NovelToon NovelToon

Gairah Masa SMA

Bab 1. Kantor Polisi

Deru suara mesin motor terdengar membelah sebuah jalanan sepi yang ada di sudut Kota Solo. Dua pemuda yang sedang memacu laju motor balap tampak tak takut mati dengan memutar tuas gas dengan kecepatan penuh. Di ujung jalan, seorang gadis berpakaian minim tampak memegang bendera dengan motif papan catur seraya tersenyum menggoda.

"Sial!" umpat seorang lelaki muda dengan tubuh besar dengan tato kepala singa pada lengan kirinya.

"Stop! Polisi!"

Mendengar seruan dari sang teman, pemuda yang seharusnya memenangkan pertandingan balap liar pun menghentikan laju motor. Matanya terbelalak menatap mobil patroli yang tengah menyalakan sirene. Dia adalah Liam, putra kedua Walikota Solo.

Liam putar balik dan terus memutar tuas gasnya. Suara knalpot bising pun terdengar begitu riuh malam itu. Para pemuda itu langsung kabur dari lokasi balap liar yang ada di sekitar Pasar Klewer.

Selain mobil, ternyata ada beberapa anggota kepolisian yang menggunakan motor untuk mengejar para kawanan pembalap liar tersebut. Liam terus membelah jalanan pada dini hari yang lengang. Sampai akhirnya lelaki tampan berwajah oriental itu menabrak portal jalan yang dipasang pada jalan masuk pasar.

"Sial!" umpat Liam sebelum portal kayu itu dia hantam dengan kecepatan penuh.

Akhirnya Liam pun terjatuh ke atas jalanan karena tidak mampu lagi mengontrol keseimbangan dan laju motornya. Polisi pun langsung membekuk Liam dan membawanya menggunakan mobil patroli. Sepanjang perjalanan polisi yang menangkapnya tersenyum geli.

Ini bukan pertama kalinya Liam tertangkap karena kasus balap liar. Sampai Arjun, sang polisi yang malam itu bertugas hafal dengannya. Selain karena dia adalah putra Walikota, Arjun menghafal Liam hanya dengan mendengar suara cempreng yang keluar dari knalpot motornya.

"Astaga, Liam ... Liam! Kamu itu nggak ada kapok-kapoknya!" Arjun tersenyum geli seraya menggeleng dan menepuk bahu pemuda tersebut.

"Apa kali ini bapakmu akan menjemputmu? Apa kamu berharap hal itu terjadi? Dia hanya akan mengutus sekretarisnya dan memberi kami uang jaminan yang sia-sia!" Tawa Arjun pun pecah.

Liam hanya menunduk seraya mengepalkan jemarinya. Rahang pemuda itu tampak mengeras. Semua kalimat yang diucapkan oleh Arjun memang tidak salah.

Sang ayah tidak pernah memedulikan apa yang dia alami. Liam mencari perhatian dengan cara yang salah karena tidak mau dibandingkan dengan sang kakak. Kakak Liam merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir dengan prestasi membanggakan semasa sekolah hingga sekarang.

Ibu serta ayahnya selalu membanggakan putra pertamanya dengan Liam yang bisa dibilang memiliki kepandaian biasa. Perilaku keduanya pun sangat bertolak belakang. Lucas merupakan lelaki yang tenang, sedangkan Liam sosok pemuda bebas serta sulit diatur.

"Turun!" seru seorang polisi kepada para pemuda yang mengikuti ajang balap liar.

Mereka pun turun satu per satu dari mobil patroli, kemudian digiring menuju kantor polisi untuk diperiksa dan dimintai keterangan. Tak ada raut penyesalan di wajah para pemuda pemudi tersebut. Setelah selesai diinterogasi dan diberi arahan, polisi akhirnya meminta mereka untuk menghubungi orang tua masing-masing.

Satu per satu akhirnya dijemput. Liam hanya bisa duduk di balik sel sambil menatap datar pemandangan di hadapannya. Sebuah senyum miris terukir di bibir lelaki tampan bak Idol Korea itu.

"Wah, alamat aku nginep di sini lagi!" Liam tersenyum kecut kemudian melangkah ke arah ranjang kecil yang ada di sudut sel tahanan.

Lelaki itu mulai memejamkan mata. Tempat tersebut sudah tidak asing bagi seorang Liam. Keluar masuk dengan kasus yang sama, justru membuatnya merasa lebih nyaman tinggal di sana daripada di rumah sendiri.

"Bangun!" Arjun membuat suara berisik dengan menggoyangkan puluhan anak kunci di depan pintu sel.

Liam tersentak. Lelaki itu mengerjapkan mata beberapa kali kemudian mulai beranjak dari pembaringan. Setelah kesadarannya benar-benar terkumpul, Liam menatap Arjun yang mulai membukakan pintu.

"Keluarlah, sekretaris ayahmu tadi sudah ke sini. Dia meminta kamu untuk pulang sendiri kali ini."

Liam menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia pun beranjak dari ranjang kemudian berjalan keluar dari sel tahanan. Pemuda itu mulai melangkah untuk keluar dari kantor polisi.

Akan tetapi, saat hampir sampai ambang pintu tiba-tiba seseorang menabraknya dengan keras. Tubuh perempuan itu malah tersungkur karena kalah besar dengan perawakan Liam yang tinggi dan kekar. Kantong plastik yang dibawa gadis itu pun terlempar hingga isinya berserakan di atas lantai.

Gadis itu adalah Liona. Dia merupakan siswi SMA yang sering mengantarkan sarapan sambil berangkat ke sekolah. Liam menatap gadis itu sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.

"Ma-maaf, Mas. Aku buru-buru!" Liona menunduk sekilas kemudian bergegas memunguti nasi bungkus yang keluar dari kantong plastik.

Entah mengapa ada gelenyar aneh di hati Liam ketika melihat gadis itu. Gadis dengan penampilan polos itu tampak menarik perhatiannya. Liam terus mengamati Liona sampai dia selesai memasukkan kembali semua nasi bungkus ke dalam plastik.

Ketika tatapan keduanya bertemu, jantung Liam berdegup begitu kencang. Liona berhasil mengalihkan dunia Liam. Dia menjadi magnet tersendiri untuk putra sang Walikota tersebut.

Tanpa sadar, Liam membatu dan menunggu Liona keluar dari dalam kantor polisi. Ketika Liona kembali, Liam langsung menghadangnya. Lelaki itu terus menghentikan langkah Liona.

"Maaf, Mas. Bisa minggir? Saya bisa terlambat ke sekolah."

"Siapa namamu?"

Mendengar pertanyaan Liam, sontak membuat Liona mendongak. Mata bulat gadis itu membuat Liam tersihir. Jantungnya sekarang berpacu dua kali lebih cepat.

"Li-Liona, Mas." Liona kembali menunduk kemudian meremas rok abu-abunya.

"Kamu sekolah di SMA 7?"

Liona hanya mengangguk. Sebuah ide jahil pun melintas di kepala Liam. Dia menarik lengan Liona, kemudian mengajaknya ke tempat parkir.

Liona tidak berani berontak karena takut dengan Liam. Akhirnya gadis itu hanya bisa mengikuti langkah Liam hingga ke tempat parkir. Setelah sampai di deretan motor yang tertata rapi, Liam melepaskan genggaman tangannya.

"Mana motormu? Aku pinjam!"

"Ja-jangan, Mas! Aku bisa terlambat!" seru Liona panik.

Liam tersenyum lebar. Lelaki itu sedikit menunduk untuk menyamakan tinggi dengan Liona. Liona terus menunduk, tidak berani menatap mata lelaki di hadapannya itu.

"Aku antar ke sekolah! Setelah itu aku pinjam motormu! Mana kuncinya?" Liam menegakkan punggung kemudian menengadahkan tangan seraya menggerakkan ujung jarinya.

Liona menelan ludah kasar. Tangan gadis itu gemetar karena rasa takut berlebih. Kenangan buruk kembali terlintas di benak Liona hingga membuat wajah gadis itu tampak pucat pasi.

"Aku pasti mengembalikan motor ini. Kamu tenang saja!"

Mau tidak mau Liona menyerahkan kunci motornya kepada Liam. Liam pun segera naik ke atas motor dan menyalakan mesinnya. Setelah itu, dia menepuk jok motor dan meminta Liona untuk naik ke kendaraan roda dia tersebut.

"Naiklah!"

Bab 2. Amukan Roby

"Ya?" Liona melongo seketika saat melihat tingkah Liam yang menurutnya aneh.

"Ayo, sini! Kamu takut terlambat, bukan? Aku ini calon pembalap internasional. Jadi, kamu bisa sampai di SMA 7 tepat waktu kalau aku yang mengendarai motor ini!" Liam tersenyum lebar seraya kembali menepuk jok belakang motor bebek Liona.

Liona mulai melangkah maju. Sebelum gadis itu naik ke atas motor, Liam memintanya untuk mengambilkan helm yang ada di atas motor balap lelaki tersebut. Liam pun segera melindungi kepalanya menggunakan helm dengan desain sporty itu.

"Siap? Pegangan yang kuat!" seru Liam.

Liona tentu saja mengabaikan ucapan Liam. Dia enggan melingkarkan lengan pada pinggang pria yang baru dia temui tersebut. Tanpa memberi aba-aba lagi, Liam langsung memutar tuas gas motor matic itu.

Tubuh Liona hampir saja terjatuh dari atas motor kalau saja dia tidak segera menggenggam jaket yang dikenakan Liam. Tubuh Liona menegang karena takut dengan cara Liam mengendarai motornya. Namun, Liona tidak berani melayangkan protes.

Gadis itu hanya bisa diam menunduk, seraya mengucapkan doa dan menyebut nama Tuhan berulang kali. Motor matic itu melaju dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Tubuh mungil Liona ikut meliuk seiring dengan laju motor yang dikendarai oleh Liam.

"Sampai!" seru Liam ketika sudah sampai di deoan gerbang SMA 7.

Liona perlahan membuka mata. Perutnya mulai bergejolak sekarang. Baru kali ini gadis itu merasakan mabuk darat karena naik motor.

Liona perlahan turun dari motornya, kemudian setengah berlari melangkah masuk ke gerbang sekolah yang hampir tertutup sepenuhnya. Liam tersenyum tipis ketika mengamati punggung si pencuri hatinya itu.

Setelah memastikan Liona bisa masuk ke lingkungan sekolah tanpa terlambat, Liam kembali melajukan motor matic milik Liona. Senyum memesonanya kini sirna karena teringat nasib yang akan menimpa ketika bertemu dengan sang ayah.

"Sialan! Sepertinya ada yang melaporkan kami semalam! Punggungku, aku tahu kamu kuat! Semoga kali ini papa mengurangi kekuatannya saat mendaratkan cemeti amarasuli itu pada permukaan punggungku!"

Setelah melajukan motor Liona selama lima belas menit, akhirnya Liam sampai di rumah. Rumah besar itu tampak lengang. Pilar-pilar besar yang menopang bangunan itu tampak kokoh, mencerminkan kedigdayaan dari sang pemilik rumah.

Liam menelan ludah kasar. Dia melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Ini merupakan jam sarapan keluarganya. Keringat pun mengucur di balik pakaian yang membalut tubuh Liam.

"Yok, kamu kuat! Kamu lelaki bertanggungjawab! Sakitnya nggak seberapa! Dengan begini, papa akan lebih memperhatikanmu!" seru Liam seraya menelan ludah berulang kali.

Liam pun mulai melangkah masuk. Dia berusaha mengabaikan kedua orang tuanya serta sang kakak yang sedang sibuk menikmati sarapan. Liam bersikap seolah tidak terjadi apa-apa kemarin malam, meski jantungnya hampir rontok karena menahan ketakutan yang luar biasa.

Ketika hendak menginjakkan kaki ke anak tangga pertama menuju lantai atas, Roby menyerukan namanya. Liam memejamkan mata sekilas kemudian balik badan. Dia memasang wajah super dingin untuk menutupi rasa gugup dan ketakutan kepada sang ayah.

"Kemarilah!" titah Roby.

Liam pun berjalan santai ke arah meja makan dengan tatapan datar ke arah sang ayah. Ibu dan sang kakak tampak saling melemparkan tatapan. Liam berdiri tegak si samping meja makan seraya menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut sang ayah.

"Duduk!"

"Ya?"

Liam tertegun. Bayangan yang ada di otaknya adalah Roby akan mengucapkan makian serta sumpah serapah karena lagi-lagi dia membuat ulah. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi.

Liam pun segera menarik kursi dan sang ibu mulai mengambilkan nasi untuk putra keduanya itu. Setelah itu Rara menuangkan sayur sop serta ayam goreng ke dalam piring Liam. Pemuda itu pun tersenyum lebar. Dia tak menyangka hari ini mendapatkan perlakuan baik dari sang ayah.

"Makanlah! Setelah ini kita bicarakan hal penting di ruang kerja Papa!"

"Baik, Pa," sahut Liam dengan suara setenang mungkin.

Usai menyelesaikan sarapan, Liam dan Roby berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di lantai atas. Keduanya masuk ke dalam ruangan bernuansa coklat tua itu. Roby duduk di kursi kerja, sedangkan Liam mendaratkan bokong di sofa yang ada di ruangan tersebut.

"Teman satu gengmu itu pengaruh buruk!" seru Roby tanpa basa-basi.

Liam mengerutkan dahi kemudian menatap heran sang ayah. Roby menautkan jemari dan mencondongkan tubuh ke depan. Dia ingin fokus menatap sang putra yang kini masih tampak kebingungan.

"Putuskan pergaulan dengan mereka, jadilah murid yang baik, belajar sungguh-sungguh, kemudian menjadilah seperti kakakmu!"

Mendengar semua kalimat yang keluar dari bibir sang ayah sontak membuat darah Liam seakan mendidih. Dia menggigit bibir bagian dalam seraya mengepalkan tangan. Rasa asin karena darah yang keluar dari luka gigitan kini dia rasakan.

"Aku akan memindahkanmu ke sekolah lain! Setelah ini jangan buat masalah lagi! Mengerti?"

Liam beranjak dari sofa. Dia menatap nyalang sang ayah dengan rahang mengeras. Liam benar-benar tidak habis pikir dengan sang ayah yang terus saja membandingkan dirinya dengan sang kakak.

Bukankah setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing? Kenapa Liam harus menjadi seperti kakaknya? Kenapa dia tidak boleh menjadi diri sendiri?

"Nggak! Aku nggak mau berhenti main sama mereka! Cuma mereka yang bisa mengerti aku, Pa! Mereka adalah teman yang baik! Aku mendapatkan semua perhatian yang tidak aku dapatkan di rumah ini dari mereka!" teriak Liam dengan dada kembang kempis penuh amarah.

Mendengar bantahan dari sang putra, tentu saja membuat emosi Roby memuncak. Dia membuka laci meja, dan mengeluarkan cambuk yang biasa dia gunakan untuk memecut Liam. Liam tersenyum miring.

Senjata utama sang ayah keluar sekarang. Dia tidak mau kalah sekarang. Selama ayahnya terus menuntut Liam menjadi lelaki seperti Lucas, maka dia akan semakin berontak.

"Cambuk aku! Sampai mati pun, aku tidak akan keluar dari Geng Motor itu!" Liam melepas jaket serta kaos kemudian mendekati sang ayah.

Liam langsung bersimpuh. Dia menyiapkan nyali untuk menerima sabetan cambuk dari sang ayah. Tidak ada lagi rasa takut sekarang.

Di sisi lain, Roby semakin kalap. Dia beranjak dari kursi kerja dan langsung menghampiri Liam. Lelaki tersebut menyipitkan mata dengan rahang mengeras sempurna.

"Kamu semakin berani kepada Papa? Apa kamu lupa dari mana asalmu? Kalau nggak ada Papa kamu juga nggak akan pernah lahir di dunia ini!"

"Aku tidak pernah meminta Tuhan untuk dilahirkan di keluarga ini! Jika bisa memilih, aku akan memilih lahir di keluarga biasa yang mendidik anak-anaknya dengan cinta!"

"Liam!" teriak Roby.

Sebuah sabetan kini mendarat mulus di atas punggung Liam. Tubuh lelaki itu meliuk sekilas karena menahan sakit. Liam meringis.

Setiap ayahnya mengucapkan satu kalimat, maka Liam akan membalasnya dengan dua kalimat lain. Emosi Roby pun semakin memuncak. Dia terus mengayunkan cambuk hingga sang putra lemas.

Setelah puas memberi hukuman kepada Liam, Roby pun melempar cambuknya. Dia membuang napas kasar, menyugar rambut, kemudian membetulkan kembali letak dasinya. Lelaki itu pun keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada Liam.

Bab 3. Pindah sekolah

Jam menunjukkan pukul 16:00 ketika Liam berada di depan gerbang sekolah SMA 7. Lelaki itu berulang kali melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Kakinya berulang kali naik turun untuk meredam kekhawatiran serta rasa gugup yang dia alami.

Jantung Liam berdetak begitu kencang setiap teringat bagaimana Liona menatap dirinya dengan sepasang bola mata bulat indah itu. Liam berulang kali menyugar rambut seraya menatap pantulan diri dari dalam kaca spion.

"Kamu tampan! Sudah tampan!" Liam tersenyum lebar kemudian menunjuk bayangannya sendiri pada kaca spion.

Tak lama berselang, Liona keluar dari sekolahan. Gadis itu tampak celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Liam pun segera menekan klakson motor untuk memberitahu bahwa dia sudah ada di tempat itu.

Benar saja, Liona langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap datar Liam dan melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah sampai di samping Liam, Liona menengadahkan tangan.

"Mana kuncinya? Aku harus pulang sekarang!" ketus Liona.

"No! Kamu, aku yang antar! Cepat naik!" Liam menggerakkan kepala ke samping, sebagai isyarat agar Liona segera naik ke motor.

Liona berdecap kesal. Gadis itu mengentakkan kaki kirinya ke atas jalan seraya melipat lengan di depan dada dan mengerucutkan bibir. Liam terkekeh karena merasa sudah berhasil menjahili Liona.

Meski kesal, Liona tidak memiliki pilihan lain. Dia langsung naik ke atas motor. Namun, kali ini berbeda. Liam tidak lagi memintanya untuk berpegangan.

Setelah memastikan Liona naik ke atas motor, dia langsung memutar tuas gas. Sepanjang perjalanan tidak ada perbincangan di antara mereka. Keduanya tenggelam dalam prasangka dan pikiran masing-masing.

"Gang depan masuk! Rumah nomor tiga menghadap ke selatan!" Liona memberi aba-aba kepada Liam.

Liam pun dengan patuh mengikuti petunjuk dari Liona. Dia masuk ke halaman rumah sederhana, tempat tinggal Liona. Liam sempat tertegun karena melihat kondisi rumah Liona yang sangat sederhana.

Rumah itu memang sudah terbuat dari dinding semen dan batu bata , tetapi cat berwarna merah muda yang melapisinya sudah mulai pudar. Lantainya belum keramik, melainkan terbuat dari semen yang dilapisi dengan spanduk bekas kampanye Walikota.

Liam meringis menahan tawa ketika melihat wajah sang ayah diinjak-injak. Ya, spanduk yang dipakai adalah spanduk kampanye sang ayah tahun lalu. Jika sampai sang ayah tahu, maka keluarga ini bisa habis oleh kesombongan Roby.

"Pergi sana!" ketus Liona.

"Ah, itu ...." Liam yang masih berdiri di ambang pintu menunjuk wajah ayahnya yang sudah pudar dan tertutup oleh sedikit debu.

Liona mengikuti arah telunjuk Liam. Perempuan itu pun menelan ludah kasar. Dia kembali menutup pintu rumah dan menatap Liam gugup.

"Su-sudah, sana pergi!" usir Liona.

"Oke, aku pergi sekarang. Sampai jumpa lagi!" Liam tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.

Lelaki itu pun balik kanan kemudian pergi meninggalkan rumah Liona. Liam berhenti sebentar di depan rumah Liona seraya memainkan ponselnya. Tak lama kemudian, suara knalpot motor yang sangat bising terdengar dari ujung jalan.

Liam tersenyum lebar. Dia segera berlari ke arah Toni yang sedang mengendarai Hiro, motornya. Liam menepuk tangki bensin motor balap tersebut, lalu menciumnya seakan sedang mencium seorang kekasih.

"Thanks, Ton. Udah mau bantu jemput Hiro di kantor polisi!" Liam tersenyum lebar ke arah sang sahabat.

"Nggak masalah, Liam!"

Mereka pun pergi meninggalkan kediaman Liona. Tanpa sepengetahuan Liam dan Toni, ternyata Liona diam-diam memerhatikan keduanya dari balik tirai jendela. Perempuan itu sebenarnya penasaran terhadap Liam.

Lelaki yang tiba-tiba menyapanya di kantor polisi tanpa permisi itu membuat rasa ingin tahunya muncul ke permukaan. Bagaimana bisa Liam berada di kantor polisi se-pagi itu? Apa dia membuat sebuah kesalahan, atau ingin melaporkan sesuatu kejahatan yang menimpanya?

"Tunggu! Sejak kapan aku peduli kepada orang lain?" Liona menggeleng kemudian berjalan meninggalkan jendela tempat dia mengintip Liam dan Toni.

Sesampainya di rumah, Liam kembali dipanggil oleh sang ayah. Roby menatapnya nyalang seraya menyodorkan beberapa berkas untuk pindah ke sekolah yang baru. Liam awalnya membuang muka.

Akan tetapi, perhatiannya kini tertuju pada sebuah amplop dengan tulisan penerimaan suratnya merupakan kepala sekolah SMA 7. Liam terbelalak dan langsung menyambar amplop yang tergeletak di atas meja sang ayah.

"SMA 7? Aku akan pindah ke sini?" tanya Liam dengan mata terbelalak ke arah sang ayah.

"Iya," jawab Roby singkat.

Liam pun akhirnya mengepalkan jemari dan menarik siku ke arah perut. Dia bersorak dalam hati. Lelaki tampan itu tak percaya kalau akhirnya dia bisa semakin dekat dengan Liona.

Mulai besok, Liam akan satu sekolah dengan gadis yang mampu mengobrak-abrik hatinya pada pandangan pertama itu. Berbagai trik sudah menari di kepala lelaki berwajah oriental itu untuk mengambil hati Liona.

Keesokan harinya, Liam sudah siap dalam seragam putih abu-abu sepeti biasa. Lelaki muda itu menuruni anak tangga dengan senyum merekah. Rara yang menyaksikan keajaiban dunia itu melongo seketika.

"Pagi, Mama!" sapa Liam kemudian menarik kursi dan mendaratkan bokong ke atasnya.

"Tumben kamu semangat masuk sekolah, Iam?" tanya sang Ibu seraya mengisi piring Liam dengan nasi goreng seafood.

"Woh, harus semangat dong, Ma! Sebagai generasi muda yang baik, kita harus rajin menuntut ilmu demi masa depan yang lebih cerah!" seru Liam seraya mengangkat dagu jemawa.

"Ah, tumben pikiranmu bener, Iam? Kepalamu baik-baik saja, 'kan?"

"Ih, Mama! Giliran anaknya rajin sekolah malah begitu! Udah, ah! Liam mau cepat-cepat selesaikan makan, terus berangkat sekolah!"

Liam pun bergegas menghabiskan sarapan, kemudian melangkah ke garasi. Lelaki tampan itu memanasi motor, memakai helm, kemudian melajukan kuda besinya menyusuri jalanan Kota Solo yang mulai padat.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Liam bersenandung gembira. Dia sesekali melirik jam yang melingkar di tangan untuk memastikan waktunya masih panjang sampai ke sekolah.

Di sisi lain, Liona juga sedang memacu motor bebeknya melaju lebih cepat. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan membuatnya tidak mampu menyervis motor tiap bulan. Alhasil, motor tersebut sering macet dan lajunya tersendat.

"Aduh, Pinkan! Kamu kenapa lagi, sih!" gerutu Liona ketika merasakan mesin motornya mulai tak lancar.

Liona akhirnya menepikan motor. Dia yang sama sekali tidak mengerti masalah permesinan hanya bisa pasrah seraya menatap motor itu. Liona mengeluarkan ponsel jadulnya dari dalam saku dan mulai menghubungi sang ayah.

"Bapak, motor Liona macet lagi." Liona langsung menceritakan kondisinya sekarang kepada sang ayah.

"Ya, sudah. Kamu tunggu di sana. Bapak susul, ya?"

"Agak cepat ya, Pak? Liona takut terlambat."

Sambungan telepon pun berakhir. Liona mengembuskan napas kasar. Perempuan itu akhirnya hanya bisa duduk lesu di atas trotoar sambil memerhatikan lalu lalang kendaraan bermotor.

Namun, lamunan gadis cantik terpecah ketika motornya mendadak ambruk. Liona langsung beranjak dari tempat dia duduk dan berusaha mengangkat motor miliknya. Akan tetapi, seseorang menahan bodi motornya agar tetap tergeletak di atas aspal.

"Hei, anak tukang becak! Kenapa nggak minta bapakmu aja buat antar ke sekolah?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!