihat dengan jelas!” Emosi Gara pecah sudah. Ia tidak suka diperhatikan oleh Chan. Karena, perhatian yang diberikan Chan selalu menjadi duka bagi Gara. Seperti ini, misalnya.
Gara menatap sinis kakaknya. “Lebih baik sekarang lo nggak usah peduliin gue, Bang. Mending lo pikiran diri lo yang penyakitan.”
“Gara!”
“Apa?” Gara menatap ibunya tanpa rasa takut sedikit pun. “Ada yang salah? Memang dia penyakitan, Ma. Coba saja dia nggak penyakitan. Mungkin hidup Gara nggak bakalan berakhir kayak gini.”
“Cukup!” Chan angkat suara. Ia lelah melihat perdebatan antara adik dan ibunya. Lalu, menatap Gara dengan tatapan sendu. “Maafin Abang, ya, Dek.”
“Memangnya dengan maaf lo itu bisa ngembaliin semuanya? Nggak, Bang!”
“Terus harus bagaimana?”
“Mati,” jawab Gara dengan cepat tanpa berpikir.
Plak!
Sekali lagi tangan Olivia mendarat dengan sempurna di pipi Gara. “Jangan mulutmu kalau bicara, Gara!”
Chan terdiam. Ia menunduk dalam. Dadanya terasa sesak mendengar jawaban Gara. Apakah adiknya terlalu menderita karena kehadirannya? Apakah benar semua yang terjadi pada Gara karena dirinya? Jika memang demikian, tak mengapa Chan mati. Ia ingin melihat adiknya bahagia seperti dulu.
“Dua kali dan terima kasih atas hadiah pagi, Ma.” Gara menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Gara berangkat dulu. Jangan lupa, Ma, urus anak kesayangan Mama itu. Kasih tahu dia biar nggak ganggu Gara lagi. Gara capek, Ma,” ucap Gara untuk yang terakhir kali. Setelah itu, ia membawa kakinya kembali melangkah dan meninggalkan ibu dan kakaknya. Tidak lupa dengan membawa luka hati yang setiap hari bertumpuk. Biasa? Harusnya. Namun, tak semudah itu bagi Gara untuk merasa terbiasa dengan perlakuan ibunya sendiri. Dulu tangan yang menamparnya tadi yang selalu merengkuh dan mengelus puncak kepala Gara. Dan sekarang, semuanya begitu kontras.
“Bang, Abang nggak apa-apa, Nak?” Olivia menyentuh pundak si sulung.
“Ma, Mama tahu, nggak? Yang Mama lakukan sama Adek itu salah, Ma. Mama sudah membuat hubungan Abang sama Adek semakin berjarak,” lirih Chan seraya menahan gejolak di dalam relung hatinya. Apa yang didengar dari Gara tadi memang menyakitkan. Namun, pasti lebih sakit lagi apa yang dirasakan Gara daripada apa yang dirasakan Chan saat ini.
“Dia pantas mendapatkan itu, Bang. Dia sudah kurang ajar selama ini,” ujar Olivia dengan keukeuh tak mau salah.
“Kenapa hanya Adek, Ma? Kenapa Mama nggak pernah marahin Abang? Kenapa Mama nggak pernah nampar Abang?”
Sebelum Olivia sempat menjawab. Dada Chan terasa sangat nyeri. Refleks tangan Chan menyentuh bagian anggota tubuhnya yang sakit itu.
“Astaga, Abang.” Olivia panik bukan main melihat Chan yang meringis kesakitan. Ia menuntun tubuh Chan kembali ke kamar.
Tanpa Olivia dan Chan sadari. Sepasang mata almond itu menatap mereka dengan sedih. “Apa kalau Gara yang sakit, Mama akan sepanik itu?” lirih Gara yang tadinya berniat kembali ke kamar untuk mengambil barangnya yang tertinggal. Namun, yang ia temukan justru pemandangan yang menyakiti hatinya sendiri.
Gara menghela napas panjang. Tidak pantas bagi seorang Sagara Casildo Xander mengharapkan belas kasih orang tuanya. Mungkin takdirnya memang sudah seperti ini. Menjalani setiap detik dengan luka tak kasat mata di hati dan ketidakadilan di dalam keluarganya sendiri. Baiklah. Gara mungkin sudah dituntut menjadi dewasa di usianya yang terbilang masih sangat muda. Dituntut paham, meski menyakitkan. Dituntut ceria, meski hanya berpura-pura.
Suara-suara memekik, menyerukan nama seorang remaja yang tengah bergerak lincah di tengah lapangan basket. Tatapan yang penuh ketertarikan, penuh pujian dengan aksi yang dipertontonkan remaja dengan nomor punggung 09 itu tak ayal menyorotnya dari arah kursi penonton, begitu juga dari pinggir lapangan. Apalagi dengan wajah serta tubuh atletis yang sudah basah dengan keringat sukses membuat aura ketampanan anak itu meningkat berkali-kali lipat. Lalu, siapa yang tidak akan terpesona dengannya? Si kapten basket yang menjadi most wanted di SMA Rajawali. Satu kebanggaan bagi kaum hawa di sekolah itu jika bisa mendekatinya. Apalagi menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Meski itu tak berlangsung lama. Paling lama memakan waktu satu minggu saja.
Dan remaja lelaki yang bergerak dengan membawa bola basket di tengah lapangan itu adalah seorang anak lelaki yang sebentar lagi menginjak usia di angka tujuh belas. Ia adalah Sagara Casildo Xander. Dan panggil ia Gara.
"Gara! Gara! Gara!"
Teriakan itu semakina terdengar jelas dan kencang dengan suara mendominasi adalah suara perempuan. Kendati demikian, tak jarang juga banyak siswa yang mengagumi sosok Gara, berperawakan tinggi dan atletis, memiliki otak cerdas, dan jago bermain basket. Ya, meskipun ada minusnya juga. Adalah Gara yang suka membolos dan bermasalah dengan siswa lainnya. Hal itulah yang membuat kesabaran para guru di SMA Rajawali bingung. Menghadapi seorang Gara tidak mudah, antara kenakalan dan kecerdasannya itu seimbang.
Tak cukup sampai di sana, yang iri pun jauh lebih banyak. Kenapa? Karena Gara selalu digandrungi banyak gadis di sekolah itu. Ya, namanya saja most wanted sekolah. Tak heran, bukan, jika memang demikian? Hampir seluruh gadis yang ada di sekolah yang memuji sosok Gara. Mereka bahkan berlomba-lomba mendekati Gara. Namun, Gata tak menggubris hal itu. Ia menjadikan gadis-gadis itu pacarnya hanya untuk senang-senang saja. Setelah merasa cukup, ia akan memutuskan hubungan begitu saja. Tak peduli jika caranya hanya menyakiti hati orang lain. Memangnya Gara peduli? Tidak!
Teriakan di area lapangan basket semakin terdengar riuh. Itu disebabkan karena bola yang dilempar oleh Gara dengan sempurna masuk di ring lawan. Lalu, Gara menatap sekelilingnya dengan senyum bangga. Tak lupa ia menyugar rambut basahnya ke belakang untuk tebar pesona. Hal itu membuat teriakan gadis-gadis di sana terdengar memekakkan telinga. Lalu, apakah Gara bangga? Tidak juga. Apa yang ia lakukan sekali lagi hanya untuk bersenang-senang.
Bola kembali terlempar ke arah Gara. Dengan gerakan secepat kilat Gara menangkap dan memainkannya. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa bermain di lapangan, terlalu gampang bagi seorang Gara untuk mengelabui lawan. Tak heran jika ia dipilih menjadi kapten untuk timnya. Namun, Gara selalu merasa bukanlah siapa-siapa jika tanpa timnya. Ya, Gara terlalu rendah diri meski semua orang mengakui keunggulannya. Kecuali, kedua orang tuanya yang sudah tak peduli lagi bagaimana Gara sekarang.
Lagi, lagi, dan lagi. Gara berhasil memasukkan bola dengan sempurna berulang kali. Hal itu membuat tim lawan berada di posisi tak aman. Hingga ketika Gara ingin melakukan tembakan ke ring, salah satu pemain dari tim lawannya menabrak tubuh Gara dengan kuat hingga terjatuh dan bola yang sudah berada di tangannya terlepas begitu saja. Ia murka dan menatap seseorang dengan senyum miring itu.
"Lo nggak apa-apa?" Hansiel langsung memposisikan diri dengan sahabatnya itu. Ia menepuk pundak Gara dengan lembut.
Gara tak menjawab pertanyaan Hansiel. Namun, ia langsung bangkit dan berjalan mendekati Raymond yang sudah menabraknya. Gara yang sudah terlanjur rusak suasana hatinya dibuat semakin bertambah emosi. Tanpa kata ia langsung mendorong tubuh Raymond dengan kuat. "Maksud lo apa nabrak gue? Kalau iri, tunjukin dong kemampuan lo. Bukan malah main kasar kayak tadi," ujat Gara dengan rahang yang sudah mengeras.
"Cih! Kenapa gue harus iri sama lo?"
"Terus maksud lo apa coba nabrak gue? Mau bikin gue cedera terus lo bisa memenangkan permainan?" Gara menunjukkan evil smirk-nya. "Belum berubah juga ternyata. Masih saja main licik." Gara tertawa mengejek setelah itu dan sukses membuat Raymond emosinya semakin terpancing.
Raymond mendorong tubuh Gara dengan keras. Ia hendak melayangkan tinjuan di wajah tampan Gara. Namun, Gara dengan cepat mencekal tangan Raymond.
"Jangan cari masalah sama gue kalau lo nggak mau hidup lo menderita," tegas Gara dengan penuh penekanan di setiap kata yang menguar dari bibirnya. Ia juga menatap Raymond dengan tatajam tajam. Bukan hanya ancaman, tetapi ultimatum yang harus diingat oleh Raymond.
Lapangan basket menjadi ricuh melihat Gara yang sudah mulai emosi. Hansiel dengan cepat mendekati sahabatnya sebelum keributan yang lebih besar terjadi. Ia meraih tubuh Gara yang sudah bersiap maju dan memukul Raymond. "Gar, jangan. Lo nggak mau 'kan kalau sampai harus dikeluarkan dari permainan hanya karena ngeladenin orang kayak gitu," ujar Hansiel seraya menatap tidak suka pada Raymond yang juga sedang berusaha ditenangkan oleh teman-temannya. Memang Hansiel sudah membaca gerakan Raymond sejak tadi yang tampak mengicar Gara. Sebab itulah, ia juga sejak tadi sangat berhati-hati dan menjaga posisi sahabatnya. Sayangnya, ia sempat lengah hingga Raymond berhasil melancarkan aksinya mendorong tubuh Gara sampai terjatuh.
Peluit berbunyi nyaring sebagai pemberitahuan bahwa permainan sudah berakhir dengan pemenang adalah tim dari SMA Rajawali. Masing-masing tim bubar dan bergerak menuju pinggir lapangan. Begitu juga dengan Gara. Ia duduk dengan kaki berselonjor. Meraih botol minuman yang sudah disediakan untuknya dan meminumnya hingga tersisa setengah.
"Lo kenapa sih bisa terpancing begitu, Gar? Sudah tahu Raymond orang kayak gimana," tukas Hansiel yang kini sudah memposisikan diri di samping Gara. Ia menatap Gara dengan serius. Pipi anak itu tampak memar. Ia tahu apa yang terjadi. Namun, Hansiel tidak tahu siapa yang melakukannya kali ini. "Lo ada masalah apa di rumah sampai-sampai emosi kebawa sampai di tengah lapangan?" tanya Hansiel dengan sangat hati-hati. Ia adalah teman yang paling tahu tentang kehidupan Gara. Namun, perihal kepedulian, Gara mendapatkan dari ketiga temannya—Hansiel, Evano, dan Mazeen.
"Nggak ada masalah. Gue cuma emosi saja didorong dengan sengaja kayak gitu," balas Gara tak sepenuhnya berbohong. Ya, bukankah emosinya memuncak karena tidakan Raymond padanya? Meskipun sebelumnya juga emosinya sudah tidak stabil. Dan sebenarnya, masalah tadi bisa ia jadikan pelampiasan emosinya. Namun, Hansiel dengan cepat datang melerai.
"Lah, si goblok. Masih coba-coba mau bohongin gue lo?" Hansiel tertawa mengejek. "Itu muka tampan lecet kenapa?" tanya Hansiel seraya menunjuk pipi Gara.
"Kebentur tembok tadi pagi. Ngantuk banget."
Alih-alih percaya. Hansiel justru tertawa keras mendengar jawaban Gara. "Lo ganteng-ganteng nyeruduk tembok juga. Kasian banget sih lo. Padahal, noh si Angel sudah pepetin lo tiap hari, masih saja lo cuekin. Mending seruduk dia saja," ujar Hansiel dengan tawa kerasnya. Ia tahu Gara masih belum ingin bicara tentang masalahnya. Maka, sementara itu ia mencoba untuk membuat suasana hati Gara menjadi lebih baik dulu. Meskipun Hansiel sendiri tidak yakin akan berhasil.
Baru juga Hansiel selesai berucap. Gadis yang namanya disebut tadi sudah berdiri di dekat mereka seraya menyodorkan botol minuman dingin.
"Ini buat lo," ujar Angel pada Gara.
Gara menoleh pada Hansiel yang sedang berusaha menahan tawa. Lalu, kembali menatap botol dari tangan Angel. Tak lama ia kemudian meraih benda tersebut. "Thank you," ucap Gara.
Ketika Angel hendak berlalu. Gara menyerukan nama Angel. "Angel!"
Sang pemilik nama menoleh.
"Lo mau jadi pacar gue, nggak?" ucap Gara dengan sangat santai.
Angel tertegun.
"Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa. Gue bisa cari cewek lain," lanjut Gara karena tak mendapatkan respons dari gadis itu.
Hansiel hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Gara. Entah Angel adalah gadis ke berapa yang dijadikan mainan anak itu.
"Iya gue mau," jawab Angel dengan girang.
"Ya sudah lo boleh pergi," ucap Gara dan membiarkan Angel pergi. Setelah itu, ia tersenyum miring seraya menatap Hansiel. "Biar nggak seruduk tembok lagi pagi-pagi."
Hansiel tidak bisa menahan tawanya mendengar ucapan Gara. Ia bahkan sampai memegang perutnya yang terasa kram karena tertawa keras. "Lo suka ngadi-ngadi jadi orang." Hansiel menepuk lengan Gara.
"Kalau gue nggak ngadi-ngadi, gue nggak bakal tahu apa arti bahagia," jawab Gara dan membuang pandangan lurus ke depan. Menembus apa saja yang bisa tertangkap sepasang almond eyes-nya. Gara tidak berdusta. Ia tidak tahu apa arti bahagia jika ia tak melakukan hal-hal konyol seperti ini. Perlakuan yang sebenarnya jelas mengorbankan orang lain. Namun, Gara tidak memiliki cara lain.
Hansiel merangkul pundak Gara. Ia kemudian menatap lurus ke depan seperti yang dilakukan sahabatnya itu. "Gue nggak tahu bagaimana perasaan lo yang sebenarnya. Tapi, sebagai seorang teman, gue nggak akan bosan untuk mencoba paham perasaan lo. Jadi, kalau lo butuh tempat untuk mencari kebahagiaan, jangan lupa hubungin gue. Kita cari kebahagiaan bersama-sama," ucap Hansiel dengan tulus. Sejauh ini, ia selalu berusaha untuk membuat Gara senyaman mungkin. Sebab, hal itulah yang dibutuhkan Gara. Sedangkan Hansiel, ia sudah mendapatkan itu di tempat yang sebenarnya. Rumah dan keluarganya. Ia hidup tanpa kekurangan apa pun. Harta dan kasih sayang yang utuh. Kehidupan yang begitu kontras dengan kehidupan Gara.
Gara tersenyum tipis. "Thank you, ya, Hans, lo selalu berusaha ada buat gue."
Hansiel mengangguk. "Ganti baju, yuk!" ajak Hansiel mengingat setelah ini mereka harus memasuki kelas.
Gara dan Hansiel bangkit. Keduanya beranjak meninggalkan lapangan dan bertemu dengan kedua sahabat mereka yang lain—Evano dan Mazeen. Ya, memang hanya Gara dan Hansiel yang bergelut di olahraga basket. Sedangkan, Evano dan Mazeen lebih memilih olahraga voli. Namun, meski bergelut di bidang yang berbeda, ke empat remaja itu tetap saling mendukung satu sama lain.
"Lo keren banget tadi, Gar. Sumpah! Gue sampai terpesona lihat lo," puji Evano.
"Alay banget sih kayak cabe-cabean," cibir Mazeen.
"Ngiri saja terus, Zeen. Ngiri," balas Evano.
Gara dan Hansiel hanya bisa menggelengkan kepala melihat perdebatan dua manusia itu. Ya, memang begitulah Evano dan Mazeen. Mereka seperti Tom & Jerry jika sudah bertemu. Ada saja perdebatan yang mereka tercipta. Namun, kelakuan mereka itulah yang membuat hubungan pertemanan mereka terasa berwarna. Sebab, Gara dan Hansiel lebih terkesan serius. Maka, Evano dan Mazeen-lah yang kemudian berperan sebagai pencair suasana. Hingga hubungan pertemanan mereka tidak terasa hambar dan flat.
Perjalanan Gara dan ketiga sahabatnya masih menjadi pusat perhatian ketika melewati koridor. Bisik-bisik tentang pujian ketampanan Gara pun tak ayal terdengar. Bahkan, ada yang sampai terang-terangan memuji Gara. Namun, hal itu sudah terlanjur biasa bagi Gara. Begitu juga dengan ketiga temannya.
Begitu Gara hampir sampai di ruang ganti. Seseorang menabrak tubuh Gara. Tubuhnya yang masih basah dengan keringat semakin kuyup sebab tersiram oleh minuman yang sangat dingin. Gara menatap kaosnya yang sudah berganti warna. Hal itu membuat Gara semakin murka.
Gara menatap orang yang menabraknya tadi dengan tatapan nyalang. "Lo ..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!