Alena tidak menyangka laki-laki yang amat di cintainya tega bermalam dengan wanita lain di apartemennya sendiri. Alandra Nowela nama itu masih terngiang hingga kini dalam benaknya, raut wajah yang kusut dan baju yang berantakan menjadi pemandangan yang menyedihkan kala Alena melihat Alandra keluar dari dalam sana.
Arrgghhh....!! Jerit Alena, dia merasakan sesak di ulu hatinya tiap bayangan itu muncul.
"Sialan kau Alandra, kenapa kau melakukan ini padaku?" Isak Alena lirih, bukan jawaban yang memuaskan yang keluar dari bibir Alandra melainkan kata yang seolah membenarkan apa yang terjadi.
'Seperti yang kau lihat, beginilah adanya.' Kata itu yang justru keluar dari mulut Alandra.
"Sialan, aku ingin menghabisimu! Apa kurangnya cinta yang ku berikan padamu? Aku selalu membelamu di depan Ayahku saat dia menyepelekanmu, tapi kenapa setelah dia setuju dengan hubungan kita, kau malah begini? Ayolah jelaskan padaku, katakan begini. Alena, ini tidak seperti yang kau lihat, ini hanya salah faham, katakan itu padaku Alan, aku pasti akan percaya." Alena berucap setengah memohon, hatinya terus menepis kebenaran di hadapannya.
"Apa lagi yang harus aku jelaskan, semua sudah tampak jelas di matamu. Lagi pun Alena, aku sudah muak berhubungan denganmu, kau anak manja yang hanya mengandalkan uang Ayahmu. Jadi mulai sekarang, kita putus!" Kata itu yang justru keluar dari bibirnya.
Jedar...!! Bagai ada sebuah benda tak kasat mata yang menghantam jantung Alena, untuk beberapa saat dia tak bisa bernapas, kakinya mundur perlahan, lututnya seakan memberat begitu saja.
"Apa yang kau takan Alan? Aku tidak mendengarnya dengan jelas?" Lirih Alena pelan dia menolak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan, air mata sudah membanjiri wajahnya tanpa ia seka, tatapan matanya menatap kosong sembarang arah, seakan dia baru kehilangan nyawanya.
"Pergilah Len, tidak ada gunanya aku mengulangi kata itu, itu akan semakin membuatmu terluka." Ujar Alan dengan bibir bergetar, sedang wanita yang ada di ranjang itu hanya diam sembari menutupi diri dengan selimut.
Tubuh Alena bergetar hebat, dia menutupi wajahnya dengan telapak tangan, kemudian menghapus air mata itu dari wajahnya, dia menatap tajam mata Alandra, "aku akan ingat hari ini, hari dimana kamu mengkhianatiku Lan. Dan kamu wanita yang ada di dalam sana, seumur hidupmu, kamu tidak akan pernah tenang, camkan itu!" Ujar Alena, membuat gadis itu semakin mengkerut takut.
"Jangan macam-macam padanya, Len. Aku yang memaksanya untuk bersamaku," ujar Alandra, dia mencengkeram pergelangan tangan Alena.
Alena mendengus tawa, "kau sebegitu mencintainya hingga takut aku melakukan sesuatu padanya, dasar brengsek!" Alena menghempaskan tangan Alandra dengan mata menyorot tajam.
Alandra menghela napas berat kemudian menyeret Alena keluar dari apartemennya itu, "pergilah jangan membuat keributan disini."
"Seharusnya aku yang bilang begitu keparat! Ini apartemen milikku, kau hanya menempatinya saja." Alena bertahan tak ingin pergi.
"Baiklah, aku yang akan pergi! Ayo, kita tidak bisa berada disini lagi," ujarnya pada gadis yang mengenakan jubah mandi dengan wajah tertekuk di atas ranjang.
Dia lantas turun dan berjalan menghampiri Alandra, kemudian mereka pun berlalu
"Cih aku mengutuk kalian berdua, selamanya kalian tidak akan pernah bisa hidup tenang, dan sampai kapanpun, kalian tidak akan pernah bisa bersatu. Camkan itu!" Teriak Alena dengan wajah gusar penuh amarah.
Brak...!! Dia membanting pintu dengan kasar.
Arrgghhh...!! Teriaknya, seperti orang tidak waras. Alena membanting setiap benda yang mampu di raihnya.
Brak...frang....
Benda itu hancur menyentuh lantai, belum lagi seprai, bantal juga selimut nampak berserakan dimana-mana, hingga memenuhi setiap penjuru. Bahkan pigura foto dirinya dan Alandra pun ikut hancur berkeping-keping.
"Nona muda, tolong buka pintunya!" Suara seseorang di iringi ketukan pintu tak di gubris sama sekali oleh Alena, dia tetap mengamuk di dalam sana. Dia berjalan ke dapur dan mengambil sebotol anggur dari bawah meja kemudian menenggaknya. Berharap, apa yang Ia rasakan hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran.
"Nona, tolong buka pintunya!" Lagi-lagi orang itu berucap tak ingin menyerah.
"Pergilah! Aku ingin sendiri!" Balas Alena dengan suara khas orang mabuk.
"Aku ingin disini, bersama Alan. Tapi, tapi dia meninggalkanku, hua...dia tidur disana dengan wanita lain, padahal dia dan aku bahkan belum pernah tidur bersama," racau Alena tak karuan, dia bertingkah seperti anak kecil.
Brak... Pintu pun terbuka, Alena masih menggenggam botol itu sambil duduk di lantai, dengan tampang wajah tak karuan, wajahnya sembab penuh air mata, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya nampak berantakan, belum lagi kekacauan yang di perbuatanya membuat suasana nampak mencekam.
"Astaga! Nona, apa yang terjadi pada anda?" Tanyanya, dia adalah sopir Alena, yang bernama Stanley.
"Lepaskan aku, pergi saja kau," Alena berusaha mendorong Stanley agar menjauhinya.
Stanley tak patah arah, dia terus berusaha membujuk Alena dan berusaha membantunya berdiri, meski gadis itu terus saja mendorongnya menjauh.
"Nona, saya mengerti perasaan anda saat ini, tapi anda tidak boleh menghancurkan diri anda seperti ini, ayo kita kembali." Ujarnya.
"Kenapa Alan mengkhianatiku, Stanley? Apa kesalahan yang aku perbuat, aku, aku sangat mencintainya," isak Alena di lengan Stanley, pria berusia kisaran 35 tahun itu hanya diam, sembari mengusap kepala anak majikannya berusaha membuat dia tenang.
"Nona tidak membuat kesalahan apapun, ayo saya bantu Nona berdiri," ujar Stanley, sembari membantu Alena bangkit. Kemudian membopongnya keluar.
Alena duduk bersandar di jok belakang mobil yang Stanley kemudikan, dia menatap kosong jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu-lalang, saling mendahului satu sama lain. Meski dia tidak sepenuhnya sadar, namun tetap saja rasa sakit enggan meninggalkannya, nama Alandra yang telah bertahta di hatinya seakan enggan pergi begitu saja. Alena menyeka air mata yang keluar tanpa di minta. Bayangan kebersamaan dia dengan Alandra di masa lalu bermain di kepalanya.
"Nona, kita sudah sampai." Ujar Stanley, setelah menghentikan laju mobilnya. Namun, Alena tak menghiraukannya, dia masih tetap diam dengan tatapan kosongnya.
Stanley keluar lebih dulu, kemudian membantu Alena keluar.
Semua orang menyambut kedatangan Alena, seolah mereka bersimpati dan tahu apa yang telah Alena alami beberapa saat yang lalu.
"Nak, apa kau baik-baik saja?" Martin, Ayah dari Alena datang menghampiri putrinya, yang seolah hilang harapan dalam hidupnya.
"Papah," Alena beralih dalam pelukan Martin dan membenamkan diri dalam pelukan sang Ayah sambil terisak lirih.
"Tidak papa Nak, semua akan berlalu. Pria itu tidak pantas untukmu, lupakan dia, kau akan mendapatkan pria yang seribu kali lebih baik dari dia, Papah yakin." Ujar Martin membesarkan hati putrinya, dia mengusap lembut rambut hitam sepunggung itu.
Mata Alena tiba-tiba saja memberat, wajah orang-orang terlihat samar, ruangan seakan berputar, namun wajah satu orang yang terlihat jelas di mata Alena, senyumannya seakan menari-nari di pelupuk mata, dialah Alandra.
"Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu?" Ujar Alena, dia mendongak menatap wajah Alandra yang juga membalas tatapannya.
"Aku tahu, karena tanpa kamu katakan, cinta itu sudah terlihat di matamu," Alandra mencium punggung tangan Alena penuh kasih sayang.
"Lalu, sebesar apa cintamu untukku?" lanjut Alena kembali bertanya.
Alandra berpikir sejenak sebelum menjawab, "cintaku dalam tahap, aku bisa mengorbankan apapun untukmu." Jawabnya, dia tersenyum sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, sedang Alena membaringkan kepala di pangkuan kekasihnya itu.
"Jadi kau sangat mencintaiku?"
"Ya, sedikit," ucapannya itu seketika mendapat cubitan di pinggang dari Alena.
"Aww, sakit sayang," ucapnya disertai tawa sambil meringis.
"Habis, kamu itu ngeselin." Alena mematutkan wajahnya karena kesal.
"Iya, iya, aku sangat mencintaimu, benar-benar mencintaimu, berapa kali harus aku bilang, Alena Jennings!"
***
Alena terbangun dari tidurnya, dia tersenyum tipis jika mengingat moment-moment yang telah Ia lewati dengan Alandra, seakan hal itu baru saja terjadi, dan masalah yang benar-benar terjadi hanyalah sebuah mimpi.
Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu, naluri Alena selalu ingin menghubungi Alandra, namun akal sehat mencegahnya.
"Cukup Alena, sudah cukup. Laki-laki pengkhianat seperti dia, tidak layak untukmu!" Ujar Alena pada diri sendiri.
Ceklek...! Piintu pun terbuka, menampilkan wajah sang Ayah, yang tampak tersenyum kearahnya.
"Selamat pagi sayang, bagaimana perasaanmu?" Tanya Martin.
"Jauh lebih baik dari sebelumnya, Pah," jawab Alena, namun dengan ekspresi wajah yang sama.
"Papah punya sesuatu yang ingin di bicarakan denganmu," Martin duduk di samping Alena yang masih berada di atas ranjangnya.
"Soal apa Pah?"
"Soal, Jacob black Wilson." Alena mendengus kasar, dia menghempaskan diri kembali ke ranjang.
"Kenapa malah membahas dia sih Pah, aku sudah bilang aku tidak suka padanya," keluh Alena kesal.
"Sayang, Papah tahu kamu baru putus dari Pria itu, cobalah perlahan mengenalnya, siapa tahu kalian cocok, Papah tidak akan memaksa jika memang kamu tidak menyukai dia nantinya. Hanya untuk sekarang, cobalah gunakan dia untuk sedikit mengobati luka di hatimu." Alena terdiam, dia tak ingin memutuskan sesuatu tanpa berpikir lebih dulu.
"Pah," keluh Alena kesal, dia masih belum ingin menjalin hubungan apapun sampai rasa sakit di hatinya mereda.
"Kamu gak harus menerimanya sekarang, hanya cobalah untuk lebih mengenalnya, kalian bisa berteman dulu." Ujar Martin, dia mengusap kepala putrinya penuh kasih sayang.
Alena membalikkan tubuh sembari mendengus kasar, "ya udah kalau kamu gak mau, Papah gak akan memaksa." Martin bangkit hendak berlalu, namun perkataan Alena seketika membuat langkahnya terhenti kembali.
"Oke, tapi tolong beri aku waktu Pah. Aku ingin sendiri dulu untuk saat ini," pinta Alena.
"Iya sayang, beristirahatlah dengan tenang."
'Sampai saat ini, aku masih belum mengerti, Alandra. Apa cinta yang selama ini kamu tunjukan padaku hanya pura-pura? Aku ingin kamu menjelaskan padaku sekali lagi,' Alena terisak lirih.
Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, memberanikan diri menghubungi Alandra kembali.
Tut...Tut...Tut...
Nada telpon tersambung, namun tak di angkat sama sekali oleh sang pemilik.
"Dasar pecundang, apa kamu tidak ingin menjelaskan apapun padaku, walau satu kata saja?" Keluh Alena, air mata kembali luruh di wajahnya, dia melempar ponselnya sembarang arah, dan kembali terisak pelan.
Para pelayan terus mengirimkan berbagai makanan ke kamar Alena, namun tak ada satu pun yang dia makan, selera makannya tiba-tiba lenyap, dia hanya berbaring di ranjang seharian, seakan tak punya semangat hidup lagi.
***
"Alan tunggu!" Teriak Alena sembari membungkuk mengatur napasnya karena kelelahan. Saat ini mereka tengah mendaki tangga menuju tempat biasa orang melihat matahari tenggelam.
Alandra mendengus senyum, dia berkacak pinggang sambil menunggu Alena kembali berjalan kembali, "gitu aja capek, ayo buruan bentar lagi jam enam," ujar Alandra sembari menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Kamu gak ngerasain sih jadi aku, kaki aku sakit," keluhnya hampir menangis, Alena duduk di undakan tangga sambil memijat kakinya.
Alandra kembali turun dan berjongkok di hadapan Alena, "sini aku lihat," Alandra meraih kaki Alena namun gadis itu lekas menipisnya.
"Gak usah, pergi aja sana," ucap Alena dengan wajah mematut.
Alandra tak menggubrisnya dia memangku kaki Alena dan meletakkannya di pangkuannya, dia mencopot sandal heels yang di kenakan Alena, dan menempelkan plester di kaki belakangnya yang nampak lecet.
"Gak usah di pake lagi sepatunya, kaki kamu sakit karena benda ini," ujarnya.
"Terus aku pake apa?" Keluh Alena, dia berusaha meraih kembali sepatu itu dari tangan Alandra, namun laki-laki itu lekas menjauhkannya.
Alandra melepas sepatunya dan memakaikannya pada Alena, "terus kamu pake apa, Lan?" Alena mendongak menatap Alandra.
"Tidak masalah aku yang terluka, asal jangan kamu, Alena."
Jika mengingat semua yang pernah Alena dan Alandra lalui, membuat air mata Alen kembali luruh, sakit rasanya jika kembali mengingat kenyataan yang ada, Alena berharap segala kepahitan yang di alaminya saat ini hanyalah sebuah mimpi, yang saat dia terbangun hilang tanpa jejak. Namun, semua itu tidaklah mungkin, pada kenyataannya inilah yang terjadi.
"Kenapa, kenapa semua ini harus terjadi padaku, kenapa?!" Teriakan Alena teredam bantal karena saat ini dia tengah dalam posisi tengkurap, dengan wajah Ia benamkan di bantal miliknya.
"Alandra, aku sangat mencintaimu, tidakkah kau tahu itu, teganya kamu mengkhianatiku, hatiku sakit," lirih Alena, dia merenggut matras tempat tidur yang ia gunakan.
Tiba-tiba saja, tubuh Alena mengejang dadanya terasa sesak, ruangan ini terasa menyempit begitu saja, seakan udara menghilang dari ruangan ini, Alena bangkit perlahan sambil mencengkram dadanya.
"To-tolong, tolong," lirihnya hampir tak terdengar, dia berusaha meraih gelas yang terletak di atas nakas, namun sayangnya gelas itu justru malah jatuh ke lantai menjadi serpihan.
Frang...
Karena suara yang di hasilkan akibat benturan tersebut, seorang pelayan yang selalu siaga tak jauh dari kamar Alena pun langsung masuk.
"Ya Tuhan, Nona Muda anda kenapa?" tanyanya panik, dia berteriak meminta pertolongan membuat semua orang berhamburan datang.
"Alena kamu kenapa, Nak?" Martin juga datang dan langsung menggendong Alena ke tempat tidur kembali.
"Cepat panggil Dokter!" Teriaknya panik. Tampak raut kecemasan terlihat jelas di raut Martin.
"Pa-pah," lirih Alena pelan, dia memaksakan diri berbicara.
"Jangan bicara dulu Nak, sebentar lagi Dokter akan segera datang," ujarnya. Dan benar saja tak lama kemudian Dokter pun tiba, dia langsung memeriksa keadaan Alena, dia juga di pasang alat bantu pernapasan agar pernapasannya kembali stabil.
"Bagaimana keadaan anda sekarang, Nona? Apa masih merasa tidak nyaman?" tanyanya sambil memeriksa nadi Alena memastikan kembali kondisinya.
"Sekarang sudah lebih baik Dokter, terimakasih banyak."
Alena berbaring lemah di ranjang, tubuhnya tampak kurus, hanya dalam hitungan hari.
"Makanlah Nak, lihat dirimu kau terlihat begitu kurus."
"Aku tidak lapar Pah," lagi-lagi Alena menolak.
"Cukup Alena, Papah tidak suka kamu bersikap begini terus menerus, mau sampai kapan, sekarang makanlah!" Ucap Martin tegas, kemudian bangkit.
"Suapi Nona, kalau dia menolak paksa saja dia memakan makanannya walau dengan cara apapun!"
Pelayan yang sejak tadi menunduk sambil berdiri di sudut ruangan pun berjalan mendekat, "Nona, tolong makanlah, jika tidak saya yang akan dimarahi Tuan," ucapnya dengan wajah takut.
Alena bangkit, duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, "baiklah aku akan makan, rasanya sudah cukup aku meratapi nasib sialku ini," ujarnya sambil meraih nampan berisi makanan itu dari tangan sang pelayan.
"Benar Nona harus bangkit dari keterpurukan, tidak ada gunanya meratapi nasib seperti ini, justru Nona harus membuktikan bahwa Nona mampu hidup dengan baik walau tanpa dia sekalipun," ucap gadis pelayan itu yang Alena sendiri pun tidak tahu namanya.
Perkataan dari gadis pelayan itu membuat Alena terdiam sejenak, "kamu benar, seharusnya aku membalas perbuatannya, biar dia juga merasakan rasanya menderita itu seperti apa." Ujar Alena, sudut bibirnya tertarik ke atas membuat seringai tipis terukir di bibirnya.
'Tunggu saja pembalasanku, Alandra.' Batin Alena bergumam.
Malam harinya, Alena turun sudah mengenakan pakaian rapi, membuat semua orang nampak terkejut, tak terkecuali Martin juga Stanley yang tengah berada di ruang tengah, agaknya mereka tengah membicarakan soal pekerjaan.
"Alena, kamu mau kemana?" Tanya Martin tampak heran.
"Aku mau keluar Pah, mau cari udara segar," jawab Alena dengan senyuman manis yang tersemat di bibirnya.
"Keluar, kemana? Kamu baru sembuh Nak," ujar Martin.
"Kemana aja lah Pah, yang penting gak sumpek," jawab Alena.
"Kalau gitu Papah akan menyuruh Jacob menjemputmu, kalian bisa pergi bersama."
"Baiklah," jawab Alena ringan. Diluar dugaan Alena tidak menolak sama sekali, membuat Martin senang, namun juga penasaran, apa yang membuat putrinya bisa berubah pikiran seperti itu.
"Jadi kamu mau pergi sama Jack?"
"Ya, kenapa tidak?" Alena mengangkatnya bahunya ringan.
"Kalau begitu Papah akan menghubunginya." Martin pun menghubungi Jacob lewat telepon dan menyuruhnya menjemput Alena dari rumahnya.
"Dia bilang dia tidak bisa menjemputmu, tapi saat ini dia sedang berada di cafe, biar Stanley yang akan mengantarmu kesana."
"Baiklah."
Alena pun di antar Stanley menunju Cafe yang di sebutkan Jack di telpon tadi.
"Nona, apa anda yakin akan menemui Tuan Jack?" Tanya Stanley, dia melirik Alena dari kaca spion, tampak gadis itu tengah melamun dengan mata mengawasi hiruk-pikuk jalanan.
"Kenapa tidak?" Jawabnya dingin.
"Maaf jika saya lancang, saya hanya bertanya." Ucapnya tak enak hati.
"Sudahlah, fokus saja menyetir." Stanley pun kembali terdiam dan fokus pada kemudinya.
Mobil pun berhenti di parkiran Cafe, yang di maksud Jack tadi, namun penampakan seseorang di kejauhan membuat Alena tertarik, "Stanley, bukankah itu Alandra?" Ucapan Alena membuat Stanley menatap sejurus.
"Benar Nona, sepertinya dia bekerja disini," ucap Stanley, benar memang dilihat dari pakaian yang di kenakannya sepertinya Alandra memang jadi salah satu pelayan di tempat ini, dia tampak tengah membuang sampah.
"Laki-laki itu memang tidak jelas, dia bekerja serabutan begitu," ujarnya.
Tampak Alandra kembali masuk kedalam sambil membawa tempat sampah.
"Apa Nona akan masuk?" Tanya Stanley memastikan.
"Tentu saja, kenapa tidak, dia tidak akan lagi menjadi penghalang dalam hidupku." Alena mendengus senyum sembari turun dari Mobil.
"Pulanglah lebih dulu, aku akan meminta Jacob mengantarku." Ujar Alena sembari menutup pintu mobil, lantas ia pun masuk.
Alena berjalan dengan anggun memasuki cafe tersebut, matanya mencari keberadaan Jacob di antara orang-orang yang tengah duduk berpasangan di mejanya masing-masing, seseorang melambaikan tangan tak jauh dari posisi Alena saat ini berdiri. Alena berjalan menghampiri orang tersebut, kemudian duduk.
"Hay, maaf aku sedikit terlambat," ujar Alena.
"Tidak masalah, klienku juga baru saja pergi, jadi kedatangan kamu sebenarnya sangat tepat," ujar Jack sambil tersenyum.
"Oh begitu." Alena mengangguk canggung.
"Kamu mau makan apa?" tanya Jack sambil membuka buku menu.
"Apa saja boleh, aku tidak pilih-pilih makanan." Ucap Alena, tatapan matanya teredar ke segala arah, seakan mencari keberadaan sosok yang ingin di lihatnya.
"Mau aku pilihkan?" Tawar Jack.
"Oh itu bagus, kalau begitu kamu saja yang pilihkan." Jawab Alena masih disertai senyuman canggung.
Dia menyesap jus jeruk di hadapannya yang sudah datang terlebih dahulu.
"Kamu liatin apa sih?" Tanya Jacob yang menyadari pandangan Alena sedari tadi tak fokus satu arah.
"Hah, aku cuma merasa asing, ini pertama kalinya aku datang ke Cafe ini," dalih Alena, saat itulah makanan pun datang membuat perhatian Jacob teralihkan.
"Cobalah, makanan disini sangat lezat kamu pasti akan suka," ujarnya, sambil menyantap makanannya sendiri.
"Hmmm, kamu benar, makanan ini memang sangat lezat, aku suka." Ujar Alena masih dengan full senyum.
"Aku penasaran kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku, apa ada alasannya?" tanya Jacob penasaran.
"Apa aku mengganggumu?"
"Tidak sama sekali," jawab Jacob langsung.
"Aku tidak punya alasan apapun, aku hanya ingin pergi keluar dan bersenang-senang, tapi Papah memintaku pergi bersamamu, aku tak punya alasan untuk menolak, lagi pula aku hanya pergi seorang diri jadi aku butuh teman." Dalih Alena.
Jacob tersenyum, "jika kamu butuh teman, kapan pun dan dimana pun kamu bisa menghubungiku, aku akan selalu siaga 24 jam untukmu." Ujarnya, membuat Alena mendengus senyum.
"Sekarang kita mau pergi kemana lagi?" Tanya Jacob.
"Pergi? Kemana?" Tanya Alena sedikit terkejut, dia pikir mereka hanya akan berada disini dan setelah itu kembali pulang.
"Kemana pun kamu mau." Jawabnya.
"Kalau begitu, aku tidak ingin pergi kemana pun, aku hanya ingin duduk disini dan menikmati makananku." Jawab Alena ringan.
"Baiklah, aku akan menemanimu." Mata Alena masih saja mencari keberadaan Alandra, namun pria itu tak nampak dimana pun, Alena sudah memesan kembali makan ringan beserta minumnya, mencari alasan untuk tetap berada di tempat ini lebih lama.
Jacob sudah tampak tak nyaman, sudah hampir tiga gelas Jus yang Ia minum dan Alena masih ingin bertahan di tempat ini.
"Alena, sebaiknya kita kembali, ini sudah cukup malam, aku takut Ayahmu akan khawatir, lagi pula kamu baru sembuh kan." Ujar Jacob.
"Baiklah, ayo kita pulang." Ucap Alena, masih dengan pandangan tak tentu arah.
'Sebenarnya apa yang Alena cari, apa ada seseorang yang di kenali di tempat ini, tapi siapa? Sikapnya benar-benar aneh.' Batin Jacob bergumam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!